Sabtu, 08 Februari 2020

Fenomena Hijrah yang Diliputi Kesombongan


Sumber gambar: lirboyo.net

Fenomena hijrah, belakangan ini tengah marak. Menjadi gaya hidup baru bagi mayoritas muslim di perkotaan. Siapa yang tak hijrah, dianggap keberagamaannya kurang kaffah. Bahkan, banyak kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh orang-orang 'hijrah' itu, tapi dengan maksud merendahkan yang lain. 

Beberapa diantaranya adalah:
"Semoga anda dapat hidayah."
"Semoga Allah membuka pintu hatinya."
"Sesungguhnya hati yang keras memang tidak mudah menerima nasihat."
"Semoga Allah mengampunimu."
"Bertobatlah, kembali ke jalan yang benar."

Bagaimana? Familiar dengan kalimat-kalimat di atas, kan? Memang sih, saat saya dulu masih jadi 'bocah ndalil' atau baru-baru keluar dari pesantren, saya juga gemar melontarkan kalimat itu sebagai senjata pamungkas. Kalimat itu saya ucapkan dengan begitu percaya diri kepada orang-orang yang tidak sepaham. Terlebih, kalau merasa sudah punya sajian pelengkap berupa ayat-ayat dan hadits nabi yang tak seberapa.

Tapi kemudian saya sadar bahwa di balik kalimat-kalimat itu, sebenarnya ada jebakan kesombongan yang sangat halus. Sebab, saya tidak mungkin berkata begitu kalau saya tidak merasa lebih baik dari yang lain (ujub).

Kalimat-kalimat para pengasong hijrah yang saya sebutkan diatas itu, sesungguhnya adalah sebuah cara yang tidak elegan, karena secara diam-diam mengungkapkan bahwa: "Saya yang lebih baik dan paling beriman."

"Tapi bro, itu kan cuma mendoakan saja," demikian kalimat sanggahan dari mereka yang tidak terima dikritik. 

Begini, gaes. Di dalam agama, ada begitu banyak perintah yang menyuruh manusia berdoa secara diam-diam: tidak seorang pun perlu tahu kecuali kita dan Tuhan.

"Memangnya untuk apa (mendoakan secara diam-diam)? (Kalimat-kalimat tadi) itu kan amar ma'ruf nahi munkar."

Hehehe amar ma'ruf nahi mungkar tidak perlu begitu caranya.

Kalau kita memberi sebongkah berlian dengan cara melemparkannya tepat di kepala orang, bagaimana respon orang tersebut? Pasti yang akan dia ingat bukan berliannya tapi rasa sakitnya. Iya, kan?

Imam Syafi'i pernah berkata bahwa orang yang menasehatimu diam-diam, maka dia benar-benar menasihatimu. Sementara orang yang menasehatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya sedang menghinamu.

Ulama tersohor yang dihormati jutaan penduduk dunia, Habib Umar bin Hafidz, dalam sebuah ceramahnya yang saya ingat, pernah mengatakan:

"Ketika kita melihat seorang wanita berpakaian dengan cara yang tidak dapat diterima secara Islami, kita bisa menasihatinya dengan akhlak dan cara yang baik, jangan sedikit pun berpikir bahwa dia lebih rendah dari kita secara rohani. Jika kita berpikir demikian, berarti kita lebih rendah dari dirinya. Percayalah, itu (tidak memandang rendah) adalah ajaran agama anda. Dia mungkin memiliki hubungan dengan Pencipta-Nya yang mungkin kita tidak tahu. Dia mungkin memiliki hati yang lebih baik dari kita. Benar, dia mungkin memiliki satu kelemahan yang terlihat dari luar, tapi kita mungkin memiliki 50 kelemahan yang tersembunyi dari dalam. Jangan berperilaku seperti Tuhan ketika melihat dosa-dosa orang lain, tapi berperilakulah seperti seorang hamba."

Dari situ, saya dan kita semua pasti akan tahu apakah doa dan ceramah kita merupakan ketulusan murni, atau hanya berupa kesombongan diri yang berbalut religi.
.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib berpesan:

"Janganlah engkau tergesa-gesa mencela seseorang karena dosanya. Sebab barangkali dosanya telah diampuni."

"Siapa yang memandang dirinya buruk, maka dia adalah orang yang baik. Siapa yang memandang dirinya baik, dia adalah orang yang buruk."

"Keburukan yang menyebabkan engkau menyesal itu lebih baik dibandingkan kebaikan yang membuatmu bangga."

"Zuhud yang terbaik ialah zuhud yang disembunyikan."

Bayangkan yang lebih konyol.

Saat kita bersusah payah menyampaikan pemikiran dengan direnungkan dalam-dalam, disusun rapi, didukung penjelasan rasional, dan ditopang data-data pula, dengan entengnya itu semua cuma ditimpali pakai amunisi andalan para pengasong hijrah itu: "Semoga engkau diberi hidayah." 

Gubrak!!!

Gaes, kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
Previous Post
Next Post

0 komentar: