Ilustrasi. Sumber gambar: geotimes.co.id |
Jawab saya, sebagai muslim liberal, tentu saja bisa. Toh, Tuhan tak beragama. Kuasa-Nya melampaui keruwetan birokrasi agama-agama. Bahkan, kemahabesaran Tuhan tak bisa disekat oleh apa pun. Dia bebas meruang melampaui segala, tak dapat terdefinisi oleh akal manusia yang sempit.
Kata sebagian kawan saya yang lain: ada dua definisi Tuhan. Pertama, Tuhan yang diciptakan oleh akal pikiran kita sendiri atau benda-benda keduniaan yang dipertuhankan. Tetapi ada yang kedua, yakni Tuhan yang menciptakan kehidupan kita di dunia, Dia yang tak terbatas oleh ruang dan waktu, yang wujud dan bentuk-Nya tak bisa dijangkau akal walau sebersit.
Lalu, bagaimana jika bertuhan tanpa agama?
Sungguh, Tuhan tak pernah membutuhkan apa pun dari kita yang dicipta-Nya. Segala bentuk ritual peribadatan kita selama ini, sebenarnya hanya bagian terkecil dari penghambaan seorang manusia terhadap yang menciptakan. Sebagian pemuka agama yang lain mengatakan, ritual ibadah hendaknya dimaksudkan sebagai bentuk kebersyukuran karena Dia Yang Mahahidup telah Menghidupkan kita dengan cuma-cuma, dengan gratis, dengan tanpa bayaran sedikit pun atas udara yang terhirup setiap saat.
Dalam Al-Quran disebut: wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun. Artinya, Tuhan berfirman bahwa manusia dan jin yang telah Dia ciptakan, dimaksudkan tak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya. Beribadahnya seperti apa? Kita masih bisa diskusikan hal ini dengan akal sehat.
Sesungguhnya, bagi saya, ibadah ritual yang terdapat dalam agama-agama itu merupakan sebuan konsep sistemik yang dibakukan oleh para pemuka agama di masa awal-awal. Tujuannya, agar penganut agama di kemudian hari, dapat dengan mudah mengakrabi Tuhan. Tentu saja, di dalam ibadah-ibadah ritual itu juga dipakemkan berbagai gerakan, nyanyian atau bacaan-bacaan yang menjadi domain para pemuka agama, agar mudah dipahami bagi penganut agama.
Saya berasumsi, beribadah kepada Tuhan bisa dilakukan dengan banyak cara --sekalipun saya tidak memungkiri bahwa ritual agama-agama yang mainstream dilakukan oleh kebanyakan umat beragama itu adalah juga bagian dari tata cara ibadah kepada Tuhan. Namun, ritual-ritual itu tidak lantas menjadikan kita benar-benar menghamba pada Tuhan Yang Mahatinggi itu. Sebab, ritual keagamaan hanya bagian terkecil saja.
Agama merupakan 'jalan' atau washilah (perantara) seorang hamba dengan Tuhan. Di dalam agama, ada nilai-nilai yang tak bisa tertolak: disebutlah dogma. Tetapi, mari kita menembus dinding dogma itu, yang sebenarnya adalah menjadi racun bagi kehidupan keberagamaan kita selama ini. Anda, sebagai pembaca, boleh setuju tetapi juga boleh tidak setuju dengan pendapat saya ini.
Kalau kita masih tersekat oleh dinding besar yang bernama dogma itu, bagi saya, peluang kita untuk mengakrabi Tuhan justru semakin sempit dan tidak leluasa. Kita hanya fokus pada ritual-ritual, larangan-larangan, kewajiban-kewajiban, pahala-dosa, dan surga-neraka, yang itu semua sebenarnya adalah konsep yang dibuat secara sistematik oleh para pemuka agama di masa awal-awal.
Sehingga dengan demikian, kalau kita tersekat oleh dinding besar yang seperti itu, ibadah kita kepada Tuhan akan sangat beresiko. Kita, dalam ritual keagamaan itu yang sebenarnya ingin berjumpa dengan Tuhan, justru malah terkadang tidak akan bisa bertemu dengan-Nya. Dalam sekat dogma itu, pertemuan kita dengan Tuhan akan terhalang oleh iming-iming pahala dan surga, ketakutan terhadap neraka dan dosa, serta terhalang oleh hal-hal keduniaan lainnya.
Seorang sufi perempuan, Rabiatul Adawiyah, membagi mental seorang penghamba ke dalam tiga hal.
Pertama, mental pebisnis. Orang-orang pebisnis adalah mereka yang orientasinya hanya berupa keuntungan belaka. Dia tidak mau bergerak dan melakukan sesuatu kalau tanpa reward yang didapat. Sehingga, dalam proses pertemuannya kepada Tuhan, dia justru terhalang oleh tembok besar yang menjadi pikiran utamanya itu: yakni keuntungan, berupa pahala dan surga.
Kedua, mental budak. Orang-orang yang bermental budak ini adalah mereka yang baru akan melakukan sesuatu jika ada punishment atau hukuman yang jelas. Mereka tidak akan bergerak atau melakukan segala hal, jika tidak ada sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sehingga, orang-orang yang bermental budak ini, akan sulit menemukan Tuhan. Dalam proses pertemuannya dengan Tuhan, dia akan terhalang oleh sekat atau dinding besar yang menakutkan, yakni dosa dan neraka.
Jadi, orang-orang yang bermental pebisnis yang pertama disebutkan itu, hanya akan menemui Tuhan karena ada maunya saja. Tentu yang dimauinya itu adalah agar mendapat pahala dan ketika mati masuk surga. Sementara orang-orang yang memiliki mental budak, sebagaimana yang disebut belakangan itu, akan menemui Tuhan lantaran dirinya takut mendapat dosa dan siksa api neraka yang sangat pedih.
Demikianlah konsep agama agar manusia mau melakukan ritual keagamaan.
Namun yang ketiga adalah mental cinta. Ini kunci agar kita mau benar-benar bertuhan. Orang-orang yang bermental cinta, tidak akan berharap apa pun dalam melakukan sesuatu, kecuali agar cintanya kepada 'sang kekasih' menjadi kian tebal. Dalam proses pertemuannya dengan Tuhan, dia tidak akan bisa terhalang oleh apa pun. Dia fokus terhadap apa yang dituju, tidak teriming-imingi kenikmatan atau keuntungan juga tidak khawatir dengan berbagai ketakutan-ketakutan yang dibuat-buat.
Inilah yang saya sebut sebagai bertuhan dengan totalitas yang sungguh, dengan kesungguhan yang total. Kita menjadi seorang penghamba yang dapat beribadah dengan cara apa pun, yang tidak hanya sebatas pada ritual keagamaan semata, yang menjadikan diri kita justru terhalang dalam proses perjalanan menuju Tuhan.
Bertuhan dengan Kaffah
Bertuhan dengan Kaffah
Ibadah atau penghambaan kita kepada Tuhan, bisa juga dilakukan dengan banyak cara. Misalnya dengan cara menolong orang-orang yang termarjinalkan, membantu kaum tertindas, meringankan beban masyarakat yang terdampak bencana. Singkatnya, menjadi pelayan bagi sesama manusia dan alam semesta. Sebab, perilaku atau perbuatan yang demikian itu juga merupakan bentuk ibadah. Oleh Gus Mus, disebut sebagai ibadah sosial. Sebuah bentuk penghambaan kepada Tuhan yang tidak dapat disekat atau dihalangi oleh apa pun.
Di dalam Al-Quran, pada surat Al-Baqarah ayat 208, Tuhan berfirman: udkhulu fissilmi kaffah. Secara leterlek atau tekstual, yang terdapat dalam terjemahan terbitan kementerian agama, ayat itu dimaknai: "Masuklah kalian ke dalam agama Islam secara total!" Tetapi, kita bisa juga memaknainya dalam makna lain yang lebih holistik. Kata silmi di dalam ayat itu, bisa juga bermakna keselamatan atau kedamaian. Jadi ayat itu bermakna: "Masuklah ke dalam jalan keselamatan dengan penuh sungguh."
Ioanes Rakhmat, seorang pemikir liberal menyebut bahwa ayat itu dimaknai berarti sebuah seruan untuk hidup damai menyeluruh dengan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah sebuah konsep teologis, yang dalam bahasa arab disebut dengan hablumminallah, sebuah keterhubungan langsung dengan Tuhan. Namun, proses keterhubungan dengan Tuhan itu tidak akan bisa berjalan begitu saja, jika tidak ada keterhubungan dengan sesama manusia (hablumminannas) dan keterhubungan dengan alam (hablumminal-alam).
Maka untuk bertuhan dengan penuh sungguh, diperlukan juga sebuah bentuk ibadah atau penghambaan diri kita kepada-Nya dalam bentuk kehidupan yang terhubung dengan sesama manusia, juga hubungan dengan semesta. Bisa dipastikan, siapa saja yang merusak ekosistem alam dan menghancurkan peradaban manusia, maka kebertuhanannya pasti takkan berarti. Perusak-perusak itulah yang sebenarnya, menurut saya, tidak sama sekali bertuhan.
Kemudian, dalam Alkitab, Yesus juga meminta hal yang sama. Dia bersabda: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, kekuatanmu, jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamu manusia seperti (mengasihi) dirimu sendiri".
Menolak Ekstremitas dalam Beragama
Menolak Ekstremitas dalam Beragama
Maka, mulai detik ini, janganlah kita membangkitkan gairah ketuhanan kita dalam wujud --yang oleh Ioanes Rakhmat dikatakan sebagai-- pemuja kematian di mana pun dan kapan pun. Yang dimaksud pemuja kematian itu adalah cara beragama yang sempit, yang salah satunya semacam teroris ISIS itu, yang menyatakan bahwa mereka adalah wujud dari cara beragama yang kaffah.
Tentu yang demikian itu adalah pemikiran yang dangkal. Konsep beragama yang kaffah, yang lalu diidentikkan dengan cara beragama yang ekstrem adalah perwujudan dari kesalahpahaman dalam memaknai teks suci. Hal inilah yang kemudian menjadikan citra agama, terutama Islam, menjadi tercoreng. Sehingga timbul pertanyaan, "Bisakah bertuhan tanpa agama?" dari teman saya. Seyakin saya, pertanyaan itu terlontar karena gaya beragama ekstrem, yang kini semakin populer dipraktikkan oleh kalangan muda, justru disebut-sebut sebagai bagian dari totalitas yang sungguh dalam proses menuju Tuhan.
Bagi saya, hal itu salah kaprah.
Fenomena beragama yang ekstrem itu, yang mendaku diri sebagai cara beragama yang kaffah, mencuat belakangan melalui media sosial, melalui ceramah-ceramah ustadz gadungan melalui saluran atau corong yang dibuatnya sendiri secara sistematis-masif yang kemudian membanjiri linimasa media sosial dan menyasar kepada kaum urban dan kalangan muda kekinian.
Beberapa kali, bahkan berkali-kali, dalam tempo yang sangat tak terjangkau, mereka mengampanyekan cara beragama yang ekstrem itu, yang oleh mereka dinamai sebagai kaffah atau beragama yang total itu. Bagi mereka, ibadah ritual harus diutamakan baru kemudian ibadah sosial yang dinomorduakan.
Lalu, kata mereka, tanggung jawab kepada Tuhan --berdasar pada ritual-ritual yang justru menjadi penyekat (seperti yang saya jelaskan di atas)-- merupakan yang paling benar. Sementara bersimpati pada kehidupan sosial, masih kata mereka, tidak boleh mengalahkan ketaatan atau aturan yang telah Tuhan tetapkan.
Padahal, saya yakin, cara mereka ibadah itu masih lantaran takut dosa dan siksa neraka atau karena tergiur dengan iming-iming surga dan pahala; bukan karena murni cinta yang tulus penuh sungguh terhadap tujuan akhir, yakni Tuhan itu sendiri. Mereka menciptakan ketakutan di dalam pikiran agar berkenan menyembah Tuhan. Mereka membangun angan-angan kenikmatan di alam pikiran, baru kemudian menyembah Tuhan.
Jika cara beragama kita demikian adanya, tentu saja kita akan berubah menjadi pribadi yang antisosial. Sebab, dalam kehidupan, kita hanya disibukkan dengan berbagai peningkatan ibadah yang sifatnya hanya ritualistik saja. Bukankah orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari penganut agama yang paling total dan benar itu sudah dapat dipastikan tidak akan berbaur-bergaul dengan 'yang lain'? Saya rasa jawabannya, iya. Mereka akan menganggap kelompok lain yang tidak sejalan sebagai sesat, kafir, dan melenceng dari kaidah agama yang mainstream. Mereka eksklusif dan tertutup.
Maka jika ingin bertuhan tanpa agama, jawaban saya, tentu saja bisa. Silakan saja menjadi seorang penghamba melalui jalan lain, misalnya menjadi penghamba Tuhan dengan tidak merusak lingkungan dan menciptakan peradaban kehidupan yang baik. Sebab, kristalisasi dari wujud cinta terhadap Tuhan adalah dengan mencintai segala yang diciptakan-Nya di bumi dan semesta ini.
Disamping itu, saya juga menyarankan, agar alangkah lebih baiknya, tetap beragama dan mengikuti berbagai ritual keagamaan yang telah ditetapkan. Namun dalam melakukan ritual, hendaknya jangan hanya terpaku pada iming-iming (reward) dan hukuman (punishment) belaka. Kita juga harus tunduk-patuh dan fokus pada tujuan dari penghambaan kita: Allah, Tuhan Yang Mahasegala.
Terakhir, saya sampaikan bahwa ketika dalam beragama didapati kegelisahan hati, maka segeralah diubah cara anda beragama. Barangkali, anda salah guru. Tetapi jika masih saja gelisah setelah mendapat guru yang lebih baik, silakan tinggalkan agama dan bertuhanlah dengan tetap beribadah pada kemanusiaan dan semesta.
Sekian.
Terakhir, saya sampaikan bahwa ketika dalam beragama didapati kegelisahan hati, maka segeralah diubah cara anda beragama. Barangkali, anda salah guru. Tetapi jika masih saja gelisah setelah mendapat guru yang lebih baik, silakan tinggalkan agama dan bertuhanlah dengan tetap beribadah pada kemanusiaan dan semesta.
Sekian.