Jumat, 07 Oktober 2016

Dilarang Memilih Pemimpin Kafir!


Sumber: hidayatullah.com


Hiruk pikuk Pilkada Ibukota kian ramai. Media sosial dipenuhi dengan campaign para pendukung setia dari ketiga pasang Cagub-Cawagub; Ahok-Djarot, Agus-Sylviana, dan Anies-Sandi. Bukan hanya di Media Sosial, tetapi di rumah-rumah ibadah pun banyak disusupi pemahaman politik versi pemuka agama. 

Katanya, Muslim harus memilih pemimpin Muslim. Jangan memilih pemimpin kafir, karena itu adalah perintah Allah melalui firman-Nya. (Al-Maidah 51)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ… (٥٢)

Awliya' berarti wali; teman dekat, kekasih, dan orang yang dapat dipercaya. Karenanya, menjadi aneh ketika kata Awliya' dimaknai sebagai pemimpin yang biasa diasosiasikan ke dalam bahasa Arab dengan sebutan; Imam, Amir, Khalifah, Rais, dan lain sebagainya.

Dalam memilih teman dekat, kekasih, dan orang yang dapat dipercaya, kita harus selektif. Pilihlah seorang Muslim, yang memberi keselamatan dan kedamaian; yang mengajak pada keberprasahan diri atas ketentuan Allah. Bukan seorang kafir; yang menutup cahaya kebenaran dengan tipu muslihatnya, yang seolah membawa kebenaran tapi justru merusak persatuan.

Tetapi, jika Awliya' dimaknai sebagai pemimpin sebagaimana yang kita lihat di al-Quran terjemahan pada umumnya, bukan merupakan permasalahan yang menjadi perdebatan. Ini hanya masalah penafsiran, yang setiap manusia bisa menafsirkannya sesuai kadar intelektualitasnya.

Untuk memilih pemimpin dalam sebuah wilayah teritorial, saya juga sepakat untuk tidak menjadikan seorang kafir sebagai pemimpin. Sebab kafir adalah pendusta, yang mengaburkan kebenaran demi kepentingannya. Tidak seperti seorang Muslim yang memiliki kemampuan untuk membawa rakyatnya pada jalur kebenaran dan kesejahteraan.

Seorang Muslim pasti mempunyai visi atau tujuan yang solutif. Ia melihat bahwa sebuah kebenaran harus diperjuangkan demi menciptakan kemaslahatan. Sekalipun harus dengan menggusur rumah-rumah di bantaran sungai, ia memberikan solusi atas penggusuran itu; misalnya dengan merelokasi warganya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Seorang Muslim, yang patuh dan taat pada ketetapan, baik ketetapan Allah maupun ketetapan konstitusi, ia tidak akan tega melihat warganya menjadi penyakitan karena kumuh dan rusaknya lingkungan sekitar.

Karena esensi Muslim adalah membawa kebaikan walau dengan cacian dan makian atas kinerjanya. Musim yang baik dapat dilihat dari kinerjanya, bukan melihat pada sekat-sekat yang memisahkan diri dari kebaikan.

Islam adalah agama universal. Kasih sayang seorang Muslim meliputi seluruh komponen masyarakat. Ia tidak memandang status sosial sebagai pemisah diri dari orang lain. Seperti itulah gaya kepemimpinan Muslim. Ia memberikan solusi dari setiap permasalahan yang ada, karena kecintaannya yang menyeluruh.

Pemimpin Muslim harus melihat seluruh warganya sebagai satu kesatuan guna meningkatkan kualitas daerahnya. Karena dirinya tidak menutupi kebenaran yang ada. Tidak seperti kafir, demi memuluskan kepentingannya, ia rela mengaburkan kebenaran. Maka, memilih pemimpin kafir adalah HARAM!!!

Muslim adalah kata sifat, ukuran kemusliman seseorang bisa dilihat dari kinerja dan ketakwaannya. Takwa terhadap hukum Allah secara universal, yakni tidak menyekat kekuasaannya yang Mahaluas. Selain itu, juga takwa kepada konstitusi atau peraturan yang berlaku di daerahnya. Dia adalah seseorang yang pantas menjadi pemimpin.

Seorang pemimpin yang memiliki sifat kemusliman, ia takkan pernah mengkafirkan kebenaran, tidak menutup kebenaran atau rela berdusta demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ia juga tidak mengatasnamakan kebenaran guna mencapai target kekuasaan.

Pemimpin Muslim nampak pada perilaku yang mampu membebaskan rakyatnya dari jerat kemiskinan, dari belenggu keterpurukan, dan dari ikatan korupsi yang merajalela. Dirinya tidak akan rela membiarkan rakyatnya berkonflik, berkubu-kubu, dan bahkan saling membenci satu sama lain.

Kesimpulannya, marilah kita universalkan makna kafir dan Muslim, serta tidak membatasi kekuasaan Allah yang Mahaluas. Muslim adalah sebutan bagi seseorang yang patuh, taat, baik taat kepada Allah maupun kepada konstitusi yang berlaku.

Taat kepada Allah yakni mengimplemetasikan nilai yang universal. Membahasakan cinta dan kasih sayang kepada sesama dan semesta demi mempersatukan, bukan memisahkan atau bahkan merenggangkan persaudaraan.

Taat kepada konstitusi berarti tidak korupsi, tidak menyengsarakan rakyat di tengah pesakitan yang mendera, membela bangsa dan negeri tempat Pertiwi bernaung. Mempertahankan keutuhan persatuan demi menegakkan keadilan yang merata.

Sementara seseorang yang bersifat kafir, tidak mungkin melakukan itu. Ia menutup kebenaran, membiarkan rakyat dalam jerat kemiskinan, belenggu kemiskinan, dan ikatan korupsi yang menyengsarakan.

Siapa pun bisa menjadi kafir atau muslim. Karena kita menguniversalkan makna itu. Barangsiapa yang menutup kebenaran demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka kafirlah ia. Dan barangsiapa yang mengajak pada ketaatan, kepatuhan, keberprasahan diri pada ketetapan yang berlaku, yang mengajak pada persatuan dan persaudaraan, maka muslimlah ia.

Atas dasar pemikiran itu, maka sesungguhnya kita DILARANG MEMILIH PEMIMPIN KAFIR!!!




Wallahu A'lam.



Taman Ismail Marzuki, 7 Oktober 2016.


Aru Elgete
Previous Post
Next Post