Sumber gambar: arah.com |
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah seorang yang berasal dari keluarga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Republik Indonesia. Suatu garis keturunan yang tak dimiliki oleh tokoh Indonesia mana pun.
Kakeknya, KH Hasyim Asy'ari adalah kiai utama pendiri NU. Sementara ayahnya, KH Wahid Hasyim merupalan tokoh pendiri NKRI.
Tidak sekadar menjadi tokoh pendiri; Kiai Hasyim, Kiai Wahid, dan Gus Dur juga punya peran dan investasi besar terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pemikiran kakek, anak, dan cucu ini telah menjadi pengikat dan sekaligus dinamisator bangsa. Gus Dur, sebagai penerus, sangat konsisten menkaga NKRI dan Pancasila; dua tiang dan pengikat dasar bagi tegaknya Indonesia yang diwariskan oleh kakek dan ayahnya.
Salah satu sumbangan dan investasi politik Kiai Hasyim adalah fatwa keagamannya menyangkut eksistensi negara bangsa Indonesia.
Pertama, pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935. Di sana, Kiai Hasyim menjadi pelopor dalam mengeluarkan fatwa status tanah jajahan Hindia Belanda sebagai 'kawasan Islam' (Dar Islam), tetapi bukan negara Islam (Darul Islam).
Dar Islam adalah negara yang masyarakatnya diberi kebebasan untuk menjalankan syariat serta keyakinannya. Namun, negara dan penguasanya bukan Islam. Sedangkan Darul Islam itu negara Islam. Suatu negara yang berdasar hukum Islam dan dipimpin penguasa Islam.
Dalam buku NU dan Fiqih Kontekstual, KH A Muchit Muzadi menulis, motif utama dirumuskannya Hindia Belanda sebagai Dar Islam atau wilayah Islam adalah bahwa di wilayah ini, kalau ada jenazah yang ditemukan tanpa identitas yang jelas, maka harus diperlakukan sebagai muslim.
Dengan status Hindia Belanda sebagai Dar Islam, umat Islam wajib membela tanah air jika ada serangan militer dari luar. Meskipun penguasanya adalah nonmuslim (Belanda).
Kedua, pada pertemuan ulama dan konsul-konsul NU di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945, setelah melalui perdebatan panjang, Kiai Hasyim dan kiai-kiai NU memutuskan bahwa NKRI, yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, adalah sah secara fiqih.
Karena itu, umat Islam wajib membela kemerdekaan dan martabat bangsa jika ada serangan dari luar. Sikap demikian dikeluarkan sebagai respons atas mendaratnya pasukan Sekutu di Jakarta dan Surabaya. Kemudian fatwa tersebut dikenal dengan Resolusi Jihad NU.
Apa yang telah diputuskan KH Hasyim Asy'ari dan para ulama NU itu kemudian dijaga secara konsisten oleh Gus Dur beserta NU yang berada di bawah kepemimpinannya.
Pada Muktamar ke-27 di Situbondo, NU memutuskan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sah secara fiqih. Karena itulah, disebutkan bahwa NKRI dengan segala perangkat yang menjadi tonggak berdirinya sudah final. Tidak perlu lagi dipertentangkan antara Islam dan Pancasila, asas Islam dan asas Pancasila.
Kiai Wahid adalah tokoh yang berperan besar dalam mencari solusi kepentingan nasional. Ia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi sumber persoalan antara kalangan Islam dan masyarakat luas.
Dengan begitu, Kiai Wahid telah menemukan jalan keluar sehingga kebuntuan yang menyebabkan persoalan kebangsaan, bisa diakhiri.
Sedangkan Gus Dur adalah tokoh NU yang berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat. Hal itu dilakukan Gus Dur saat berkuasanya Soeharto sehingga negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat sangat (di)lemah(kan).
Gus Dur dengan pemikiran dan pengembangan berbagai macam gerakan kemasyarakatan yang telah dilakukan, berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara, dan pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya berbagai kekuatan sipil.
Gus Dur konsisten menjaga NKRI dan Pancasila. Kini, kita hanya tinggal meneruskan. Bagaimana?
(Tulisan ini disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka menuju Haul Gus Dur pada Desember mendatang)