Selasa, 11 Oktober 2016

Cinta dan Benci untuk Ahok



Ahok yang tempramental, yang angkuh, yang omongannya selalu asal, ternyata ganteng juga saat kepalanya ditutupi sorban. Kalau begitu, namanya diganti menjadi Basuki Nurul Qomar. Ah, lucunya.

Orang Indonesia kan senang dengan segala sesuatu yang berbau Arab, eh maksudnya Islami. Arab dan Islam itu satu kesatuan. Arab ya Islam. Islam ya Arab. Titik! Andai Pak Ahok mau didandani dengan pakaian ala Arab. Pasti banyak yang cinta. Percaya deh.

Tapi sayangnya agama bukan untuk dijual demi kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal kalau Ahok mau pindah agama, pasti banyak yang cinta. Atau mungkin juga, dia sedang memberi sinyal bahwa Indonesia ini harus dan tetap Bhinneka Tunggal Ika. Entahlah.

Ada tanggapan yang selalu berbeda untuk Ahok. Bahkan, Ahok dianggap sebagai pemecah belah umat. Puncaknya ketika dirinya menyinggung ayat. Tapi syukurnya, Ahok sudah minta maaf dengan segala penyesalannya.

Ahok dibenci dan dicinta. Banyak yang membencinya, mungkin karena bukan pribumi, cina, kafir, dan lain sebagainya. Namun tidak sedikit yang mencintanya, lantaran Ahok dianggap asik, tegas, apa adanya, dan seorang eksekutor andal.

Bagi orang-orang yang sudah kadung membenci Ahok, mereka tak perlu lagi melihat kinerja gubernur petahana itu, apapun yang dikerjakan pasti salah, wajib dikritik.

Sementara orang-orang yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ahok, segala sesuatu yang dilihat darinya tentu mengandung unsur kebaikan dan keindahan. 

Keduanya berada di batas pemisah antara benci dan cinta. Hampir berlebih tapi masih bisa terkendali. Mereka-mereka itulah yang hampir tidak bisa berpikir objektif mengenai Ahok.

Ada yang bilang, "Ibukota itu miniatur negara, harus bisa melambangkan Kebhinnekaan, jangan rasis mulu dong,"
Selain itu, ada juga yang mengatakan, "Ahok itu kafir harbiy, wajib diperangi, seluruh kebijakannya bertentangan dengan Islam. Darahnya sudah halal untuk dibunuh!"

Dalam tatanan negara, konstitusi sudah mengatur sedemikian rupa sebagai dasar berlangsungnya kehidupan. Sementara kitab suci agama-agama sebagai penunjang moralitas hidup berbangsa. 

Keduanya mendapat peran masing-masing, tidak bisa dipertentangkan, juga tidak bisa ditumpang-tindih. Antara kitab suci dan konstitusi harus berjalan seirama, agar harmoni kehidupan bisa dirasakan.

Membela dan mencintai Ahok mati-matian dengan mengatasnamakan konstitusi itu baik, karena konteksnya bukan pada ranah keagamaan. Ahok sebagai gubernur, bukan imam salat.

Sementara membenci dan memaki Ahok mati-matian juga tidak sepenuhnya salah. Primordialitas memang selalu ada di setiap lini kehidupan manusia, termasuk agama. Keinginan untuk memiliki pemimpin dari golongan sendiri, memang sering terjadi.

Menjadi sangat wajar ketika menginginkan Ahok yang berbeda itu untuk tidak menjadi seorang pemimpin. Sangat wajar. Namun, menjadi tidak wajar ketika kitab suci yang menjadi modal awal penunjang moralitas dibawa ke ranah politik untuk dijadikan alat kampanye. Dan itu pun masih wajar di Indonesia. Wajar. Sangat wajar.

Untungnya kita hidup di alam demokrasi. Di sini, kita bebas mencintai dan membenci. Kita masih diberi kebebasan untuk membela dan mencaci. Lalu pernahkah kita bayangkan kenikmatan alam demokrasi ini selalu saja digerogoti oleh segerombol orang gila?

Jadi, silakan anda membenci dan mencintai Ahok. Demokrasi memberikan ruang untuk itu. Selama tidak bermimpi menghilangkan demokrasi, menggantikan Pancasila dengan yang lainnya, dan sering khilaf-khilaf ah gak jelas, silakan nikmati hidup sehidup-hidupnya.



Wallahu A'lam...



Bekasi, 11 Oktober 2016


Aru Elgete

Senin, 10 Oktober 2016

Pilkada Ibukota; Intelektualisasi vs indoktrinasi


Sumber: id.finspi.com

Sejak pernyataan kontroversial gubernur petahana di Kepulauan Seribu itu, kini banyak orang pintar berseliweran. Pengamat dadakan pun hadir mengemuka. Tak mau kalah, ahli tafsir dadakan turut hadir mewarnai.

Ada dua ahli tafsir untuk saat ini; Pertama, menafsir pernyataan Ahok itu, tentu tafsir sekenanya saja, bahkan tafsir kebencian pun dilakukan, juga tafsir fanatisme tak kalah mengejutkan.

Kedua, ahli tafsir 'dadakan' mengenai Al-Maidah ayat 51. Semuanya berkata dan menafsirkan ayat tersebut, tanpa rujukan terpercaya, apalagi merujuk pada kitab kuning ala pesantren.

Pada akhirnya, Sosial Media hanya berisi sampah-sampah yang berkerumun, yang menyisakan kebencian dan merenggangkan persatuan, karena masing-masing orang merasa berhak atas kebenaran versinya.

Ada yang menyesalkan pernyataan Ahok, karena dirinya bukanlah orang yang memiliki kapasitas untuk menyampaikan terkait Al-Maidah ayat 51. Penyesalan itu berdampak pada kebencian yang akhirnya menjudge bahwa Ahok anti-Islam.

Ahok pun menjadi bulan-bulanan umat Islam, dan dirinya dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama. Banyak yang tidak suka, bahkan membencinya. Tapi banyak pula yang membela, bahkan mengagungkannya.

Tak sedikit yang mengatakan bahwa maksud Ahok bukanlah menghina Kitab Suci, tetapi melakukan satire/sarkasm kepada mereka yang gemar melakukan politisasi agama. Banyak ahli yang ikut bicara soal ini, semua berkerumun, riuh, menjadi gaduh.

Al-Maidah ayat 51 membohongi umat atau umat dibohongi dengan menggunakan Al-Maidah ayat 51? Mari dengan seksama kita perhatikan. Jangan langsung membenci, jangan juga menjadi buta dalam membela. Karena keduanya, berada pada takaran yang berlebihan.

Menurut saya, penafsiran terhadap suatu ayat sangat dinamis, tidak mutlak. Sebab yang mutlak dan tidak boleh diganti itu adalah redaksi ayatnya. Sementara penafsiran terhadap suatu ayat, bisa berbeda satu sama lain. Jadi, berhati-hatilah menggunakan ayat jika hanya membaca terjemahan. Sementara Alquran terjemahan bisa anda dapatkan di toko buku atau Gramedia terdekat.

Ahok memang tidak seharusnya melakukan atau menyatakan sesuatu yang kontroversi itu di depan publik. Ia seperti melawan SARA dengan SARA. Membalas kejahatan dengan kejahatan adalah kejahatan yang lebih tinggi. Sementara membalas kejahatan dengan kebaikan adalah perbuatan yang dilakukan oleh semua Nabi dan Rasul, termasuk Isa atau Yesus.

Begitu pula ketika umat Islam terpancing atas itu, yang kemudian melakukan ujaran kebencian yang lebih dahsyat lagi kepada Ahok dan setiap orang yang mendukungnya.  Hal tersebut merupakan perbuatan yang tentu bertentangan dengan perilaku Nabi Muhammad saw.

Karena itu, Pilkada Ibukota kali ini berlangsung sangat seru. Kita disuguhkan pertarungan sengit antara mereka yang berlindung di bawah ketiak indoktrinasi, dengan orang-orang yang membebaskan diri dan akalnya dari kebodohan dan pembodohan. Merekalah orang-orang yang melakukan proses intelektualisasi.

Indoktrinasi adalah sebuah proses pemberian pengetahuan dengan tanpa kritik dan cenderung melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja. Biasanya, indoktrinasi memutlakkan sesuatu sehingga tak satu pun yang berani meluncurkan kritik atau komentar.

Sementara intelektualisasi merupakan proses kemerdekaan diri serta pembebasan akal untuk berpikir sehat, sehingga menemukan kebenaran secara objektif. Mereka yang melakukan proses intelektualisasi, tidak pernah menutup diri atas kemungkinan adanya kebenaran yang ada pada orang lain.

Dengan kata lain, mereka selalu melihat sesuatu dari berbagai arah dan sudut pandang. Tidak memutlakkan kebenaran yang berada di lingkarannya, sehingga menganggap yang berbeda pasti keliru dan salah. Sebab hanya Tuhan pemegang kebenaran yang mutlak itu.

Kita pasti ingat cerita tentang beberapa orang buta dan seekor gajah. Mereka berkumpul, memegang dan meraba bagian tubuh gajah yang terdekat, kemudian mengemukakan hasil tangkap otaknya.

Masing-masing orang (buta) itu diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya mengenai gajah. Tentu berbeda. Mereka saling berdebat dan menganggap mutlak kebenarannya. Sampai akhirnya, salah satu dari mereka bersikap bijak dan menanggapi hal ini dengan santai.

Ia pun berkata, "Sudahlah jangan berdebat terus. Coba kita pikir, bagaimana kalau masing-masing pendapat kita ini punya kecenderungan atas kebenaran? Kemudian kita satukan setiap kebenaran itu. Barangkali kebenaran atas gajah adalah hasil penyatuan dari perbedaan pendapat kita ini, Ya?"

Namun, perilaku orang buta yang bijak itu sangat sulit ditemukan pada orang atau kelompok yang berada di bawah indoktrinasi. Hati mereka benar-benar tertutup dari kecenderungan pendapat orang atau kelompok lain atas kebenaran.

Sementara orang-orang yang melakukan proses intelektualisasi, yang dengan pengembaraannya terhadap sesuatu atas beberapa kebenaran yang kemungkinan benar, mereka selalu menganggap rendah orang atau kelompok yang terjebak dalam lingkaran indoktrinasi.

Dan mereka yang terbawa arus indoktrinasi akan selalu merasa terhina dan tersudutkan. Mereka akan mengumpat, mencaci, dan menganggap orang atau kelompok yang berbeda sudah melakukan perlawanan terhadap kebenaran.

Semuanya menjadi ruwet. Berubah seperti benang kusut, sulit menemukan ujung dan pangkal. Pertarungan indoktrinasi melawan intelektualisasi merupakan gambaran betapa bobroknya bangsa kita.

Masih belum mengerti bagaimana mencari kebenaran yang hakiki, yang empirik, yang benar-benar benar. Sebab kebenaran, apalagi kebenaran Tuhan, tidak hanya dapat ditemukan pada redaksi ayat (parahnya hanya membaca terjemahan).

Kita harus mengembara, menjelajah Kauniyah, membaca kondisi, dan melakukan penghayatan atas kehidupan untuk menemukan kesejatian dari kebenaran Tuhan. Karena kebenaran tidak datang dari umpatan, ujaran kebencian, dan ungkapan saling merendahkan.

Baik yang berada pada jerat indoktrinasi, maupun yang membebaskan diri pada proses intelektualisasi, haruslah saling merendahkan hati, jangan saling menghina dan merendahkan satu sama lain.

Kepada indoktrinasi, saya berpesan, kalau tidak berkenan atas kebenaran yang ada pada diri orang lain, janganlah mengemukakan kebenaran yang tanpa dasar dan referensi yang memadai.

Untuk intelektualisasi, saya berpesan agar terus melanjutkan pencarian kebenaran secara objektif, namun dengan tidak disertai rasa sombong dan angkuh atas pengetahuannya. Tetap rangkul siapa pun. Berteman dengan siapa saja. Karena kebenaran tercecer di mana saja.

Pertanyaan saya, sampai berapa lama kita saksikan pertarungan ini? Pertarungan atas kebenaran. Antara orang-orang yang melakukan proses intelektualisasi melawan indoktrinasi. Kita saksikan saja! Karena dengan kedua proses itu, Pilkada Ibukota akan berlangsung sangat meriah.




Wallahu A'lam




Bekasi, 10 Oktober 2016



Aru Elgete 

Jumat, 07 Oktober 2016

Dilarang Memilih Pemimpin Kafir!


Sumber: hidayatullah.com


Hiruk pikuk Pilkada Ibukota kian ramai. Media sosial dipenuhi dengan campaign para pendukung setia dari ketiga pasang Cagub-Cawagub; Ahok-Djarot, Agus-Sylviana, dan Anies-Sandi. Bukan hanya di Media Sosial, tetapi di rumah-rumah ibadah pun banyak disusupi pemahaman politik versi pemuka agama. 

Katanya, Muslim harus memilih pemimpin Muslim. Jangan memilih pemimpin kafir, karena itu adalah perintah Allah melalui firman-Nya. (Al-Maidah 51)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ… (٥٢)

Awliya' berarti wali; teman dekat, kekasih, dan orang yang dapat dipercaya. Karenanya, menjadi aneh ketika kata Awliya' dimaknai sebagai pemimpin yang biasa diasosiasikan ke dalam bahasa Arab dengan sebutan; Imam, Amir, Khalifah, Rais, dan lain sebagainya.

Dalam memilih teman dekat, kekasih, dan orang yang dapat dipercaya, kita harus selektif. Pilihlah seorang Muslim, yang memberi keselamatan dan kedamaian; yang mengajak pada keberprasahan diri atas ketentuan Allah. Bukan seorang kafir; yang menutup cahaya kebenaran dengan tipu muslihatnya, yang seolah membawa kebenaran tapi justru merusak persatuan.

Tetapi, jika Awliya' dimaknai sebagai pemimpin sebagaimana yang kita lihat di al-Quran terjemahan pada umumnya, bukan merupakan permasalahan yang menjadi perdebatan. Ini hanya masalah penafsiran, yang setiap manusia bisa menafsirkannya sesuai kadar intelektualitasnya.

Untuk memilih pemimpin dalam sebuah wilayah teritorial, saya juga sepakat untuk tidak menjadikan seorang kafir sebagai pemimpin. Sebab kafir adalah pendusta, yang mengaburkan kebenaran demi kepentingannya. Tidak seperti seorang Muslim yang memiliki kemampuan untuk membawa rakyatnya pada jalur kebenaran dan kesejahteraan.

Seorang Muslim pasti mempunyai visi atau tujuan yang solutif. Ia melihat bahwa sebuah kebenaran harus diperjuangkan demi menciptakan kemaslahatan. Sekalipun harus dengan menggusur rumah-rumah di bantaran sungai, ia memberikan solusi atas penggusuran itu; misalnya dengan merelokasi warganya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Seorang Muslim, yang patuh dan taat pada ketetapan, baik ketetapan Allah maupun ketetapan konstitusi, ia tidak akan tega melihat warganya menjadi penyakitan karena kumuh dan rusaknya lingkungan sekitar.

Karena esensi Muslim adalah membawa kebaikan walau dengan cacian dan makian atas kinerjanya. Musim yang baik dapat dilihat dari kinerjanya, bukan melihat pada sekat-sekat yang memisahkan diri dari kebaikan.

Islam adalah agama universal. Kasih sayang seorang Muslim meliputi seluruh komponen masyarakat. Ia tidak memandang status sosial sebagai pemisah diri dari orang lain. Seperti itulah gaya kepemimpinan Muslim. Ia memberikan solusi dari setiap permasalahan yang ada, karena kecintaannya yang menyeluruh.

Pemimpin Muslim harus melihat seluruh warganya sebagai satu kesatuan guna meningkatkan kualitas daerahnya. Karena dirinya tidak menutupi kebenaran yang ada. Tidak seperti kafir, demi memuluskan kepentingannya, ia rela mengaburkan kebenaran. Maka, memilih pemimpin kafir adalah HARAM!!!

Muslim adalah kata sifat, ukuran kemusliman seseorang bisa dilihat dari kinerja dan ketakwaannya. Takwa terhadap hukum Allah secara universal, yakni tidak menyekat kekuasaannya yang Mahaluas. Selain itu, juga takwa kepada konstitusi atau peraturan yang berlaku di daerahnya. Dia adalah seseorang yang pantas menjadi pemimpin.

Seorang pemimpin yang memiliki sifat kemusliman, ia takkan pernah mengkafirkan kebenaran, tidak menutup kebenaran atau rela berdusta demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ia juga tidak mengatasnamakan kebenaran guna mencapai target kekuasaan.

Pemimpin Muslim nampak pada perilaku yang mampu membebaskan rakyatnya dari jerat kemiskinan, dari belenggu keterpurukan, dan dari ikatan korupsi yang merajalela. Dirinya tidak akan rela membiarkan rakyatnya berkonflik, berkubu-kubu, dan bahkan saling membenci satu sama lain.

Kesimpulannya, marilah kita universalkan makna kafir dan Muslim, serta tidak membatasi kekuasaan Allah yang Mahaluas. Muslim adalah sebutan bagi seseorang yang patuh, taat, baik taat kepada Allah maupun kepada konstitusi yang berlaku.

Taat kepada Allah yakni mengimplemetasikan nilai yang universal. Membahasakan cinta dan kasih sayang kepada sesama dan semesta demi mempersatukan, bukan memisahkan atau bahkan merenggangkan persaudaraan.

Taat kepada konstitusi berarti tidak korupsi, tidak menyengsarakan rakyat di tengah pesakitan yang mendera, membela bangsa dan negeri tempat Pertiwi bernaung. Mempertahankan keutuhan persatuan demi menegakkan keadilan yang merata.

Sementara seseorang yang bersifat kafir, tidak mungkin melakukan itu. Ia menutup kebenaran, membiarkan rakyat dalam jerat kemiskinan, belenggu kemiskinan, dan ikatan korupsi yang menyengsarakan.

Siapa pun bisa menjadi kafir atau muslim. Karena kita menguniversalkan makna itu. Barangsiapa yang menutup kebenaran demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka kafirlah ia. Dan barangsiapa yang mengajak pada ketaatan, kepatuhan, keberprasahan diri pada ketetapan yang berlaku, yang mengajak pada persatuan dan persaudaraan, maka muslimlah ia.

Atas dasar pemikiran itu, maka sesungguhnya kita DILARANG MEMILIH PEMIMPIN KAFIR!!!




Wallahu A'lam.



Taman Ismail Marzuki, 7 Oktober 2016.


Aru Elgete

Kamis, 06 Oktober 2016

SAJAK KEABADIAN UNTUK KEKASIH



Pada tiap rintik hujan sore itu
yang basahi lembar-lembar daun di taman
gerutu kalbu selalu berseru
berdecak pun mendendang biru
berharap satu; rekat, dekap, pengap

lalu melangkah rebah di bawah kemerlip lampu kota
menyusuri riuh suasana malam suka
kanan-kiri muda-mudi nikmati gigil
saling dekap, rekat, pengap
sementara diri tetap tak henti melangkah rebah

sebab bukan itu yang tertuju
aku tetap tak perduli siapa
tak memperhatikan apa
aku melenggang
tetap melangkah rebah
menyisir tiap jengkal kesunyian

sadarku,
tak perlu berharap selalu
untuk satu; rekat, dekap, pengap
karena pada tiap-tiap sunyi
aku menemukan satu itu
aku mendekap
begitu rekat
hingga pengap


Kunikmati segala romansa indah
untuk menjadikan sunyi sebagai pelita
atas kepekatan yang mendera
yang selama ini antah-berantah sudah

Kekasih,
bahwa pada sunyi kita mendekap
rekat
pengap
menjadi satu tak berjarak
rebah langkah padamu
engkaulah titik tuju itu
Satu

Lantas di setiap sepertiga malam
awal
tengah
atau bahkan akhir
namamu memanggil-manggil lagi
dan kusebut namamu berulang-kali
isyarat kerinduan yang rawan harapan
kita satu; rekat, dekap, pengap

Dan saat rintik hujan sore itu kembali datang
kita tak perlu lagi mencari
sebab kita satu
menjadi bukan kau dan aku; kita
lebur 

Untuk aku dan dirimu, kini
sudah tak menunggu rintik hujan membasahi
kita sudah satu
di setiap waktu
menjadi abadi
bahkan kita menikam waktu
agar mati pasti
dan kita berada dalam abadi
tanpa resah dikejar dan menunggu waktu; untuk satu.




Bekasi, 6 Oktober 2016


Aru Elgete

Rabu, 05 Oktober 2016

Islam dan Restorasi Pancasila untuk Ibu Pertiwi


Sumber: pusakaindonesia.org

Siang tadi (4/10) saya berkesempatan hadir dalam Seminar dan launching buku karya Dr. Nandang Najmulmunir, Rektor Universitas Islam "45" Bekasi; Islam dan Restorasi Pancasila.

Sebuah karya tulis yang berawal dari kegelisahan atas kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan; konflik sektarian dimana-mana, ujaran kebencian semakin merajalela, perilaku kelompok Islam (Hizbut Tahrir Indonesia) yang ingin mengganti Pancasila dengan Kekhilafan Islam, dan lain sebagainya.

Karya sederhananya itu adalah sebagai bentuk perlawanan dan pertahanan agar Pancasila tetap bertahan. Dalam bukunya, beliau berhasil menemukan titik temu antara Islam dan Pancasila.

Buku Islam dan Restorasi Pancasila adalah antitesis dari gerakan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut beliau, lahirnya Pancasila merupakan hasil dari perjuangan Ulama dan Santri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila. Islam sebagai penunjang moralitas kepribadian bangsa, sementara Pancasila adalah pedoman hidup bernegara. Keduanya saling berkait, saling melengkapi satu sama lain.

Jauh sebelum kita mengenal istilah Pancasila, masyarakat Indonesia sudah mengamalkannya; gotong royong, toleran, welas asih, moderat, dan lain sebagainya.

Karenanya, tidak heran kalau gagasan mengenai Pancasila berasal dari Piagam Madinah yang oleh Rasulullah saw. dijadikan sebagai dasar untuk keberlangsungan negara madani (berkeadaban), yakni Madinah Al-Munawwarah.

Sebuah negara yang didesain oleh Rasulullah saw. sebagai pusat peradaban ketika itu. Bahkan tak jarang yang menyebut bahwa Madinah Al-Munawwarah pada masa kepemimpinan Rasulullah ketika itu sudah melampaui zamannya.

Kota (negara) yang bersinar, yang memancarkan sinar peradaban, yang mampu mencerahkan kegelapan, yang menjadikan persatuan sebagai sebuah kebanggaan, menjamin keselamatan dan kesejahteraan bersama.

Tidak ada lagi pengkotak-kotakan agama, suku, dan keturunan setelah tercetusnya Piagam Madinah sebagai pedoman hidup. Sikap gotong royong, tepa slira, toleran, dan kekeluargaan menjadi cerminan dari negara yang dibangun atas keberadaban itu.

Sosok kepemimpinan Rasulullah yang mampu menciptakan keamanan karena rekatnya persatuan itu berdasarkan pada prinsip Ketuhanan bukan atas dasar kekuasaan.

Madinah bukan sebuah negara (kota) yang dibangun atas dasar kekuasaan politik (Islam), tetapi karena Rasulullah sebagai pemimpin memandang bahwa Pluralitas adalah sebuah keniscayaan.

Maka, dengan kasih sayang yang dimilikinya, terbentuklah sebuah negara yang memandang bahwa kemanusiaan adalah satu kesatuan.

Ketika itu, beliau saw. tidak menyebut 'mayoritas dan minoritas' sebagai penggambaran kuantitatif bagi warganya. Semua untuk satu, satu untuk semua. Siapa pun yang tercatat sebagai warga, wajib membela dan mempertahankan keutuhan negara; sebab Madinah adalah milik seluruh warga negara.

Seperti itulah keteladanan yang bisa dipetik dari perjalanan Rasulullah mendirikan sebuah negara dengan dasar ketuhanan, bukan kekuasaan. 

Karena ketuhanan akan melahirkan rasa kemanusiaan dan persatuan, sehingga tercipta keadilan yang merata. Sementara kekuasaan hanya dapat membuat perpecahan, menciptakan rasa kebinatangan dan kesetanan.

Maka sudah jelas, bahwa yang diperjuangkan oleh HTI bukan murni karena ingin menegakkan Islam, tetapi karena politik kekuasaan yang berpotensi merusak pondasi bangsa. 

Mereka tidak sedang bergerak pada koridor Ketuhanan yang dicontohkan Rasulullah, tetapi disebabkan oleh prinsip kesetanan dan kebinatangan karena agenda politik kekuasaannya.

HTI selalu mengkritik kinerja pemerintah, sampai-sampai tidak ada satu pun kebaikan yang dapat diapresiasi. Mengatasnamakan kepentingan dan kebaikan untuk negara, namun kenyatannya solusi yang ditawarkan  adalah menegakkan Islam sebagai penguasa politik di negeri ini dan bahkan dunia.

Padahal fungsi Islam sebagai penunjang moralitas, bukan menjadi dasar negara. Pancasila dan Islam tidak bisa dipertentangkan, karena keduanya telah mengalami proses yang panjang sejak zaman kepemimpinan Rasulullah di Madinah.

Memberi kritik sebagai penilaian kepada pemerintah adalah hak warga negara, siapa pun berhak melakukannya di alam demokrasi yang menjadi wadah bagi HTI menyalurkan aspirasi. Tetapi lucunya, organisasi politik trans-nasional itu justru menolak konsep demokrasi. Sungguh ironi benalu negeri yang satu itu.

Nah, untuk melawan gerakan HTI yang akan merusak keutuhan NKRI, serta upaya kita untuk melakukan perbaikan bagi negeri, Islam dan Restorasi Pancasila memiliki solusi alternatif yang sangat baik.

Artinya, Islam ditegakkan bukan pada tataran kekuasaan dan kekuatan, tetapi untuk membangun kemuliaan bagi negeri. Islam sebagai tatanilai memuat konsep universalitas moral serta akhlak.

Sementara merestorasi atau memulihkan nilai Pancasila dengan merenungi keberadaan muasalnya, harus berjalan bersamaan dengan Islam sebagai universalitas moral dan akhlak.

Di satu sisi Islam berperan mengangkat kemuliaan individu, sementara restorasi Pancasila memiliki peran untuk memunculkan kembali semangat kebangsaan yang bermuara pada sifat Ketuhanan.

Membenahi tubuh Ibu Pertiwi yang kini mulai renta dan sakit-sakitan, tidak bisa semena-mena, tidak bisa main pukul, apalagi membenci dan memusuhinya.

Ia harus tetap dirawat dengan kesantunan, dengan menjaga kemuliaannya, tanpa harus membuat tubuhnya semakin tak berdaya dan bahkan mati.

Sebagai anak kandung Ibu Pertiwi yang lahir dari rahim khatulistiwa, kita berkewajiban untuk melindunginya dari segala macam petaka yang datang dari luar dan dalam.

"Nak, ibumu sudah tua, tolong dijaga dengan kelembutan, jangan kau lemahkan diriku dengan amarah yang menakutkan, aku sudah tua," rintih Ibu Pertiwi di sepertiga malam.




Wallahu A'lam



Bekasi, 5 Oktober 2016


Aru Elgete 

Selasa, 04 Oktober 2016

Bahaya Laten Kufur Intelektual


Sumber: matabaraja.com

Berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain, manusia merupakan ciptaan-Nya yang sangat sempurna. Diberinya akal, nafsu, dan nurani, sebagai sarana untuk meningkatkan keberdayaan diri pada sesama, serta untuk memfungsikan kepribadian agar tidak terjerembab pada lembah kekufuran.

Akal difungsikan untuk berpikir, nafsu sebagai eksekutor, dan nurani menjadi pendeteksi kepekaan diri pada batas kebaikan dan keburukan. Kemuliaan hidup akan sangat terasa saat ketiga perangkat itu difungsikan sesuai kegunaannya. Karena jika tidak, kubang kekufuran akan terlihat jelas pada diri.

KUFUR INTELEKTUAL TERJADI KETIKA PENGGUNAAN AKAL TAK BERBANDING LURUS DENGAN KADAR KEPEKAAN NURANI DAN PERAN NAFSU DALAM MENGEKSEKUSI.

Manusia tidak mungkin selamanya hanya mengandalkan akal untuk kehidupan, juga mustahil selalu mengutamakan nafsu dalam kerja keseharian, begitu juga nurani. Ketiganya mesti berseiring, melakukan polarisasi yang teratur dan terukur. Kalau salah satu dari ketiga itu sengaja tidak difungsikan, kufurlah intelektualitas kita.

Maka disini perlu adanya perenungan diri, melakukan introspeksi, dan melakukan kritik ke dalam untuk menghancurkan kejumudan yang berkerak, kebekuan yang tak kunjung mencair, serta agar luwes dalam berpikir dan berperilaku. Implikasinya akan terlihat dari fungsi kehidupan yang akan atau sedang dijalani. Kufur Intelektual dapat dicegah atau ditangani dengan pengakuan atas kesalahan dan kekurangan diri.

Kufur Intelektual berarti sengaja mendustakan atau mengingkari segala proses yang menjadikan kadar kualitas akal, nafsu, dan nurani menjadi buruk karena tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Biasanya kekufuran pada intelektualitas kita terjadi karena dominasi akal dan nafsu, sehingga tidak mengikutsertakan nurani.

Akal yang berpikir kritis, bergerilya pada pemikiran-pemikiran yang tajam, menciptakan konsep teranyar untuk solusi pembaruan dan pembangunan, dibarengi dengan eksekusi yang dilakukan oleh nafsu, akan menjadi sangat tidak berguna ketika nurani tidak berperan sebagai tokoh utama.

Merasa terancam atas perbedaan pilihan merupakan salah satu hal yang mengantarkan kita pada kekufuran intelektual. Karena perbedaan adalah niscaya sementara kita tak mampu menerimanya sebagai anugerah, adalah penanda bahwa nurani sudah terkikis habis dalam diri.

Membuat lingkaran feodalisme (dengan gaya dan kemasan baru), 'mencocok hidung' orang-orang yang ada disekitar, menggiringnya seperti bebek atau domba, dan mengindoktrinasi pemikiran agar selalu seragam, menjadi tolok ukur bagi peradaban seseorang atau kelompok.

Supaya tidak mengalami kekufuran intelektual yang berujung pada kedangkalan sikap, serta menjadikan hidup tidak harmoni, diperlukan sebuah rasa untuk selalu menerima keadaan.

Karena ketika Kufur Intelektual sudah merekat pada diri, kita tak dapat lagi menebar keselamatan kepada orang lain. Kita akan senantiasa menganggap diri paling benar, paling superior diantara manusia yang hidup dalam lingkaran terdekat kita.

HATI-HATI, BAHAYA LATEN KUFUR INTELEKTUAL!!!



Wallahu A'lam



Bekasi, 4 Oktober 2016


Aru Elgete

Senin, 03 Oktober 2016

Merdeka 100% dan Kufur Intelektual


Sumber: tes.com

"Apa yang dimaksudkan dengan merdeka 100%? Buat saya merdeka itu merdeka tak ada batasnya," kata si Toge dalam percakapannya di Merdeka 100% karya Tan Malaka.

Berbicara soal konsep merdeka, saya rasa tak cukup satu malam untuk menjadikannya bahan bahasan. Namun, betul kata si Toge pada permulaan dialognya dengan si Godam dan si Pacul, bahwa merdeka itu tanpa batas. Ketiganya membahas tentang kemerdekaan yang hakiki, kesejatian arti kebebasan dan pembebasan dari ketertindasan yang ketika itu sedang melanda tanah Pertiwi. Permainan setting dan suasana yang dilakukan Tan Malaka memang sangat ciamik. Ia menulis berdasar pada keresahan yang dialami.

Bapak Bangsa dari tanah Minang itu, selalu dikenang sepanjang masa. Ia pencetus kata "Merdeka 100%" yang multitafsir, yang tidak absolut atau bersifat relatif. Setiap individu bebas memberi makna pada kemerdekaan. Karena Tan Malaka, di dalam bukunya itu, hanya memperjelas fungsi kemerdekaan yang sempurna pada konteks kebangsaan dan kenegaraan. Sementara, merdeka 100% tidak bermakna tunggal.

Merdeka adalah sesuatu dimana individu merasa sudah terlepas dari jerat keterikatan. Ia menjadi bebas, tak lagi tersandera oleh kekuasaan jahat yang membelenggu. Kemerdekaan hanya bisa diraih melalui perjuangan dan proses ketertindasan yang dirasakan setiap insan. Namun, apakah merdeka 100% dapat benar-benar kita rasakan? Sebelum membahas arti kemerdekaan bagi negara-bangsa, mari kita lihat ke dalam, benarkah diri kita sudah merdeka? Sudahkah kita berdaulat? Berapa kadar kemerdekaan yang ada pada diri?

Menurut hemat saya, merdeka berarti tidak melakukan upaya penggiringan pemikiran kepada orang lain. Sebab bagi siapa pun yang ingin merdeka, ia harus mampu memerdekakan lingkungan sekitar terlebih dahulu. Merdeka 100% bisa diartikan bahwa tidak ada lagi keterikatan dan pembelengguan pemikiran dari orang lain. Kita bebas berpikir tanpa merasa takut salah. Karena tujuan kemerdekaan berpikir adalah untuk meminimalisir kekufuran intelektual dan kesesatan pengetahuan.

Artinya, tidak ada yang melakukan (subjek) indoktrinasi kepada yang dilakukan (objek). Sementara indoktrinasi bermakna tendensi pada pemikiran sendiri maupun kelompok, dan tidak menerima hasil pemikiran atau kebenaran dari orang atau kelompok lain. Merdeka berarti terbebas dari upaya indoktrinasi yang berlebihan. Bebas menentukan pilihan hidup. Tidak menjadi bebek yang mudah digiring, atau seperti sapi yang dicocok hidungnya, sehingga harus nurut perintah majikan.

Saya beranggapan bahwa perilaku indoktrinasi adalah mereka yang takut merdeka, mereka yang tetap ingin menjajah dan dijajah, bahkan seperti melestarikan feodalisme (dengan kemasan yang baru). Mereka yang merasa paling benar dan menganggap yang lain salah, bahkan menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman yang menakutkan, juga mereka yang melihat orang lain tidak memiliki wawasan pengetahuan yang memadai; secara kualitas dianggap lebih rendah dari mereka. Padahal, esensi merdeka bukan itu.

TUGAS KITA SEKARANG ADALAH MEMERDEKAKAN ORANG-ORANG YANG MENJAJAH DAN DIJAJAH, MEMERDEKAKAN MEREKA DARI FEODALISME GAYA BARU, SERTA MEMERDEKAKAN MEREKA YANG MERASA SUPERIOR. JANGAN MENGANCAM PERBEDAAN DAN MERASA TERANCAM KARENA PERBEDAAN. MERDEKALAH DENGAN SEMPURNA!!!

Indoktrinasi yang dilakukan secara berlebihan akan menjadikan seseorang, baik si objek maupun subjek, seperti memakai kacamata kuda. Ia akan berjalan lurus. Tidak perduli pada kemungkinan sebuah kebenaran yang ada di sekitar. Sesungguhnya hal tersebut adalah kebodohan dan pembodohan atas kemerdekaan itu sendiri. Kita tak perlu meneriakkan kesejatian kemerdekaan kalau masih tertindas oleh perintah syahwat, oleh nafsu perut dan kelamin, juga amarah yang meledak-ledak.

Bagaimana mungkin kemerdekaan tercipta kalau masih terbelenggu oleh syahwat, nafsu perut dan kelamin, serta amarah yang meledak-ledak? Ketika datang kewajiban, kita enggan menaati. Kita selalu terjebak oleh perbuatan keji dan munkar, bahkan bangga saat melakukannya. Kita lebih mementingkan perut dan kelamin daripada urgensi kemerdekaan itu sendiri. Kita selalu marah dan meluapkan emosi saat kerabat terdekat tak lagi sejalan pemikirannya. Apa itu yang namanya merdeka? Atau, apakah menurutmu merdeka 100% itu berarti bebas melakukan apa saja tanpa ada batas? Kalau seperti itu, tentu berbeda dengan kemerdekaan ala Si Toge.

Dalam sebuah majelis, Pak Kiai melempar pertanyaan kepada seluruh santri yang ada di depannya:
"Kalian tahu, bagaimana derajat orang yang hanya mementingkan perut dan kelaminnya saja?"
Santri-santri terdiam penuh tanda tanya.
"Derajat mereka tidak jauh berbeda dengan sesuatu yang dikeluarkan dari perut dan kelaminnya," lanjut Pak Kiai yang membuat seluruh santrinya tercengang dan kemudian merenung.

Kemerdekaan itu mampu menempatkan derajat diri di atas segalanya. Ia mengatakan kebenaran dan melakukannya. Ia tidak munafik. Teriak hentikan korupsi kemudian tidak melakukan korupsi. Teriak berantas narkoba juga tidak memakai dan mengedarkannya. Ia tidak menjadi munafik. Tidak menjadikan kekufuran intelektual di dalam hati dan pikirannya penuh sesak. Ia bangga atas prestasi, bangga terhadap kebenaran yang dijunjung, setinggi derajat yang diangkatnya. Ia berbicara keadilan kemudian berbuat adil sejak dalam pikiran. Tidak merasa tertindas dengan keadaan sedang menindas. Seperti itulah kemerdekaan yang sejati.

Merdeka bukanlah hal yang tabu untuk diperjuangkan. Berjuang demi kemerdekaan diri memang harus terus dilakukan, tidak boleh menyerah dan putus asa. Berani berbuat benar, mengakui kesalahan, tidak munafik, berprestasi, menjadi abdi masyarakat, serta tidak semena-mena atas kekuatan dan kekuasaan yang berada dalam genggaman. Melebur pada keteraniayaan dan ketertindasan untuk merasakan kepedihan bersama yang kemudian menciptakan solusi bagi perubahan. Itulah merdeka 100%.

Karena ketika kita tidak mampu memerdekakan diri dengan sempurna, maka kekufuran intelektual akan segera dirasakan. Saat pemikiran dibelenggu oleh pembatasan-pembatasan yang terbuat dari dinding beton, kau tidak akan mampu menghancurkannya kecuali berjuang untuk keluar dari pemenjaraan pikiran. Kita harus bebas berpikir, berbeda pun tak masalah, tak perlu mengancam dan merasa terancam, sebab berbeda adalah niscaya.



Wallahu A'lam





 Bekasi, 3 Oktober 2016.



Aru Elgete

Sabtu, 01 Oktober 2016

Meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah (3)

Sumber: santri-sarung.blogspot.com

Hari ini, 1 Oktober 2016, merupakan momentum dimana persatuan dan persaudaraan harus tetap lestari. Kita memperingati dua hari besar, yakni Kesaktian Pancasila dan Tahun Baru Islam (1 Muharram 1438). Keduanya mengingatkan kita terhadap pentingnya menjaga persaudaraan. Karena sesungguhnya keutuhan bangsa dan agama ada dalam genggaman orang-orang yang mencintai persaudaraan.

Di dalam Pancasila terdapat banyak nilai-nilai keislaman, pun sebaliknya. Pancasila adalah Ideologi yang menjadi alternatif, yang tidak ke barat dan timur, ia menjadi titik tengah di antara Liberalisme dan Komunisme, juga menjadi dasar berdirinya negara yang bukan teokratik dan sekuler. Pancasila mencintai manusia sebagai manusia, mengeratkan persaudaraan tanpa melihat latar belakang. Bahkan yang tidak menyukai Pancasila sekalipun, akan dicintai dengan ketulusan dan kelembutannya. Itulah Pancasila.

Sementara nilai-nilai keislaman, yang menjadi langkah awal untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah, juga menjunjung tinggi sikap moderatisme. Yakni paham yang tidak condong ke kanan dan ke kiri, yang mendidik kita agar menjadi ummatan wasath, laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah, yang kalau hal itu diterapkan dalam keseharian, maka kita akan menjadi khairu ummah yang peduli dan peka terhadap keniscayaan Ukhuwah Islamiyyah.

Maka, tidak ada lagi pertentangan di antara keduanya. Seorang Pancasilais jika sudah memahami makna dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, tidak akan menjadi seorang yang anti-agama. Begitu pun, seorang Islamis. Ketika sudah mendalami Islam dengan tidak setengah-setengah, maka ia tidak akan memusuhi Pancasila, karena di dalam Islam tidak mengajarkan untuk antipati kepada apa dan siapa pun.

Islam sebagai tatanilai, sudah sangat sesuai dengan Pancasila. Islam mengajarkan ketaatan, kepasrahan, kepatuhan, kasih sayang, cinta, kedamaian, kesejahteraan, kemanusiaan, dan ketenteraman. Lalu, apa yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila? Kalau ternyata Pancasila belum mampu menerapkan nilai di keseharian manusia Indonesia, jangan lantas mengubahnya menjadi Islam sebagai dasar negara.

Biar Islam tetap menjadi Islam, Pancasila tetap sebagai Pancasila. Jangan dicampuradukkan, jangan pula dipertentangkan, apalagi menjadikan keduanya sebagai opsi untuk dipilih salah satu diantaranya. Keduanya harus berseiring, berdampingan, berjalan pada koridornya masing-masing, namun keduanya memiliki peran yang sama. Islam menjadi pendongkrak moral bagi setiap individu warga negara, sementara Pancasila menjadi dasar moralitas kenegaraan kita.


Di Tahun Baru ini, yang berdekatan atau bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, mari kita melakukan hijrah. Berpindah dari keburukan menuju kebaikan, bergerak dari pembodohan pada pencerdasan, berjuang untuk memusnahkan permusuhan menuju pada persatuan dan persaudaraan.

Atas dasar pemikiran di atas, saya berasumsi bahwa Indonesia dan Islam tidak akan pernah menciptakan kebaikan, kecerdasan dan pencerdasan, serta persatuan dan persaudaraan, kalau masih mempertentangkan kedua dasar itu. Islam dan Pancasila adalah faktor pendukung demi terciptanya Ukhuwah Islamiyyah, yakni persaudaraan yang bernapaskan nilai, pola, dan prinsip keislaman. Persatuan antar manusia. Persatuan dan persaudaraan secara universal, yang disatukan serta dipersaudarakan karena, oleh, dan untuk cinta.

*****


"Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah, serta janganlah kamu sekalian berpecah-belah," QS. Ali Imron 103.


Alquran sebagai pedoman serta petunjuk bagi seluruh umat manusia di muka bumi, banyak memberikan pesan damai tentang urgensitas persatuan dan larangan bermusuhan. Untuk memaknai buku panduan umat manusia ini, hendaknya secara universal dan komprehensif, tidak parsial atau pun setengah-setengah karena hanya terpaku pada teks. 

Ketika memaknai teks Alquran, terlebih ketika hanya melihat dan membaca terjemahan karena keterbatasan ilmu, maka yang dibutuhkan adalah sikap rendah hati, tidak menganggap bahwa pemaknaannya terhadap teks merupakan kebenaran yang sesuai dengan maksud dan kebenaran berada pada Allah.

Hablun (dalam bahasa Arab) atau Cable (dalam Bahasa Inggris), memiliki pemaknaan yang artinya tali, atau sesuatu yang sifatnya menghubungkan. Berpegang kepada tali Allah dalam QS. Ali Imron 103, berarti menjaga konsistensi untuk tetap melakukan atau menciptakan sesuatu yang ada pertaliannya dengan Allah.

Allah adalah Tuhan untuk keseluruhan. Dia bukan pilihan diantara pilihan-pilihan yang lain. Dia tidak menjadi salah satu di antara dua pilihan. Dia tidak beragama. Kekuasan-Nya tidak tersekat oleh apa pun. Dengan berpegang pada sesuatu yang selalu menghubungkan kita pada universalitas nilai keislaman dan keilahian, maka persaudaraan tercipta, sementara keterpecahan tidak mungkin terjadi.

Allah hanya sebuah nama bagi Dzat Yang Kuasanya tak terhingga. Dia tidak beragama. Tetapi di setiap agama pasti memiliki nama tersendiri untuk menyebut diri-Nya. Di setiap agama juga pasti terdapat sebuah keyakinan dimana ada satu Dzat yang tak kasat mata, namun diyakini memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa. Itulah yang oleh orang Islam dan orang Arab disebut dengan nama Allah.

Seluruh kebaikan, muaranya adalah Allah. Berbuat baik pada sesama tanpa menyekat, merupakan pertalian yang berujung pada sifat Keilahian. Untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah atau persaudaraan antarmanusia dengan prinsip, pola, dan nilai keislaman yang damai, tenteram, selamat, dan lain sebagainya, maka kita harus tetap konsisten berpegang pada tali Allah; tali kebenaran, tali kesucian, tali kejujuran, dan tali keindahan.

Sementara kebenaran, kesucian, kejujuran, dan keindahan, takkan bisa dikalahkan oleh keserakahan, kemunafikan, kebodohan, kejumudan, kekakuan, dan kebekuan. Berpegang dengan tali Allah berarti berani berbuat jujur, berlaku benar, sehingga keindahan dapat terlihat demi mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah.

Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1438. Selamat memperingati Kesaktian Pancasila. Selamat meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah. Semoga kita dapat berhijrah, demi mempertahankan kesucian dan kebenaran yang terdapat dalam kandungan Pancasila.

Dengan itu, persaudaraan yang tanpa sekat, persatuan yang dengan mengedepankan universalitas cinta, kerekatan yang tanpa memandang latar belakang orang lain, yang mengutamakan nilai-nilai luhur Pancasila dan Keislaman dapat terwujud serta menjadi kegembiraan bagi seluruh umat manusia.

-TAMAT-



Wallahu A'lam





Bekasi, 1 Oktober 2016



Aru Elgete