Jumat, 23 Oktober 2020

Cara Pukul Mundur Polisi Represif saat Demonstrasi

 

theconversation.com
Polisi represif. Sumber: theconversation.com



Akhir-akhir ini, situasi nasional sedang gawat-darurat. Biang kegaduhannya tentu saja DPR dan Pemerintah yang pada awal Oktober lalu mengesahkan rancangan undang-undang yang bermasalah.


Semula, jadwal pengesahan pada 8 Oktober 2020. Tapi ternyata, tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba acara Rapat Paripurna dimajukan menjadi 5 Oktober 2020. Rakyat dikecoh. Maka sudah barang tentu, wakil rakyat dan pejabat pemerintah itulah biang kegaduhan negeri ini.


Setelah rapat, gedung DPR dikosongkan karena alasan akan ada jadwal reses hingga November. Padahal, bisa jadi, mereka takut didemo oleh rakyat yang sekarang sudah tak merasa diwakili. Barangkali, di Pemilihan Legislatif berikutnya, banyak yang Golput. 


Akhirnya, demonstrasi besar-besaran terjadi di mana-mana. Polisi, atas nama menjalankan tugas, bersikap represif dan korban pun berjatuhan. Di sisi lain, rakyat yang merasa punya hak bersuara, tidak terima dipukuli dan ditembaki gas air mata oleh polisi. 


Entah salah siapa.


Beberapa waktu lalu, saya ngopi-ngopi bersama salah seorang aktivis yang ikut menolak UU Cipta Kerja. Dia mengaku menyaksikan sendiri betapa polisi sangat represif karena didukung dengan fasilitas negara yang memadai. Sementara rakyat, hanya bermodalkan tangan kosong.


Dengan modal sikap skeptis sebagai jurnalis, saya bertanya-tanya soal berbagai kejadian yang menimpa dirinya selama aksi di bilangan Istana Negara, Jakarta. Katanya, dia bahkan sampai dendam dengan aparat polisi yang kurang ajar. 


"Kenapa sih demonstran selalu kalah sama polisi? Lagi-lagi polisi yang dibilang jahat atau represif? Padahal rakyat pendemo kan juga susah diatur," tanya saya kepadanya.


"Ya pasti kalah, lah. Mereka pakai pentungan, tameng besi, dan gas air mata. Mereka juga punya peluru karet dan peluru tajam. Sementara kita tangan kosong. Ya pasti kalah," katanya, menjelaskan.


Dia melanjutkan, "Kalau pendemo sulit diatur, wajar. Begitulah psikologi massa aksi. Makanya semua rombongan harus antisipasi karena penyusup sewaktu-waktu bisa mengacaukan situasi."


"Kira-kira siapa penyusup itu?"


"Bisa jadi penyusup itu dari kalangan polisi sendiri alias intel. Dia nyamar dengan kaos atau baju bebas, bukan seragam. Kemudian dia sendiri yang mengacaukan massa aksi," tambah dia.


"Oke oke. Lalu gimana cara memukul mundur polisi? Supaya jangan pendemo mulu nih yang dipukul mundur dan selalu kalah," tanya saya sekali lagi.


"Gue sih sebenarnya punya cara buat mukul mundur polisi. Tanpa pakai senjata tajam, benda tumpul, benda keras, dan sesuatu yang selama ini dianggap membahayakan. Senjata yang gue maksud ini sama sekali bukan termasuk senjata yang dilarang oleh undang-undang hukum positif negara."


"Apa itu?"


"Tapi ini harus ada solidaritas dan kesepakatan dari semua pendemo. Nggak bisa kalau cuma gerak masing-masing. Ini butuh gerakan masif dan solid."


"Oke siap. Emangnya senjata itu apa?"


"Jadi," katanya memulai penjelasan tapi terpotong karena dia membakar rokok terlebih dulu.


"Gue punya ide. Sebelum demo, masing-masing rombongan massa aksi harus nyewa, minimal, satu mobil (truk) sedot WC atau mobil tinja itu. Tahu kan? Sebelum berangkat aksi, pastikan dulu tangkinya penuh."


"Lha terus mau diapain?"


"Lu kebanyakan nanya, Ru. Pikir aja sendiri. Gas air mata lawan semprotan mobil sedot WC yang isinya kotoran manusia menang mana? Gue yakin polisi bakal mundur. Ini yang gue maksud senjata lunak, bukan senjata tajam, atau benda tumpul dan benda keras," jelasnya. 


"Jadi maksud lu ketika polisi mulai represif, itu selang sedot WC disemprotin ke arah barisan polisi?"


"Ya, semprotin ke mukanya, bajunya, seluruh tubuh lah. Biar pada kocar-kacir mereka. Solutif nggak?"


"Au ah."

Previous Post
Next Post

0 komentar: