Rabu, 28 Oktober 2020

Teks Sumpah Pemuda Kekinian

 

Ilustrasi. Sumber gambar: fokusjabar.id


Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda 2020. Benarkah tanah air, bangsa, dan bahasa kita sudah merdeka? Berikut ini teks sumpah pemuda yang cocok untuk dibaca di dalam kondisi saat ini.  


Kami, Putra dan Putri Indonesia, mengaku pertumpahan darah sering terjadi karena berebut tanah dan air dengan pemerintah.


Kami, Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang carut-marut karena sesama anak bangsa selalu diadu untuk berseteru.


Kami, Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa Indonesia yang santun karena khawatir dijerat UU ITE.

Jumat, 23 Oktober 2020

Cara Pukul Mundur Polisi Represif saat Demonstrasi

 

theconversation.com
Polisi represif. Sumber: theconversation.com



Akhir-akhir ini, situasi nasional sedang gawat-darurat. Biang kegaduhannya tentu saja DPR dan Pemerintah yang pada awal Oktober lalu mengesahkan rancangan undang-undang yang bermasalah.


Semula, jadwal pengesahan pada 8 Oktober 2020. Tapi ternyata, tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba acara Rapat Paripurna dimajukan menjadi 5 Oktober 2020. Rakyat dikecoh. Maka sudah barang tentu, wakil rakyat dan pejabat pemerintah itulah biang kegaduhan negeri ini.


Setelah rapat, gedung DPR dikosongkan karena alasan akan ada jadwal reses hingga November. Padahal, bisa jadi, mereka takut didemo oleh rakyat yang sekarang sudah tak merasa diwakili. Barangkali, di Pemilihan Legislatif berikutnya, banyak yang Golput. 


Akhirnya, demonstrasi besar-besaran terjadi di mana-mana. Polisi, atas nama menjalankan tugas, bersikap represif dan korban pun berjatuhan. Di sisi lain, rakyat yang merasa punya hak bersuara, tidak terima dipukuli dan ditembaki gas air mata oleh polisi. 


Entah salah siapa.


Beberapa waktu lalu, saya ngopi-ngopi bersama salah seorang aktivis yang ikut menolak UU Cipta Kerja. Dia mengaku menyaksikan sendiri betapa polisi sangat represif karena didukung dengan fasilitas negara yang memadai. Sementara rakyat, hanya bermodalkan tangan kosong.


Dengan modal sikap skeptis sebagai jurnalis, saya bertanya-tanya soal berbagai kejadian yang menimpa dirinya selama aksi di bilangan Istana Negara, Jakarta. Katanya, dia bahkan sampai dendam dengan aparat polisi yang kurang ajar. 


"Kenapa sih demonstran selalu kalah sama polisi? Lagi-lagi polisi yang dibilang jahat atau represif? Padahal rakyat pendemo kan juga susah diatur," tanya saya kepadanya.


"Ya pasti kalah, lah. Mereka pakai pentungan, tameng besi, dan gas air mata. Mereka juga punya peluru karet dan peluru tajam. Sementara kita tangan kosong. Ya pasti kalah," katanya, menjelaskan.


Dia melanjutkan, "Kalau pendemo sulit diatur, wajar. Begitulah psikologi massa aksi. Makanya semua rombongan harus antisipasi karena penyusup sewaktu-waktu bisa mengacaukan situasi."


"Kira-kira siapa penyusup itu?"


"Bisa jadi penyusup itu dari kalangan polisi sendiri alias intel. Dia nyamar dengan kaos atau baju bebas, bukan seragam. Kemudian dia sendiri yang mengacaukan massa aksi," tambah dia.


"Oke oke. Lalu gimana cara memukul mundur polisi? Supaya jangan pendemo mulu nih yang dipukul mundur dan selalu kalah," tanya saya sekali lagi.


"Gue sih sebenarnya punya cara buat mukul mundur polisi. Tanpa pakai senjata tajam, benda tumpul, benda keras, dan sesuatu yang selama ini dianggap membahayakan. Senjata yang gue maksud ini sama sekali bukan termasuk senjata yang dilarang oleh undang-undang hukum positif negara."


"Apa itu?"


"Tapi ini harus ada solidaritas dan kesepakatan dari semua pendemo. Nggak bisa kalau cuma gerak masing-masing. Ini butuh gerakan masif dan solid."


"Oke siap. Emangnya senjata itu apa?"


"Jadi," katanya memulai penjelasan tapi terpotong karena dia membakar rokok terlebih dulu.


"Gue punya ide. Sebelum demo, masing-masing rombongan massa aksi harus nyewa, minimal, satu mobil (truk) sedot WC atau mobil tinja itu. Tahu kan? Sebelum berangkat aksi, pastikan dulu tangkinya penuh."


"Lha terus mau diapain?"


"Lu kebanyakan nanya, Ru. Pikir aja sendiri. Gas air mata lawan semprotan mobil sedot WC yang isinya kotoran manusia menang mana? Gue yakin polisi bakal mundur. Ini yang gue maksud senjata lunak, bukan senjata tajam, atau benda tumpul dan benda keras," jelasnya. 


"Jadi maksud lu ketika polisi mulai represif, itu selang sedot WC disemprotin ke arah barisan polisi?"


"Ya, semprotin ke mukanya, bajunya, seluruh tubuh lah. Biar pada kocar-kacir mereka. Solutif nggak?"


"Au ah."

Malaikat Kecilku

 

Ilustrasi. Sumber gambar: bidankita.com



Oleh: Silvi Insani Zein


Tuhan,

begitu amat malu diri ini

merasa begitu tak pantas untuk dicintai

adik kecil pun sudah mengikuti

akan panasnya neraka yang penuh api


Tuhan,

Terima kasih Engkau sudah kirimkan dia 

malaikat kecilku yang sebagai pengingat

akan dosa dosa yang kuperbuat


Tuhan

malaikat kecilku yang Kau kirimkan

buatku sadar akan satu hal

Cintanya Al-Qur'an

yang membuat air mata ini berderai-derai

keluar laksana badai


Hai

malaikat kecilku, jangan kau menangis

karena hati ini pun ikut teriris

kau selalu panjatkan doa untuk ayah dan ibu

walau kau tak tahu apa maksud doamu itu

begitu mulia hatimu

bercahaya wajahmu

akan begitu manis senyummu


Malaikat kecilku


Senin, 19 Oktober 2020

Cerita Orang Madura Memanggil Anaknya dengan Teropong

 

Ilustrasi. Sumber gambar: productnation.co


Ada orang Madura naik haji dengan anak laki-lakinya. Bersama jamaah lain yang satu regu dengannya, ia ditempatkan di maktab yang berada di lantai 9 sebuah gedung. Ketika sedang berdiri di dekat jendela, ia melihat anaknya di bawah alias di halaman gedung.


Melihat anaknya di bawah yang seperti hendak pergi, orang Madura itu lantas memanggilnya. Karena jauh, ia berteriak sangat keras. “Cong-cong ke sini, cong.” 


Teriakan keras itu membisingkan dan cukup mengganggu jamaah lain di kamar yang sedang beristirahat. Tentu saja, sekeras apa pun teriakannya tak mungkin bisa didengar sang anak. Sebab jarak antara lantai 9 dengan halaman gedung itu sangat jauh sekali.


Gimana ini, orang kok teriak-teriak begini. Waktunya orang istirahat lagi,” gerutu salah seorang jamaah haji yang tengah beristirahat di dalam kamar.


Akhirnya, ada seorang jamaah haji lain yang cerdas. Sebut saja Karsidi. Kebetulan ia punya alat keker (teropong) yang sebenarnya banyak dijual di Arab Saudi seharga 15 riyal. Karena tahu orang yang teriak-teriak itu adalah orang Madura dan khawatir akan salah paham jika ditegur, maka Karsidi menyapanya dengan sangat baik dan bijak.


“Itu anaknya jauh, Pak. Makanya tidak dengar,” kata Karsidi memulai pembicaraan.


Enggak, dekat itu. Lha wong kelihatan kok,” jawab si orang Madura dengan suara lantang, bersikukuh.


“Iya kelihatan tapi kan kecil. Itu karena jauh di sana,” jelas Karsidi sembari meminjamkan alat teropongnya kepada orang Madura itu.


Saat diberikan dan kemudian menggunakan alat teropong, maka sang anak yang ada di halaman gedung itu terlihat sangat besar dan dekat. Karena dianggap dekat, akhirnya orang Madura itu memanggilnya pun dengan sangat pelan.


Cong-cong ke sini cong,” teriak orang Madura dengan sangat lirih.


Dengan demikian, jamaah haji di kamar itu bisa kembali melanjutkan istirahat. Sementara orang Madura itu sibuk memanggil anaknya dengan teropong dan dengan suara yang sangat pelan. 


Solutif, kan?


*Cerita ini disadur dari buku ‘Kisah Jenaka KH Hasyim Muzadi: Indonesia Ha..Ha..Ha..!!’

Suara Hatiku Berseru

 

Ilustrasi. Sumber gambar: viva.co.id


Oleh: Silvi Insani Zein


Terbelenggu dalam malam

menjerit kencang tangan menggenggam

sebuah kasih-sayang yang menghilang


Ayah, 

tidakkah engkau mengerti

akan hati ini yang ikut tersakiti

tidakkah engkau mengerti

anakmu menangis tiada henti


Ibu,

Engkau kenapa pergi

engkau begitu tega meninggalkanku sendiri

engkau kenapa pergi

pergi menghilang tanpa kembali


Ayah, Ibu,

Sanggupkah diri ini terus berdiri 

tanpa ayah dan ibu disisi

sanggupkah diri ini membuat pelangi

untuk membuat hidupku penuh warna


Aku anakmu 

Tak sekuat dan setegar ayah

Aku anakmu

Tak sesabar dan selembut belaian ibu


Taukah engkau

Aku berjalan tanpa lelah untuk bisa mencari sesuap nasi

untuk bisa hidup di dunia yang keras ini

agar kubisa menggapai mimpi


Dicaci dan dimaki

aku tidak peduli

yang kutahu saat ini

hanya kebahagiaan yang selalu dinanti


Aku selalu berharap

kebahagiaan akan segera kudapat

walau hanya sekejap


Ayah, Ibu,

semoga kalian mendengarnya... 

Sabtu, 17 Oktober 2020

Hukum Merokok di Dalam Masjid Menurut Pak Kiai

 

Ilustrasi. Sumber: Mojokdotco


Setiap Jumat bakda salat isya, di masjid sebuah desa, terselenggara pengajian rutin. Pesertanya tak banyak, hanya berkisar sepuluh orang. Mereka, yang kebanyakan adalah pemuda, datang untuk mengaji karena memang haus akan ilmu. 


Selain itu, mereka menyadari bahwa sang pengampu pengajian, yang disapa dengan sebutan kiai itu, merupakan sosok yang menjadi washilah (jembatan) keberkahan dalam hidup. Ya, ngalap berkah. Demikian seringkali dituturkan anak-anak muda pecinta masjid itu. 


Namun saban pekan pengajian, sang kiai–sebut saja Kiai Mursid—itu selalu merokok saat pengajian berlangsung. Kiai Mursid duduk persis di depan mimbar, membelakangi tempat pengimaman. Sembari menjelaskan, jari tangan kanannya terlihat sibuk mengantarkan rokok ke mulut dan membuang abunya ke gelas plastik air mineral yang diberi sedikit air.


Pemandangan itu, rupanya mengganggu batin salah seorang peserta pengajian (santri). Sebutlah namanya, Haidar. Ia juga perokok berat. Tapi tak berani merokok di dalam masjid. Sebab baginya, masjid adalah rumah Allah yang harus suci dan bersih dari asap rokok. 


Tapi ada yang mengganjal. Asumsi Haidar selama ini tentang keharaman merokok di dalam masjid itu seperti terbantahkan lantaran ia melihat Kiai Mursid, guru ngaji yang disegani dan penuh kharisma di wajahnya itu, selalu berani merokok di rumah Allah yang suci.


Hati Haidar bergejolak, karena barangkali asumsinya selama ini salah. Maka, saat sesi tanya jawab diberikan Kiai Mursid, Haidar langsung mengangkat tangan memberanikan diri untuk bertanya. 


"Kiai saya mau tanya, sebenarnya apa dan bagaimana hukum merokok di dalam masjid? Saya mohon penjelasannya," tanya Haidar, berharap Kiai Mursid memberikan jawaban bahwa merokok di dalam masjid boleh. Sebab di saku kemeja yang Haidar kenakan, ada korek dan rokok yang siap dibakar.


Namun, mendapat pertanyaan dari Haidar seperti itu, Kiai Mursid justru terlihat kaget mendapat pertanyaan yang dirasa menyudutkan. Dengan satu tarikan nafas, ia lantas menjawab dengan sangat santai dan penuh yakin. 


"Boleh merokok di masjid asalkan kiai," jawab Kiai Mursid, seraya menghisap rokoknya kembali.


Mendapat jawaban itu, wajah Haidar terlihat memelas karena menahan rasa asam di mulutnya. Sebab, sudah hampir satu jam pengajian berlangsung, ia menahan diri untuk tidak merokok. 


Lalu secara spontan ia melontarkan celetukan, "Wah ini namanya intimidasi."


(Cerita ini disadur dari buku Kisah Jenaka KH Hasyim Muzadi: Indonesia Ha..Ha..Ha..!!)

Sang Pelita

 

Ilustrasi. Sumber: medium.com


Oleh: Silvi Insani Zein


Hai,

Izinkanku bertanya

tentang siapakah engkau itu

dan apa tujuanmu datang dalam hidupku?

Tolong beriku jawaban, bukan teka-teki yang entah


Apakah engkau utusan dari-Nya? 

Malaikat tak bersayap 

tangisanmu meluluhkan hati ini hingga tak berdaya

ucapanmu bergelora penuh makna 

hingga mata ini malu, tak kuasa menatap


Setiap belaimu yang mengelus kepala, dalam hati engkau berdoa

semoga semua baik-baik saja

tak ada lagi tangis dusta merana

karena ucapan sayangmu takkan terlupa


Kuucapkan, terima kasih sang pelita

karena ketulusanmu, membuatku haru

karena perlindunganmu, kuterjaga dari itu

karena hadirmu, kujaga janjiku 


(*)