Sabtu, 28 September 2019

Menjadi Pelaku Kebinekaan


Foto di Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cimuning, Kota Bekasi

Siapa yang tidak merasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan, bernama Indonesia? Di dalamnya, laksana surga yang segala sesuatunya telah tersedia. Kita hanya tinggal menikmatinya saja. Berbagai keragaman dihadirkan oleh Allah, sebagai sebuah unikum agar manusia di dalamnya dapat saling berlomba-lomba dalam kebaikan. 

Keragaman itu berupa agama, suku, bangsa, ras, flora, dan fauna. Menjadi indah karena perbedaan-perbedaan itu tidak diberangus, tidak disama-satukan, tetapi dapat hidup secara bersamaan dalam waktu yang sama. Maka, bersyukur atas keragaman yang menjadi ciri khas dari bangsa kita merupakan penghargaan terhadap penciptanya: Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bahkan, perbedaan yang terdapat di Indonesia (juga dunia) bukan hanya yang berbentuk fisik atau lahiriah saja, tetapi juga yang tak tampak; seperti pemikiran, pandangan, perspektif, dan sudut pandang. Orang-orang Indonesia memang hobi berbicara, senang berdiskusi, dan gemar mengeluarkan argumentasi kepada lawan bicara. Sekalipun perbedaan itu sangat tampak, usai berdebat dan berdiskusi karena berbeda sudut pandang, orang-orang Indonesia pasti akan rukun kembali. 

Kerukunan itulah yang menjadi tonggak maju-tidaknya sebuah peradaban manusia. Tingkat kerukunan di Indonesia, diacungi jempol oleh banyak orang, bahkan bukan hanya lokal tetapi juga mancanegara. Indonesia adalah surga dunia, sudah penuh dengan keragaman yang sangat indah, ditambah pula dengan masyarakatnya yang ramah, toleran, serta rukun terhadap sesama manusia dan alam semesta. 

Itulah yang menjadi keunggulan sekaligus kebanggaan kita sebagai bangsa. Rasa cinta tanah air harus dipupuk sejak dini agar manusianya tetap punya rasa tanggung jawab menjaga tanah yang penuh dengan keramat ini. Mencintai tanah air berarti meyakini bahwa negeri ini berdiri bukan karena satu orang atau sekelompok saja, melainkan seluruh lapisan dari berbagai latar belakang sosial, keagamaan, dan politik.

Soekarno pernah mengatakan, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke."

Karena itulah kemudian para pendiri bangsa mengutip potongan syair milik Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma yang masyhur itu, untuk dijadikan semboyan agar bangsa Indonesia tetap bisa bersatu meski berbeda-beda. Kutipan syair itu adalah kalimat yang berbunyi: Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah kalimat yang berasal dari bahasa sansekerta dan dilahirkan dari pemikiran seorang Hindu, kemudian diperuntukkan kepada bangsa Indonesia yang beragam. Kira-kira seperti itulah bangsa kita. Maka tak heran jika negeri ini dijuluki, "Gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja."

Pelaku Kebinekaan

Sudah sejak 2014 sebenarnya, saya menjadi pelaku kebinekaan. Sebuah istilah luar biasa bagi saya untuk kemudian kian giat menebarkan semangat persatuan dan cinta tanah air kepada siapa pun. Bahkan, saya seringkali diundang keluar-masuk gereja untuk menyampaikan tentang Islam yang ramah sekaligus menggelorakan semangat persatuan. 

Bagi saya, gagasan kebangsaan tentang keragaman dan kebinekaan jangan hanya sekadar menjadi buah pikir yang kemudian diglorifikasi sehingga kita terjebak pada (apa yang disebut oleh aktivis kiri) onani intelektual. Keterbukaan, saya kira, tidak serta-merta terbuka jika gagasan tentang keberagaman itu melulu didiskusikan dari hotel ke hotel dengan fasilitas bintang lima. 

Kita perlu turun ke akar rumput. Tidak hanya pada tataran tokoh atau pemukanya saja, melainkan benar-benar harus bersentuhan dengan masyarakat langsung –seperti masyarakat yang berbeda agama. Kita harus benar-benar bisa merasakan bagaimana kebinekaan itu hadir di tengah-tengah masyarakat, sehingga persatuan dan persaudaraan dapat terjalin mulai dari bawah, sejak dari hal-hal kecil dan sepele: berkunjung ke rumah ibadah agama lain. 

Bukankah silaturahmi itu yang diajarkan oleh para pendahulu kita, termasuk pula dapat memperpanjang umur dan menambah rezeki, kan? Lagipula, kerjasama dengan pemeluk agama lain, selama tidak memerangi agama atau akidah kita, diperbolehkan dalam kitab suci. Menurut saya, tingkat kerukunan paling tinggi adalah ketika kita mampu melakukan kerjasama dengan orang lain yang berbeda latar belakang, terutama berbeda agama. 

Namun, saya paham sekali, aktivisme lintas agama yang saya lakukan selama ini menjadi buah bibir banyak orang. Hal tersebut tentu menjadi sebuah keniscayaan bagi kehidupan manusia di muka bumi, pro-kontra sudah biasa. Tinggal bagaimana kita mampu menyikapi itu dengan bijak dan tidak reaktif sehingga justru bertolak belakang dari misi perdamaian dan persatuan yang sedang dibawa. 

Maksud saya, banyak pelaku kebinekaan selama ini yang seringkali merasa lebih baik dari orang-orang yang tidak menjadi pelaku kebinekaan. Itulah jebakan yang kerap terjadi. Al-Ghazali pernah mengatakan, jika kita sudah melakukan berbagai kebaikan kemudian timbul di dalam hati kalimat: ana khoirumminhu (aku lebih baik dari dia), maka batal sudah kebaikan yang sudah dilakukan. 

Tak hanya itu, dalam pandangan saya, ada juga orang-orang yang selama ini sebenarnya sepakat dengan gagasan kebinekaan, bahkan menyadari bahwa Indonesia tercipta dan menjadi indah karena adanya keragaman, tapi di sisi lain mereka justru tidak suka dengan para pelaku kebinekaan yang mengejawantahkan gagasan-gagasan tentang kebinekaan itu ke dalam laku dan gerak.

Kepada kalian yang membaca tulisan ini, saya hanya ingin sampaikan bahwa saya adalah orang yang (insyaallah) sudah tuntas dengan diri sendiri. Kini, saya sudah sama sekali tidak terpengaruh dengan pujian dan hinaan dari siapa saja. Kalau ada yang memuji, saya menganggap bahwa hal itu justru cobaan agar tak terlena dengannya, sehingga mampu untuk terus meningkatkan kerja-kerja kebinekaan saya. 

Begitu pun sebaliknya. Cibiran, hinaan, dan berbagai komentar buruk yang diarahkan kepada saya justru menjadi koreksi diri bahwa tidak mungkin semua orang akan sepakat dengan apa yang saya lakukan. Sehingga, dengan begitu, saya bisa lebih menyederhanakan sikap agar dapat dipahami banyak orang. Sekalipun saya memahami bahwa perbedaan adalah rahmat, termasuk perbedaan pemikiran dan sudut pandang. 

Sebuah Harapan 

Aktivisme lintas agama yang selama ini saya jalankan adalah menyasar pemuda atau remaja. Saya ingin menyadarkan mereka, bahwa cita-cita Indonesia di masa depan, ada di tangan kaum muda hari ini. Pemuda yang memahami bahwa berdirinya negeri ini lantaran keragaman adalah bukti kalau Indonesia dapat menjadi rumah bersama yang aman dan nyaman bagi penghuninya. 

Bagi saya, Indonesia adalah rumah bersama. Kita tidak hidup sendirian, kita tidak hidup dengan kelompok yang sepaham-sepemikiran saja, kita tidak hidup dengan orang-orang yang selalu sepakat dengan kita. Tetapi, kita hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda, dengan berbagai keragaman yang ada di dalamnya. Kita harus menyadari itu, agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terwujud sebuah tatanan masyarakat yang berkeadaban. 

Mewujudkan Indonesia yang berkeadaban itu tidak bisa sendirian, tapi membutuhkan banyak orang, walau hanya dalam lingkaran yang kecil. Justru dari yang kecil itulah, kita bisa kian solid dan kemudian mampu menyebarkan nilai-nilai kebaikan kepada orang-orang yang berada di luar lingkaran kita. Kuncinya hanya satu, yakni jangan takut pada berbagai perbedaan. Caranya, menyadari bahwa keragaman adalah ciptaan Tuhan yang wujudnya tak terdefinisi itu.

Dengan demikian, ke depan, harapan saya, lima hingga sepuluh tahun lagi, anak-anak muda, khususnya di Bekasi, tidak lagi memperdebatkan perbedaan yang kerap muncul di muka, terutama perbedaan agama. Sebab, mendebatkan perbedaan agama tak pernah ada ujungnya yang justru dapat memercik konflik berkepanjangan. Maka, sudahilah berseteru lantaran perbedaan agama. 

Maka, saya mengajak kepada anak-anak muda saat ini, untuk mampu menghadirkan ruh keagamaan itu untuk membangun peradaban yang lebih baik lagi. Namun, saya menyadari, harapan itu tidaklah terwujud jika tanpa upaya dan permohonan kepada Yang Maha Pencipta Keragaman. 

Mari kita upayakan perdamaian itu, dengan saling mengunjungi, dengan saling kenal-mengenal, dengan saling membuka dialog, dengan saling berdiskusi dan bertukar pikiran secara langsung (tatap muka), seraya berdoa kepada Allah, Sang Pemilik Keragaman itu, untuk meridhoi setiap langkah kebaikan yang sedang dilakukan hari ini, sehingga di kemudian hari, di masa depan, kita akan menyongsong Indonesia sebagai negeri yang penuh kebaikan dan berlimpah ampunan dari Tuhan (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

Insyaallah. Bi idznillah. Wallahua'lam...