Jumat, 30 November 2018

Gus Dur, Pemimpin Besar yang Diakui Dunia


Sumber gambar: kompas.com

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah satu-satunya pemimpin NU yang diakui dunia. Baik wawasan keilmuan, kepedulian terhadap demokrasi dan toleransi, serta besarnya pengaruh politik yang dimiliki.

Pada 31 Agustus 1993, ia menerima penghargaan Ramon Magsaysay, sebuah Nobel Asia dari Pemerintah Filipina.

Penghargaan itu diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia.

Di akhir 1994, Gus Dur terpilih sebagai salah seorang Presiden World Council for Religion and Peace (WCRP) atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian. 

Tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur dalam daftar orang terkuat di Asia. 

Ia menjadi pemimpin besar dan diakui dunia karena pemikirannya. Selain itu, gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan, dan toleransi di Indonesia.

Gus Dur juga mendapat berbagai penghargaan dari lembaga Internasional seperti yang diberikan oleh Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakkan HAM di Israel.

Kemudian ia mendapat penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles, Amerika Serikat karena dianggap memiliki keberanian membela kaum minoritas.

Gus Dur juga mendapat penghargaan dari Universitas Temple, Amerika Serikat. Namanya diabadikan sebagai sebuah kelompok studi, 'Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study'.

Selain itu, Gus Dur juga mendapat berbagai gelar kehormatan dari banyak perguruan tinggi ternama di berbagai negara.

Pertama, Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat Bangkok, Thailand tahun 2000.

Kedua, Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand tahun 2000.

Ketiga, Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis tahun 2000.

Keempat, Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand tahun 2000.

Kelima, Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda tahun 2000.

Keenam, Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India tahun 2000.

Ketujuh, Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang tahun 2002.

Kedelapan, Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel tahun 2003.

Kesembilan, Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan 2003.

Kesepuluh, Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan tahun 2003.

Penghargaan dan gelar kehormatan yang diberikan pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial di luar negeri barangkali merupakan yang terbanyak yang pernah diterima oleh pemimpin Indonesia sepanjang masa.

Tidak heran kalau pada saat Gus Dur wafat, ucapan bela sungkawa datang dari berbagai pemimpin dan tokoh dunia. Bahkan, beberapa diantaranya menyempatkan untuk ziarah ke pekuburannya di lingkungan Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)

Kamis, 29 November 2018

Tidak Semua Pengikut PKI Atheis, Ini Buktinya...


Sumber gambar: nusantaranews.co

Dalam sebuah diskusi, Agus Sunyoto bercerita bahwa pengikut Partai Komunis Indonesia tidak tunggal dalam keyakinan. Ada yang kafir; tidak percaya Tuhan, ada yang beriman.

“Jangan dikira PKI itu atheis semua. Anggotanya macam-macam,” Agus Sunyoto mulai cerita.

Mantan anggota PKI, cerita Agus, bilang pada saya bahwa banyak anggota PKI yang memeluk Islam dan agama lainnya. 

“Di pengkaderan PKI memang mereka diajarkan yang kelihatannya gagah-gagah seperti tidak akan mati, ngomong dialektika materialisme, ngomong jangan percaya Tuhan, ngomong Karl Marx. Tapi...” 

“Tapi apa?” tanya Agus pada temannya.

“Tapi banyak teman saya yang takut setan. Ketika pulang dari pengkaderan malam-malam, kami lari saat melewati kuburan,” cerita Agus menirukan temannya yang bekas PKI.

Benar kata Agus Sunyoto itu, apalagi kalau kita ingat bahwa Belanda menangkap kiai-kiai di Banten, karena kiai-kiai menjadi anggota PKI, singkatan dari Persatuan Kiai Indonesia.

(Sumber: NU Online)

Gus Dur, Cendekiawan Rakyat yang Mencerahkan


Sumber gambar: rmol.co

Mitsuo Nakamura dalam The Oxford Encyclopedia of The Islamic World, menulis bahwa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh fenomenal di dunia politik dan pemikiran Indonesia pada seperempat terakhir abad ke-20. Gus Dur hadir sebagai cendekiawan dan sekaligus politisi yang menonjol sejak pertengahan tahun 1970-an.

Sebagai cendekiawan, Gus Dur telah membangun suatu proses pencerahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama.

Pemikiran Gus Dur yang banyak tertuan di dalam tulisannya adalah rujukan sekaligus inspirasi bagi banyak orang negeri ini.

Di samping seorang cendekiawan rakyat, Gus Dur juga politisi kelas wahid. Sebagai politisi, ia telah berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia dengan menjadi presiden selama 21 bulan.

Setelah lengser dari kursi kepresidenan, Gus Dur tetap menjadi rujukan politik bagi banyak kelompok masyarakat dari berbagai level tingkatan di tanah air.

Namun, Gus Dur pertama kali muncul di tengah masyarakat Indonesia sebagai cendekiawan rakyat, bukan politisi. Sejak awal 1970-an, ia banyak menulis di media massa dan jurnal ilmiah.

Seringkali Gus Dur juga diundang sebagai penceramah dalam berbagai seminar, baik yang diadakan oleh lembaga-lembaga pendidikan ormas maupun kementerian pemerintahan.

Setelah menjadi Ketua Umum PBNU pada 1984, Gus Dur kemudian sering tampil sebagai seorang juru dakwah yang kerap mengisi ceramah agama di tengah masyarakat, di hampir seluruh pelosok tanah air.

Gus Dur banyak bertemu dan berdialog langsung dengan masyarakat. Ia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan rakyat, dengan menggunakan bahasa mereka. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh seorang cendekiawan.

Ia adalah representasi pemikir Islam yang secara terus-menerus berusaha menerjemahkan Islam dengan visi humanitarian, dengan bahasa masyarakatnya. 

Dengan model khazanah pemikiran klasik yang menjadi ciri khas pesantren, Gus Dur mampu menghadirkan konstruksi pemikiran dan sikap keberagamaan yang lebih membumi, toleran, dan bersahabat dengan realitas sosial yang ada.

Gus Dur mampu menjadi 'jendela rumah NU' yang selama bertahun-tahun dicap dengan berbagai label kemunduran, keterbelakangan, dan kejumudan.

Ia menjadi lokomotif transformasi pemikiran warga NU, khususnya di kalangan anak muda. Sehingga, NU diakui sebagai pilar masyarakat sipil yang utama.

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU bisa menjadi salah satu pelopor demokratisasi politik bangsa, pemberdayaan masyarakat sekaligus pencerahan pemikiran melalui berbagai bentuk kajian kritis tentang Islam dan tradisi.

Karena itulah, Gus Dur mampu membuktikan kepada semua orang bahwa tradisi bisa menjadi landasan bagi perubahan masyarakat secara menyeluruh.

Maka tidak heran, jika atas kepeloporan dan kesuksesannya melakukan transformasi menyeluruh di tengah masyarakat NU itu, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari transformasi bangsa, banyak intelektual asing yang tertarik meneliti pemikiran Gus Dur.

Diantaranya adalah Adam Schwarz, Douglas E Ramage, Mitsuo Nakamura, Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Greg Fealy, dan Greg Barton. Mereka semua itu telah banyak menulis berbagai artikel, makalah, dan buku tentang Gus Dur.

Barangkali, tidak ada cendekiawan Indonesia yang lebih populer dari Gus Dur pada akhir abad ke-20 yang lalu.

(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)

Ketika Kiai dan Santri Sama-sama Pelupa


Sumber gambar: qureta.com

Di suatu pagi, seorang santri senior bernama Rohman dipanggil Pak Kiai untuk membuatkan minuman. 

"Rohmaaaan, tolong buatkan teh manis buat bapak ya. Jangan lupa, seperti biasa, pakai gula rendah kalori. Itu saran dokter. Biar gak lupa, tolong dicatat ya," kata Pak Kiai kepada Rohman dengan sangat detail agar tidak lupa.

Dengan santai, Rohman menjawab tegas dan penuh keyakinan.

"Kalau cuma itu, saya pasti ingat lah Pak Kiai!"

"Oh ya, tambah jeruk nipis sedikit. Bener ya gak usah dicatat?"

Rohman pun menegaskan sekali lagi kalau ia pasti ingat pesan Kiai kepadanya.

"Saya inget kok, Pak Kiai. Teh manis, gula rendah kalori dan pakai jeruk nipis sedikit, kan?" kata Rohman seraya masuk ke dapur dan mulutnya seperti berzikir, melafalkan apa yang dipesankan Pak Kiai tadi.

Tak lama, Rohman keluar dari dapur dengan membawa kopi susu. Setibanya di hadapan Pak Kiai, ia kena 'semprot' lantaran tak patuh untuk mencatat pesan yang disampaikan.

"Tuh, kan. Apa saya bilang? Harusnya dicatat! Kamu lupa nih jadinya. Gimana sih?!" demikian luapan kekesalan Pak Kiai.

"Punten, Pak Kiai. Memangnya tadi Pak Kiai pesan apa ya?" 

"Wedang Jahe, Rohmaaaaaan!"

Rabu, 28 November 2018

Ustadz Khalid Basalamah: Kita Wajib Taati Presiden


Ustadz Khalid Basalamah

“Teman-teman sekalian, kalau ada seseorang yang sudah terpilih menjadi pemimpin (presiden) kita wajib patuh dengannya dan tidak boleh memberontak,” kata Ustadz Khalid Basalamah dalam sebuah pengajian.

Ia melanjutkan, “Kecuali memang (kalau) orang ini (presiden) sudah masuk dalam syarat bolehnya diberontaki. Apa itu syaratnya? Ada hadits Nabi Saw. Kata Nabi, nanti akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang bodoh sekali.”

Yaitu, Ustadz Khalid melanjutkan hadits tersebut, mereka yang tidak pernah mengambil sunnah dan petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian sahabat mengusulkan agar memberontak terhadap orang-orang yang seperti itu dengan mengangkat pedang.

“Tapi kata Rasulullah, tidak boleh. Selama mereka masih membolehkan kalian salat. Atau dalam riwayat lain, selama mereka masih salat bersama kalian,” lanjut Ustadz Khalid.

Dengan demikian berarti ada syaratnya.

Penjelasan lebih lanjut, “Kalau masjid ditutup, tidak boleh ada pengajian, maka itu tidak bisa didiamkan. Diingatkan. Jika tidak bisa juga, ya sudah kita harus memberontak. Karena sudah dilarang salat.”

Akan tetapi, lanjut Ustadz Khalid, kalau hanya yang lain-lain saja. “Mungkin seperti keadaan kita sekarang, tidak ada hubungannya dengan pemberontakan. Karena pemerintah masih menjalankan maslahat-maslahat agama.”

Yakni bolehnya umat Islam (mengadakan) pengajian, masjid boleh di-ta’mir, izin membangun masjid dibuka, Ramadan diiklankan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama ada, nikah dan cerai dengan cara Islam boleh, orang-orang Islam memakai nama-namanya, dan Al-Qur’an disebarluaskan.

“(Maka) tidak ada sesuatu yang mendesak kita untuk itu (memberontak). Karena semua (aktivitas umat Islam) masih boleh,” jelas Ustadz Khalid.
Kata Nabi Saw, kalau kalian dikaruniai oleh Allah pemimpin yang zalim, maka ambil-lah dari hakmu yang dia (pemimpin) kasih.

“Misal kita dikasih keamanan, kita bisa sekarang (warga) Indonesia keluar jam 12 malam, jam 1 malam, ada kriminal tapi sedikit. Umumnya aman-aman saja kita keluar jam 2 malam, jam 3 malam,” terang Ustadz Khalid.

Kemudian, ia menceritakan pengalamannya yang sering keluar pada dini hari.

“Saya berulang-ulang pergi ke pengajian pada saat subuh, sebelum subuh keluar, alhamdulillah tidak ada masalah ke mana-mana. Ke luar kota (atau) dalam kota. Ada (kriminal) tapi sedikit. Dan itu kriminal wajar jika terjadi kalau masih sedikit,” kata Ustadz Khalid.

Menurutnya hal tersebut menjadi wajar karena memang pada zaman nabi kerap terjadi berbagai tindak kriminal. Misalnya mencuri dipotong tangannya, ada orang yang berzina dirajam.

“Tapi kita bicara globalnya,” ucap Ustadz Khalid.

Kata Nabi Saw, lanjutnya, ambil yang mereka (pemimpin) berikan kepada kalian yang merupakan hak kalian. Sedangkan (hak-hak) yang belum didapatkan, mintalah kepada Allah.

“Sesungguhnya, kekuasaan orang itu punya batas. Ada saatnya nanti dia (pemimpin) akan selesai dari jabatannya. Tinggal kita berdoa kepada Allah untuk diberikan pemimpin yang lebih baik,” tegas Ustadz Khalid.

Jadi, ada berbagai poin yang harus digarisbawahi.

“Kesimpulan penyampaian kita (adalah) taati pemerintah selama tidak ada peraturan pelanggaran-pelanggaran agama walaupun ada kekurangan-kekurangan yang terjadi,” kata Ustadz Khalid menyimpulkan.

Ia melanjutkan, “Mulia sekali hadits Nabi Saw tadi yang saya sebutkan, kalau kalian dicoba oleh Allah dengan pemimpin yang punya kekurangan, (maka) ambil-lah apa yang telah diberikan dari hak kalian. Lalu yang belum diberikan, mintalah kepada Allah.”

“Sesungguhnya dia punya masa jabatannya. Dia akan selesai kok dari masa jabatannya,” jelas Ustadz Khalid.

Selain itu juga pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib dengan sangat bijaksana mengatakan, harus ada pemimpin dalam Islam. Baik dipimpin oleh orang mukmin atau orang fasik.

“Orang mukmin berarti apa? Menjalankan kelima rukun Islam, mengimani keenam rukun iman. Atau fasik. Fasik (adalah) muslim, iya, tapi masih banyak pelajaran,” kata Ustadz Khalid.

Kata para pengikut Imam Ali:

“Ya Amirul Mukminin, kalau (pemimpin) orang mukmin, kami bisa paham, maka wajar (menjadi) pemimpin kami. Tapi kalau pemimpin fasik? Artinya tidak ada pilihan, orang ini saja yang menjadi pemimpin. Baik itu karena keturunan (dengan) sistem kerajaan, misalnya. Atau mungkin sistem suku, atau mungkin seperti sekarang sistemnya dipilih siapa yang paling banyak suaranya, misalnya. Tapi dia muslim dan punya kekurangan. Bagaimana kami bisa paham kalau kami harus patuh dengan pemimpin seperti itu?”

Imam Ali menjawab dengan sangat bijaksana:

“(Karena) dengan dia, jalan-jalan tetap aman. Tetap bisa jalan, tetap bisa pergi (dengan aman). Pendapatan negara (bisa diperoleh, karena) ada roda kehidupan, bisa didapatkan. Dan seorang Muslim bisa ibadah di rumahnya sampai meninggal dan bertemu dengan Allah dalam keadaan aman.”

“Paling tidak itu. Karena itu sudah cukup bagi seorang Muslim. Wallahu’alam,” kata Ustadz Khalid Basalamah mengakhiri pengajian.


Tonton video lengkap Ustadz Khalid Basalamah, di sini


Alhamdulillah, di Surga Ada Rokok


Sumber gambar: merdeka.com


Usai pengajian rutin di sebuah pondok pesantren, seorang santri senior yang perokok berat mengajukan tanya kepada Pak Kiai.

"Maaf, Kiai. Saya mau tanya. Kalau di surga itu ada rokok gak, ya?" 

"Ada!" jawab Pak Kiai dengan singkat, jelas, dan tegas.

"Alhamdulillah, syukur Pak Kiai. Hati ini lega setelah mendengar jawaban dari Pak Kiai kalau di surga ternyata ada rokok," santri senior itu pun bahagia bukan main.

"Tapi," kata Pak Kiai seraya berat untuk mengucapkannya.

"Tapi kenapa Pak Kiai?" saut santri dengan segera.

Dengan sangat berat hati Pak Kiai menjelaskan, "Tapi sayang, di surga tidak ada api. Jadi kalau mau menyalakan rokok, silakan jalan dikit ke neraka".

Gus Dur Sebagai Representasi Dua Kultur NU


Sumber gambar: kompas.com

Dalam sejarah perjuangan dan gerakan sosial di Indonesia, hampir selalu terjadi kesenjangan antara tradisi dan kemodernan, juga antara kaum tua dan muda.

Karena tidak ditengahi dengan baik, kesenjangan itu seringkali menjadi faktor yang menyuburkan pertentangan antarkelompok dan menunda keberhasilan perjuangan kolektif di setiap generasi.

Namun dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU), kesenjangan itu selalu bisa diatasi dan dikelola dengan munculnya seorang tokoh yang bisa menjembatani kedua belah pihak dengan baik.

KH A Wahid Hasyim merupakan contoh dimana kehadirannya di tengah NU mampu membangun sinergi antara tradisi dan kemodernan, antara kiai-kiai sepuh dan kaum muda NU.

Gagasannya tentang pengembangan sistem pendidikan umum di lingkungan Pesantren Tebuireng Jombang pada 1936. 

Saat ia menjadi Menteri Agama RI (1949-1952), berbagai inovasi ditawarkan sehingga mampu menjembatani secara efektif kesenjangan tradisi pesantren dan dunia modern, serta kaum tua dan muda.

Keduanya sama-sama penting karena bersifat saling melengkapi, sehingga dinamisasi kehidupan pesantren menjadi sesuatu yang diterima tanpa gejolak. Bahkan tanpa kehilangan identitasnya sebagai suatu entitas tradisi yang baik.

Di masa kemudian, berbagai peran yang telah dimainkan Kiai Wahid diteruskan dengan sangat ciamik oleh puteranya: KH Abdurrahman Wahid.

Gus Dur sangat memahami ajaran Islam dan tradisi keilmuan pesantren dengan segala kompleksitasnya. Ia juga menguasai informasi dan pengetahuan dunia modern dengan segala variannya.

Karena itulah, Gus Dur dengan sendirinya mampu menjadi wakil dan penyaring, yang kemudian mempertemukan dua arus itu menjadi kekuatan dinamisasi dan transformasi menyeluruh dalam kehidupan di dalamnya.

Peran dan posisi seperti itu bisa dimainkan Gus Dur secara total, karena ia tidak semata-mata mengajarkan suatu kepiawaian politik saja, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan (wisdom) dalam berperilaku politik yang bersumber pada akumulasi pengetahuan dengan seluruh kompleksitas masalahnya.

Gus Dur adalah representasi paling genuine dari dua kultur yang terus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Pertama, kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi embrio NU. Kedua, kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. 

Dalam konteks gerakan NU, kiai adalah hati dan suluh dalam merebut hak-hak sejarahnya. Sementara kaum muda NU dengan diversifikasi pendidikan dan gerakan sosialnya adalah ujung tombak perjuangan multi sektoral NU.

Dengan demikian, sinergi kiai dengan kaum muda NU menjadi aksioma (keharusan) bagi kemenangan perjuangan politik kebangsaan NU.


(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)

Selasa, 27 November 2018

Dalam Islam, Demonstrasi Hukumnya Haram


Sumber gambar: voa-islam.com


“Bagaimana pendapat ustadz tentang sikap pemuda-pemudi Islam yang melakukan demo sebagaimana menolak kebijakan pemerintah?” Ustadz Riyadh bin Badr Bajrey membacakan sebuah pertanyaan yang diajukan jama’ahnya.

“Haram!” jawabnya dengan tegas dan intonasi suara yang tinggi.

Ia melanjutkan, “Demi Allah, demonstrasi sama sekali tidak pernah ada ajarannya di dalam syari’at Islam. Ketahuilah, salah satu bukti konkret sebuah kelompok Islam itu busuk zaman sekarang, ketika mereka melakukan demo.”

“Berarti mereka mulai keluar dari jalur,” lanjut Ustadz Riyadh.

Menurutnya, tidak pernah ada mengubah kemunkaran dengan cara yang munkar. “Tujuannya apa? Al-amru ma’ruf nahi ‘anil munkar, kan? Oke, salah satu syarat inti Al-amru ma’ruf nahi ‘anil munkar dengan cara yang ma’ruf.”

Ustadz Riyadh pun menyebut kaidah ushul fiqh, bahwa mengubah kemunkaran dengan cara yang munkar maka hanya akan menjadikan kemunkaran yang lebih besar.

Seraya berkelakar ia berkata, “Lihat apa yang dilakukan Front Penghancur Islam (FPI). Lihat dengan menghancur-hancurkan sana-sini, apakah kemudian kondisi negeri ini menjadi lebih baik atau (malah) lebih buruk?”

“Buruk, buruk, buruk,” jawab para jama’ah.

Dikatakan sekali lagi bahwa demonstrasi adalah haram. “Demi Allah tidak pernah dihalalkan di dalam syariat Islam. (Silakan) lihat demo dari zaman ke zaman, berapa ribu kali demonstrasi untuk Palestina? Dilakukan di setiap negeri di muka bumi.”

“(Apakah) kondisi Palestina mendingan?” Kemudian dijawab oleh hadirin, “tidaak.”

“Berapa ribu kali demonstrasi anti-korupsi di negeri kita? Iya nggak?” Ustadz Riyad bertanya dengan tensi yang lebih meninggi.

Mendingan tidak korupsi zaman sekarang?”

“Bertambaah…”

Ia kembali menggulirkan pertanyaan, “Sejak kapan demonstrasi menjadi solusi? (Justru) yang ada maslahat umum yang lebih luas terganggu, yaitu apa? Orang mau mencari nafkah terhambat.”

Ustadz Riyadh menganjurkan agar segala macam kebijakan diserahkan kepada pemimpin negeri ini. Agar para pemimpin itu yang menentukan segala hal yang telah ditentukan. Seraya doakan kebaikan bagi pemimpin. “Semoga Allah memberinya petunjuk. Semoga Allah memberinya rasa takut kepada-Nya.”

Ia melanjutkan sebuah penegasannya.

“Jangan (demonstrasi). Demonstrasi tidak pernah dihalalkan di dalam syari’at Islam. Haram.”

Cara menasihati pemimpin, ia mengimbuhkan, banyak cara, syarat, dan ketetapannya. Pertama, punya jalur untuk menasihati pemimpin.

“Apakah kau punya jalur untuk menasihatinya? Kalau tidak punya, jangan maksa.”

Kedua, menasihati seseorang yang bukan pemimpin saja harus bisa baynaka wa baynah. Yakni berdua saja agar tidak membongkar aib di depan umum.

“Jangan kau nasihati di depan umum. Aib. Bukannya malah menerima nasihatmu, yang ada malah menentang itu. Apalagi seorang pemimpin yang wibawa dan harga dirinya yang harus dijaga.”

Ustadz Riyad melanjutkan penjelasannya dengan tegas, “Kemudian apabila kau menasihatinya maka kau telah melakukan apa yang wajib atasmu. Sudah. Dia (pemimpin) mau terima atau tidak, hatinya (ada) di tangan Allah.”

“Kau tidak punya kewajiban untuk memaksa dia, menyeret-nyeret dia.”

Menurut Ustadz Riyadh, hal-hal seperti itulah yang terkadang membingungkan. Karena senantiasa mengikuti gaya ‘kafir’ dalam melakukan perubahan. Yaitu revolusi dan reformasi.

“(Saat ini) reformasi apaan? Apaan yang direformasi ini negeri?” tanya Ustadz Riyadh dengan gaya retoris. Pertanyaan yang tidak membutuhkan sebuah jawaban.


Terakhir, ia meminta agar orang-orang yang pernah melakukan demonstrasi kepada pemerintah untuk segera bertaubat. Sebab, demonstrasi adalah bentuk pemberontakan, bentuk khuruj.


"Bentuk melesatnya seseorang dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya," kata Ustadz Riyadh.


Tonton video selengkapnya...


Gus Dur Kiai Humoris, Menyampaikan Pesan dengan Jenaka


Sumber gambar: haritrang.co.id

Bagi kalangan pesantren, humor biasanya bukan hanya digunakan untuk memecah kebuntuan atau suasana kebekuan. Tetapi juga untuk menyampaikan pesan agar mudah diingat dan diterima.

Maka tidak heran jika saat mengisi pengajian atau mengkaji kitab kuning di hadapan santri, kiai biasanya menjelaskan masalah dengan humor dan kisah jenaka. Sehingga, yang sulit terasa menjadi mudah dan yang rumit menjadi sederhana.

Greg Barton dalam pengantar di buku Prisma Pemikiran Gus Dur mengungkapkan, hal yang paling eksentrik dan misteri dari seorang kiai adalah kemampuannya berpikir lateral untuk mencari jalan keluar bagi masalah sosial yang bertentangan dengan anggapan komunitasnya.

Jaya Suprana, dalam Kompas edisi 2 Januari 2010, mengatakan bahwa Gus Dur dikenal sebagai sosok humoris. Sikap kritisnya terhadap realita sering disampaikan melalui humor. Sehingga yang setuju maupun yang tidak, sama-sama bisa tertawa.

Hal yang dilakukan Gus Dur tersebut, kata Jaya Suprana, mirip seperti yang kerap dilakukan seorang filsuf Yunani kenamaan, yakni Socrates yang gemar melontarkan berbagai komentar secara humoristis.

Humor Gus Dur meliputi hampir semua aspek kehidupan seperti realitas sosial, agama, dan politik. Dahlan Iskan pun pernah mengutip humor yang pernah dilontarkan oleh Gus Dur.

Saat itu, Gus Dur juga menghumorkan Pak Harto yang sangat ditakuti, tapi sebenarnya juga dibenci rakyat banyak. Suatu kali, Pak Harto terhanyut di sungai dan hampir tewas. 

Kemudian seorang petani menolongnya dengan ikhlas. Namun si petani tersebut tidak tahu sebenarnya siapa yang ditolong itu. 

"Saya ini presiden. Kamu telah menyelamatkan saya. Imbalan apa yang kamu minta?" kata Soeharto.

"Pak saya minta satu," jawab si petani.

"Jangan beri tahu siapa pun bahwa saya yang menolong bapak," lanjutnya.

Selain itu, di saat yang lain Gus Dur juga pernah melontarkan humornya. Suatu ketika, pesawat yang ditumpangi Gus Dur ke Semarang batal berangkat. Padahal, Gus Dur sudah lama menunggu.

Perlu diketahui bahwa ketika itu di Jawa Tengah sedang getol-getolnya melakukan kuningisasi. Atas instruksi Gubernur Jawa Tengah Suwardi, apa saja dicat kuning. Mulai bangunan hingga pepohonan. Tujuannya agar rakyat kian dekat dan mencintai Golkar.

Saat semua penumpang marah-marah, Gus Dur malah cuek-cuek saja. Ia malah bertanya kepada penumpang lain, "Kalian tahu nggak kenapa pesawat ini batal berangkat ke Semarang?"

Lalu, ia menjawab sendiri pertanyaannya. "Pilot takut, kalau-kalau begitu pesawat ini mendarat langsung dicat kuning".

Demikian pula halnya kelakar di wilayah agama. Gus Dur sering melontarkan humor dan sekaligus pesan yang dalam. Begini ceritanya:

Di pintu akhirat, malaikat menanyai seorang supir Metro Mini. "Apa kerjamu selama di dunia?" tanya malaikat.

"Saya supir Metro Mini, Pak."

Lalu malaikat memberikan kamar mewah untuk supir Metro Mini itu sekaligus peralatan yang terbuat dari emas.

Tak lama, datang seorang ustadz menuju pintu surga yang dijaga malaikat. 

"Apa kerjaanmu selama di dunia?" tanya malaikat kepada ustadz.

"Saya juru dakwah, Pak."

Tanpa pikir panjang, malaikat memberikan kamar yang kecil dan peralatan dari kayu. Namun, melihat itu si ustadz pun protes.

"Pak, kenapa kok saya sebagai juru dakwah mendapatkan yang lebih rendah dari supir Metro Mini?"

Dengan tenang malaikat menjawab, "Begini Pak Ustadz, pada saat bapak ceramah, bapak membuat orang-orang semua ngantuk dan tertidur sehingga melupakan Tuhan. Sedangkan pada saat supir Metro Mini mengemudi dengan ngebut, ia membuat orang-orang berdoa dan berdzikir".

Gus Dur kadang juga berargumentasi dengan humor untuk mematahkan serangan para pengritiknya. Cerita humor ini diabadikan Tempo edisi 2 Desember 1989.

Ketika beberapa peserta Muktamar NU ke-29 di Pesantren Krapyak Yogyakarta pada 1989 mengritik dan meminta Gus Dur mempertanggungjawabkan ucapan-ucapannya seperti, "assalamu'alaikum bisa diganti selamat pagi".

Suasana pun menjadi panas. Namun dengan jenaka, Gus Dur bisa memberikan jawaban yang membuat suasana kembali santai.

Menurut Gus Dur, para ulama saat ini sedang memikirkan berbagai cara untuk menciptakan kerangka berpikir yang sanggup menampung kebutuhan zaman. Dalam kaitan itu, ia yakin para ulama NU sudah memasang rem untuk mencegah perluasan wawasan itu agar jangan sampai menyimpang dari agama.

"Kalau kadang-kadang gasnya saya tancep gitu, itu karena saya yakin rem para ulama pakem. Saya lakukan itu karena tidak ada yang nge-gas, kalau semua nginjek rem terus, mobilnya nggak maju-maju," katanya dan hadirin pun tertawa bisa menerima argumentasi Gus Dur.


(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)

Senin, 26 November 2018

Gus Dur Konsisten Menjaga NKRI dan Pancasila


Sumber gambar: arah.com


KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah seorang yang berasal dari keluarga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Republik Indonesia. Suatu garis keturunan yang tak dimiliki oleh tokoh Indonesia mana pun.

Kakeknya, KH Hasyim Asy'ari adalah kiai utama pendiri NU. Sementara ayahnya, KH Wahid Hasyim merupalan tokoh pendiri NKRI. 

Tidak sekadar menjadi tokoh pendiri; Kiai Hasyim, Kiai Wahid, dan Gus Dur juga punya peran dan investasi besar terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pemikiran kakek, anak, dan cucu ini telah menjadi pengikat dan sekaligus dinamisator bangsa. Gus Dur, sebagai penerus, sangat konsisten menkaga NKRI dan Pancasila; dua tiang dan pengikat dasar bagi tegaknya Indonesia yang diwariskan oleh kakek dan ayahnya.

Salah satu sumbangan dan investasi politik Kiai Hasyim adalah fatwa keagamannya menyangkut eksistensi negara bangsa Indonesia.

Pertama, pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935. Di sana, Kiai Hasyim menjadi pelopor dalam mengeluarkan fatwa status tanah jajahan Hindia Belanda sebagai 'kawasan Islam' (Dar Islam), tetapi bukan negara Islam (Darul Islam).

Dar Islam adalah negara yang masyarakatnya diberi kebebasan untuk menjalankan syariat serta keyakinannya. Namun, negara dan penguasanya bukan Islam. Sedangkan Darul Islam itu negara Islam. Suatu negara yang berdasar hukum Islam dan dipimpin penguasa Islam.

Dalam buku NU dan Fiqih Kontekstual, KH A Muchit Muzadi menulis, motif utama dirumuskannya Hindia Belanda sebagai Dar Islam atau wilayah Islam adalah bahwa di wilayah ini, kalau ada jenazah yang ditemukan tanpa identitas yang jelas, maka harus diperlakukan sebagai muslim. 

Dengan status Hindia Belanda sebagai Dar Islam, umat Islam wajib membela tanah air jika ada serangan militer dari luar. Meskipun penguasanya adalah nonmuslim (Belanda).

Kedua, pada pertemuan ulama dan konsul-konsul NU di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945, setelah melalui perdebatan panjang, Kiai Hasyim dan kiai-kiai NU memutuskan bahwa NKRI, yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, adalah sah secara fiqih. 

Karena itu, umat Islam wajib membela kemerdekaan dan martabat bangsa jika ada serangan dari luar. Sikap demikian dikeluarkan sebagai respons atas mendaratnya pasukan Sekutu di Jakarta dan Surabaya. Kemudian fatwa tersebut dikenal dengan Resolusi Jihad NU.

Apa yang telah diputuskan KH Hasyim Asy'ari dan para ulama NU itu kemudian dijaga secara konsisten oleh Gus Dur beserta NU yang berada di bawah kepemimpinannya.

Pada Muktamar ke-27 di Situbondo, NU memutuskan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sah secara fiqih. Karena itulah, disebutkan bahwa NKRI dengan segala perangkat yang menjadi tonggak berdirinya sudah final. Tidak perlu lagi dipertentangkan antara Islam dan Pancasila, asas Islam dan asas Pancasila.

Kiai Wahid adalah tokoh yang berperan besar dalam mencari solusi kepentingan nasional. Ia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi sumber persoalan antara kalangan Islam dan masyarakat luas.

Dengan begitu, Kiai Wahid telah menemukan jalan keluar sehingga kebuntuan yang menyebabkan persoalan kebangsaan, bisa diakhiri.

Sedangkan Gus Dur adalah tokoh NU yang berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat. Hal itu dilakukan Gus Dur saat berkuasanya Soeharto sehingga negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat sangat (di)lemah(kan).

Gus Dur dengan pemikiran dan pengembangan berbagai macam gerakan kemasyarakatan yang telah dilakukan, berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara, dan pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya berbagai kekuatan sipil.

Gus Dur konsisten menjaga NKRI dan Pancasila. Kini, kita hanya tinggal meneruskan. Bagaimana?


(Tulisan ini disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)

Minggu, 25 November 2018

Gus Dur Berhasil Kalahkan Soeharto



Sumber gambar: tempo.co


Perang Gus Dur melawan Presiden Soeharto dimulai pada awal 1990-an. Saat Soeharto mendukung berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Gus Dur berada di barisan para penentang. Kemudian Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi.

Pada 1 Maret 1992, Gus Dur menggelar Rapat Akbar di Istora Senayan Jakarta, dihadiri sekitar 2000 warga Nahdlatul Ulama (NU). Isinya ikrar kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Dua sasaran sekaligus ingin dicapai Gus Dur.

Pertama, menolak untuk mendukung secara langsung pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden di saat semua Partai Politik (Parpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) termasuk Muhammadiyah sudah melakukannya.

Kedua, memberi peringatan bahaya terhadap eksistensi Pancasila dan UUD 1945 dengan munculnya Islam politik yang diwakili oleh ICMI.

Sejak itulah, hubungan Gus Dur dan Presiden Soeharto terus memburuk. Parahnya, hubungan tersebut kian memburuk saat muncul pernyataan Gus Dur tentang kebodohan Soeharto di buku A Nation in Waiting karya Adam Schwarz.

Ketika ditanya mengapa Soeharto mengabaikan peringatan Gus Dur tentang ICMI, Gus Dur menjawab, “Ada dua alasan”. Kebodohan, dan karena tidak mungkin membiarkan seseorang yang kuat berada di luar kontrolnya.

Kemudian, Presiden Soeharto pun terus berupaya menyingkirkan Gus Dur dari NU. Momentum untuk menyingkirkan itu datang pada akhir 1994. Yakni ketika NU akan menyelenggarakan Muktamar ke-30 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1-4 Desember 1994.

Upaya-upaya menyingkirkan Gus Dur gencar dilakukan.

Pada upacara pembukaan Muktamar, yang diperkenankan duduk di depan bersama Soeharto dengan posisi menghadap hadirin hanya Rais ‘Aam KH Ilyas Ruhiat, KH Munasir, dan Pak Harto sendiri. Sedangkan Gus Dur tidak diperkenankan duduk di situ. Bahkan, Gus Dur tidak boleh duduk di barisan pertama tamu undangan, tapi ia duduk di barisan kedua.

Usai pembukaan, Presiden Soeharto melakukan ramah-tamah dengan para kiai dan pengurus PBNU di rumah Kiai Ilyas. Lagi-lagi, Gus Dur tidak boleh masuk ke dalam rumah untuk ikut ramah-tamah. Ia hanya duduk menunggu di luar, di teras rumah Kiai Ilyas.

Dalam arena Muktamar, Jenderal Hartono mencoba mendekati KH Wahid Zaini untuk maju menantang Gus Dur. Tetapi dengan bijak, Kiai Wahid menyatakan mau maju kalau KH Abdurrahmah Wahid menjadi Rais ‘Aam.

Walhasil, upaya Soeharto menyingkirkan Gus Dur dari NU pun gagal. Gus Dur yang didukung para kiai terpilih kembali sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU periode 1994-1999.

Namun, Pengurus Besar NU hasil Muktamar Cipasung itu tidak diterima menghadap Soeharto. Padahal, Pengurus Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar Banda Aceh yang muktamarnya dilaksanakan belakangan pada 6-10 Juli 1995, sudah lebih dulu diterima menghadap Soeharto.

Meski Presiden Soeharto terus berusaha menyingkirkannya, Gus Dur dan para kiai NU lainnya tetap konsisten menjadi kekuatan kritis terhadap pemerintah. Hingga pada akhirnya, Presiden Soeharto yang sangat kuat dan ditakuti pun, kalah!

* *  * *  * *  * *  *

Pada 2 November 1996, Soeharto datang dan membuka Musyawarah Kerja Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Perhimpunan Pondok Pesantren NU) disambut oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Ketua PP RMI KH Aziz Masyhuri.

Sebelum memasuki arena Mukernas RMI di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo itu, Soeharto merangkul Gus Dur dan menanyakan soal kabar. Hal ini sebagaimana ditulis Kompas terbitan 6 November 1996.

Melihat bahwa Soeharto sudah menyerah, Gus Dur dan para kiai pun mulai membuka jalan untuk bisa membuka berbagai kondisi kemungkinan bagi pergantian kepemimpinan nasional.

Awal tahun 1997, Gus Dur membawa putri sulung Presiden Soeharto Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) berkeliling ke basis-basis NU. Dalam setiap acara dengan warga NU itu, Gus Dur beberapa kali menyatakan, “Mbak Tutut adalah pemimpin masa depan”.

Perlu diketahui bahwa ungkapan tersebut sebenarnya merupakan bahasa politik khas kiai Jawa. Dengan berbicara seperti itu, sesungguhnya Gus Dur hendak menyatakan kalau waktu kekuasaan Presiden Soeharto harus segera diakhiri dan diganti dengan yang lebih muda.

Hal tersebut bukan karena Gus Dur membenci Soeharto, tetapi lebih karena niat ingin melakukan proses transisi kepemimpinan secara damai. Apakah Gus Dur mendukung Mbak Tutut? Tidak juga. Inilah kepiawaian dan kecerdikan seorang Gus Dur.

Dengan mendukung Mbak Tutut, Gus Dur justru berusaha mengakhiri kekuasaan Soeharto yang sudah lama bercokol.

Bukankah dengan mengatakan bahwa Mbak Tutut adalah pemimpin masa depan, itu berarti para petinggi ABRI/TNI akan membangun barisan untuk perlahan-lahan menarik dukungan terhadap Soeharto? Inilah kecerdikan Gus Dur.

Begitu besar pengaruh Gus Dur dalam perubahan politik Indonesia.

Bahkan, diberitakan oleh Kompas edisi 28 Mei 1999, Soeharto pernah menwarkan kepada Gus Dur untuk mendampinginya sebagai wakil presiden. Gus Dur dipilih karena dianggap memiliki kemampuan politik tinggi.

Akan tetapi, permintaan itu ditolak, sehingga jabatan orang kedua di Indonesia ini kemudian diserahkan kepada BJ Habibie.


(Tulisan ini disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri. Tulisan ini dibuat dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang).

Ustadz Firanda Andirja: Jangan Sebut Presiden Kita Kafir


Ustadz Firanda Andirja. Sumber: moslemtoday.com


Dalam sebuah pengajian, Ustadz Firanda Andirja membacakan pertanyaan dari jama’ah yang dituliskan di dalam secarik kertas.

“Ustadz tadi bilang kita boleh memberontak kalau pemimpin kafir. Sekarang pertanyaannya, siapa yang menentukan pemimpin itu kafir?”

“Tentunya para ulama yang bisa menentukan pemimpin itu kafir atau tidak. Tidak setiap orang (dapat menentukan). Karena disyaratkan kafir tersebut adalah kekufuran yang jelas. Bukan kekufuran dengan model kelaziman-kelaziman,” jawab Ustadz Firanda.

Kemudian, ia memberi contoh.

“Di Arab Saudi, waktu kerajaan Raja Fahad sebelum Raja Abdullah dan Raja Salman. Raja Fahad dulu dikafirkan oleh tokoh-tokoh takfiri di Saudi. Kenapa? Karena ada bank-bank (karena mengandung unsur) riba yang dibuka di Saudi.”

Menurutnya, itu adalah contoh perbuatan mengkafirkan dengan kelaziman.

“Saya tanya sama antum, orang melakukan riba kafir atau tidak?” tanya Ustadz Firanda kepada jama’ahnya.

Ia kemudian menjawab pertanyaannya sendiri seraya meyakinkan hadirin, “Tidak, kan.”

“Orang berzina kafir atau tidak? Tidak,” lanjutnya.

Ustadz Firanda melanjutkan pertanyaannya dengan gaya seloroh dan tertawa kecil, “Orang berzina kafir tidak? Kok ragu-ragu menjawabnya. Jangan-jangan takfiri nih.”

“Orang berzina kafir atau tidak?” tanyanya sekali lagi.

Lalu ia bertanya kembali dan membuat jawaban sendiri, “Pelaku homoseksual kafir atau tidak? Tidak. Kecuali mereka menghalalkan perbuatan tersebut.”

“Homoseksual halal ya keluar dari Islam. Zina halal ya keluar dari Islam. Riba halal ya keluar dari Islam. Tapi kalau praktisi riba, praktisi homoseksual dan zina, mereka tidak kafir meskipun zina seribu kali. Dosa besar bahaya, terancam neraka. Akan tetapi tidak kafir,” kata Ustadz Firanda dengan tegas.

Ia mengembalikan penjelasannya soal bank yang dibuka di Arab Saudi.

“Kemudian tatkala dibuka bank di Saudi. Mulailah muncul orang-orang yang mengkafirkan dengan kelaziman. Ini bank dibuka di Arab Saudi berarti dibolehkan oleh pemerintah Arab Saudi. Buktinya dikasih izin. Tidaklah mereka (pemerintah) mengeluarkan izin kecuali dibolehkan dan dihalalkan. Penghalalan riba berarti kafir. Ini namanya mengkafirkan dengan kelaziman.”

“Dan itu tidak benar,” tambahnya.

Menurut Ustadz Firanda, yang dimaksudkan pemimpin kafir itu adalah kekafiran yang nyata. Bukan dengan kelaziman. 

Ia memberikan contoh bahwa bisa saja dirinya mengkafirkan dengan sangat mudah. Dikatakan, pemerintah Indonesia dibangun atas dasar demokrasi. Sementara demokrasi didukung oleh presiden. Padahal demokrasi itu bukan hukum Islam.

“Berarti dia (pemerintah) menolak hukum syariat Islam. Berarti dia memilih hukum dunia. Nah kita kafirkan kalau gitu. Dengan kelaziman-kelaziman. Padahal belum tentu seperti itu,” jelas Ustadz Firanda.

Lalu ia melanjutkan dengan penegasan bahwa, “Sebagian orang masuk demokrasi tapi dia tahu itu bukan syariat Islam. Dia tahu itu bukan, tapi dia ingin mencari kemaslahatan.”

Menurut Ustadz Firanda, bukan berarti setiap orang yang setuju dengan konsep demokrasi berarti menolak atau mencela hukum syariat Islam. Menganggap demokrasi lebih baik dari syariat Islam. “Tidak semua orang seperti itu,” tegasnya.

“Seperti kemarin juga saya mendengar fatwa orang yang mencoblos (ikut serta dalam pemilu) dihukumi kafir. Saya mendengar fatwa seperti itu. Mengerikan,” tambah Ustadz Firanda.

Menghukumi orang-orang yang ikut serta dalam pemilu adalah kafir berarti mengkafirkan dengan kelaziman. Alasannya karena jika mencoblos berarti mendukung demokrasi. Mendukung demokrasi berarti mendukung selain hukum Allah,

“Wah ini bahaya seperti ini, Namanya pengkafiran metode MLM,” katanya berseloroh.

Ia mengaku sempat membaca bahwa penjual es atau penjual makanan yang berdagang di sekitaran gedung DPR tatkala wakil rakyat sedang melaksanakan sidang, dihukumi sebagai kafir. Sebab mereka ikut memberikan makan kepada orang-orang yang sedang bikin atau merumuskan hukum selain hukum Allah.

“Presiden kafir, wakil presiden kafir, ketua MPR kafir, wakil MPR kafir, ketua DPR kafir, seluruh anggota DPR kafir, termasuk yang menjual makanan kepada mereka. Ini yang disebut metode pengkafiran MLM. Itu bahaya,” katanya.

Akhirnya, ada yang lebih parah dari itu. Yakni, menyebut bahwa semua pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah kafir. 

“Kalau kita memakai metode MLM seperti ini, kita bisa juga kafir lama-lama. Nanti anda bergaul dengan pemerintah dan anda tidak menegur berarti anda kafir juga. Bahaya seperti ini,” katanya.

Maka itu, lanjut Ustadz Firanda, Rasulullah Saw mensyaratkan bahwa kekafiran itu dapat dinilai sampai seseorang melihat ada kekafiran secara nyata. Bukan mengkafirkan dengan kelaziman.

“(Misalnya) pindah agama, mencela hadits nabi atau mencela ayat Al-Qur’an, tidak beriman kepada Al-Qur’an. Nah itu baru kita bilang mereka sebagai kafir,” jelas Ustad Firanda.

Akan tetapi jika ada seseorang yang masih menjalankan salat, haji, umroh, dan lain sebagainya jangan lantas disebut kafir.

“(Memberi penilaian kafir) tidak semudah itu,” katanya.

Kemudian Ustadz Firanda menegaskan bahwa yang membicarakan permasalahan ini tidak semua orang. “Tetapi orang yang benar-benar alim dan (penyebutan kafir) perlu ditanyakan kepada para ulama,” pungkasnya dan pengajian usai.

Jadi, apakah pemerintahan kita kafir? Apakah Presiden Joko Widodo kafir? Silakan tanya kepada KH Ma’ruf Amin sebagai pemilik otoritas yang berhak menentukan dan memberi penilaian karena keilmuan dan kealimannya. Wallahu’alam…



Tonton video lengkapnya klik di sini



Sabtu, 24 November 2018

Siapa Berhak Menyandang Status Kafir?


Sumber gambar: wajibbaca.com

Dewasa ini, kita seringkali menemukan dan bahkan mendengar perkataan kafir yang kian hari semakin tak berdasar. Bahkan tak ayal, sesama Muslim pun sering terlontar kalimat-kalimat takfir yang membuat panas atmosfer keberagamaan kita.

Bersyukurlah, Indonesia memiliki ulama muda bernama KH Ahmad Muwafiq. Dalam ceramahnya pada momentum Maulid Nabi di Istana Bogor beberapa waktu lalu, ia menjelaskan soal titik temu agama-agama di dunia.

Karenanya, pria yang akrab disapa Gus Muwafiq ini mengatakan, "Jangan ada lagi kata kafir di Indonesia."

Teriakkan kafir merajalela ke seluruh penjuru sebagai bentuk penolakan, bahkan ujaran kebencian. Sebagian umat Islam seperti menunjukkan jiwa superioritasnya untuk menolak dan bahkan halal untuk mencerca kafir (yang bukan Islam).

Implikasi dari pengkafiran ialah diperbolehkannya membunuh seorang yang dianggap kafir itu. Padahal tidak semua yang kafir itu halal darahnya untuk dibunuh, dan tidak semua kafir dianggap musuh. Selain itu juga tidak semua kafir dialamatkan sebagai penghukuman bagi orang yang menolak ajaran Islam.

Secara bahasa, kafir bermakna menutup atau mengubur. Jauh sebelum Islam datang, kata kafir dialamatkan kepada para petani. Hal itu karena pekerjaan petani yang senantiasa mengubur benih dan kemudian menutup dengan tanah agar tumbuh menjadi tanaman (QS Al-Hadid ayat 20).

Lalu, kata kafir diambil oleh Islam (Ilmu Teologi) sebagai pembeda. Kafir diperuntukkan bagi mereka yang menolak ajaran Islam dan menutupi kebenaran versi Islam. Maka di zaman Islam awal, kafir terbagi menjadi empat macam. Diantaranya Al-Muharribin, Adz-Dzimmah, Al-Mu'ahad, dan Al-Musta'man.

Al-Muharribin atau Kafir Harbi adalah golongan kafir yang menolak ajaran Islam dan menutup-nutupi kebenaran yang sudah dibawa Rasulullah. Mereka adalah yang menyerang umat Islam pada zaman Rasulullah saw, dan mereka itulah yang wajib hukumnya untuk diperangi.

Sementara Adz-Dzimmah atau Kafir Dzimmi merupakan sebutan bagi mereka yang membayar pajak (jizyah) di masa kepemimpinan Islam. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dari umat Islam.

Sedangkan orang kafir yang memiliki kesepakatan damai dengan umat Islam untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang sudah disepakati, dan mereka juga tidak membantu musuh yang menyerang Islam serta tidak mencela Islam dinamakan Kafir Al-Mu'ahad. (QS At-Taubah ayat 4).

Kemudian, Kafir Al-Musta'man. Yakni golongan kafir yang telah mendapat jaminan perlindungan keamanan dari umat Islam.

Selain kafir yang sudah ditulis di atas, juga ada beberapa kategori kafir yang harus kita ketahui, agar tak sembarang mengalamatkan kafir kepada siapa pun.

Kafir atas Tauhid adalah mereka yang menolak bahwa Tuhan itu Satu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah setiap agama pasti memiliki konsep bahwa ada sosok Tuhan yang transenden, sekalipun dalam ajaran keagamaannya terdapat tuhan-tuhan selain Tuhan yang Satu. Bahkan, para bijak bestari pun berpendapat bahwa Tuhan itu Satu, tetapi orang bijak menyebut-Nya dengan banyak nama.

Menurut Kiai Muhammad Ainun Nadjib, Tauhid bukan berarti mengesakan Tuhan, karena Dia sudah Esa dengan sendirinya. Makna Tauhid yang sebenarnya adalah menomorsatukan Tuhan dalam keseharian.

Selanjutnya adalah penyebutan kafir bagi orang-orang yang mengingkari segala nikmat yang Tuhan beri. Ini merupakan perjalanan spiritual manusia, apa pun agamanya, bahwa kristalisasi dari ketauhidan haruslah melalui pensyukuran kepada Tuhan yang memberi nikmat. Entah siapa pun nama Tuhan yang menjadi panggilan (berbeda) di setiap agama.

Untuk kita yang tinggal di Indonesia, tapi mengingkari dan menutup diri dari segala kenikmatan yang Tuhan berikan untuk negeri ini, juga bisa saja disebut sebagai kafir atas nikmat (QS Al-Baqarah ayat 152).

Tuhan sendiri pun memberikan konfirmasi soal kekafiran atas nikmat itu. Bahwa siapa yang bersyukur, nikmat akan ditambah, dan siapa yang tidak bersyukur (kufur) ada punishment Tuhan yang akan turun; yakni adzab yang pedih.

Jadi, alangkah lebih baiknya untuk tidak terburu-buru mengalamatkan hukum kafir kepada siapa pun, termasuk mereka yang dianggap kafir secara teologis. Karena kita sebagai Muslim pun memiliki kecenderungan sebagai kafir.

Fenomena organisasi terlarang semacam Hizbut Tahrir adalah contoh sekelompok orang yang secara terang-terangan tidak mensyukuri keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Maka, bisa kita sebut mereka itu sebagai kafir nikmat.

Di negara yang bukan berdasar pada ideologi agama dan ideologi sekuler ini, sungguh tidak menjadikan klaim kafir sebagai pembeda. Sebab yang disebut sebagai warga negara adalah yang setia mempertahankan kedaulatan negara dan memiliki jiwa nasionalisme.

Sedangkan nasionalisme yang dimaksud oleh Ir Soekarno adalah nasionalisme yang tidak chauvinisme. Yakni nasionalisme yang hidup di dalam tamansarinya internasionalisme.

Jadi, siapa sebenarnya yang cocok dialamatkan atau diklaim sebagai kafir?  Siapa pula yang berhak menyandang status kafir? Wallahua'lam...

Gus Dur, Mendidik dan Melahirkan Orang-orang Besar


Mahfud MD, salah seorang yang dibesarkan oleh Gus Dur. Sumber: konfrontasi.com


Sama seperti kakeknya, yakni KH Hasyim Asy’ari, Gus Dur juga menjadi besar karena berhasil membesarkan Nahdlatul Ulama (NU). Ia menjadi Ketua Umum PBNU selama 15 tahun, pada 1984-1999. Selain itu, ia juga membesarkan sejumlah orang sehingga menjadi tokoh kaliber nasional.

Tokoh-tokoh yang dibesarkan Gus Dur, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain adalah KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqil Siroj, Mathori Abdul Djalil, Muhammad AS Hikam, Alwi Shihab, Choirul Anam, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), A Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, dan Khofifah Indar Parawansa.

Mahfud MD awalnya hanya seorang tokoh lokal. Ia menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Namun tiba-tiba, Gus Dur memintanya menjadi Menteri Pertahanan. Mahfud pun naik kelas menjadi tokoh nasional.

Semula ia hanya menjadi pengurus DPP PKB, anggota DPR dari PKB, dan akhirnya nama Mahfud MD melejit sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena kecintaannya kepada Gus Dur, ia menulis sebuah buku yang berjudul Gus Dur; Islam, Politik, dan Kebangsaan pada tahun 2010 diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta.

Alwi Shihab pun demikian. Ia hanya tokoh biasa-biasa saja. Namanya tak begitu dikenal selain hanya karena sering diajak Gus Dur. Saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden, Alwi diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia pun menjadi tokoh nasional.

Kemudian saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY terpilih sebagai Presiden pada Pemilu 2004, Alwi ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden SBY untuk urusan Timur Tengah.

Khofifah Indar Parawansa, semula hanya politisi muda dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut Hanif Dhakiri, kalau Khofifah tetap berkarir di PPP, mungkin Khofifah tidak akan menjadi tokoh nasional yang dianggap besar.

Setelah diajak Gus Dur bergabung dengan PKB, Khofifah diangkat menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Ia kemudian melenggang menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU, menjadi Ketua Fraksi PKB di DPR RI. Kini, ia telah menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur melalui Partai Persatuan Pembangunan.

Banyak tokoh yang biasa-biasa saja dan kemudian ‘dipermak’ Gus Dur menjadi tokoh luar biasa. Ada istilah, Gus Dur merupakan orang yang menjadi washilah karena telah menaikkan derajat seseorang. Akan tetapi, Gus Dur hampir tidak pernah mau menurunkan derajat seseorang kecuali orang itu sendiri yang menurunkan derajatnya.

Tak hanya itu, Gus Dur juga berhasil membangun gerbong kader-kader NU yang membuat NU diakui dunia sebagai kekuatan demokrasi dan masyarakat sipil di Indonesia.

Banyak orang menjadi besar karena ikut atau terinspirasi oleh Gus Dur. Sebagaimana dulu banyak orang yang bisa menjadi kiai besar atau menjadi tokoh nasional karena mengikuti jejak langkah kakeknya, KH Hasyim Asy’ari.


(Tulisan diatas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri. Tulisan ini dibuat dalam rangka menuju Haul Gus Dur ke-9 pada Desember mendatang)