Sumber Gambar: tirto.id |
Pembakaran bendera berkalimat tauhid di Limbangan, Garut,
Jawa Barat dalam peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018 lalu berbuntut panjang.
Kontroversi dan pro-kontra mencuat di masyarakat.
Berbagai dalil dan referensi mengenai kalimat tauhid yang
dituliskan di berbagai benda, dikemukakan. Sebagian besar ulama, mengatakan bahwa hukum
menulis kalimat tauhid di benda adalah makruh. Sebab khawatir tidak mampu atau
akan sulit memuliakannya karena manusia tak luput dari kesalahan dan kelalaian.
Bagi Nahdlatul Ulama, bendera yang dibakar itu adalah milik
Hizbut Tahrir, bukan bendera atau panji Rasulullah. Hal tersebut dikuatkan oleh
para ulama atau cendekiawan NU, salah satunya KH Nadirsyah Hosen, Rois Syuriah
PCINU Australia-New Zealand. Di dalam kitab Fathul Bari’, Imam Ibnu Hajar
Al-Atsqalani mengkritik Abu Syaikh, perawi hadits yang seringkali menjadi dasar
pembenaran soal bendera Rasulullah.
Menurut saya, seperti itulah NU. Berargumentasi dengan memiliki
dasar atau referensi yang kuat, tidak asal dan abal. Hal tersebut agar tidak
terjadi pemutlakan kebenaran, maka haruslah bersandar pada ilmu yang mumpuni
dan memadai.
Terkait pembakaran bendera, Anggota Barisan Ansor Serbaguna
(Banser) pun telah meminta maaf atas kecerobohannya yang berbuntut pada situasi
gaduh berkepanjangan. Aparat kepolisian juga telah menindaklanjuti terkait hal
tersebut. Namun, masyarakat tetap terbakar amarahnya. Parahnya, kekuatan
politik menungganginya.
Hari ini, Jum’at 2 November 2018 ribuan massa aksi mengadakan
parade tauhid di Jakarta. Di beberapa wilayah juga demikian. Bahkan, unjuk rasa
kerapkali dilakukan sebagai respons atas pembakaran bendera di Garut, Jawa
Barat. Aksi hari ini, mereka sebut sebagai Aksi 211. Mereka menuntut pembakar dijerat pasal penistaan agama.
Kalau kita menggunakan gaya cocoklogi yang kerap digunakan
oleh kelompok salafi-wahabi, maka bisa saja kita buka Al-Baqarah ayat 11 (QS
2:11). Secara leterlek, ayat tersebut berbunyi: “Dan apabila dikatakan kepada
mereka ‘janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘sesungguhnya
kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’”
Ayat itu diturunkan sebagai peringatan, bahwa orang-orang
munafik senantiasa membolak-balikkan kebenaran. Mereka mengatasnamakan
kebenaran untuk berbagai kepentingan yang ingin dicapainya. Orang-orang munafik
selalu berkata bahwa mereka sedang mengadakan perbaikan, padahal justru berbuat
sebaliknya.
Di ayat berikutnya, Allah menegaskan bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang sesungguhnya berbuat kerusakan tapi mereka justru tidak
menyadari perbuatannya. Artinya, kita bisa melihat bagaimana massa aksi 211 itu
yang sering memutlakkan kebenaran, padahal sebenarnya mereka itulah yang selalu
berbuat kerusakan.
Mereka tidak sadar terhadap segala sesuatu yang mereka
lakukan, tugas kita adalah memberi penyadaran dengan berbagai upaya yang tentu
berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Sebab, tak mungkin kita mampu mencerahkan
orang lain, jika tanpa pengetahuan yang kita miliki.
Terkait 211, kita bisa buka Surat Al-Anbiya’ ayat pertama (QS
21:1). Secara leterlek, ayat tersebut berbunyi: “telah semakin dekat kepada
manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan
dunia), berpaling (dari akhirat).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat itu diturunkan
sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa hari kiamat segera datang. Manusia
haruslah mempersiapkan momen besar itu seumur hidupnya. Seluruh aktivitas
manusia, wajib hukumnya untuk senantiasa bersiap diri dalam menyambut hari
kiamat.
Namun, masih banyak manusia yang lalai. Sebagian besar
manusia dilalaikan karena hiruk-pikuk dunia. Mereka justru sibuk memperkeruh
suasan di dunia sehingga lupa bahwa kiamat telah dekat. Maksiat, perkelahian,
perdebatan yang berujung pada penegasian keimanan orang lain kerap terjadi.
Bahkan merasa diri lebih baik dari orang lain, dan menuding
orang lain lebih rendah derajatnya merupakan kelalaian yang terjadi. Saya memahami
bahwa massa aksi 211 itu sedang membela kebenarannya. Mereka menganggap, tauhid
sedang dinista. Maka, mereka melakukan unjuk rasa.
Namun, mereka sungguh lalai. Pekik takbir dan kalimat-kalimat
tauhid disuarakan tapi di hatinya terdapat kebencian yang menyeruak. Meneriakkan
kalimat Allah tapi justru menghantam dan menghakimi orang-orang yang tidak
sependapat dengannya. Sungguh, mereka lalai.
Selain itu, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pada sebuah
acara di televisi mengutip Surat Al-Maidah ayat 8. Di ayat tersebut Allah
memerintahkan orang-orang beriman untuk menjadi penegak keadilan karena Allah.
Semua yang dilakukan demi menegakkan haruslah bermuara pada kekuasaan Allah.
Bukan karena kekuasaan manusia atau karena untuk menjatuhkan orang dan kelompok
lain yang berseberangan.
Allah menginginkan agar orang-orang beriman menegakkan
keadilan dengan memberikan kesaksian yang tidak merugikan orang atau kelompok lain.
Kemudian Allah menegaskan bahwa agar jangan sampai rasa kebencian terhadap
suatu kaum, mendorong nafsu atau syahwat untuk berlaku tidak adil. Jadi, ayat
itu mengajarkan kepada umat Islam untuk konsekuen.
Maka, Allah mengidentikkan bahwa keadilan itu lebih dekat
kepada ketakwaan. Di akhir ayat, kita seperti diajak untuk bertakwa kepada Allah
karena Allah Mahateliti terhadap tindak-tanduk yang dikerjakan oleh manusia di muka
bumi.
Saya berasumsi bahwa orang-orang yang sedang mengaku membela
tauhid itu tidak adil sejak dalam hati dan pikiran. Mereka mengambil momentum
untuk berkampanye memenangkan salah satu capres-cawapres. Yakni Prabowo
Subianto dan Sandiaga Uno. Sampai-sampai salam tauhid yang harusnya hanya
mengacungkan telunjuk, kini ditambah dengan acungan ibu jari.
Momentum itu dimanfaatkan dengan sangat massif, mengorganisir
masyarakat akar rumput agar ikut serta dalam menyuarakan sesuatu yang mereka
anggap benar. Mereka ingin menegakkan keadilan, tetapi di dalam hatinya hanya
ada rasa kebencian yang justru membuat mereka tak bisa berbuat adil.
Maka berbuat adil-lah sejak dalam hati dan pikiran karena
adil sangat dekat kaitannya dengan takwa. Siapa orang bertakwa itu? Dalam Surat
Ali ‘Imran ayat 133-135, kepada orang-orang yang menyegerakan diri untuk
memohon ampun kepada Allah maka sudah disediakan surga yang luasnya seluas bumi
dan langit dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang bertakwa.
Sedangkan orang-orang bertakwa itu adalah mereka yang gemar
menafkahkan hartanya, baik di saat sempit maupun di kala lapang. Kemudian,
mereka yang senantiasa memberikan maaf kepada orang lain dan melupakan
kesalahan-kesalahan orang lain.
Sesungguhnya itulah warisan besar Nabi Muhammad, selain
Al-Qur’an dan Hadits, yakni akhlak. Innama
bu’itstu li utammima makarimal-akhlak. Beliau tidak diutus ke muka bumi
ini, selain untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Jadi jika ada sekelompok orang yang gemar membenci dan
menuding kesalahan orang lain, bahkan menganggap diri paling benar sehingga
seringkali menghujat keberbedaan pendapat, sehingga akhlaknya tidak sebagaimana
yang dicontohkan nabi, maka meniru siapakah mereka?
Wallahua'lam...
0 komentar: