Jumat, 02 November 2018

Mereka Meniru Siapa?


Sumber Gambar: tirto.id

Pembakaran bendera berkalimat tauhid di Limbangan, Garut, Jawa Barat dalam peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018 lalu berbuntut panjang. Kontroversi dan pro-kontra mencuat di masyarakat.

Berbagai dalil dan referensi mengenai kalimat tauhid yang dituliskan di berbagai benda, dikemukakan. Sebagian besar ulama, mengatakan bahwa hukum menulis kalimat tauhid di benda adalah makruh. Sebab khawatir tidak mampu atau akan sulit memuliakannya karena manusia tak luput dari kesalahan dan kelalaian.

Bagi Nahdlatul Ulama, bendera yang dibakar itu adalah milik Hizbut Tahrir, bukan bendera atau panji Rasulullah. Hal tersebut dikuatkan oleh para ulama atau cendekiawan NU, salah satunya KH Nadirsyah Hosen, Rois Syuriah PCINU Australia-New Zealand. Di dalam kitab Fathul Bari’, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengkritik Abu Syaikh, perawi hadits yang seringkali menjadi dasar pembenaran soal bendera Rasulullah.

Menurut saya, seperti itulah NU. Berargumentasi dengan memiliki dasar atau referensi yang kuat, tidak asal dan abal. Hal tersebut agar tidak terjadi pemutlakan kebenaran, maka haruslah bersandar pada ilmu yang mumpuni dan memadai.

Terkait pembakaran bendera, Anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) pun telah meminta maaf atas kecerobohannya yang berbuntut pada situasi gaduh berkepanjangan. Aparat kepolisian juga telah menindaklanjuti terkait hal tersebut. Namun, masyarakat tetap terbakar amarahnya. Parahnya, kekuatan politik menungganginya.

Hari ini, Jum’at 2 November 2018 ribuan massa aksi mengadakan parade tauhid di Jakarta. Di beberapa wilayah juga demikian. Bahkan, unjuk rasa kerapkali dilakukan sebagai respons atas pembakaran bendera di Garut, Jawa Barat. Aksi hari ini, mereka sebut sebagai Aksi 211. Mereka menuntut pembakar dijerat pasal penistaan agama.

Kalau kita menggunakan gaya cocoklogi yang kerap digunakan oleh kelompok salafi-wahabi, maka bisa saja kita buka Al-Baqarah ayat 11 (QS 2:11). Secara leterlek, ayat tersebut berbunyi: “Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’”

Ayat itu diturunkan sebagai peringatan, bahwa orang-orang munafik senantiasa membolak-balikkan kebenaran. Mereka mengatasnamakan kebenaran untuk berbagai kepentingan yang ingin dicapainya. Orang-orang munafik selalu berkata bahwa mereka sedang mengadakan perbaikan, padahal justru berbuat sebaliknya.

Di ayat berikutnya, Allah menegaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang sesungguhnya berbuat kerusakan tapi mereka justru tidak menyadari perbuatannya. Artinya, kita bisa melihat bagaimana massa aksi 211 itu yang sering memutlakkan kebenaran, padahal sebenarnya mereka itulah yang selalu berbuat kerusakan.

Mereka tidak sadar terhadap segala sesuatu yang mereka lakukan, tugas kita adalah memberi penyadaran dengan berbagai upaya yang tentu berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Sebab, tak mungkin kita mampu mencerahkan orang lain, jika tanpa pengetahuan yang kita miliki.

Terkait 211, kita bisa buka Surat Al-Anbiya’ ayat pertama (QS 21:1). Secara leterlek, ayat tersebut berbunyi: “telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat itu diturunkan sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa hari kiamat segera datang. Manusia haruslah mempersiapkan momen besar itu seumur hidupnya. Seluruh aktivitas manusia, wajib hukumnya untuk senantiasa bersiap diri dalam menyambut hari kiamat.

Namun, masih banyak manusia yang lalai. Sebagian besar manusia dilalaikan karena hiruk-pikuk dunia. Mereka justru sibuk memperkeruh suasan di dunia sehingga lupa bahwa kiamat telah dekat. Maksiat, perkelahian, perdebatan yang berujung pada penegasian keimanan orang lain kerap terjadi.

Bahkan merasa diri lebih baik dari orang lain, dan menuding orang lain lebih rendah derajatnya merupakan kelalaian yang terjadi. Saya memahami bahwa massa aksi 211 itu sedang membela kebenarannya. Mereka menganggap, tauhid sedang dinista. Maka, mereka melakukan unjuk rasa.

Namun, mereka sungguh lalai. Pekik takbir dan kalimat-kalimat tauhid disuarakan tapi di hatinya terdapat kebencian yang menyeruak. Meneriakkan kalimat Allah tapi justru menghantam dan menghakimi orang-orang yang tidak sependapat dengannya. Sungguh, mereka lalai.

Selain itu, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pada sebuah acara di televisi mengutip Surat Al-Maidah ayat 8. Di ayat tersebut Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjadi penegak keadilan karena Allah. Semua yang dilakukan demi menegakkan haruslah bermuara pada kekuasaan Allah. Bukan karena kekuasaan manusia atau karena untuk menjatuhkan orang dan kelompok lain yang berseberangan.

Allah menginginkan agar orang-orang beriman menegakkan keadilan dengan memberikan kesaksian yang tidak merugikan orang atau kelompok lain. Kemudian Allah menegaskan bahwa agar jangan sampai rasa kebencian terhadap suatu kaum, mendorong nafsu atau syahwat untuk berlaku tidak adil. Jadi, ayat itu mengajarkan kepada umat Islam untuk konsekuen.

Maka, Allah mengidentikkan bahwa keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan. Di akhir ayat, kita seperti diajak untuk bertakwa kepada Allah karena Allah Mahateliti terhadap tindak-tanduk yang dikerjakan oleh manusia di muka bumi.

Saya berasumsi bahwa orang-orang yang sedang mengaku membela tauhid itu tidak adil sejak dalam hati dan pikiran. Mereka mengambil momentum untuk berkampanye memenangkan salah satu capres-cawapres. Yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Sampai-sampai salam tauhid yang harusnya hanya mengacungkan telunjuk, kini ditambah dengan acungan ibu jari.

Momentum itu dimanfaatkan dengan sangat massif, mengorganisir masyarakat akar rumput agar ikut serta dalam menyuarakan sesuatu yang mereka anggap benar. Mereka ingin menegakkan keadilan, tetapi di dalam hatinya hanya ada rasa kebencian yang justru membuat mereka tak bisa berbuat adil.

Maka berbuat adil-lah sejak dalam hati dan pikiran karena adil sangat dekat kaitannya dengan takwa. Siapa orang bertakwa itu? Dalam Surat Ali ‘Imran ayat 133-135, kepada orang-orang yang menyegerakan diri untuk memohon ampun kepada Allah maka sudah disediakan surga yang luasnya seluas bumi dan langit dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang bertakwa.

Sedangkan orang-orang bertakwa itu adalah mereka yang gemar menafkahkan hartanya, baik di saat sempit maupun di kala lapang. Kemudian, mereka yang senantiasa memberikan maaf kepada orang lain dan melupakan kesalahan-kesalahan orang lain.

Sesungguhnya itulah warisan besar Nabi Muhammad, selain Al-Qur’an dan Hadits, yakni akhlak. Innama bu’itstu li utammima makarimal-akhlak. Beliau tidak diutus ke muka bumi ini, selain untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Jadi jika ada sekelompok orang yang gemar membenci dan menuding kesalahan orang lain, bahkan menganggap diri paling benar sehingga seringkali menghujat keberbedaan pendapat, sehingga akhlaknya tidak sebagaimana yang dicontohkan nabi, maka meniru siapakah mereka?



Wallahua'lam...

Previous Post
Next Post

0 komentar: