Rabu, 26 Februari 2020

Menyoal Klaim Kebenaran dalam Agama-Agama


Sumber gambar: detik.com
Akhir-akhir ini, aktivitas yang saya jalankan berkutat pada pertemuan atau interaksi lintas agama. Beberapa kali, saya juga mengikuti ibadah atau mengunjungi rumah ibadah agama lain sebagai upaya mempererat jalinan silaturahmi dan perdamaian antaragama. Bagi saya, dialog dan pertemuan menjadi kunci untuk membangun peradaban yang baik atas keberagaman kita. 

Di tengah aktivitas saya yang seperti itu, saya iseng-iseng membuka website islamlib.com, sebuah 'rumah online' untuk para pemikir liberal, yang ketika itu, beberapa tahun ke belakang, aktif dalam lingkaran diskusi yang diberi nama: Jaringan Islam Liberal. Di website itu, segala pemikiran yang mencerahkan ditumpahkan ke dalam bentuk tulisan, yang beberapa tulisan dalam website itu, masih relevan hingga saat ini.

Dalam keisengan itu, saya menemukan sebuah tulisan yang ciamik dari seorang pemikir kebanggaan. Dialah Ulil Abshar Abdalla, seorang pemikir Islam liberal yang kini memasuki ruang sunyi sufisme. Tulisan Mas Ulil yang terbit pada 8 November 2015 itu diberi judul 'Tentang "Truth Claim" dalam Agama-Agama'. 

Judul tersebut menarik, sehingga mendorong saya untuk mengetahui isi tulisannya. Sebuah pemikiran yang jujur dan tulus, yang mengungkapkan bahwa di setiap agama memang terdapat klaim kebenaran atau perasaan paling benar dari agama-agama yang lain. Mari kita akui saja, bahwa di setiap agama, setiap umat agama tertentu, pasti menganggap agamanya-lah yang paling superior; sementara agama yang lain, secara teologis, kita anggap keliru. 

Lalu, apakah yang demikian itu salah? Atau justru menghambat penciptaan sebuah peradaban yang damai? Apakah rasa paling benar itu justru akan menjadi benalu dari berbagai aktivitas lintas agama? Saya rasa, hal ini masih bisa kita diskusikan. 

Menurut Mas Ulil dalam tulisan itu, kita nyaris tidak bisa menghindari truth claim atau klaim atas kebenaran. Setiap pernyataan iman dari pemeluk agama manapun, pasti mengandung klaim bahwa apa yang diimaninya adalah hal yang benar. Bahkan, bukan saja benar, tetapi puncak atau menjadi satu-satunya kebenaran. Demikianlah seorang muslim misalnya, tentu mengimani bahwa agama yang dipeluknya itu adalah satu-satunya kebenaran yang sejati.

Al-Quran menegaskan bahwa agama yang paling benar menurut Tuhan adalah Islam (Surat Ali Imran ayat 19). Ayat ini dipahami oleh sebagian umat Islam sebagai penegasan atas klaim kebenaran itu, bahwa satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan adalah Islam. Di ayat lain, terdapat juga pengertian yang serupa. Dikatakan, dalam surat Ali Imran ayat 85, bahwa siapa pun yang mencari din atau agama selain Islam, Tuhan tidak akan menerimanya. 

"Meskipun, jika kita telaah secara lebih cermat, belum tentu kedua ayat itu menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan," demikian Mas Ulil menegaskan dalam tulisannya. 

Menurutnya, ayat tersebut bisa ditafsirkan dengan cara lain. Misalnya: kata 'Islam' dalam kedua ayat itu bisa saja maknanya bukan Islam dalam pengertian nama agama tertentu. Islam di ayat itu bisa juga dipahami dalam pengertian yang lebih universal, yakni ketundukan atau kepasrahan. 

Dengan demikian, ayat itu akan bermakna bukan menjadi klaim atas kebenaran, melainkan sebatas pernyataan bahwa din atau jalan penyembahan terhadap Tuhan yang benar adalah jalan yang di dalamnya ada sikap tunduk atau pasrah. Kemudian, agama yang sebenar-benarnya agama adalah yang mengandung ajaran ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan.

"Jika dimaknai dengan cara demikian, maka ayat di atas bukan menunjuk kepada satu agama saja. Ayat itu bisa mencakup agama mana saja yang mengajarkan sikap ketundukan," kata Mas Ulil.

Namun, terlepas dari kemungkinan tafsir yang berbeda atas dua ayat di atas, Mas Ulil tetap menegaskan, bahwa klaim kebenaran yang dimiliki oleh pemeluk agama tertentu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab, yang demikian itu, klaim atas kebenaran, bukan saja berlaku pada pemeluk Islam saja, tetapi juga agama-agama yang lain. 

Bagi sebagian besar intelektual muslim pluralis, pengertian dalam surat Ali Imran ayat 19 di atas itu bukanlah pernyataan tentang kebenaran yang secara eksklusif hanya ada dalam Islam, melainkan deklarasi tentang esensi agama: yakni ketundukan. Esensi tersebut bisa tersebar ke dalam semua agama, bukan hanya dalam Islam saja.

*****




Apakah klaim kebenaran yang tertutup, dengan sendirinya akan menimbulkan masalah dalam hubungan antar-agama? Tidak selalu demikian.

Sebab dalam berbagai aktivitas lintas agama yang saya jalani selama ini, ada banyak teman-teman, baik yang muslim atau yang beragama Kristen, yang siap berdialog, sekalipun di dalam hati mereka, saya yakin pasti terdapat sebuah keyakinan atas klaim kebenaran dalam agamanya. 

Begitu pula saya. Maka, beberapa waktu yang lalu, saya menulis sebuah caption pada sebuah foto di dalam gereja --yang saya unggah di dalam facebook: "Tuhan bersama orang-orang yang lentur dalam beragama dan teguh dalam keimanan".

Keimanan yang teguh atas doktrin keagamaan, menurut saya, sama sekali tidak menjadi penghalang untuk bisa melakukan komunikasi lintas agama atau berdialog dengan pemeluk agama lain. Namun, ini yang kerap terjadi, permasalahan yang timbul justru bukan lantaran kita berdialog dengan agama lain, melainkan dengan sesama golongan agama sendiri (saya: Islam) yang berbeda mazhab.

Bagi Mas Ulil, toleransi internal terhadap sesama muslim yang berbeda mazhab, rupanya jauh lebih sulit ketimbang membangun toleransi eksternal terhadap agama yang lain. Hal ini nyata sekali dalam kasus Sunni-Syiah atau kasus terhadap Ahmadiyah, dalam dekade ini. 

Mas Ulil mengungkapkan, "Sebagian kalangan Sunni lebih gampang berbicara dengan kalangan Kristen ketimbang dengan Syiah (dan Ahmadiyah). Sekte yang terakhir ini dipandang sebagai ancaman yang jauh lebih berbahaya ketimbang agama di luar Islam."

Sebenarnya, keadaan yang ideal adalah ketika seorang pemeluk agama bisa memiliki wawasan yang terbuka tentang klaim atas kebenaran itu tadi. Namun, jika kondisi ideal itu tidak juga tercapai, kita tidak serta-merta berhadapan dengan kiamat. Sebab pada umumnya, pemeluk agama pasti bisa menoleransi keberadaan pemeluk agama lain, meski mereka memiliki klaim atas kebenaran yang tertutup dan eksklusif.

Saat ini, derajat kemajemukan dalam masyarakat kian meninggi. Maka, alangkah lebih baiknya, pandangan tentang klaim atas kebenaran itu harus segera kita tinggalkan. Sehingga, masyarakat Indonesia bisa segera berada pada perkembangan yang sugnifikan, yakni dimana kontak antara pemeluk agama yang berbeda-beda makin sering terjadi, dan makin intensif. 

Dewasa ini, kita nyaris sulit membayangkan, jika ada seseorang yang sepanjang hidupnya hanya berada dalam lingkaran orang-orang atau masyarakat yang seagama saja. Pada momen tertentu dalam hidupnya, setiap orang di dunia ini pasti pernah bersinggungan atau berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama.

Kontak atau interaksi antaragama, menurut Mas Ulil, akan membuat pemahaman seseorang tentang orang lain yang berbeda keyakinan makin baik dan realistis. Prasangka-prasangka buruk tentang agama lain yang berasal dari warisan generasi masa lalu atau dari rumor yang tak jelas sumbernya, pelan-pelan bisa memudar.

Namun, kita tentu saja berada pada persoalan yang salah besar jika mengandaikan bahwa intensitas pertemuan atau interaksi antaragama sebagaimana yang tadi diungkapkan, akan seutuhnya memudarkan seluruh prasangka buruk mengenai agama atau keyakinan orang lain.

Sebagaimana kita tahu, kecanggihan komunikasi modern bukan saja membuka kemungkinan saling pengertian yang baik, tetapi juga membawa petaka yang benar-benar 'sialan', yaitu mudahnya virus kebencian antar kelompok ditularkan ke publik. Sarana komunikasi yang baik memang belum tentu menjamin kian baiknya kualitas komunikasi. 

"Dalam kasus-kasus tertentu, teknologi komunikasi yang canggih bisa juga memfasilitasi mis-komunikasi dalam skala dan magnitude yang sangat besar. Ini adalah paradoks dari masyarakat komunikasi modern," jelas Mas Ulil. 

Tetapi, Mas Ulil menaruh optimisme, bahwa akal sehat masyarakat bisa menjadi hakim yang baik. Kebencian memang bisa ditularkan dan dipropagandakan, tetapi jangan sesekali kita memiliki anggapan bahwa propaganda itu akan ditelan mentah-mentah oleh semua orang. Sebab, manusia bukanlah otomaton yang hanya menelan-tanpa-kunyah segala hal yang dilihat, dibaca, dan didengar.

Dengan optimisme terhadap akal sehat, maka pada akhirnya wawasan tentang klaim atas kebenaran agama, akan memudar dengan sendirinya, cepat atau lambat. Oleh karena kita lihat realitas Indonesia saat ini yang sangat majemuk dan heterogen, rasanya tidak berlebihan jika beranggapan bahwa pada akhirnya masyarakat akan bersikap rasional dalam menyikapi paham-paham atau keyakinan yang berlainan.

Setidaknya, publik akan pelan-pelan paham bahwa klaim atas kebenaran yang esklusif kian tak bisa dipertahankan dalam masyarakat yang begitu majemuk. Mereka, dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan berjumpa dengan orang-orang yang baik dari agama-agama lain. Perjumpaan tersebut akan membuat mereka memiliki pandangan yang lebih realistis tentang 'yang lain'.

Semua orang, dengan keyakinan yang beragam, pada akhirnya akan memiliki kesamaan dalam satu hal: manusia. Mereka semua adalah manusia, dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, melihat dan mencintai manusia karena dan atas kemanusiaannya adalah yang harus kita lakukan sebagai manusia seutuhnya. 

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: