Kamis, 04 Agustus 2016

Aku mencinta karena keindahanmu, kekasih...


Kekasih...
Karena cinta dan kasih yang kau beri tanpa pamrih, aku berjalan menyusuri tepi rindu yang terjal, melangkahkan kaki hingga tiba di pelataran kauniyahmu yang membuat rindu semakin dalam, seperti tak ingin bergegas pergi dari tempat itu; pelataran kauniyah kepunyaanmu. Untuk menggapai pelampiasan rindu yang mendalam, kecintaan yang kian tebal, serta hasrat ingin memeluk erat tubuhmu yang perkasa, dibutuhkan kerendahan hati yang terpatri dalam diri, sebab engkau tercipta bukan dari energi negatif yang mengantarkan diri pada bara api kedurjanaan, keangkuhan, dan kesombongan.

Masih di pelataran kauniyahmu, kekasih...
Kau berbisik dengan lembut penuh kasih, katamu, aku masih belum diberi izin untuk masuk ke dalam ruang kerinduan, sebab masih tersimpan bara api kesombongan di dalam diri yang mencemari kesucian, sebagaimana sang kekasih yang di dalam dirinya segala kesucian bermuara. Menuju pelataran kauniyahmu itu, kekasih, aku belajar untuk tetap menebar kasih dan damai pada sesama dan semesta. Karena cinta, engkau melarangku dari perbuatan merusak dan mengganggu kekasih-kekasihmu yang lainnya. Semuanya berjalan dengan cinta, atas dasar kerinduan, serta ingin merasakan perjumpaan yang tak biasa denganmu, dengan kekasih yang memberi cinta dan kasih tanpa sedikit pun berharap pamrih.

Kekasih...
Di pelataran kauniyahmu saja, aku sudah merasa bahwa raga kita sudah manunggal, menjadi satu, rekat, tak berjarak dan berpisah; engkau adalah bagian dari tubuhku dan diriku merupakan bagian dari cintamu. Kepasrahan, kerendahan hati, serta peniadaan kesombongan dan ramah terhadap sesama adalah wujud dari kerinduan nan suci. Dari pelataran kauniyahmu, engkau berpesan kepadaku bahwa pelajaran untuk menggapai lampias rindu haruslah terejawantah di dalam kehidupan sehari-hari. Katamu, lampias rindu dan kemanunggalan bisa didapat tidak hanya dengan bertandang pada kauniyahmu saja, tetapi ketika cinta dan kasih menjadi teladan utama dalam kehidupan.

Engkau, kekasihku yang terkasih, yang selalu saja menciptakan kubangan rindu sehingga sewaktu-waktu siapa pun dapat terkubur di dalamnya, menggunakan bahasa alam untuk bercengkrama denganku, dengan seorang yang mengasihimu, yang merindumu di setiap desah nafas dan derap langkah sepanjang hidup. Kau katakan ketika itu, bahwa "barangsiapa yang keluar dari ruang kerinduan dan pelataran kauniyah, tetapi justru menciptakan bara api kesombongan, keangkuhan, dan kedurjanaan, maka dia bukanlah perinduku. Karena yang pantas merindu dan mencintaku adalah dia yang senantiasa mengikis habis bara api kesombongan, kedurjanaan, dan keangkuhan dengan cinta dan kasih yang mendalam kepada sesama dan semesta".

Kekasih...
Tolong sampaikan kepada mereka yang gemar bertandang ke pelataran kauniyahmu dan ruang kerinduan itu, agar senantiasa engkau, sang kekasih, sebagai tujuan utama, bukan sombong dan keangkuhan yang menjadi prioritas. Kekasihku, sampaikan juga kepada mereka, kekasih-kekasihmu yang lainnya, agar senantiasa mengejawantahkan rasa cinta dan kerinduan kepadamu ke dalam bentuk teladan kebaikan pada kehidupan sehari-hari. Semoga engkau tetap menjadi objek kerinduan dan tujuan utama dari para kekasihmu. Sungguh, aku mencinta, merindu, dan memeluk karena keindahanmu, kekasih...



Bekasi, 4 Agustus 2016/1 Dzulqa'dah 1437


Aru Elgete
Previous Post
Next Post