Kamis, 27 Februari 2020

Bisakah Tuhan Disembah Tanpa Ritual Keagamaan?


Ilustrasi. Sumber gambar: geotimes.co.id
Suatu ketika, ada pertanyaan retorik yang sangat klasik, yang kemudian ditujukan kepada saya. Apakah kita bisa bertuhan tanpa agama? Sebab, agama selama ini menjadi biang konflik dan perseteruan tanpa henti. Bisakah Tuhan disembah tanpa melalui ritual-ritual keagamaan tertentu?

Jawab saya, sebagai muslim liberal, tentu saja bisa. Toh, Tuhan tak beragama. Kuasa-Nya melampaui keruwetan birokrasi agama-agama. Bahkan, kemahabesaran Tuhan tak bisa disekat oleh apa pun. Dia bebas meruang melampaui segala, tak dapat terdefinisi oleh akal manusia yang sempit. 

Kata sebagian kawan saya yang lain: ada dua definisi Tuhan. Pertama, Tuhan yang diciptakan oleh akal pikiran kita sendiri atau benda-benda keduniaan yang dipertuhankan. Tetapi ada yang kedua, yakni Tuhan yang menciptakan kehidupan kita di dunia, Dia yang tak terbatas oleh ruang dan waktu, yang wujud dan bentuk-Nya tak bisa dijangkau akal walau sebersit. 

Lalu, bagaimana jika bertuhan tanpa agama?

Sungguh, Tuhan tak pernah membutuhkan apa pun dari kita yang dicipta-Nya. Segala bentuk ritual peribadatan kita selama ini, sebenarnya hanya bagian terkecil dari penghambaan seorang manusia terhadap yang menciptakan. Sebagian pemuka agama yang lain mengatakan, ritual ibadah hendaknya dimaksudkan sebagai bentuk kebersyukuran karena Dia Yang Mahahidup telah Menghidupkan kita dengan cuma-cuma, dengan gratis, dengan tanpa bayaran sedikit pun atas udara yang terhirup setiap saat. 

Dalam Al-Quran disebut: wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun. Artinya, Tuhan berfirman bahwa manusia dan jin yang telah Dia ciptakan, dimaksudkan tak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya. Beribadahnya seperti apa? Kita masih bisa diskusikan hal ini dengan akal sehat. 

Sesungguhnya, bagi saya, ibadah ritual yang terdapat dalam agama-agama itu merupakan sebuan konsep sistemik yang dibakukan oleh para pemuka agama di masa awal-awal. Tujuannya, agar penganut agama di kemudian hari, dapat dengan mudah mengakrabi Tuhan. Tentu saja, di dalam ibadah-ibadah ritual itu juga dipakemkan berbagai gerakan, nyanyian atau bacaan-bacaan yang menjadi domain para pemuka agama, agar mudah dipahami bagi penganut agama. 

Saya berasumsi, beribadah kepada Tuhan bisa dilakukan dengan banyak cara --sekalipun saya tidak memungkiri bahwa ritual agama-agama yang mainstream dilakukan oleh kebanyakan umat beragama itu adalah juga bagian dari tata cara ibadah kepada Tuhan. Namun, ritual-ritual itu tidak lantas menjadikan kita benar-benar menghamba pada Tuhan Yang Mahatinggi itu. Sebab, ritual keagamaan hanya bagian terkecil saja. 

Agama merupakan 'jalan' atau washilah (perantara) seorang hamba dengan Tuhan. Di dalam agama, ada nilai-nilai yang tak bisa tertolak: disebutlah dogma. Tetapi, mari kita menembus dinding dogma itu, yang sebenarnya adalah menjadi racun bagi kehidupan keberagamaan kita selama ini. Anda, sebagai pembaca, boleh setuju tetapi juga boleh tidak setuju dengan pendapat saya ini. 

Kalau kita masih tersekat oleh dinding besar yang bernama dogma itu, bagi saya, peluang kita untuk mengakrabi Tuhan justru semakin sempit dan tidak leluasa. Kita hanya fokus pada ritual-ritual, larangan-larangan, kewajiban-kewajiban, pahala-dosa, dan surga-neraka, yang itu semua sebenarnya adalah konsep yang dibuat secara sistematik oleh para pemuka agama di masa awal-awal. 

Sehingga dengan demikian, kalau kita tersekat oleh dinding besar yang seperti itu, ibadah kita kepada Tuhan akan sangat beresiko. Kita, dalam ritual keagamaan itu yang sebenarnya ingin berjumpa dengan Tuhan, justru malah terkadang tidak akan bisa bertemu dengan-Nya. Dalam sekat dogma itu, pertemuan kita dengan Tuhan akan terhalang oleh iming-iming pahala dan surga, ketakutan terhadap neraka dan dosa, serta terhalang oleh hal-hal keduniaan lainnya. 

Seorang sufi perempuan, Rabiatul Adawiyah, membagi mental seorang penghamba ke dalam tiga hal.

Pertama, mental pebisnis. Orang-orang pebisnis adalah mereka yang orientasinya hanya berupa keuntungan belaka. Dia tidak mau bergerak dan melakukan sesuatu kalau tanpa reward yang didapat. Sehingga, dalam proses pertemuannya kepada Tuhan, dia justru terhalang oleh tembok besar yang menjadi pikiran utamanya itu: yakni keuntungan, berupa pahala dan surga. 

Kedua, mental budak. Orang-orang yang bermental budak ini adalah mereka yang baru akan melakukan sesuatu jika ada punishment atau hukuman yang jelas. Mereka tidak akan bergerak atau melakukan segala hal, jika tidak ada sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sehingga, orang-orang yang bermental budak ini, akan sulit menemukan Tuhan. Dalam proses pertemuannya dengan Tuhan, dia akan terhalang oleh sekat atau dinding besar yang menakutkan, yakni dosa dan neraka.

Jadi, orang-orang yang bermental pebisnis yang pertama disebutkan itu, hanya akan menemui Tuhan karena ada maunya saja. Tentu yang dimauinya itu adalah agar mendapat pahala dan ketika mati masuk surga. Sementara orang-orang yang memiliki mental budak, sebagaimana yang disebut belakangan itu, akan menemui Tuhan lantaran dirinya takut mendapat dosa dan siksa api neraka yang sangat pedih. 

Demikianlah konsep agama agar manusia mau melakukan ritual keagamaan. 

Namun yang ketiga adalah mental cinta. Ini kunci agar kita mau benar-benar bertuhan. Orang-orang yang bermental cinta, tidak akan berharap apa pun dalam melakukan sesuatu, kecuali agar cintanya kepada 'sang kekasih' menjadi kian tebal. Dalam proses pertemuannya dengan Tuhan, dia tidak akan bisa terhalang oleh apa pun. Dia fokus terhadap apa yang dituju, tidak teriming-imingi kenikmatan atau keuntungan juga tidak khawatir dengan berbagai ketakutan-ketakutan yang dibuat-buat. 

Inilah yang saya sebut sebagai bertuhan dengan totalitas yang sungguh, dengan kesungguhan yang total. Kita menjadi seorang penghamba yang dapat beribadah dengan cara apa pun, yang tidak hanya sebatas pada ritual keagamaan semata, yang menjadikan diri kita justru terhalang dalam proses perjalanan menuju Tuhan.

Bertuhan dengan Kaffah

Ibadah atau penghambaan kita kepada Tuhan, bisa juga dilakukan dengan banyak cara. Misalnya dengan cara menolong orang-orang yang termarjinalkan, membantu kaum tertindas, meringankan beban masyarakat yang terdampak bencana. Singkatnya, menjadi pelayan bagi sesama manusia dan alam semesta. Sebab, perilaku atau perbuatan yang demikian itu juga merupakan bentuk ibadah. Oleh Gus Mus, disebut sebagai ibadah sosial. Sebuah bentuk penghambaan kepada Tuhan yang tidak dapat disekat atau dihalangi oleh apa pun. 

Di dalam Al-Quran, pada surat Al-Baqarah ayat 208, Tuhan berfirman: udkhulu fissilmi kaffah. Secara leterlek atau tekstual, yang terdapat dalam terjemahan terbitan kementerian agama, ayat itu dimaknai: "Masuklah kalian ke dalam agama Islam secara total!" Tetapi, kita bisa juga memaknainya dalam makna lain yang lebih holistik. Kata silmi di dalam ayat itu, bisa juga bermakna keselamatan atau kedamaian. Jadi ayat itu bermakna: "Masuklah ke dalam jalan keselamatan dengan penuh sungguh."

Ioanes Rakhmat, seorang pemikir liberal menyebut bahwa ayat itu dimaknai berarti sebuah seruan untuk hidup damai menyeluruh dengan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah sebuah konsep teologis, yang dalam bahasa arab disebut dengan hablumminallah, sebuah keterhubungan langsung dengan Tuhan. Namun, proses keterhubungan dengan Tuhan itu tidak akan bisa berjalan begitu saja, jika tidak ada keterhubungan dengan sesama manusia (hablumminannas) dan keterhubungan dengan alam (hablumminal-alam).

Maka untuk bertuhan dengan penuh sungguh, diperlukan juga sebuah bentuk ibadah atau penghambaan diri kita kepada-Nya dalam bentuk kehidupan yang terhubung dengan sesama manusia, juga hubungan dengan semesta. Bisa dipastikan, siapa saja yang merusak ekosistem alam dan menghancurkan peradaban manusia, maka kebertuhanannya pasti takkan berarti. Perusak-perusak itulah yang sebenarnya, menurut saya, tidak sama sekali bertuhan. 

Kemudian, dalam Alkitab, Yesus juga meminta hal yang sama. Dia bersabda: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, kekuatanmu, jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamu manusia seperti (mengasihi) dirimu sendiri".

Menolak Ekstremitas dalam Beragama

Maka, mulai detik ini, janganlah kita membangkitkan gairah ketuhanan kita dalam wujud --yang oleh Ioanes Rakhmat dikatakan sebagai-- pemuja kematian di mana pun dan kapan pun. Yang dimaksud pemuja kematian itu adalah cara beragama yang sempit, yang salah satunya semacam teroris ISIS itu, yang menyatakan bahwa mereka adalah wujud dari cara beragama yang kaffah. 

Tentu yang demikian itu adalah pemikiran yang dangkal. Konsep beragama yang kaffah, yang lalu diidentikkan dengan cara beragama yang ekstrem adalah perwujudan dari kesalahpahaman dalam memaknai teks suci. Hal inilah yang kemudian menjadikan citra agama, terutama Islam, menjadi tercoreng. Sehingga timbul pertanyaan, "Bisakah bertuhan tanpa agama?" dari teman saya. Seyakin saya, pertanyaan itu terlontar karena gaya beragama ekstrem, yang kini semakin populer dipraktikkan oleh kalangan muda, justru disebut-sebut sebagai bagian dari totalitas yang sungguh dalam proses menuju Tuhan.

Bagi saya, hal itu salah kaprah. 

Fenomena beragama yang ekstrem itu, yang mendaku diri sebagai cara beragama yang kaffah, mencuat belakangan melalui media sosial, melalui ceramah-ceramah ustadz gadungan melalui saluran atau corong yang dibuatnya sendiri secara sistematis-masif yang kemudian membanjiri linimasa media sosial dan menyasar kepada kaum urban dan kalangan muda kekinian. 

Beberapa kali, bahkan berkali-kali, dalam tempo yang sangat tak terjangkau, mereka mengampanyekan cara beragama yang ekstrem itu, yang oleh mereka dinamai sebagai kaffah atau beragama yang total itu. Bagi mereka, ibadah ritual harus diutamakan baru kemudian ibadah sosial yang dinomorduakan.

Lalu, kata mereka, tanggung jawab kepada Tuhan --berdasar pada ritual-ritual yang justru menjadi penyekat (seperti yang saya jelaskan di atas)-- merupakan yang paling benar. Sementara bersimpati pada kehidupan sosial, masih kata mereka, tidak boleh mengalahkan ketaatan atau aturan yang telah Tuhan tetapkan.

Padahal, saya yakin, cara mereka ibadah itu masih lantaran takut dosa dan siksa neraka atau karena tergiur dengan iming-iming surga dan pahala; bukan karena murni cinta yang tulus penuh sungguh terhadap tujuan akhir, yakni Tuhan itu sendiri. Mereka menciptakan ketakutan di dalam pikiran agar berkenan menyembah Tuhan. Mereka membangun angan-angan kenikmatan di alam pikiran, baru kemudian menyembah Tuhan. 

Jika cara beragama kita demikian adanya, tentu saja kita akan berubah menjadi pribadi yang antisosial. Sebab, dalam kehidupan, kita hanya disibukkan dengan berbagai peningkatan ibadah yang sifatnya hanya ritualistik saja. Bukankah orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari penganut agama yang paling total dan benar itu sudah dapat dipastikan tidak akan berbaur-bergaul dengan 'yang lain'? Saya rasa jawabannya, iya. Mereka akan menganggap kelompok lain yang tidak sejalan sebagai sesat, kafir, dan melenceng dari kaidah agama yang mainstream. Mereka eksklusif dan tertutup.

Maka jika ingin bertuhan tanpa agama, jawaban saya, tentu saja bisa. Silakan saja menjadi seorang penghamba melalui jalan lain, misalnya menjadi penghamba Tuhan dengan tidak merusak lingkungan dan menciptakan peradaban kehidupan yang baik. Sebab, kristalisasi dari wujud cinta terhadap Tuhan adalah dengan mencintai segala yang diciptakan-Nya di bumi dan semesta ini. 

Disamping itu, saya juga menyarankan, agar alangkah lebih baiknya, tetap beragama dan mengikuti berbagai ritual keagamaan yang telah ditetapkan. Namun dalam melakukan ritual, hendaknya jangan hanya terpaku pada iming-iming (reward) dan hukuman (punishment) belaka. Kita juga harus tunduk-patuh dan fokus pada tujuan dari penghambaan kita: Allah, Tuhan Yang Mahasegala.

Terakhir, saya sampaikan bahwa ketika dalam beragama didapati kegelisahan hati, maka segeralah diubah cara anda beragama. Barangkali, anda salah guru. Tetapi jika masih saja gelisah setelah mendapat guru yang lebih baik, silakan tinggalkan agama dan bertuhanlah dengan tetap beribadah pada kemanusiaan dan semesta.


Sekian.

Rabu, 26 Februari 2020

Menyoal Klaim Kebenaran dalam Agama-Agama


Sumber gambar: detik.com
Akhir-akhir ini, aktivitas yang saya jalankan berkutat pada pertemuan atau interaksi lintas agama. Beberapa kali, saya juga mengikuti ibadah atau mengunjungi rumah ibadah agama lain sebagai upaya mempererat jalinan silaturahmi dan perdamaian antaragama. Bagi saya, dialog dan pertemuan menjadi kunci untuk membangun peradaban yang baik atas keberagaman kita. 

Di tengah aktivitas saya yang seperti itu, saya iseng-iseng membuka website islamlib.com, sebuah 'rumah online' untuk para pemikir liberal, yang ketika itu, beberapa tahun ke belakang, aktif dalam lingkaran diskusi yang diberi nama: Jaringan Islam Liberal. Di website itu, segala pemikiran yang mencerahkan ditumpahkan ke dalam bentuk tulisan, yang beberapa tulisan dalam website itu, masih relevan hingga saat ini.

Dalam keisengan itu, saya menemukan sebuah tulisan yang ciamik dari seorang pemikir kebanggaan. Dialah Ulil Abshar Abdalla, seorang pemikir Islam liberal yang kini memasuki ruang sunyi sufisme. Tulisan Mas Ulil yang terbit pada 8 November 2015 itu diberi judul 'Tentang "Truth Claim" dalam Agama-Agama'. 

Judul tersebut menarik, sehingga mendorong saya untuk mengetahui isi tulisannya. Sebuah pemikiran yang jujur dan tulus, yang mengungkapkan bahwa di setiap agama memang terdapat klaim kebenaran atau perasaan paling benar dari agama-agama yang lain. Mari kita akui saja, bahwa di setiap agama, setiap umat agama tertentu, pasti menganggap agamanya-lah yang paling superior; sementara agama yang lain, secara teologis, kita anggap keliru. 

Lalu, apakah yang demikian itu salah? Atau justru menghambat penciptaan sebuah peradaban yang damai? Apakah rasa paling benar itu justru akan menjadi benalu dari berbagai aktivitas lintas agama? Saya rasa, hal ini masih bisa kita diskusikan. 

Menurut Mas Ulil dalam tulisan itu, kita nyaris tidak bisa menghindari truth claim atau klaim atas kebenaran. Setiap pernyataan iman dari pemeluk agama manapun, pasti mengandung klaim bahwa apa yang diimaninya adalah hal yang benar. Bahkan, bukan saja benar, tetapi puncak atau menjadi satu-satunya kebenaran. Demikianlah seorang muslim misalnya, tentu mengimani bahwa agama yang dipeluknya itu adalah satu-satunya kebenaran yang sejati.

Al-Quran menegaskan bahwa agama yang paling benar menurut Tuhan adalah Islam (Surat Ali Imran ayat 19). Ayat ini dipahami oleh sebagian umat Islam sebagai penegasan atas klaim kebenaran itu, bahwa satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan adalah Islam. Di ayat lain, terdapat juga pengertian yang serupa. Dikatakan, dalam surat Ali Imran ayat 85, bahwa siapa pun yang mencari din atau agama selain Islam, Tuhan tidak akan menerimanya. 

"Meskipun, jika kita telaah secara lebih cermat, belum tentu kedua ayat itu menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan," demikian Mas Ulil menegaskan dalam tulisannya. 

Menurutnya, ayat tersebut bisa ditafsirkan dengan cara lain. Misalnya: kata 'Islam' dalam kedua ayat itu bisa saja maknanya bukan Islam dalam pengertian nama agama tertentu. Islam di ayat itu bisa juga dipahami dalam pengertian yang lebih universal, yakni ketundukan atau kepasrahan. 

Dengan demikian, ayat itu akan bermakna bukan menjadi klaim atas kebenaran, melainkan sebatas pernyataan bahwa din atau jalan penyembahan terhadap Tuhan yang benar adalah jalan yang di dalamnya ada sikap tunduk atau pasrah. Kemudian, agama yang sebenar-benarnya agama adalah yang mengandung ajaran ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan.

"Jika dimaknai dengan cara demikian, maka ayat di atas bukan menunjuk kepada satu agama saja. Ayat itu bisa mencakup agama mana saja yang mengajarkan sikap ketundukan," kata Mas Ulil.

Namun, terlepas dari kemungkinan tafsir yang berbeda atas dua ayat di atas, Mas Ulil tetap menegaskan, bahwa klaim kebenaran yang dimiliki oleh pemeluk agama tertentu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab, yang demikian itu, klaim atas kebenaran, bukan saja berlaku pada pemeluk Islam saja, tetapi juga agama-agama yang lain. 

Bagi sebagian besar intelektual muslim pluralis, pengertian dalam surat Ali Imran ayat 19 di atas itu bukanlah pernyataan tentang kebenaran yang secara eksklusif hanya ada dalam Islam, melainkan deklarasi tentang esensi agama: yakni ketundukan. Esensi tersebut bisa tersebar ke dalam semua agama, bukan hanya dalam Islam saja.

*****




Apakah klaim kebenaran yang tertutup, dengan sendirinya akan menimbulkan masalah dalam hubungan antar-agama? Tidak selalu demikian.

Sebab dalam berbagai aktivitas lintas agama yang saya jalani selama ini, ada banyak teman-teman, baik yang muslim atau yang beragama Kristen, yang siap berdialog, sekalipun di dalam hati mereka, saya yakin pasti terdapat sebuah keyakinan atas klaim kebenaran dalam agamanya. 

Begitu pula saya. Maka, beberapa waktu yang lalu, saya menulis sebuah caption pada sebuah foto di dalam gereja --yang saya unggah di dalam facebook: "Tuhan bersama orang-orang yang lentur dalam beragama dan teguh dalam keimanan".

Keimanan yang teguh atas doktrin keagamaan, menurut saya, sama sekali tidak menjadi penghalang untuk bisa melakukan komunikasi lintas agama atau berdialog dengan pemeluk agama lain. Namun, ini yang kerap terjadi, permasalahan yang timbul justru bukan lantaran kita berdialog dengan agama lain, melainkan dengan sesama golongan agama sendiri (saya: Islam) yang berbeda mazhab.

Bagi Mas Ulil, toleransi internal terhadap sesama muslim yang berbeda mazhab, rupanya jauh lebih sulit ketimbang membangun toleransi eksternal terhadap agama yang lain. Hal ini nyata sekali dalam kasus Sunni-Syiah atau kasus terhadap Ahmadiyah, dalam dekade ini. 

Mas Ulil mengungkapkan, "Sebagian kalangan Sunni lebih gampang berbicara dengan kalangan Kristen ketimbang dengan Syiah (dan Ahmadiyah). Sekte yang terakhir ini dipandang sebagai ancaman yang jauh lebih berbahaya ketimbang agama di luar Islam."

Sebenarnya, keadaan yang ideal adalah ketika seorang pemeluk agama bisa memiliki wawasan yang terbuka tentang klaim atas kebenaran itu tadi. Namun, jika kondisi ideal itu tidak juga tercapai, kita tidak serta-merta berhadapan dengan kiamat. Sebab pada umumnya, pemeluk agama pasti bisa menoleransi keberadaan pemeluk agama lain, meski mereka memiliki klaim atas kebenaran yang tertutup dan eksklusif.

Saat ini, derajat kemajemukan dalam masyarakat kian meninggi. Maka, alangkah lebih baiknya, pandangan tentang klaim atas kebenaran itu harus segera kita tinggalkan. Sehingga, masyarakat Indonesia bisa segera berada pada perkembangan yang sugnifikan, yakni dimana kontak antara pemeluk agama yang berbeda-beda makin sering terjadi, dan makin intensif. 

Dewasa ini, kita nyaris sulit membayangkan, jika ada seseorang yang sepanjang hidupnya hanya berada dalam lingkaran orang-orang atau masyarakat yang seagama saja. Pada momen tertentu dalam hidupnya, setiap orang di dunia ini pasti pernah bersinggungan atau berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama.

Kontak atau interaksi antaragama, menurut Mas Ulil, akan membuat pemahaman seseorang tentang orang lain yang berbeda keyakinan makin baik dan realistis. Prasangka-prasangka buruk tentang agama lain yang berasal dari warisan generasi masa lalu atau dari rumor yang tak jelas sumbernya, pelan-pelan bisa memudar.

Namun, kita tentu saja berada pada persoalan yang salah besar jika mengandaikan bahwa intensitas pertemuan atau interaksi antaragama sebagaimana yang tadi diungkapkan, akan seutuhnya memudarkan seluruh prasangka buruk mengenai agama atau keyakinan orang lain.

Sebagaimana kita tahu, kecanggihan komunikasi modern bukan saja membuka kemungkinan saling pengertian yang baik, tetapi juga membawa petaka yang benar-benar 'sialan', yaitu mudahnya virus kebencian antar kelompok ditularkan ke publik. Sarana komunikasi yang baik memang belum tentu menjamin kian baiknya kualitas komunikasi. 

"Dalam kasus-kasus tertentu, teknologi komunikasi yang canggih bisa juga memfasilitasi mis-komunikasi dalam skala dan magnitude yang sangat besar. Ini adalah paradoks dari masyarakat komunikasi modern," jelas Mas Ulil. 

Tetapi, Mas Ulil menaruh optimisme, bahwa akal sehat masyarakat bisa menjadi hakim yang baik. Kebencian memang bisa ditularkan dan dipropagandakan, tetapi jangan sesekali kita memiliki anggapan bahwa propaganda itu akan ditelan mentah-mentah oleh semua orang. Sebab, manusia bukanlah otomaton yang hanya menelan-tanpa-kunyah segala hal yang dilihat, dibaca, dan didengar.

Dengan optimisme terhadap akal sehat, maka pada akhirnya wawasan tentang klaim atas kebenaran agama, akan memudar dengan sendirinya, cepat atau lambat. Oleh karena kita lihat realitas Indonesia saat ini yang sangat majemuk dan heterogen, rasanya tidak berlebihan jika beranggapan bahwa pada akhirnya masyarakat akan bersikap rasional dalam menyikapi paham-paham atau keyakinan yang berlainan.

Setidaknya, publik akan pelan-pelan paham bahwa klaim atas kebenaran yang esklusif kian tak bisa dipertahankan dalam masyarakat yang begitu majemuk. Mereka, dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan berjumpa dengan orang-orang yang baik dari agama-agama lain. Perjumpaan tersebut akan membuat mereka memiliki pandangan yang lebih realistis tentang 'yang lain'.

Semua orang, dengan keyakinan yang beragam, pada akhirnya akan memiliki kesamaan dalam satu hal: manusia. Mereka semua adalah manusia, dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, melihat dan mencintai manusia karena dan atas kemanusiaannya adalah yang harus kita lakukan sebagai manusia seutuhnya. 

Wallahua'lam...

Selasa, 25 Februari 2020

Gus Mus Kiai Rakyat, Cerminan Nabi Muhammad


Sumber gambar: akun facebook Kalis Mardiasih

Di tengah hiruk-pikuk kebisingan ceramah agama (Islam) yang didominasi oleh narasi kebencian, ditambah lagi dengan para pemuka agama yang gemar 'manggung' sana-sini menyampaikan mauizoh hasanah; yang sebenarnya bahasan yang dikemukakan hanya itu-itu saja --meminjam istilah Gus Dur, yang seperti itu disebut sebagai 'Islam Kaset'. 

Belum lagi, ustadz-ustadz atau kiai-kiai yang dalam ceramahnya keserimpet omongan, salah tashrif, dan ngajak ribut melulu, yang meskipun begitu, mereka tetap santai-santai saja karena merasa sudah punya 'panggung' dan 'penonton' tetap. Bahkan, ustadz-ustadz atau kiai-kiai itu akan dengan mudahnya mendapat pembelaan membabi-buta dari jamaahnya. Sebuah pengkultusan yang salah-kaprah!

Agama, saat ini, tak ubahnya seperti ladang basah untuk meraup banyak keuntungan. Hanya dengan modal iming-iming surga dan pahala serta menakut-takuti neraka dan dosa, para pemuka agama akan dengan sangat mudah mendapat bayaran dan panggung yang 'wah' dari basis massa-nya. Tak jarang pula, hal tersebut, atau katakanlah pengkultusan itu, dimanfaatkan oleh pemuka agama tertentu agar panggungnya menjadi kokoh dan tak bisa dirobohkan oleh siapa saja. 

Ya, di tengah hiruk-pikuk dan fenomena yang seperti itu, saya kok tiba-tiba melihat postingan menarik di akun facebook Kalis Mardiasih. Seorang aktivis perempuan, Gusdurian, dan penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan serta Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! sekaligus juga kolomnis di beberapa media: --yang saya tahu dan saya sering baca artikelnya, di Mojokdotco dan Detikcom.

Postingan itu adalah sebuah foto bergambar sosok ulama sejuk dan menenteramkan, yakni Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Gambar Gus Mus itu terpampang di 'pantat' mobil truk berwarna kuning dengan tulisan The Winner dan 'juara sejati (adalah) orang yang mampu mengalahkan diri sendiri'.

Apa menariknya?

Biasanya, sepanjang yang saya tahu, gambar atau kata-kata yang ada di 'pantat' truk adalah cewek cantik dengan tulisan-tulisan yang unik, bahkan tak jarang, ditulis dengan kalimat yang menggugah syahwat. Namun sebagian besar, tulisan di belakang atau di 'pantat' truk --yang biasanya berseliweran di jalur Pantura-- adalah kalimat yang merakyat, yang melekat dengan kehidupan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah.

Nah kali ini, gambar di 'pantat' truk itu adalah seorang kiai: Gus Mus, ulama terkemuka di zaman ini. Lalu, kenapa? Ya, bagi orang NU, tentu saja ini membanggakan. Lantas, kenapa menarik untuk dibahas? Ya, jelas sangat menarik. 

Sebagaimana yang saya paparkan di awal-awal paragraf itu tadi, di tengah hiruk-pikuk keagamaan dan fenomena pemuka agama yang semakin tak jelas arahnya, ada seorang Gus Mus yang rupanya menjadi sosok yang sangat dicintai rakyat. Wajah yang berseri-seri serta nasihat yang sangat positif memberikan energi, menjadikan dirinya sangat lekat dan rekat dengan rakyat kecil.

Gus Mus tak hanya beretorika melakukan orasi dan memberikan nasihat-nasihat dari atas panggung (mauizoh hasanah) sebagaimana kebanyakan pemuka agama, tetapi Gus Mus pasti juga kerap melakoni kehidupan seperti rakyat biasa --yang itu kemudian menjadi teladan yang mesti dicontoh. Itulah yang disebut dengan uswatun hasanah; memberikan contoh, melakoni hidup, dan membersamai rakyat. 

Siapa yang tak kenal Gus Mus?

Dialah sosok kiai tawadhu (rendah hati), pemaaf, dan ceria. Siapa pun yang berbuat salah, seketika itu juga dimaafkannya, dan seketika itu pula si pembuat salah dibuat takjub dan kagum atas lakon hidup yang dijalani Gus Mus dengan apa adanya dan sangat sederhana. Bagi saya, Gus Mus adalah cerminan dari kiai rakyat yang betul-betul meneladani laku-lampah Nabi Muhammad. Dilakoninya betul, segala bentuk atau nilai kemanusiaan yang telah Nabi jalankan dulu. 

Maka, dewasa ini, jika kita usai membaca sejarah Nabi Muhammad, lengkap dengan perilaku-perilaku yang benar-benar memanusiakan-manusia, tengoklah Gus Mus. Dia adalah cerminan dari segala macam ajaran yang telah diteladankan Nabi Muhammad. Selain Gus Mus, tentu saja ada banyak kiai rakyat lain yang tidak terekspos oleh media. Oleh karenanya, Gus Mus menjadi representasi kiai rakyat yang dapat kita ketahui sekaligus teladani perilakunya. 

*****

Kalis Mardiasih, dalam postingan facebooknya itu, yang diunggah pada 17 Januari 2020 lalu, menulis sebagaimana berikut ini:

Teoriku, ciri-ciri kiai rakyat itu selain posternya dijual di acara haul, ya wajah dan nasihat beliau dimuliakan wong cilik sehingga didokumentasikan oleh sopir truk atau sopir bis. Kalau sampai dibikinin lagu trus dinyanyikan oleh penyanyi dangdut koplo, lha itu levelnya sudah wali.

Artinya, beliau-beliau ini mampu menyampaikan saripati agama yang njelimet dalam bahasa sederhana. Agama jadi nggak kayak buku test cpns yang harus dicentang-centang, tapi menjadi panduan hidup yang memudahkan, bahkan menemani kesusahan hidup sehari-hari. Bukan malah nambahi susah.

Kalau baru ceramah di yutup atau di tipi, berarti levelnya ya selebriti layar kaca.

Gambar dari twitter Mbak Admin Ienas Tsuroiya

(Klik di sini untuk melihat postingan Kalis Mardiasih)

*****

Artinya, Gus Mus adalah salah satu dari sekian banyak kiai rakyat yang sangat membumi di negeri ini, yang mampu memahamkan dalil-dalil keagamaan dengan sangat sederhana. Sehemat pemikiran saya, tulisan di 'pantat' truk yang diunggah di facebook oleh Kalis itu, merupakan penafsiran dari ungkapan nabi usai perang badar.

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, "Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah?" Rasul menjawab, "jihad (memerangi) hawa nafsu."

Saya yakin, Gus Mus dengan ciamik menyampaikan pesan Nabi itu dengan kalimat yang sederhana, sehingga rakyat mencintainya. Gus Mus juga, seyakin saya, senang membuat rakyat menjadi berbunga hatinya lantaran isi ceramah dan laku-lampah yang dilakoninya penuh dengan motivasi agar rakyat terus bertambah kebaikannya.

Karenanya, agar rakyat hidupnya menjadi baik, Gus Mus kemudian menafsirkan pesan Nabi itu dengan narasi yang membangkitkan semangat untuk terus bergerak, mengalahkan ego yang terpatri dalam kalbu. Ingatan rakyat terhadap kalimat penyejuk yang disampaikan Gus Mus itu lalu diabadikan di 'pantat' truk. Tujuannya, barangkali, agar orang-orang (pengendara) lainnya yang ada di belakang dapat membaca dan tidak ugal-ugalan dalam berkendara. 

Lebih jauh, bisa jadi, menurut saya, para pengendara yang membaca tulisan itu, kemudian akan selalu mengingat dalam pikirannya sehingga menjadi tindakan nyata dalam kehidupan. Betapa mulianya yang dilakukan Gus Mus. Ganjaran kebaikan dari Allah tentu saja akan mengalir terus kepadanya, melalui washilah (perantara) kalimat sederhana yang sangat menyentuh, yang ditempatkan di 'pantat' truk itu. 

Siapa yang ingin menjadi juara (dalam kehidupan)? Ayo, kalahkan diri sendiri (ego). Sebab kini, jihad yang paling akbar bukan lagi mengangkat senjata seraya melumpuhkan lawan dengan amarah dan kebencian yang membabi-buta, tetapi jihad yang paling akbar adalah apabila kita mampu mengalahkan diri sendiri; mengalahkan ego; untuk tidak membenci, menghina, dan mencaci. 

Pada pemaknaan yang lain, Gus Dur semasa hidupnya, seringkali menyampaikan kalimat mutiara yang diungkapkan Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam bukunya yang sangat terkenal: Al-Hikam. 

إِدْفِنْ وُجُودَكَ فِى اَرْضِ الْخُمُولِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يدْفَنْ لَا يَتِمُّ نِتَاجُهُ

Tanamlah eksistensimu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah matang

Jadi, bagi saya, melawan diri sendiri berarti juga mampu melumpuhkan ego untuk bisa menjadi terkenal, menghancurkan virus 'star-syndrome'. Kata-kata indah Ibnu Athaillah itu patut kita renungi di tengah berbagai kemudahan untuk menjadi terkenal, seperti sekarang ini. Rasa ingin menjadi terkenal itulah yang dimaksud sebagai ego, dan harus dilawan. Itulah yang dimaksud oleh Gus Mus: melawan diri sendiri. Itu juga yang dimaksud oleh Nabi Muhammad sebagai 'jihad memerangi hawa nafsu'. 

Terakhir, sekali lagi saya ingin menyampaikan bahwa Gus Mus tidak hanya menjadi ulama yang pandai beretorika, tetapi juga melakukan teladan melalui perilaku yang baik dan sesuai dengan yang diucapkannya di kehidupan nyata. Melawan diri sendiri itu, salah satunya telah dilakukan oleh Gus Mus, saat dirinya menolak jabatan sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar NU di Jombang pada 2015 lalu, yang kemudian digantikan oleh KH Ma'ruf Amin. 

Lalu, bisakah kita menanam eksistensi sedalam-dalamnya, padahal berbagai kemudahan tengah ada dan tersedia di hadapan kita? Bisakah kita melawan diri sendiri, melawan ego, melawan berbagai keinginan yang didasari dari syahwat dan hawa nafsu; termasuk riya' dalam beribadah? Wallahua'lam...

Senin, 24 Februari 2020

BANJIR: Doa untuk Gubernur Anies Baswedan


Sumber gambar: sindonews.com

Jakarta banjir lagi. Bahkan, kini banjir datang di setiap pekan. Gubernur Anies Baswedan kembali menjadi sasaran utama dari ocehan warganet di linimasa media sosial. Oleh sebab, Anies Baswedan terpilih sebagai gubernur karena isu agama, maka dalam hal menyikapi banjir Jakarta ini, mari kita menggunakan pendekatan ketuhanan.

Abang kandung saya, Ale Nisfu, menulis sebuah untaian doa yang ciamik untuk Gubernur kebanggaannya (abang saya adalah warga Jakarta, sementara saya kini sudah berkewarganegaraan Bekasi). Doa itu ditulis dan diungkapkannya, seyakin saya, merupakan sebuah letupan suara kalbu yang murni dan tulus dilahirkan dari perasaan cinta yang sangat mendalam.

*****

Begini doanya:

Alhamdulillah ya Allah, melalui washilah (perantara) Bapak Anies Baswedan yang Engkau angkat menjadi Gubernur DKI, kini sebagian besar masyarakat DKI bisa menjadi manusia yang nrimo ing pandum (lapang dada) dan selalu berhusnudzon (berprasangka baik) terhadap setiap takdir yang Engkau gariskan.

Salah satu indikator bahwa sebagian besar masyarakat DKI menjadi jembar hatinya adalah bahwa mereka tidak mengeluh terkait musibah banjir yang Engkau takdirkan. Mereka juga sudah tidak lagi menyalahkan pemerintah, baik tingkat nasional maupun daerah, terkait musibah banjir di tahun 2020 ini. Karena mereka semua sudah berprasangka baik kepada pemerintah, bahwa pemerintah sudah maksimal dalam bekerja. Sudah melakukan segala cara agar masyarakat DKI bahagia. Tapi memang, kalau Engkau sudah berkehendak, Jakarta banjir, maka tidak ada yang mampu mengelaknya. 

Ya Allah, aku mohon jadikanlah Bapak Anies Baswedan ini sebagai Presiden Indonesia di tahun 2024 nanti, agar sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki 'dada yang lebar' seperti sebagian besar masyarakat DKI. Kalau boleh minta lebih, ya Allah, saya memohon kepada-Mu, jadikanlah Bapak Anies Baswedan ini sebagai Sekjen PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), agar semua umat manusia memiliki hati seperti sebagian besar masyarakat DKI Jakarta. 

Kalau memang permohonan saya agar Bapak Anies Baswedan menjadi Presiden RI atau jadi Sekjen PBB tidak Engkau kabulkan, ya Allah, minimal jadikanlah Bapak Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta selamanya. (Bahkan) kalau bisa dunia akhirat. Aamiin. 

Semoga mereka yang masih mengeluh dan menyalahkan pemerintah terkait musibah banjir ini, mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Aamiin, aamiin, aamiin ya robbal alamin.

*****

Demikianlah untaian doa yang dipanjatkan abang saya itu di laman facebooknya. Semoga segala yang diinginkan, diharapkan, dan diungkapkan dalam kalimat doa itu dapat dikabulkan oleh Allah; Tuhan Penguasa Banjir.

Lalu, apa doamu untuk Pak Gubernur Anies Baswedan, gaes? Yuk, berdoa!

Jumat, 21 Februari 2020

JUMATAN: Khutbah Kebencian di Masjid Pondok Pesantren


Ilustrasi. Sumber gambar: alif.id

Sejak April 2013, saya sudah tinggal dan menetap di Bekasi. Kehidupan baru, saya mulai dengan berbagai dinamika yang ada, termasuk budayanya yang berbeda sama sekali dengan budaya Cirebon, yang saya tinggali sejak 2009. Atau pun, Bekasi ini berbeda juga budayanya dengan Jakarta, yang saya tinggali sejak lahir hingga 2009. 

Persis di belakang rumah saya, ada pesantren yang sangat megah. Saya tentu merasa bahagia karena tempat tinggal saat ini, tidak jauh-jauh dari lingkungan pesantren yang lebih religius dan surgawi. Tapi, belakangan saya tahu, sekalipun pesantren yang persis berada di belakang rumah saya itu beramaliyah Ahlussunnah wal Jamaah ala Nahdlatul Ulama, tetapi fikrah, ghirah, dan harakahnya tidak sama sekali mengikuti ulama NU. Pesantren itu lebih cenderung berafiliasi dengan FPI, PKS, dan sejenisnya. 

Hal tersebut saya ketahui saat beberapa kali Jumatan di sana, tentu pada awal-awal saya tinggal di Bekasi. Setiap kali Jumatan, hati saya merasa dongkol, kesal, dan sakit hati lantaran khutbah para khutobanya yang seenaknya saja. Barangkali mereka tak mengindahkan penduduk di sekitar, karena mungkin saja ada nonmuslim yang mendengarkan isi khutbah yang menjengkelkan itu. Sungguh, sebuah potret kesewenang-wenangan kelompok mayoritas di tengah lingkungan yang sangat heterogen. 

Selama setahun, periode 2013-2014, saya Jumatan setiap pekan di sana. Sebab, saya tidak tahu harus ke mana lagi. Maklum, saya ini orang baru yang tak paham medan atau lingkungan di sini. Maka, berkali-kali pula, saya jengkel setiap mendengar khutbah dari seorang kiai, yang ketika itu, saya curigai sebagai pengasuh pesantren. Kini, benar kecurigaan saya itu, bahwa yang gemar menyampaikan khutbah kebencian itu adalah kiai pengasuh pesantren itu yang oleh sebagian besar orang dihormati, lantaran keilmuannya.

Jadi, begini ceritanya.

Ketika itu, sedang santer isu pendirian Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi Utara. Nah, di setiap khutbah Jumat, terseliplah ujaran kebencian menolak pendirian gereja itu. Bahkan, Walikota Bekasi H Rahmat Effendi menjadi bulan-bulanan yang masuk ke dalam pembicaraan khutbah yang penuh dengan kedengkian. Pasalnya, kita ketahui bersama bahwa Walikota Bekasi berani pasang badan atas Santa Clara itu. 

"Lebih baik ditembak kepala saya, daripada harus mencabut izin membangun gereja itu," kira-kira seperti itu kalimat yang dilontarkan kiai pengasuh pesantren dalam khutbah Jumat, meniru ungkapan Walikota Bekasi. Kalimat ini semacam trigger untuk masuk ke pembahasan yang lebih dalam. 

Saya merasa heran, khutbah Jumat yang seharusnya penuh khidmat dan tenang, tapi ini justru menjadi ajang untuk menyerang, melempar kebencian, dan mengajak orang lain untuk bermusuhan. Khutbah seperti ini, jujur saja, baru saya temui di Bekasi, sepanjang saya hidup hingga tahun 2014. Saya betul-betul kaget bukan kepalang. 

Menurut kiai itu, Walikota Bekasi sudah bisa dihukumi halal darahnya untuk dibunuh karena ungkapannya menyakiti hati umat Islam, padahal Rahmat Effendi itu merupakan orang yang juga beragama Islam. Itulah yang disebut sebagai pengkhianat. Secara hukum Islam, kata sang kiai, yang namanya orang berkhianat itu harus dibunuh. Sebab kalau tidak, dia akan menjadi bom waktu untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan beragama bagi umat Islam. Singkatnya, ke depan, dia akan banyak merugikan kelompok Islam. 

Lebih jauh, sepanjang tahun 2013-2014, saya seringkali menjadi saksi betapa kiai dan para asatidz di sana, yang menjadi khotib Jumat secara bergantian, mengajak umat Islam yang ada di dalam masjid itu untuk turun ke jalan, melakukan aksi penolakan terhadap pendirian bangunan gereja pada bakda Jumatan. Mereka akan menggeruduk kantor Walikota Bekasi. Tapi toh, nyatanya, yang turun ke jalan hanya didominasi oleh santri yang masih di bawah umur.

"Hati-hati, kristenisasi akan menjalar di Bekasi yang julukannya adalah kota santri ini. Jangan sampai akidah anak-cucu kita luntur dan akhirnya murtad karena misionaris-misionaris dari gereja itu. Inilah yang harus kita waspadai sebagai muslim," kata kiai itu menggebu-gebu dalam khutbah Jumat, bahkan hampir di setiap Jumatan pada sekitar tahun 2013-2014, begitulah khutbahnya. 

Ketika itu, saya masih belum bereaksi. Hanya menggumam dan menggibahi isi khutbah itu bersama bapak dan abang saya, setiap kali pulang Jumatan. Ini sungguh meresahkan banyak orang. Belakangan, saya juga mendengar banyak keluhan mengenai khutbah Jumat yang seenaknya itu.

Namun, keluhan itu berangkat bukan dari tema pendirian gereja saja, tetapi juga kerap menyinggung hal-hal sensitif. Seperti dengan mudahnya menghukumi seorang muslim menjadi kafir bagi yang mengucapkan selamat natal, masuk ke dalam rumah ibadah agama lain, merayakan tahun baru masehi, merayakan valentine, dan lain sebagainya. 

Gaya khutbahnya pun seperti ceramah biasa. Tangannya berkali-kali menunjuk ke depan, mengajak audiens untuk bercanda, dan khutbahnya lama sekali. Sampai berkali-kali saya tidur pulas dalam keadaan duduk, kemudian bangun, kemudian tidur lagi, kemudian bangun lagi, khutbah belum juga selesai. Ini benar-benar khutbah Jumat yang sangat menjengkelkan dalam hidup saya. 

Sebenarnya, masih ada pengalaman saya mengikuti khutbah Jumat di masjid pesantren ini. Yakni, saat sang kiai itu membahas Basuki Tjahaja Purnama yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, lantaran Joko Widodo mengikuti kontes Pemilihan Presiden 2014. Lebih-lebih saat BTP tersangkut masalah 'penodaan agama'. Pesantren inilah yang paling getol menggibahi BTP setiap Jumatan. Bahkan, di salah satu sudut pesantren ada sebuah banner berukuran 3x1 meter, bertuliskan: Bunuh si Penista Agama.


Tapi saya rasa, untuk kisah BTP yang menjadi tema khusus khutbah Jumat di pesantren dekat rumah saya itu, tidak perlulah saya ungkap lebih lengkapnya dalam tulisan ini. Saya hanya berharap, semoga anda semua, yang membaca tulisan ini, pada Jumat kali ini, tidak salah masuk masjid, sehingga terpaksa harus mendengarkan khutbah dari khotib yang kepala batu, yang isi khutbahnya hanya mencaci, menjelek-jelekkan, dan mengajak untuk membenci sekaligus bermusuhan dengan yang lain. Hati-hati, ya. 

Terakhir, saya ingin menyampaikan, kalau khutbahnya masih begitu-begitu saja, tidak ada kebaruan dalam penyampaiannya, maka itu justru akan merusak Islam. Pertama, umat Islam akan berbondong-bondong meninggalkan Jumatan dan lebih memilih untuk menggantinya dengan salat zuhur di rumah. Kedua, umat non-Islam akan menganggap bahwa salat Jumat adalah ibadah yang penuh dengan nuansa kebencian. 

Dan akhirnya, saya memutuskan untuk pindah ke masjid yang posisinya agak jauh dari rumah, tapi sebenarnya masjid inilah yang masih berada dalam satu lingkungan dengan rumah saya. Kalau masjid di pesantren itu tadi, sebenarnya sudah beda kampung, hanya saja jaraknya yang sangat dekat. Bagaimana kisahnya? 

Bersambung...

Selasa, 18 Februari 2020

Meneladani Nabi Ibrahim untuk Bekal Pemuda Masa Kini


Ilustrasi. Sumber: islami.co

Sahabat saya, Rizki Prayogo, menulis dalam websitenya yang diberi judul: "Teladan Nabi Ibrahim untuk Pemuda Masa Kini". Sebagai pemuda, saya menaruh salut dan bangga terhadap jejak langkahnya selama ini.

Yogo, begitu saya menyapanya, adalah seorang mahasiswa Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Sering saya mengajukan kelakar kepadanya bahwa Yogo ini merupakan mufassir (ahli tafsir) di kemudian hari, yang ilmu dan kecerdasannya sangat mumpuni.

Kepeduliannya terhadap kehidupan pemuda di era sekarang, patut diacungi jempol. Berkali-kali, dia punya gagasan penting untuk kemudian diejawantahkan demi mengubah mindset para pemuda. Bahwa pemuda jangan hanya banyak rebahan, tetapi juga harus berjuang hingga sungguh. 

Keahlian dalam menafsir kitab suci, ditumpahkannya menjadi sebuah tulisan dengan sangat ciamik dalam websitenya: Catatan Prayogo. Menurutnya, hampir setiap individu pasti meyakini tentang keberadaan dan eksistensi pemuda di tengah peradaban umat manusia. Hal tersebut seperti dapat kita lihat melalui berbagai pernyataan dari banyak tokoh besar di dunia mengenai pemuda. 

Imam Syafi'i pernah mengatakan, "Barangsiapa yang tidak belajar pada waktu mudanya, maka bertakbirlah empat kali atas kematiannya." Selain itu, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno pernah mengungkapkan dalam retorikanya yang berapi-api, "Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia." Bahkan dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menyampaikan bahwa segala hal yang dilakukan pada masa muda akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat."

Bagi Yogo, hal tersebut diatas menjadi alasan kuat bahwa optimalisasi peran pemuda menjadi sangat penting. Karenanya, diperlukan berbagai komponen untuk membangkitkan peran pemuda, salah satunya melalui mentalitas. Maka, dalam hal ini, Yogo akan mengulas tentang bagaimana potret pemuda jempolan dalam kajian Al-Quran.

Definisi Mental

Mental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat tenaga atau tenaga. Pada perkembangan psikologi, belum ditemukan secara definitif pengertian mutlak terkait mental. Namun secara umum, mentalitas berkaitan dengan akal pikiran (rasio), jiwa, hati, etika, moral, dan tingkah laku. Kesatuan itulah yang akan membentuk mental dan citra diri setiap manusia.

Yogo yang merupakan santri alumni Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi, mengutip pernyataan KH Noer Ali bahwa dalam diri manusia terdapat tiga dimensi. Ketiga itu adalah ruh, fisik, dan mental. Mental adalah hasil dari perpaduan ruh dan fisik. Sehingga, terbentuklah mental yang membawa pada qalbun salim, yang bisa kita lihat dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 88. Jadi, jika ruh banyak diberikan asupan ruhaniyah dan fisik diajak untuk mempraktikkan ajaran-ajaran kebaikan, maka akan muncul mental hamba yang taat, bermartabat, dan manfaat.

Tak hanya itu, Yogo juga mengutip pendapat Imam Ghazali dalam kitab Al-'Ajaaib Al-Qalb (keajaiban hati). Menurut Imam Ghazali, di dalam diri manusia terdapat berbagai unsur yang halus atau disebut sebagai lathaif. Diantara dari unsur itu adalah ruh, akal, nafsu, dan hati.

Pertama, ruh adalah bagian yang Allah tiupkan kepada manusia sehingga menjadi hidup dan memiliki nyawa. Kedua, ruh merupakan fasilitas yang Allah berikan untuk digunakan sebagai alat pencerna berbagai macam informasi yang diterima. Ketiga, nafsu dimaknai sebagai tempat berkumpulnya kekuatan amarah dan syahwat. Sedangkan nafsu dibagi menjadi tiga, yakni muthmainnah, lawwamah, dan amarah bi al-suu'. Keempat, hati berarti lathaif yang bersifat rabbaniyah (ketuhanan).

Pengertian-pengertian itu, disimpulkan Yogo, bahwa mentalitas yang baik akan terbentuk saat manusia senantiasa berupaya untuk menyelaraskan hablumminallah dan hablumminannas. Yakni menjaga hubungan vertikal dengan beribadah seraya memanifestasikan hasil ibadahnya dalam bentuk kontribusi terhadap sesama atau hubungan horizontal dengan makhluk-Nya.

Pemuda dalam Sorotan Masa Kini

Rizki Prayogo

Menurut Yogo, saat ini Indonesia disebut memiliki angka yang menguntungkan karena punya banyak penduduk yang berusia produktif. Karenanya, Indonesia digadang-gadang bakal mencapai masa keemasan pada 2045, jika dapat mengolah berbagai potensi yang ada dengan maksimal.

Namun demikian, kita tak boleh larut dalam iming-iming yang ada. Kenapa? Sebab, jika pemuda yang sedang dalam masa produktif ini gagal dibina secara optimal, maka yang terjadi adalah sebaliknya: Indonesia tidak akan menggapai masa keemasan pada 2045.

Diantara hal yang memprihatinkan adalah maraknya publikasi kebodohan yang dilakukan oleh pemuda negeri ini. Dengan hanya bermodal mencari popularitas, maka jadilah apa saja yang akan dilakukan pemuda untuk menggapai polularitas itu. Bahkan tak jarang, para pemuda kita membagikan video challange yang mengajak untuk berbuat usil dan menyakiti perasaan. Maka, untuk meminimalisasi hal yang demikian itu, Yogo mengajak kita untuk sejenak menelaah berbagai kisah hikmah dan ayat-ayat suci untuk merekonstruksi mental pemuda bangsa.

Kisah dan Teladan Pemuda dalam Al-Quran

Di Al-Quran terdapat salah satu kisah yang patut kita telaah kembali. Kisah ini cukup memberikan pesan yang dapat memberikan semangat dalam masa muda kita. Yakni kisah Nabi Ibrahim yang tertuang dalam Surat Al-Anbiya ayat 54 hingga 69. Potret kisah ini menarik untuk dipelajari.

Ketika itu, Nabi Ibrahim tidak semata-mata menyampaikan dakwah Tauhid pada kaumnya dengan dalil, tetapi juga dengan rasionalitas. Saat kaum Nabi Ibrahim diingatkan mengenai kesesatan lantaran kerap menyembah berhala-berhala, mereka menolak apa yang disampaikan Ibrahim dan berkata: "Kami menyembah apa yang bapak kami sembah."

Untuk itu, Nabi Ibrahim kemudian merancang aksinya dengan berpura-pura memiliki penyakit yang menular agar orang-orang menjauhinya. Ketika tempat berhala sepi karena masyarakat menjauhi Nabi Ibrahim lantaran khawatir tertular penyakitnya, dia akhirnya mendatangi tempat tersebut dan menemukan s""lesajian untuk berhala-berhala yang menjadi sesembahan itu.

"Untuk apa makanan ini disajikan? Siapa yang akan memakannya?"

Demikian pertanyaan Nabi Ibrahim yang dilontarkan kepada kaumnya yang sesat itu. Namun, satu pun tak ada yang menjawab. Maka, Nabi Ibrahim menghancurkan seluruh patung yang ada dan menyisakan patung paling besar diantara patung-patung yang lain.

Saat orang-orang mengetahui hancurnya berhala yang dituhankan, mereka mencari siapa pelaku dibalik kerusakan itu. Ketika salah seorang dari mereka menyebut seorang pemuda bernama Ibrahim, maka mereka lantas memanggilnya.

Lalu mengajukan tanya: "Apakah kamu yang melakukan ini terhadap Tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?"

"Tidak, tanyakan saja pada patung yang paling besar itu, jika dia dapat berbicara," sahut Nabi Ibrahim.

Mereka termenung sejenak. Lalu memutuskan untuk menghukum Nabi Ibrahim dengan cara dibakar hidup-hidup. Namun, Nabi Ibrahim, kala itu, kembali mengingatkan kaumnya dengan sebuah pernyataan, "Untuk apa kau menyembah (yang kau anggap) Tuhan, tapi tidak membawa kebaikan?"

Akhirnya, Nabi Ibrahim dibawa menuju tempat eksekusi dan kemudian turunlah rahmat (kasih-sayang) Allah yang menjadikan api itu menjadi sejuk. Lalu, apa yang bisa kita petik sebagai hikmah untuk kemudian menjadi daya lecut dan penyemangat bagi hidup dan kehidupan para pemuda kekinian?

Dari kisah yang demikian diceritakan dalam Al-Quran itu, Yogo menyebut bahwa sosok Nabi Ibrahim merupakan seorang yang berani bergerak maju dan memiki keyakinan yang tangguh. Maka, ada beberapa hal yang dapat kita petik sebagai hikmah, pelajaran, dan pembelajaran bagi kita yang merupakan pemuda di era modern seperti sekarang ini. 

Pertama, Nabi Ibrahim memiliki nalar yang kritis. Dia mampu berpikir secara rasional dengan berani menyebut bahwa berhala yang menjadi sesembahan kaumnya itu sama sekali tidak mendatangkan kebermanfaatan.

Kedua, Nabi Ibrahim adalah sosok yang cerdas. Dia menaruh kapak pada berhala yang paling besar. Tujuannya, agar orang-orang yang menyembah patung itu mampu berpikir, bahwa berhala itu tidak dapat berbicara dan memukul. Dengan demikian, kenapa harus disembah dan dijadikan sebagai tuhan?

Ketiga, Nabi Ibrahim memiliki mental yang pemberani dan tangguh. Ketangguhan itu merupakan buah dari keyakinan yang sungguh di dalam hatinya, sekaligus memiliki daya gerak yang dilakukan oleh fisik, sehingga melahirkan keberanian untuk melakukan sebuah kebaikan.

Simpulan

Dari berbagai pemaparan diatas itu, akhirnya Yogo menyimpulkan bahwa sebagai pemuda yang menjadi tumpuan masa depan bangsa dan agama, maka haruslah menyibukkan diri dalam kesehariannya dengan mencari ilmu seraya melakukan ibadah secara tekun agar dapat mengisi kekosongan hati dan pikiran.

Sebab, daya dobrak pemuda tidak akan muncul tanpa bekal dan kapasitas diri yang mumpuni. Perkembangan zaman boleh dijadikan fasilitas untuk kemudahan dalam berbagai akses, tapi itu bukanlah menjadi tujuan kehidupan. Bagi Yogo, pemuda yang besar tidak dilahirkan dengan situasi yang biasa-biasa saja.

Hal ini tercermin dari sepak terjang Nabi Muhammad Saw, yang berjuang tanpa ayah dan ibu di masa muda. Dalam kesehariannya, Nabi hanya menjadi penggembala domba bersama Abu Thalib hingga kemudian tumbuh sebagai sosok pemuda yang dijuluki Al-Amin (dapat dipercaya).

Begitu pun yang patut kita teladani dari Nabi Ibrahim yang mampu mengisi masa muda dengan pengembaraan pemikiran yang mengantarkannya memiliki keyakinan dan keteguhan. Maka, setidaknya sebagai pengampu masa depan agama dan bangsa, pemuda harus punya mentalitas yang berkeyakinan teguh, beramal saleh, dan tentu saja berkontribusi di masyarakat. Sehingga, dengan demikian, pemuda mampu menjadi pemegang komponen etik dan etos sebagai bekal utama menghadapi tantangan.

Wallahua'lam...

Senin, 17 Februari 2020

Belajar Melayani Kemanusiaan dari Ayah Enha


Ayah Enha
Tulisan ini bukan bentuk testimoni, tetapi isyhad. Sebuah persaksian atas perjalanan saya selama ini yang kerap bersinggungan dengan sosok yang dalam hidupnya penuh dengan ketulusan dan totalitas pelayanan yang sungguh. Dia adalah KH Ahmad Nurul Huda atau yang akrab saya memanggilnya: Ayah Enha. 

Kediamannya berada di pelosok Bekasi. Tepatnya di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Di sanalah terdapat sebuah istana yang cukup megah. Berdiri di atas luas tanah, yang kini sekira 7000 meter persegi.

Istana itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Maka, disebutlah Istana Yatim Nurul Mukhlisin atau Pesantren Motivasi Indonesia. Istana ini diasuh oleh KH Nurul Huda, seorang Ketua Divisi Usaha dan Pengembangan Ekonomi Umat Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU).

Kenapa dinamai Istana Yatim? Berdasarkan wawancara saya dengan Abdul Rasyid, salah seorang guru sekaligus santri ndalem di sana, Istana Yatim ini merupakan kado cinta dari Ayah Enha kepada sang istri terkasih: Bunda Hj Nunung Umi Kalsum. 

Kisahnya dituturkan bahwa pada malam pertama pernikahan, Ayah Enha mengajukan tanya kepada Bunda Nunung mengenai sebuah keinginan yang mesti dipenuhi oleh Ayah Enha sebagai seorang suami. Lalu, Bunda Nunung menjawab bahwa dia ingin sekali memiliki rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang menjadi kesayangan Rasulullah Muhammad Saw. 

"Bunda mah nggak minta rumah bagus," demikian tutur Rasyid, menirukan ucapan Bunda Nunung dengan perasaan yang sungguh haru.

Di awal-awal pernikahannya, Ayah Enha tinggal bersama ayahnya, Almaghfurlah Buya KH Muhali bin H Abdul Muthalib, di Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur, yang kini jasadnya dimakamkan di Masjid Nurul Anwar, di Komplek Pesantren Motivasi Indonesia, di samping rumahnya.

Bertahun-tahun, Ayah Enha ditahan oleh sang ayah untuk tidak pindah rumah. Berbagai upaya dilakukan oleh Buya Muhali agar Ayah Enha tak pindah rumah. Salah satunya adalah Buya memberikan syarat, yakni kalau ingin pindah rumah maka terlebih dulu harus mencari dan memiliki pengganti untuk mengurusi sekolah serta majelis taklim di Kampung Sumur. Sebuah syarat yang susah-susah gampang. 

Namun lambat-laun, Ayah Enha berhasil meyakinkan Buya Muhali untuk kemudian bisa pindah rumah dan mengembangkan dakwahnya. Bahkan, mewujudkan keinginan sang istri: membangun Istana Yatim. Pertama kali pindah rumah, Ayah Enha berdomisili di Jatiasih yang menjadi embrio Istana Yatim. Di sana, dibuatlah majelis taklim. Saban Jumat, anak-anak yatim disantuni: diberi makan dan uang.

Bagi Rasyid, barangkali, demikianlah Ayah Enha tabarukan dengan anak yatim. Sebab ketika itu, Ayah Enha bersama Bunda Nunung pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Namun itulah ujiannya. Ujian yang menjadikan keduanya lebih kuat istiqamahnya. Yakni, istiqamah menyantuni anak-anak yatim.

Hidup dua sejoli pecinta anak yatim itu semakin terpuruk dan mendapat ujian yang lebih berat, saat Ayah Enha memutuskan untuk mengundurkan diri dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS, sekarang ASN) di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai penghulu.

"Itulah titik tersulit Ayah Enha," timpal Shobur, yang juga seorang guru di Pesantren Motivasi Indonesia, selain Rasyid. Di saat-saat tersulit itu, Buya Muhali kemudian memberikan sebidang tanah kepada Kiai Enha untuk dikembangkan menjadi 'ruang dakwah' baru.

Dalam suatu kesempatan bertemu dengan para santrinya, Ayah Enha pernah berujar, "Ayah tidak diwariskan harta-benda oleh Buya dan Umi, tapi hanya diwariskan sebidang tanah seluas 3000 meter untuk dibangun menjadi sebuah pesantren."

Tanah itu adalah lokasi Istana Yatim, Pesantren Motivasi Indonesia saat ini, yang kini luasnya menjadi 7000 meter persegi. Pembangunan dimulai sejak 2011. Saat itu, cikal-bakal, pada masa awal-awal, Istana Yatim masih dalam bentuk saung bambu. Sementara peletakan batu pertama adalah untuk mendirikan masjid dan asrama, dilaksanakan pada 17 Februari 2012. Inilah awal berdirinya Pesantren Motivasi Indonesia: Istana Yatim, yang tercatat sejarah. Kini, tepat di hari ini, usianya sudah delapan tahun. 

Pesantren ini, besar kemungkinan, tidak akan pernah terwujud, kalau tanpa Bunda Nunung. Atau tidak mungkin pernah ada Istana Yatim, jika Bunda Nunung tidak mengungkap keinginannya. Atau tidak akan pernah ada perayaan ulang tahun kedelapan yang sangat megah, pada 16 Februari 2020, kalau Ayah Enha tidak mengajukan pertanyaan ke Bunda Nunung saat malam pertama pernikahan mereka. Sebuah takdir baik yang mesti disyukuri, setelah melewati berbagai proses yang panjang dan berliku.

Di awal-awal berdirinya, santri Pesantren Motivasi Indonesia hanya terdapat sekitar 20 anak yang menjadi santri pada generasi pertama. Mereka adalah anak yatim yang diboyong Ayah Enha dari Jatiasih untuk mondok di pesantren yang terletak di Kampung Cinyosog. Hingga kini, sebagian besar santri adalah yatim.

Walau membawa embel-embel yatim, Ayah Enha tidak akan pernah menerima atau bahkan menentang keras santunan-santunan yang kerapkali dilakukan, seperti misalnya di bulan Muharram atau pada saat Ramadan. Sebab yang demikian itu adalah bentuk eksploitasi anak yatim. Pantas saja ditolak mentah-mentah acapkali ada pihak yang ingin melakukan 'pencitraan' bersama anak yatim.

"Perbuatan itu, bagi Ayah, bukan bertujuan untuk menghibur atau mendidik, tapi justru seperti eksploitasi terhadap anak yatim," kata Rasyid menjelaskan amanat Ayah Enha. 

Namun demikian, kata Rasyid, Istana Yatim tidak pernah menolak atau akan menerima berbagai pihak yang ingin menyantuni dalam bentuk pemberdayaan. Seperti misalnya dalam bentuk penguatan atau pengadaan infrastruktur dan alat-alat yang menunjang pendidikan bagi santri.

Ulang Tahun Pesantren Motivasi Indonesia



Semalam, saya hadir dalam perayaan ulang tahun kedelapan Pesantren Motivasi Indonesia. Saya duduk di barisan paling belakang, memandang para tamu yang hadir, sekaligus menyaksikan berbagai peristiwa yang membuat saya berkali-kali haru dan sempat beberapa kali menitikkan air mata. 

Di atas panggung yang kini sudah sangat megah itu, ada sebuah kalimat terpampang dengan gagah: Love All Serve All. Sebuah jargon dari Hard Rock Cafe yang sarat makna, kemudian diadopsi menjadi motto Pesantren Motivasi Indonesia yang sangat membanggakan. Memang demikianlah value dari berbagai ajaran yang telah dipahamkan Ayah Enha kepada para santri-santrinya. 

Maka tak heran, adegan santri yang melayani para tamu yang hadir, sangat mengesankan hati. Berkali-kali Ayah Enha mengatakan, bahkan hampir di setiap pertemuan, bahwa puncak dari keberagamaan dan kehambaan diri kita kepada Allah adalah pelayanan kepada seluruh makhluk-Nya di semesta. Ini yang menjadi kunci kesuksesan Ayah Enha, yang patut diteladani oleh siapa pun juga. 

Love All Serve All, bukan sembarang jargon atau motto yang tertera di atas panggung sebagai penghias. Namun, motto itu benar-benar diterapkan dalam laku kehidupan Ayah Enha dan ditularkan kepada seluruh santrinya. Tak heran juga, Intelektual Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla, dalam Haul Gus Dur ke-10, pada 25 Januari 2020 lalu, menyebut Ayah Enha sebagai kelahiran kembali dari Gus Dur.

Ayah Enha berkenan menerima siapa pun yang datang ke Pesantren Motivasi Indonesia, tanpa pandang bulu dan melihat latar belakang sama sekali. Dia adalah sosok pencinta dan pelayan sejati. Ketulusannya itu nampak, dan membuat saya menitikkan air mata berkali-kali, saat Ayah Enha mempersilakan sahabat-sahabatnya untuk naik ke atas panggung menyampaikan semacam 'testimoni' untuk dirinya dan Pesantren Motivasi Indonesia. 

Meminjam istilah Pemimpin Rohani Masyarakat Maiyah Kiai Muhammad (Emha) Ainun Najib atau Cak Nun, Ayah Enha ini adalah sosok Manusia Ruang. Dia tak segan-segan mengorbitkan orang lain, sedangkan dirinya sendiri rela tak terlihat, walau cahayanya demikian berkilauan. Ayah Enha menjadi ruang bagi siapa saja untuk berkembang, bergerak, dan berkreasi sesuai dengan keahlian atau passionnya. 

Berbahagialah bagi siapa saja yang pernah bersentuhan langsung dengan Ayah Enha. Seorang yang mampu membuat 'bridge of idea' untuk jangka panjang. Dalam dunia persepakbolaan, Ayah Enha ini adalah seorang pemain tengah (playmaker/midfielder) yang kerap melakukan umpan panjang ke penyerang. Dia berperan sebagai jembatan agar tujuan dan cita-cita segera tercapai. Ya, selain sebagai konseptor ulung, Ayah Enha juga kerap berlaku sebagai eksekutor mumpuni.

Dia selalu membuka ruang, membangun jembatan, dan menjadi penyedia ide yang luar biasa. Namun, kesuksesan Ayah Enha selama ini, bukan hanya sekadar usaha jerih-payahnya sendiri beserta sahabat-sahabatnya yang tulus menemani hingga mencapai titik puncak seperti sekarang. Melainkan berkat doa yang terus-menerus dihadiahkan dari seorang tercintanya, yakni Umi Hajjah Hamidah Ali, istri dari Almaghfurlah Buya Muhali. 

"Tidak ada doa yang tidak mustajab yang diucapkan Umi kepada saya," kata Ayah Enha sembari menahan tangis haru, dalam perayaan Hari Ulang Tahun Pesantren Motivasi Indonesia, semalam. 

Sebab bagaimana pun juga, Ayah Enha tetaplah seorang anak. Segala yang dilakukan dan keberhasilannya tentu saja tak terlepas dari peran doa sang ibu. Kata Raja Dangdut Indonesia, H Rhoma Irama, doa ibu dikabulkan Tuhan dan kutukannya jadi kenyataan, ridha ilahi karena ridhanya, murka ilahi karena murkanya.

Dari semua yang telah saya paparkan di atas sebagai persaksian atas sosok yang menjunjung nilai kemanusiaan ini, yang paling berkesan bagi saya adalah saat Ayah Enha mengatakan bahwa kita semua harus menjadi orang kaya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, kalau kita mau terus berusaha untuk menggapai kesuksesan. Kalau sudah menjadi kaya, pelayanan terhadap kemanusiaan akan sangat dengan mudah dilakukan, dan puncak keberagamaan serta kehambaan kita kepada Allah akan segera terwujud. 

Tips Menjadi Kaya Menurut Ayah Enha

Beberapa waktu lalu, Ayah Enha menunaikan ibadah umroh ke Tanah Suci Mekkah. Di grup Ngopi Santri, tetiba saja, dia mengirim sebuah tulisan agak panjang yang menyentuh hati. Tulisan pernyataan itu dimulai dari sebuah pertanyaan retorik: "Masih berasa susah?"

"Tiba-tiba saja, sebelum kutinggalkan bayang terakhirku di pelataran Kakbah menggema ayat suci yang luar biasa, semoga ini menjadi jawaban bagi siapa saja yang hidupnya masih berasa susah," tulisnya.

Dia kemudian mengutip firman Tuhan dalam Al-Quran. Surat Muhammad ayat 20: 

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۙ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ 

Artinya:

"Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka."

Kata Ayah Enha, ada tiga poin utama yang Allah sampaikan di ayat ini. Pertama, keimanan kepada Allah. Kedua, melayani kemanusiaan dan alam dengan karya terbaik (amal shaleh). Ketiga, mengimani ajaran Nabi Muhammad.

Iman kepada Allah berarti meyakini bukan hanya keberadaan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan, tetapi juga menyadari bahwa pengawasan-Nya itu melekat, menembus sekat apa pun yang kita anggap menjadi dinding. Sungguh, tak ada sejengkal bumi di mana kita bisa sembunyi dari pengawasan Allah. Implemantasi keimanan itu kemudian harus dinyatakan pada kerja nyata pelayanan.

Dalam bahasa Arab ada kata khidmah yang berarti pelayanan. Tetapi juga ada kata ibadah yang secara generik berarti sama. Khidmah artinya melayani kemanusiaan dan alam. Sedangkan ibadah berarti melayani Tuhan. Bagaimana melayani Tuhan? Tentu saja dengan pelayanan kemanusiaan.

Maka pelayanan atas alam dan kemanusiaan adalah kerja ibadah. Itulah kenapa para pelayan ini disebut juga sebagai abid (penyembah). Jika ibadah adalah menyembah, maka abid bermakna sebagai penyembah dan al-ma'bud berarti yang disembah. Namun, Tuhan sama sekali tidak membutuhkan sesembahan kita jika tidak diimbangi dengan pelayanan kepada kemanusiaan.

Maka, agar sempurna penyembahan kita kepada Allah dan bernilai ibadah pelayanan kita, maka kerjakanlah amal shalih itu, yakni layanilah dengan penuh ketulusan, jangan lukai hati mereka dan jangan berbuat kezaliman.

Bagaimana agar amal sosial kita itu benar? Siapa yang harus kita teladani?

Tidak lain dan tidak bukan, teladan kita adalah Sang Nabi yang dengan risalahnya telah membawa umat ini menuju puncak peradaban terbaik. Risalah Sang Nabi secara runut dapat kita pelajari melalui kisah hidupnya, maka sirah nabawiyah (jalan kenabian) merupakan kunci masuk yang paling tepat untuk dapat meneladani Sang Nabi.

Bagaimana perangai Sang Nabi? Sayyidatuna Aisyah menjawab: "Akhlak beliau adalah Al-Quran".

Jadi, memulai kajian sirah nabawi itu harus diawali dengan interaksi kita yang intens dengan Al-Quran. Nabi adalah Al-Quran berjalan. Maka, selaras sekali apa yang dikatakan Al-Quran dengan apa yang Nabi jalani dalam kehidupannya.

Salah satu gambaran perangai Nabi Muhammad adalah kasih sayang tanpa syarat kepada kemanusiaan. Jangankan kepada kaum muslimin, bahkan kepada para musuh sekalipun beliau dikenal sebagai pribadi berbudi luhur, tak jarang kekerasan musuh berujung kepada pengakuan akan kemuliaan akhlak Sang Nabi. Jika keimanan, amal sosial, dan spirit akhlak Nabi Muhammad diwujudkan dalam karya kehidupan kita, maka Allah menjanjikan dua hal. Pertama, terampuninya semua dosa. Kedua, diperbaikinya kehidupan kita.

Menurut Ayah Enha, hidup yang masih terasa susah itu biasanya karena dua hal. Pertama, gelisah karena kebanyakan dosa. Kedua, resah karena ketiadaan harta. Atas kedua jenis kesusahan ini, Allah akan selesaikan dengan cara-Nya. Allah gulirkan ketenangan batin lewat pengampunan atas dosa dan kesalahan kita, dan Allah akan berikan penghidupan yang baik atas kesulitan dalam kehidupan apapun pemicunya: termasuk ketiadaan harta.

"Praktikkan saja dengan bersahaja. Mulailah membaca kembali firman Allah pada surat Muhammad ayat 2 di atas tadi. Pahami dan renungkan. Berikhtiarlah tanpa lelah menjemput janji Tuhan yang tak mungkin dusta," demikian nasihat Ayah Enha.

Dengan rasa bangga dan penuh kerendahan hati, saya mengucapkan: Selamat Ulang Tahun ke-8 untuk Pesantren Motivasi Indonesia. Tetaplah berkarya untuk melayani kemanusiaan tanpa lelah dan henti. Terima kasih Ayah Enha, karena telah meneladankan banyak hal yang semoga saja bisa saya teruskan menjadi laku kehidupan yang lebih baik lagi.

Wallahua'lam...

Jumat, 14 Februari 2020

JUMATAN: Meninggalkan Khutbah yang Provokatif


Ilustrasi. Sumber: NU Online

Kisah ini dialami oleh Mas Abdul Gaffar Karim. Seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Saya tahu kisah ini dari facebook Ienas Tsuroiya, putri KH Ahmad Mustofa Bisri, yang membagikan ulang kenangan dua tahun lalu (2018). Kenangan itu adalah kisah menarik mengenai khutbah Jumat yang provokatif ini.

Dalam tulisan di dinding facebooknya, Mas Gaffar mengisahkan peristiwa yang telah dialaminya beberapa tahun silam. Lebih tepatnya saat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) masih menjabat sebagai anggota DPR RI, Joko Widodo masih Wali Kota Solo, Anies Baswedan masih Rektor Universitas Paramadina, dan suasana politik Indonesia belum segaduh sekarang.

Saat itu Jumat, ia sedang berada dalam workshop terbatas tentang perumusan nilai-nilai dasar pemikiran Gus Dur di sebuah hotel di kawasan perbelanjaan elektronik di Jakarta. Sekira pukul 11.30, para pemikir itu diberi waktu break untuk Jumatan.

"Tak jauh dari hotel lokasi workshop itu terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Para peserta workshop pun pergi ke masjid itu. Saya turut dalam mobil Gus Ulil Abshar Abdalla ke masjid itu," tulis Mas Gaffar, pria kelahiran Sumenep, Madura ini.

Ketika tiba di masjid, ia melihat barisan shaf sudah cukup penuh, sehingga dirinya dan Gus Ulil hanya kebagian duduk di teras. Khutbah sudah dimulai, sehingga ia mempercepat gerakan salatnya (tahiyyatul masjid). 

Dari luar masjid, ia mendengarkan khutbah dan kemudian merasakan betapa suara khatib itu agak keras. Mulanya, yang keras hanya nada bicara, tapi lama kelamaan yang keras adalah isi khutbahnya.

"Khatib berbicara tentang ancaman kristenisasi di beberapa kawasan di Jakarta, yang dilakukan dengan banyak cara. Kata dia (khatib), orang-orang Kristen terutama yang Cina, banyak sekali membiayai upaya pemurtadan orang-orang Islam," tulisnya. 

Mas Gaffar mulai tidak nyaman. Rupanya, ia tidak menyukai khutbah berbau SARA. Terlebih, jika khutbah yang seperti itu dilakukan di sebuah masjid yang berada di tengah-tengah kawasan nonmuslim, seperti di area perdagangan elektronik itu.

Terhadap khutbah-khutbah yang demikian itu, ia tidak pernah ragu untuk bersikap. Dengan tegas dan yakin, Mas Gaffar harus meninggalkannya. Ia tidak ingin hatinya terkotori oleh kebencian, apalagi yang dicemari melalui mimbar suci di masjid.

Ia lantas berdiri, balik kiri, dan melangkah melintas shaf-shaf jamaah di teras. Gus Ulil yang duduk satu atau dua shaf di belakangnya, memandang seraya memberi isyarat bertanya, "Mau ke mana?"

Ia menjawab dengan menunjuk ke arah luar masjid dan menggerakkan bibir, "Balik ke hotel."

Gus Ulil kemudian mengangguk dan tetap duduk di shafnya.

Saat bertemu di ruang makan siang di hotel, Gus Ulil bertanya kepada Mas Gaffar, "Sampeyan ke mana tadi, kok pergi duluan?"

"Balik hotel, Gus. Nggak suka saya dengan khutbahnya yang menebar kebencian SARA tadi."

"Terus nggak jumatan?"

"Saya kan musafir, zuhur saja boleh."

Gus Ulil pun tertawa ngakak dan kemudian bertanya lagi, "Tapi sampeyan tahu nggak, siapa tadi yang khutbah itu?"

"Nggak tahu, kan tadi mimbarnya nggak kelihatan dari teras."

"Itu tadi khatibnya Rizieq Shihab. Saya kenal suaranya."

"Walahhh, pantesan isinya keras begitu, seperti sengaja menantang sekitar."

"Lha iya, makanya saya tidak pergi tadi. Saya mau dengerin, kalau sampai khutbahnya nyenggol-nyenggol Gus Dur, saya akan interupsi."

"Wah mantap. Nyali saya belum sampai segitu, Gus. Nyali saya baru sampai meninggalkan khutbah ora mutu (yang tidak berkualitas)."


*****

Sumber: klik di sini