Sumber gambar: tempo.co |
Perang Gus Dur melawan Presiden Soeharto dimulai pada awal
1990-an. Saat Soeharto mendukung berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), Gus Dur berada di barisan para penentang. Kemudian Gus Dur mendirikan
Forum Demokrasi.
Pada 1 Maret 1992, Gus Dur menggelar Rapat Akbar di Istora
Senayan Jakarta, dihadiri sekitar 2000 warga Nahdlatul Ulama (NU). Isinya ikrar
kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Dua sasaran sekaligus ingin dicapai
Gus Dur.
Pertama, menolak
untuk mendukung secara langsung pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden di
saat semua Partai Politik (Parpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
termasuk Muhammadiyah sudah melakukannya.
Kedua, memberi peringatan
bahaya terhadap eksistensi Pancasila dan UUD 1945 dengan munculnya Islam politik
yang diwakili oleh ICMI.
Sejak itulah, hubungan Gus Dur dan Presiden Soeharto terus
memburuk. Parahnya, hubungan tersebut kian memburuk saat muncul pernyataan Gus
Dur tentang kebodohan Soeharto di buku A Nation
in Waiting karya Adam Schwarz.
Ketika ditanya mengapa Soeharto mengabaikan peringatan Gus
Dur tentang ICMI, Gus Dur menjawab, “Ada dua alasan”. Kebodohan, dan karena
tidak mungkin membiarkan seseorang yang kuat berada di luar kontrolnya.
Kemudian, Presiden Soeharto pun terus berupaya menyingkirkan
Gus Dur dari NU. Momentum untuk menyingkirkan itu datang pada akhir 1994. Yakni
ketika NU akan menyelenggarakan Muktamar ke-30 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya,
Jawa Barat, pada 1-4 Desember 1994.
Upaya-upaya menyingkirkan Gus Dur gencar dilakukan.
Pada upacara pembukaan Muktamar, yang diperkenankan duduk di
depan bersama Soeharto dengan posisi menghadap hadirin hanya Rais ‘Aam KH Ilyas
Ruhiat, KH Munasir, dan Pak Harto sendiri. Sedangkan Gus Dur tidak
diperkenankan duduk di situ. Bahkan, Gus Dur tidak boleh duduk di barisan
pertama tamu undangan, tapi ia duduk di barisan kedua.
Usai pembukaan, Presiden Soeharto melakukan ramah-tamah dengan
para kiai dan pengurus PBNU di rumah Kiai Ilyas. Lagi-lagi, Gus Dur tidak boleh
masuk ke dalam rumah untuk ikut ramah-tamah. Ia hanya duduk menunggu di luar,
di teras rumah Kiai Ilyas.
Dalam arena Muktamar, Jenderal Hartono mencoba mendekati KH
Wahid Zaini untuk maju menantang Gus Dur. Tetapi dengan bijak, Kiai Wahid
menyatakan mau maju kalau KH Abdurrahmah Wahid menjadi Rais ‘Aam.
Walhasil, upaya Soeharto menyingkirkan Gus Dur dari NU pun
gagal. Gus Dur yang didukung para kiai terpilih kembali sebagai Ketua Umum
Tanfidziyah PBNU periode 1994-1999.
Namun, Pengurus Besar NU hasil Muktamar Cipasung itu tidak
diterima menghadap Soeharto. Padahal, Pengurus Pusat Muhammadiyah hasil
Muktamar Banda Aceh yang muktamarnya dilaksanakan belakangan pada 6-10 Juli 1995,
sudah lebih dulu diterima menghadap Soeharto.
Meski Presiden Soeharto terus berusaha menyingkirkannya, Gus Dur
dan para kiai NU lainnya tetap konsisten menjadi kekuatan kritis terhadap
pemerintah. Hingga pada akhirnya, Presiden Soeharto yang sangat kuat dan
ditakuti pun, kalah!
* * * * * * *
* *
Pada 2 November 1996, Soeharto datang dan membuka Musyawarah
Kerja Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah
(Perhimpunan Pondok Pesantren NU) disambut oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman
Wahid dan Ketua PP RMI KH Aziz Masyhuri.
Sebelum memasuki arena Mukernas RMI di Pesantren Zainul Hasan,
Genggong, Probolinggo itu, Soeharto merangkul Gus Dur dan menanyakan soal
kabar. Hal ini sebagaimana ditulis Kompas
terbitan 6 November 1996.
Melihat bahwa Soeharto sudah menyerah, Gus Dur dan para kiai
pun mulai membuka jalan untuk bisa membuka berbagai kondisi kemungkinan bagi
pergantian kepemimpinan nasional.
Awal tahun 1997, Gus Dur membawa putri sulung Presiden
Soeharto Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) berkeliling ke basis-basis NU. Dalam
setiap acara dengan warga NU itu, Gus Dur beberapa kali menyatakan, “Mbak Tutut
adalah pemimpin masa depan”.
Perlu diketahui bahwa ungkapan tersebut sebenarnya merupakan
bahasa politik khas kiai Jawa. Dengan berbicara seperti itu, sesungguhnya Gus
Dur hendak menyatakan kalau waktu kekuasaan Presiden Soeharto harus segera diakhiri
dan diganti dengan yang lebih muda.
Hal tersebut bukan karena Gus Dur membenci Soeharto, tetapi
lebih karena niat ingin melakukan proses transisi kepemimpinan secara damai.
Apakah Gus Dur mendukung Mbak Tutut? Tidak juga. Inilah kepiawaian dan
kecerdikan seorang Gus Dur.
Dengan mendukung Mbak Tutut, Gus Dur justru berusaha
mengakhiri kekuasaan Soeharto yang sudah lama bercokol.
Bukankah dengan mengatakan bahwa Mbak Tutut adalah pemimpin masa
depan, itu berarti para petinggi ABRI/TNI akan membangun barisan untuk
perlahan-lahan menarik dukungan terhadap Soeharto? Inilah kecerdikan Gus Dur.
Begitu besar pengaruh Gus Dur dalam perubahan politik Indonesia.
Bahkan, diberitakan oleh Kompas
edisi 28 Mei 1999, Soeharto pernah menwarkan kepada Gus Dur untuk
mendampinginya sebagai wakil presiden. Gus Dur dipilih karena dianggap memiliki
kemampuan politik tinggi.
Akan tetapi, permintaan itu ditolak, sehingga jabatan orang
kedua di Indonesia ini kemudian diserahkan kepada BJ Habibie.
(Tulisan ini disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri. Tulisan ini dibuat dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang).