Senin, 17 Februari 2020

Belajar Melayani Kemanusiaan dari Ayah Enha


Ayah Enha
Tulisan ini bukan bentuk testimoni, tetapi isyhad. Sebuah persaksian atas perjalanan saya selama ini yang kerap bersinggungan dengan sosok yang dalam hidupnya penuh dengan ketulusan dan totalitas pelayanan yang sungguh. Dia adalah KH Ahmad Nurul Huda atau yang akrab saya memanggilnya: Ayah Enha. 

Kediamannya berada di pelosok Bekasi. Tepatnya di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Di sanalah terdapat sebuah istana yang cukup megah. Berdiri di atas luas tanah, yang kini sekira 7000 meter persegi.

Istana itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Maka, disebutlah Istana Yatim Nurul Mukhlisin atau Pesantren Motivasi Indonesia. Istana ini diasuh oleh KH Nurul Huda, seorang Ketua Divisi Usaha dan Pengembangan Ekonomi Umat Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU).

Kenapa dinamai Istana Yatim? Berdasarkan wawancara saya dengan Abdul Rasyid, salah seorang guru sekaligus santri ndalem di sana, Istana Yatim ini merupakan kado cinta dari Ayah Enha kepada sang istri terkasih: Bunda Hj Nunung Umi Kalsum. 

Kisahnya dituturkan bahwa pada malam pertama pernikahan, Ayah Enha mengajukan tanya kepada Bunda Nunung mengenai sebuah keinginan yang mesti dipenuhi oleh Ayah Enha sebagai seorang suami. Lalu, Bunda Nunung menjawab bahwa dia ingin sekali memiliki rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang menjadi kesayangan Rasulullah Muhammad Saw. 

"Bunda mah nggak minta rumah bagus," demikian tutur Rasyid, menirukan ucapan Bunda Nunung dengan perasaan yang sungguh haru.

Di awal-awal pernikahannya, Ayah Enha tinggal bersama ayahnya, Almaghfurlah Buya KH Muhali bin H Abdul Muthalib, di Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur, yang kini jasadnya dimakamkan di Masjid Nurul Anwar, di Komplek Pesantren Motivasi Indonesia, di samping rumahnya.

Bertahun-tahun, Ayah Enha ditahan oleh sang ayah untuk tidak pindah rumah. Berbagai upaya dilakukan oleh Buya Muhali agar Ayah Enha tak pindah rumah. Salah satunya adalah Buya memberikan syarat, yakni kalau ingin pindah rumah maka terlebih dulu harus mencari dan memiliki pengganti untuk mengurusi sekolah serta majelis taklim di Kampung Sumur. Sebuah syarat yang susah-susah gampang. 

Namun lambat-laun, Ayah Enha berhasil meyakinkan Buya Muhali untuk kemudian bisa pindah rumah dan mengembangkan dakwahnya. Bahkan, mewujudkan keinginan sang istri: membangun Istana Yatim. Pertama kali pindah rumah, Ayah Enha berdomisili di Jatiasih yang menjadi embrio Istana Yatim. Di sana, dibuatlah majelis taklim. Saban Jumat, anak-anak yatim disantuni: diberi makan dan uang.

Bagi Rasyid, barangkali, demikianlah Ayah Enha tabarukan dengan anak yatim. Sebab ketika itu, Ayah Enha bersama Bunda Nunung pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Namun itulah ujiannya. Ujian yang menjadikan keduanya lebih kuat istiqamahnya. Yakni, istiqamah menyantuni anak-anak yatim.

Hidup dua sejoli pecinta anak yatim itu semakin terpuruk dan mendapat ujian yang lebih berat, saat Ayah Enha memutuskan untuk mengundurkan diri dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS, sekarang ASN) di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai penghulu.

"Itulah titik tersulit Ayah Enha," timpal Shobur, yang juga seorang guru di Pesantren Motivasi Indonesia, selain Rasyid. Di saat-saat tersulit itu, Buya Muhali kemudian memberikan sebidang tanah kepada Kiai Enha untuk dikembangkan menjadi 'ruang dakwah' baru.

Dalam suatu kesempatan bertemu dengan para santrinya, Ayah Enha pernah berujar, "Ayah tidak diwariskan harta-benda oleh Buya dan Umi, tapi hanya diwariskan sebidang tanah seluas 3000 meter untuk dibangun menjadi sebuah pesantren."

Tanah itu adalah lokasi Istana Yatim, Pesantren Motivasi Indonesia saat ini, yang kini luasnya menjadi 7000 meter persegi. Pembangunan dimulai sejak 2011. Saat itu, cikal-bakal, pada masa awal-awal, Istana Yatim masih dalam bentuk saung bambu. Sementara peletakan batu pertama adalah untuk mendirikan masjid dan asrama, dilaksanakan pada 17 Februari 2012. Inilah awal berdirinya Pesantren Motivasi Indonesia: Istana Yatim, yang tercatat sejarah. Kini, tepat di hari ini, usianya sudah delapan tahun. 

Pesantren ini, besar kemungkinan, tidak akan pernah terwujud, kalau tanpa Bunda Nunung. Atau tidak mungkin pernah ada Istana Yatim, jika Bunda Nunung tidak mengungkap keinginannya. Atau tidak akan pernah ada perayaan ulang tahun kedelapan yang sangat megah, pada 16 Februari 2020, kalau Ayah Enha tidak mengajukan pertanyaan ke Bunda Nunung saat malam pertama pernikahan mereka. Sebuah takdir baik yang mesti disyukuri, setelah melewati berbagai proses yang panjang dan berliku.

Di awal-awal berdirinya, santri Pesantren Motivasi Indonesia hanya terdapat sekitar 20 anak yang menjadi santri pada generasi pertama. Mereka adalah anak yatim yang diboyong Ayah Enha dari Jatiasih untuk mondok di pesantren yang terletak di Kampung Cinyosog. Hingga kini, sebagian besar santri adalah yatim.

Walau membawa embel-embel yatim, Ayah Enha tidak akan pernah menerima atau bahkan menentang keras santunan-santunan yang kerapkali dilakukan, seperti misalnya di bulan Muharram atau pada saat Ramadan. Sebab yang demikian itu adalah bentuk eksploitasi anak yatim. Pantas saja ditolak mentah-mentah acapkali ada pihak yang ingin melakukan 'pencitraan' bersama anak yatim.

"Perbuatan itu, bagi Ayah, bukan bertujuan untuk menghibur atau mendidik, tapi justru seperti eksploitasi terhadap anak yatim," kata Rasyid menjelaskan amanat Ayah Enha. 

Namun demikian, kata Rasyid, Istana Yatim tidak pernah menolak atau akan menerima berbagai pihak yang ingin menyantuni dalam bentuk pemberdayaan. Seperti misalnya dalam bentuk penguatan atau pengadaan infrastruktur dan alat-alat yang menunjang pendidikan bagi santri.

Ulang Tahun Pesantren Motivasi Indonesia



Semalam, saya hadir dalam perayaan ulang tahun kedelapan Pesantren Motivasi Indonesia. Saya duduk di barisan paling belakang, memandang para tamu yang hadir, sekaligus menyaksikan berbagai peristiwa yang membuat saya berkali-kali haru dan sempat beberapa kali menitikkan air mata. 

Di atas panggung yang kini sudah sangat megah itu, ada sebuah kalimat terpampang dengan gagah: Love All Serve All. Sebuah jargon dari Hard Rock Cafe yang sarat makna, kemudian diadopsi menjadi motto Pesantren Motivasi Indonesia yang sangat membanggakan. Memang demikianlah value dari berbagai ajaran yang telah dipahamkan Ayah Enha kepada para santri-santrinya. 

Maka tak heran, adegan santri yang melayani para tamu yang hadir, sangat mengesankan hati. Berkali-kali Ayah Enha mengatakan, bahkan hampir di setiap pertemuan, bahwa puncak dari keberagamaan dan kehambaan diri kita kepada Allah adalah pelayanan kepada seluruh makhluk-Nya di semesta. Ini yang menjadi kunci kesuksesan Ayah Enha, yang patut diteladani oleh siapa pun juga. 

Love All Serve All, bukan sembarang jargon atau motto yang tertera di atas panggung sebagai penghias. Namun, motto itu benar-benar diterapkan dalam laku kehidupan Ayah Enha dan ditularkan kepada seluruh santrinya. Tak heran juga, Intelektual Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla, dalam Haul Gus Dur ke-10, pada 25 Januari 2020 lalu, menyebut Ayah Enha sebagai kelahiran kembali dari Gus Dur.

Ayah Enha berkenan menerima siapa pun yang datang ke Pesantren Motivasi Indonesia, tanpa pandang bulu dan melihat latar belakang sama sekali. Dia adalah sosok pencinta dan pelayan sejati. Ketulusannya itu nampak, dan membuat saya menitikkan air mata berkali-kali, saat Ayah Enha mempersilakan sahabat-sahabatnya untuk naik ke atas panggung menyampaikan semacam 'testimoni' untuk dirinya dan Pesantren Motivasi Indonesia. 

Meminjam istilah Pemimpin Rohani Masyarakat Maiyah Kiai Muhammad (Emha) Ainun Najib atau Cak Nun, Ayah Enha ini adalah sosok Manusia Ruang. Dia tak segan-segan mengorbitkan orang lain, sedangkan dirinya sendiri rela tak terlihat, walau cahayanya demikian berkilauan. Ayah Enha menjadi ruang bagi siapa saja untuk berkembang, bergerak, dan berkreasi sesuai dengan keahlian atau passionnya. 

Berbahagialah bagi siapa saja yang pernah bersentuhan langsung dengan Ayah Enha. Seorang yang mampu membuat 'bridge of idea' untuk jangka panjang. Dalam dunia persepakbolaan, Ayah Enha ini adalah seorang pemain tengah (playmaker/midfielder) yang kerap melakukan umpan panjang ke penyerang. Dia berperan sebagai jembatan agar tujuan dan cita-cita segera tercapai. Ya, selain sebagai konseptor ulung, Ayah Enha juga kerap berlaku sebagai eksekutor mumpuni.

Dia selalu membuka ruang, membangun jembatan, dan menjadi penyedia ide yang luar biasa. Namun, kesuksesan Ayah Enha selama ini, bukan hanya sekadar usaha jerih-payahnya sendiri beserta sahabat-sahabatnya yang tulus menemani hingga mencapai titik puncak seperti sekarang. Melainkan berkat doa yang terus-menerus dihadiahkan dari seorang tercintanya, yakni Umi Hajjah Hamidah Ali, istri dari Almaghfurlah Buya Muhali. 

"Tidak ada doa yang tidak mustajab yang diucapkan Umi kepada saya," kata Ayah Enha sembari menahan tangis haru, dalam perayaan Hari Ulang Tahun Pesantren Motivasi Indonesia, semalam. 

Sebab bagaimana pun juga, Ayah Enha tetaplah seorang anak. Segala yang dilakukan dan keberhasilannya tentu saja tak terlepas dari peran doa sang ibu. Kata Raja Dangdut Indonesia, H Rhoma Irama, doa ibu dikabulkan Tuhan dan kutukannya jadi kenyataan, ridha ilahi karena ridhanya, murka ilahi karena murkanya.

Dari semua yang telah saya paparkan di atas sebagai persaksian atas sosok yang menjunjung nilai kemanusiaan ini, yang paling berkesan bagi saya adalah saat Ayah Enha mengatakan bahwa kita semua harus menjadi orang kaya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, kalau kita mau terus berusaha untuk menggapai kesuksesan. Kalau sudah menjadi kaya, pelayanan terhadap kemanusiaan akan sangat dengan mudah dilakukan, dan puncak keberagamaan serta kehambaan kita kepada Allah akan segera terwujud. 

Tips Menjadi Kaya Menurut Ayah Enha

Beberapa waktu lalu, Ayah Enha menunaikan ibadah umroh ke Tanah Suci Mekkah. Di grup Ngopi Santri, tetiba saja, dia mengirim sebuah tulisan agak panjang yang menyentuh hati. Tulisan pernyataan itu dimulai dari sebuah pertanyaan retorik: "Masih berasa susah?"

"Tiba-tiba saja, sebelum kutinggalkan bayang terakhirku di pelataran Kakbah menggema ayat suci yang luar biasa, semoga ini menjadi jawaban bagi siapa saja yang hidupnya masih berasa susah," tulisnya.

Dia kemudian mengutip firman Tuhan dalam Al-Quran. Surat Muhammad ayat 20: 

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۙ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ 

Artinya:

"Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka."

Kata Ayah Enha, ada tiga poin utama yang Allah sampaikan di ayat ini. Pertama, keimanan kepada Allah. Kedua, melayani kemanusiaan dan alam dengan karya terbaik (amal shaleh). Ketiga, mengimani ajaran Nabi Muhammad.

Iman kepada Allah berarti meyakini bukan hanya keberadaan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan, tetapi juga menyadari bahwa pengawasan-Nya itu melekat, menembus sekat apa pun yang kita anggap menjadi dinding. Sungguh, tak ada sejengkal bumi di mana kita bisa sembunyi dari pengawasan Allah. Implemantasi keimanan itu kemudian harus dinyatakan pada kerja nyata pelayanan.

Dalam bahasa Arab ada kata khidmah yang berarti pelayanan. Tetapi juga ada kata ibadah yang secara generik berarti sama. Khidmah artinya melayani kemanusiaan dan alam. Sedangkan ibadah berarti melayani Tuhan. Bagaimana melayani Tuhan? Tentu saja dengan pelayanan kemanusiaan.

Maka pelayanan atas alam dan kemanusiaan adalah kerja ibadah. Itulah kenapa para pelayan ini disebut juga sebagai abid (penyembah). Jika ibadah adalah menyembah, maka abid bermakna sebagai penyembah dan al-ma'bud berarti yang disembah. Namun, Tuhan sama sekali tidak membutuhkan sesembahan kita jika tidak diimbangi dengan pelayanan kepada kemanusiaan.

Maka, agar sempurna penyembahan kita kepada Allah dan bernilai ibadah pelayanan kita, maka kerjakanlah amal shalih itu, yakni layanilah dengan penuh ketulusan, jangan lukai hati mereka dan jangan berbuat kezaliman.

Bagaimana agar amal sosial kita itu benar? Siapa yang harus kita teladani?

Tidak lain dan tidak bukan, teladan kita adalah Sang Nabi yang dengan risalahnya telah membawa umat ini menuju puncak peradaban terbaik. Risalah Sang Nabi secara runut dapat kita pelajari melalui kisah hidupnya, maka sirah nabawiyah (jalan kenabian) merupakan kunci masuk yang paling tepat untuk dapat meneladani Sang Nabi.

Bagaimana perangai Sang Nabi? Sayyidatuna Aisyah menjawab: "Akhlak beliau adalah Al-Quran".

Jadi, memulai kajian sirah nabawi itu harus diawali dengan interaksi kita yang intens dengan Al-Quran. Nabi adalah Al-Quran berjalan. Maka, selaras sekali apa yang dikatakan Al-Quran dengan apa yang Nabi jalani dalam kehidupannya.

Salah satu gambaran perangai Nabi Muhammad adalah kasih sayang tanpa syarat kepada kemanusiaan. Jangankan kepada kaum muslimin, bahkan kepada para musuh sekalipun beliau dikenal sebagai pribadi berbudi luhur, tak jarang kekerasan musuh berujung kepada pengakuan akan kemuliaan akhlak Sang Nabi. Jika keimanan, amal sosial, dan spirit akhlak Nabi Muhammad diwujudkan dalam karya kehidupan kita, maka Allah menjanjikan dua hal. Pertama, terampuninya semua dosa. Kedua, diperbaikinya kehidupan kita.

Menurut Ayah Enha, hidup yang masih terasa susah itu biasanya karena dua hal. Pertama, gelisah karena kebanyakan dosa. Kedua, resah karena ketiadaan harta. Atas kedua jenis kesusahan ini, Allah akan selesaikan dengan cara-Nya. Allah gulirkan ketenangan batin lewat pengampunan atas dosa dan kesalahan kita, dan Allah akan berikan penghidupan yang baik atas kesulitan dalam kehidupan apapun pemicunya: termasuk ketiadaan harta.

"Praktikkan saja dengan bersahaja. Mulailah membaca kembali firman Allah pada surat Muhammad ayat 2 di atas tadi. Pahami dan renungkan. Berikhtiarlah tanpa lelah menjemput janji Tuhan yang tak mungkin dusta," demikian nasihat Ayah Enha.

Dengan rasa bangga dan penuh kerendahan hati, saya mengucapkan: Selamat Ulang Tahun ke-8 untuk Pesantren Motivasi Indonesia. Tetaplah berkarya untuk melayani kemanusiaan tanpa lelah dan henti. Terima kasih Ayah Enha, karena telah meneladankan banyak hal yang semoga saja bisa saya teruskan menjadi laku kehidupan yang lebih baik lagi.

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: