Sabtu, 30 November 2019

Kiai Enha Bertutur (1): Konsekuensi Tauhid adalah Kemanusiaan


Suasana di selasar rumah Kiai Enha


Sore itu, 29 November 2019, saya "main" ke Pesantren Motivasi Indonesia. Sebuah institusi pendidikan yang memiliki nama lain Istana Yatim. Di sana, santri-santrinya adalah anak-anak yatim. Baik yatim lantaran sudah tidak punya orangtua, maupun mereka yang diyatimkan oleh keadaan. 

Pesantren ini terletak di pelosok Bekasi. Kalau malam tiba, tidak ada suara apa pun, kecuali angin yang saling bersaut dan suara-suara sunyi yang mengetuk keramaian kota. Lebih tepatnya, pesantren ini berada di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

Santri-santri di sini, diasuh oleh seorang kiai muda jebolan Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur. Dia adalah Kiai Haji Nurul Huda (Enha). Para santri memanggilnya dengan sebutan Ayah. Sebuah panggilan keakraban yang memang sangat dirindukan bagi anak-anak yang sejak kecil sudah ditakdirkan berpisah dengan pemimpin keluarganya. 

Dia adalah putra dari Buya KH Muhali, salah seorang ulama terkemuka di Tanah Betawi, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Kiai Enha juga merupakan bagian dari ulama muda NU. Namanya sudah dikenal oleh para kiai di kalangan NU. Bersahabat pula dengan–salah satunya–Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand. Seringkali dirinya diundang untuk ceramah di Bumi Eropa, mendakwahkan Islam yang ramah dan penuh kedamaian. Dalam bahasa arab, disebut rahmatan lil alamin. 

Saya tiba di kediaman Kiai Enha bakda ashar. Di selasar rumahnya, ada sekira tujuh orang tamu sedang berkumpul. Salah satu diantaranya adalah Handreas, seorang nonmuslim dari Cikarang Barat yang ingin masuk Islam dengan dibimbing langsung oleh Kiai Enha. Tak lama berselang waktu, hadir juga dua orang pemuda dari Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cimuning, Choky dan Viko.

Di selasar rumah Kiai Enha, berarti sedang berkumpul orang-orang yang berbeda latar belakang, terutama berbeda latar belakang agama. Tutur kata Kiai Enha, sangat terukur dan terstruktur. Kalimat demi kalimat yang diucapkan, menjadi semacam stimulus untuk semakin giat beragama. Selain sebagai kiai, dia juga seorang orator dan motivator. Maka wajar jika setiap kata yang diucapkan memberi dampak positif bagi pendengarnya. Benar-benar komunikator yang baik. 

Kiai Enha, dalam pembicaraannya, mengutip ayat kelima dari Surat Al-Bayyinah. Olehnya, ayat itu dimaknai bahwa agama akan menjadi kuat (dinul qayyimah), jika didasari atas penghambaan kepada Allah secara tulus sekaligus melakukan pengorbanan berupa pelayanan kepada hamba-Nya. 

Di dalam agama apa pun, kata Kiai Enha, pasti terdapat tata cara peribadatannya masing-masing. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplementasikan keberagamaan dengan memberikan pelayanan kepada sesama. Maka, kemelekatan di dalam diri harus segera dienyahkan. Kalau sudah demikian, maka pengorbanan apa pun yang dilakukan, tidak akan ada tujuan lain kecuali Allah. 

Sejak Nabi Adam, Allah sudah mengajarkan betapa pentingnya sebuah pengorbanan yang menjadi bukti atas kehambaan diri terhadap Sang Pencipta. Itulah sebenarnya yang menjadi poin penting atau substansi dari nilai-nilai agama yang, menurut Kiai Enha, harus terus disosialisasikan. 

"Dalam beragama, diperlukan sebuah kesadaran bahwa agama (secara personal) menghubungkan kita kepada Tuhan. Tapi fakta di lapangan, sesungguhnya, Tuhan akan mengukur kedalaman iman seseorang ketika dia bisa melayani hamba-Nya. Thats the point," kata Kiai Enha. 

Karenanya, di dalam Islam, ritual ibadah (salat) diawali dengan–yang disebut–takbiratul ihram. Sebuah gerakan awal di dalam salat yang bukan hanya sebatas gerakan saja, tetapi punya makna yang dalam. Artinya, sebagai seorang muslim yang sedang salat, haruslah memiliki kesadaran bahwa Allah Mahabesar. Hanya Allah yang besar. 

Suasana di selasar rumah Kiai Enha

Pada tutur kata yang saya dengar, Kiai Enha mengatakan bahwa salat merupakan urusan yang bersifat spiritual, sampai-sampai untuk melaksanakannya harus dengan membersihkan diri terlebih dulu. Tidak boleh sembarangan. Lalu setelah melalui serangkaian gerakan yang di dalamnya berdimensi spiritual yang membesarkan Allah itu, salat ditutup dengan salam yang berarti kedamaian.

Artinya (Kiai Enha mempersepsikan ungkapan Allah), "Ketika engkau berjumpa dengan-Ku dalam salatmu, engkau kecil bukan siapa-siapa, Aku yang besar. Tetapi ketika engkau selesai salat, kau bawa kebesaran-Ku dalam baju keselamatan yang kau tebarkan ke kanan dan kirimu."

Sehingga, salat yang demikian itu memiliki makna. Tidak kosong. 

Lalu, kepada Handreas yang ingin memeluk Islam itu (juga saya persepsikan kepada siapa saja yang mendengar tutur Kiai Enha dan membaca tulisan ini), dianjurkan agar sering-sering mendatangi tokoh agama, seperti kiai dan ulama. Tujuannya untuk memperdalam pengetahuan tentang keislaman. Tentu saja, saya memahami bahwa Kiai Enha berharap agar seorang muslim harus mampu beragama dengan didasari ilmu pengetahuan. 

Sebab di dalam Al-Quran itu, kata Kiai Enha, agar seseorang mampu memahami kalimat tauhid laa ilaaha illallah harus dengan fa'lam (pahami) annahu, bukan fa'mal (lakukan) annahu. Artinya, fa'lam itu berarti based on knowledge (berdasarkan pengetahuan) not based on action (bukan berdasarkan pada aksi).

Kalau fa'mal, Kiai Enha berasumsi, hanya akan berujung pada ritual semata. Tapi kalau fa'lam (itulah yang sesungguhnya) menjadi syarat dari ketauhidan seorang muslim, yakni paham atau kenal. Jadi, based on knowledge itu menjadi penting, supaya orang beragama diliputi dengan keimanan yang kuat.

"Karena apabila tidak kuat, akan sangat dengan mudah dibikin bingung atau dibuat ragu. Kenapa knowledge itu menjadi penting? Ya untuk memahamkan kepada diri tentang Tuhan," katanya.

Bagi Kiai Enha, agama harus memahamkan seseorang tentang Tuhan yang sebenar-benarnya. Yaitu Tuhan yang menurunkan agama, yang menciptakan jagad raya untuk kehidupan makhluk di dalamnya. Namun demikian, orang-orang beragama, terkadang memiliki konsep Tuhan menjadi dua kategori.

"Ada Tuhan yang menciptakan kita, ada Tuhan yang kita ciptakan. Tuhan yang kita ciptakan adalah Tuhan yang menurut akal dan pikiran sendiri, termasuk yang berpikir bahwa Tuhan itu adalah pemarah sehingga yang keluar adalah perilaku yang selalu marah-marah dan membuat agama tampil menyeramkan," kata Kiai Enha.

Kalau ada yang beranggapan bahwa Tuhan adalah sesuai dengan akal pikiran, lebih-lebih mempersepsikan Tuhan sebagai algojo yang sangar dan bengis, maka yang demikian itu bukan ajaran inti agama. Tetapi disebabkan karena pelaku agamanya sendiri yang menafsirkan Tuhan dengan seenaknya, tanpa ilmu pengetahuan yang mumpuni.

"Pelaku agama yang begitu, terkadang merasa dirinya sudah seperti Tuhan. Ini bahaya sekali, karena menggambarkan Tuhan yang kejam. Maka di agama apa pun, larangan terbesar adalah saat engkau merasa seperti Tuhan," kata Kiai Enha.

Islam, menurutnya, bermakna damai. Jadi, kalau ternyata ada umat Islam yang sudah tidak mengajarkan atau menebarkan kedamaian kepada kehidupan kemanusiaan, itu berarti ada yang keliru dalam pemahaman tentang Islam itu sendiri. 

"Itu bahaya sekali," kata Kiai Enha.

Senin, 04 November 2019

Definisi dan Syarat Menjadi Ulama Menurut Mas Ulil


Foto ini diambil di kediaman Mas Ulil

Dalam sebuah acara di Bali, bertajuk Ngaji Kebangsaan, Mas Ulil Abshar Abdalla menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang berdasar pada ulama, dan ulama itu dasarnya adalah ilmu.

Kata ulama itu berasal dari ilmu. Lalu muncul kata 'alimun, artinya adalah orang yang punya ilmu; jamaknya menjadi 'ulama, yaitu orang-orang yang punya pengetahuan.

Jadi, Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang didalamnya adalah orang-orang yang punya ilmu. Tetapi maksud Mas Ulil adalah ilmu dalam segala bidang atau dalam hal apa pun. Baik ilmu yang disebut Imam Ghazali sebagai 'ulum syar'iyyah (ilmu yang bersumber dari wahyu), maupun ilmu yang ghairu syar'iyyah.

Pengertian yang kedua itu adalah ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari wahyu, melainkan bisa saja berasal dari akal manusia atau dari pengalaman-pengalaman manusia. Seperti misalnya pertanian yang merupakan ilmu karena didasari atas pengalaman para petani selama berpuluh atau ribuan tahun, yang kemudian lahirlah ilmu tentang pertanian.

Tetapi pada umumnya, sebagian besar masyarakat kita menyematkan gelar ulama itu hanya kepada pengertian yang pertama, yakni orang-orang yang punya pengetahuan di bidang ilmu-ilmu keagamaan atau 'ulum syar'iyyah. Padahal, orang yang berilmu sebagaimana pengertian yang kedua itu bisa juga disebut sebagai ulama.

Jadi, ulama itu artinya bukan hanya orang yang punya keilmuan di bidang keagamaan saja tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu diluar agama, atau bukan ilmu syara'. 

"Semua orang yang berilmu itu, baik yang berilmu agama maupun nonagama, itu semua sama, mereka adalah ulama. Kalau mereka betul-betul punya ilmu yang sesungguhnya, maka mereka berarti juga punya sikap yang sama sebagai ulama," kata Mas Ulil.

Sikap ulama itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Quran: innamaa yakhsyallaha min 'ibadihil 'ulama. Jadi, akibat atau hasil akhir dari orang yang punya pengetahuan itu adalah punya rasa takut kepada Allah. Itulah inti dari sikap dasar seorang ulama. 

Maka, objek ketakutan seorang ulama bukanlah manusia atau segala perkara keduniaan, tetapi takutnya hanya kepada Allah semata. Itulah ciri dari para ulama, baik ulama dalam ilmu agama maupun nonagama. Kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi hasil akhirnya tidak punya rasa takut kepada Allah–melainkan takut kepada jabatan, uang, atau kepada sesama manusia–maka itu sudah pasti bukan ulama.

Sebagai contoh, ada fenomena seorang pendakwah yang takut kalau-kalau jumlah pendengarnya berkurang. Maka yang demikian itu sudah bisa dipastikan bukanlah seorang ulama. Itu pula yang dikritik oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin di bagian pertama tentang kitabul 'ilmi. Bahwa banyak orang yang memiliki ilmu agama tetapi sikapnya justru berkebalikan dari sikap yang disebut dalam Al-Quran itu.

Bahkan, ada orang yang belajar ilmu agama tetapi justru yang lahir dari orang itu bukan akhlak agama. Seperti misalnya, menjadikan ilmu yang dimilikinya itu sebagai alat untuk menyombongkan diri, padahal yang dipelajarinya adalah ilmu agama seperti fiqh. Fenomena seperti itu sudah sangat banyak dan seringkali terjadi. 

Ilmu fiqh, kata Mas Ulil, sering membuat seseorang yang mempelajarinya, kalau tidak hati-hati, justru akan membuat diri merasa lebih hebat dari yang lain. Terlebih, misalnya dalam bahtsul masail. Di forum debat itu, seringkali orang-orang merasa paling pintar. Sebab orang kalau sudah debat, pasti punya tujuan untuk mengalahkan lawan debatnya.

"Itulah contoh ilmu agama yang kemudian menjadi washilah untuk sombong kepada orang lain," kata Mas Ulil.

Maka, takut kepada Allah itulah yang harus menjadi pegangan utama bagi seorang yang berilmu. Artinya, memiliki kesadaran atas hadirnya Allah dalam seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. 

Sebagaimana yang pernah didawuhkan Nabi Muhammad, bahwa umat Islam itu akan berjalan seperti menaiki tangga. Tangga pertama adalah iman, kedua adalah Islam, dan tangga terakhir yang paling tinggi adalah ihsan. Nah, orang beragama, dalam Islam, haruslah sampai kepada tingkat yang ketiga itu.

"Ihsan itu didefinisikan Kanjeng Nabi adalah: engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Allah. Tapi kalau tidak bisa mencapai tingkat tertinggi itu, minimal kita merasa kehadiran Allah yang terus-menerus melihat kita. Itu namanya ihsan," kata Mas Ulil.

Sebab, hidup ini seluruhnya adalah ibadah. Sedangkan ibadah bukan berarti hanya salat saja, melainkan seluruh tindak-tanduk kehidupan seorang manusia di bumi–pada hakikatnya–adalah ibadah. Kalau ada orang yang mengaplikasikan ihsan hanya ketika salat saja, sementara diluar salat tidak dipraktikkan, maka itu bukan yang dimaksud ihsan.

Oleh karena semua tindakan dalam hidup ini adalah ibadah, maka harus punya kesadaran bahwa Allah melihat segala hal yang kita lakukan. Bahkan, kalau bisa memiliki kesadaran bahwa kita melihat Allah. Namun, yang demikian itu hanya untuk para wali.  

Secara implisit, ihsan itulah yang disebut khasyyah, takut kepada Allah. Sebuah sikap sadar atas seluruh gerak-gerik yang dilakukan di bumi, karena semuanya pasti dilihat Allah.

Wasiat KH Abdullah Rifa'i

Mas Ulil kemudian menyampaikan sebuah pesan atau wasiat dari KH Abdullah Rifa'i. Dikatakan, Allah itu menyukai kalau seorang hamba melakukan sesuatu yang kemudian dilakukan dengan penuh profesionalitas. Dalam bahasa Arab, dikatakan: innallaha ahabba 'abdan idza 'amila syai-an atqonahu.

Itqon itu artinya adalah melaksanakan sesuatu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Itulah profesional, tidak dikerjakan secara serampangan. Segala sesuatu dilakukan dengan sesuai prosedur, sesuai dengan ilmu yang dibutuhkan.

Kalau seseorang sadar terhadap kehadiran Allah dalan kehidupannya, maka dalam melakukan sesuatu, apa pun, pasti penuh dengan tanggung jawab. Sebab, dia sadar bahwa yang mengawasinya bukanlah manusia tetapi langsung diawasi oleh Yang Menciptakan Kehidupan. Karena itu, dia pasti punya keinginan untuk melakukan segala hal di dunia ini dengan maksimal.

"Kalau ada orang beriman tapi tidak bekerja secara profesional, maka akan diragukan keimanannya. Kalau ada orang beriman kepada Allah tapi melakukan sesuatu dengan sembarangan, menjadi medioker, berarti orang ini belum merasa kehadiran Allah dalam kehidupannya," kata Mas Ulil.

Dalam periode kedua ini, Presiden Jokowi konon akan fokus pada pengembangan Sumber Daya Manusia. Nah, SDM Indonesia, saat ini, masih kalah jauh dibanding dengan SDM di negeri-negeri lain. Seperti misalnya soal kemampuan mengerjakan segala sesuatu dengan profesional, maksimal, dan dengan sebaik-baiknya.

Kebinekaan

Akhir-akhir ini, isu yang mencuat dan menjadi tema pembahasan oleh banyak kalangan adalah soal keberagaman. Disadari atau tidak, memang sekarang sedang muncul sebuah gejala keagamaan yang sepertinya memusuhi kebinekaan.

Atau bahkan lebih jauh lagi, yakni memusuhi eksistensi negara Indonesia. Model keagamaan yang seperti itulah, yang justru belakangan ini muncul di kalangan masyarakat perkotaan. Anehnya, gejala tersebut menyerang kalangan orang-orang terdidik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa muncul model atau pola keagamaan yang mempertentangkan antara keislaman dengan keindonesiaan; atau antara keislaman dengan kebinekaan? Kenapa semua itu terjadi?

Menurut Mas Ulil, salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena kurangnya ilmu pengetahuan. Tetapi, hanya NU-lah yang sangat vokal dan lantang menyuarakan kebinekaan, perdamaian, dan persaudaraan sesama anak bangsa. 

Kenapa demikian?

Karena NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang landasan utamanya adalah ilmu. Nahdlatul Ulama itu artinya kebangkitan orang-orang yang punya pengetahuan. Sementara ulama itu, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bukanlah semata-mata orang yang punya ilmu agama tetapi semua orang berilmu di bidang apa saja dengan dibarengi rasa takut kepada Allah.

Karena itu, kalau merasa menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama, maka harus memiliki tanggung jawab atas kebangsaan. Nah, tanggung jawab kebangsaan kita adalah menyebarkan ilmu yang sudah diperoleh dari para kiai ke masyarakat. 

Sesungguhnya ada banyak sekali ilmu yang dikembangkan oleh para ulama NU. Tetapi salah satunya adalah ilmu Tri Ukhuwah yang diajarkan Allahyarham KH Ahmad Shiddiq. Tiga model persaudaraan itu sangat penting, sekalipun kelihatannya hanya sederhana. Tetapi tidak semua orang paham, bahkan tidak semua orang mau paham.

Ketiganya itu adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Kalau dalam hidup berkebangsaan memegang ilmu yang diajarkan Kiai Ahmad Shiddiq itu, maka insyaallah Indonesia akan selesai dengan berbagai konflik keagamaan yang mencederai kebinekaan. 

Sumber Ilmu Kiai Ahmad Shiddiq

Salah satu sumber ilmu Kiai Ahmad Shiddiq ini, menurut Mas Ulil, adalah dari Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah. Suatu ketika, dia berkirim surat kepada gubernur yang diperintahkan untuk menjadi wakilnya di Mesir. Gubernur itu adalah Malik Al-Asytar.

Ali menulis surat panjang sekali. Wasiat dalam surat itu sekitar 35 halaman. Namun kalau dipelajari, wasiat Ali dalam surat itu bisa menjadi pelajaran penting tentang teori mengurus negara menurut Islam. 

Dalam pembukaan suratnya, Ali berkata: "Wahai Malik Al-Asytar, nanti kalau engkau sudah tiba di Mesir dan kemudian menjadi gubernur di sana, ingatlah, engkau jangan berlaku seperti gubernur-gubernur sebelummu, terutama sebelum kedatangan Islam di Mesir."

Dulu sebelum Islam datang, Mesir menjadi bagian dari wilayah Romawi Timur yang ibukotanya di Bizantium (di Turki yang sekarang ini). Akidah Nasrani di Mesir kemudian bertentangan dengan Nasrani di Bizantium itu. Oleh sebab itu, Mesir akhirnya menjadi sasaran penindasan karena punya penafsiran keagamaan yang berbeda mengenai kekristenan.

Sayyidina Ali ketika mengutus Al-Asytar itu berpesan:

"Jangan sesekali nanti kalau engkau menjadi gubernur, engkau seperti gubernur-gubernur sebelumnya. Yakni engkau menjadi seperti binatang buas yang punya gigi tajam yang menerkam hewan lain. Engkau jangan menjadi seperti binatang buas yang memakan harta orang lain. Maksudnya memakan harta rakyatmu sebagaimana tradisi gubernur-gubernur sebelumnya. Ingat, manusia itu terbagi menjadi dua, manusia yang seagama dan manusia yang tidak seagama tapi sama-sama manusia. Maka, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Dikatakan Mas Ulil, bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) atau konsep kemanusiaan, sesungguhnya sudah diterapkan sejak dulu. Maka tak heran kalau di batu nisan makam Gus Dur tertulis: "Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan."

Bisa jadi, Mas Ulil menduga bahwa sumber utama dari ilmu KH Ahmad Shiddiq mengenai Tri Ukhuwah itu adalah surat Ali kepada Malik Al-Asytar. Konsep Tri Ukhuwah itu sesungguhnya berasal dari Sayyidina Ali. 

Kanjeng Nabi pernah berkata: Ana madinatul 'ilmi wa 'aliyyun baabuha. Artinya, Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah gerbangnya.

"Ali ini kira-kira bagian depan rumahnya Kanjeng Nabi. Jadi kalau mau sowan kepada Kanjeng Nabi, maka pertama kali harus sowan terlebih dulu kepada Ali," kata Mas Ulil.

Kesimpulannya adalah bawah ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting, yang harus dimiliki seorang ulama dan dengan dibarengi oleh rasa takut kepada Allah, karena selalu dalam pengawasan-Nya. Sedangkan ilmu Kiai Ahmad Shiddiq, Tri Ukhuwah, merupakan sebuah modal untuk hidup berkebangsaan.

Sabtu, 02 November 2019

Artikel Gus Dur: Arti Sebuah Buku (Gus Dur Membaca Das Kapital)


Gambar ini karya Kang Dodi Budiana dari jabarnews.com

Dalam sebuah diskusi di Gedung Perpustakaan Nasional, penulis (Gus Dur) mengajukan sebuah presentasi mengenai sebuah buku jilid I 'Das Kapital' yang ditulis Karl Marx lebih dari seratus tahun lalu. Di samping penulis, juga diajukan presentasi lisan dari penerbit terjemahan karya agung tersebut, pihak penerjemah, dan editor.

Di tengah-tengah diskusi yang berlangsung, Dr Franz Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Rawamangun, Jakarta, diminta menguraikan karya agung itu. Namun, ia mengelak karena memang bukunya sangat tebal. Ia hanya menyebutkan bahwa karya agung itu adalah karya ilmiah dan penuh dengan hasil-hasil penelitian. 

Yang menarik, ia menyatakan bahwa karya tersebut tidak menentang kapitalisme melainkan menunjukkan banyak aspek dari pandangan tersebut. Karena Romo Franz Magnis Suseno adalah seorang ilmuan, maka ia tidak berbicara secara emosional, tidak seperti kebanyakan agamawan yang selalu berbicara tentang buku itu secara sepihak saja.

Penulis mengemukakan, bahwa buku itu tidak dapat dibaca sendiri saja, melainkan harus dibaca bersama-sama dengan karya-karya tertulis lainnya. Dalam hal ini, penulis kembalikan jasa terbesar sehingga membacanya 40 tahun lalu kepada Ibu Rubiyah, yang belakangan menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan.

Beberapa waktu kemudian, ia menjadi Ketua Perkumpulan Wanita Partai Demokrasi Indonesia di bawah pimpinan Suryadi. Penulis tidak tahu, apakah ia sekarang masih hidup dan kalau demikian apakah ia masuk dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dulu, ia menjadi guru di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gowongan Lor, Yogyakarta.

Walaupun ia beragama Katolik, tapi ia memberikan kepada penulis buku-buku tentang sosialis.

Di samping karya agung itu (Das Kapital), penulis juga mempelajari karya-karya Vladimir Lenin, terutama sebuab pamflet tentang 'penyakit kiri kekanak-kanakan dari kaum revolusioner', juga pamflet Mao Zedong terutama yang berisikan 'tiga langkah perjuangan' yang klasik: "Kalau musuh mengejar kita lari, kalau musuh berhenti kita ganggu, dan kalau musuh mundur kita kejar."

Penyakit yang dimaksud Lenin  adalah perasaan perjuangan mengalami kegagalan, jika belum berhasil ketika aku berhenti menjadi pemimpin. Dengan kata lain, orang menilai kepemimpinannya sendiri terlalu tinggi, sehingga seolah-olah bagaikan bergantung seluruh sukses kepada kepemimpinan seseorang. 

Padahal terbukti dari kasus pemimpin revolusioner Rusia, Leon Trotsky, bahwa ia dapat dibunuh oleh orang suruhan Joseph Stalin karena berbeda pandangan, tetapi gagasannya tentang revolusi simultan di seluruh dunia tidak terhenti karena itu, sebagaimana terbukti dalam kiprah Tan Malaka di negeri kita.

Salah satu pertanyaan mendasar yang senantiasa diajukan kepada penulis, ketika membahas arti dan tempat 'Das Kapital' adalah: apakah arti karya agung itu bagi penulis sendiri? Penulis lalu menjawab, bahwa penulis tidak pernah memahami karya agung itu sebagai sesuatu yang harus diperlakukan tersendiri, melainkan harus dibaca bersamaan sejumlah karya-karya tertulis lainnya.

Sebagaimana penulis katakan di atas, 'Das Kapital' penulis baca bersamaan sejumlah karya agung lainnya, seperti manifesto politik Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan bersama-sama dengan karya-karya Berdjrosa Richard dan Adam Smith, dan Luxemburg Dyayef. 'Bacaan gado-gado' itu akhirnya membentuk pandangan penulis tentang ekonomi. Penulis menolak anggapan sebagian orang bahwa kita harus berpandangan sosialistik penuh atau kapitalistik penuh. Inilah yang membuat mengapa ada yang tidak percaya kepada penulis.

Penulis sekadar mengikuti tindakan-tindakan yang diambil Bung Karno dan kawan-kawan, ketika mereka mendirikan NKRI. Kalau kita lihat, mereka menciptakan negara yang berorientasi sosialistik, yaitu dengan rumusan negara harus menyediakan hajat hidup orang banyak. Tetapi mereka juga mengambil dari ajaran Islam, kesediaan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Pemikiran sosialistik dalam hal ini, tidak mencapuradukkan antara keadilan dan kemakmuran. Demikian juga, pemilikan barang-barang modal oleh pihak swasta ditiadakan. Ini adalah sikap teoritik yang tidak pernah terbukti dalam praktik. Justru kepentingan ekonomi kapitalistik dari subsistem kapitalistik menurut UUD yang kita pakai sampai saat ini.

Sekarang ini, kita sedang menghadapi pilihan yang harus diambil dalam pengembangan sistem ekonomi yang akan dipakai. Ketika para teknokrat ekonomi, yang dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Ketua Bappenas Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, memilih untuk mengutamakan swastanisasi sesuai dengan kehendak Dana Moneter Internasional (IMF), maka mereka meninggalkan UUD yang kita miliki. Mengapa?

Karena mereka membiarkan (bahkan melanjutkan) kebijakan untuk melakukan swastanisasi atas sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjaga keberlangsungan orientasi sosialistik yang dirumuskan, dengan kata-kata sederhana: memenuhi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak. Kalau ini saja dilanggar, jelaz kita juga melanggar UUD, karena ia masih berbunyi demikian.

Kebiasaan kita untuk mencari jalan pintas seperti itu, justru akan menghantam kita sendiri. Para pemimpin kita dahulu berlama-lama mencari rumusan kompromistik antara berbagai pendekatan yang kelihatannya saling bertentangan. Demikianlah para pendahulu kita itu mencoba mencari 'jalan tengah' yang kapitalistik sebagian dan sosialistik sebagian pula. 

Ini adalah cara yang sehat untuk keluar dari dialektika (pertentangan, pengertian). Yang kita kenal dengan istilah 'tesa', 'antitesa', tentu akan berkesudahan pada 'sintesa'. Inilah hukum alam yang tadinya dipercaya oleh para pendiri negeri ini. Hal itu tentu harus dijalankan, dan untuk mengubah tindakan yang diambil dari pandangan itu, kita terlebih dahulu harus melakukan perubahan pada Pembukaan UUD. Karenanya jalan pintas apa pun, harus ditolak sebagai pelanggaran UUD.

Disinilah terletak arti besar dari sebuah karya agung. Begitu karya itu 'diambil' hal-hal yang dimuat dalam sebuah dokumen kenegaraan resmi, seperti UUD untuk membawa perubahan, kebijakan haruslah diubah terlebih dahulu. Barulah dengan demikian, kita terbebas dari upaya melanggar konstitusi.

Jika kita diam-diam membuat kebijakan baru, dan pura-pura tidak melihat hal itu sebagai sebuah penyimpangan konstitusional, maka kita lalu langsung menjadi para warga negara yang munafik/hipokrit. Kita harus berhati-hati dan bersikap loyal kepada UUD kita sendiri. Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang kuat dan negara besar, kalau kita tidak dipercaya orang lain? Dan, kepercayaan seperti itulah yang harus kita pegang teguh.

Dari apa yang diuraikan di atas, jelas karya-karya agung dari masa lampau memiliki arti besar kehidupan kita sebagai bangsa sekarang ini. Kesetiaan kita pada apa yang diputuskan sebagai bagian dari kehidupan kolektif kita, mengharuskan kita untuk menjaga konsistensi antara perbuatan kita dan dokumen-dokumen resmi negara kita. 

Setiap perubahan kebijakan mendasar, haruslah didahului oleh perubahan redaksional dalam dokumen-dokumen resmi negara kita. Dengan demikian, baru kita dapat membuat sebuah proses yang benar, guna melestarikan atau membuang sesuatu yang merupakan hal biasa dalam sejarah manusia, bukan?


(Ditulis Gus Dur pada 17 Februari 2004)

Jumat, 01 November 2019

Islam Bukan Hanya Persoalan Akidah dan Syariat


Gambar ini diambil dari history.com

Dalam sebuah diskusi santai bersama KH Nurul Huda (Ayah Enha), di Pesantren Motivasi Indonesia, Burangkeng, Setu, Bekasi, saya mendapat banyak pelajaran tentang sebuah cara memahami Islam dari sudut pandang yang baru. 

Pola kaum beragama sebagian besar umat Islam kekinian, terutama di perkotaan-perkotaan, memang sedang mengalami peningkatan secara simbolik dan kuantitas ibadah atau intensitas perjalanan pergi-pulang ke rumah ibadah.

Kemudian juga ada banyak sekali peraturan-peraturan daerah, yang misalnya diterapkan sebagai upaya (atau bertujuan) untuk menerapkan syariat Islam sekaligus menjaga akidah umat Islam. Hanya sebatas itu.

Tentu saja, semua hal tersebut bermula dari kampanye keagamaan, "Kembali kepada Al-Quran dan Hadits". Memangnya sejak kapan, sebagian umat Islam keluar dari inti sumber hukum Islam itu, sehingga harus ada kalimat kampanye yang demikian? Apakah Islam dipandang hanya sebatas akidah, syariat, dan berbagai hal yang serba rumit dimengerti?

Begini, Ayah Enha pernah menjelaskan kepada saya bahwa apabila Islam itu dipahami bukan hanya sekadar akidah dan syariat, maka kita akan dapat merasakan betapa Islam memiliki positioning yang begitu luas. Ya, Islam memang lebih luas dari pada sekadar akidah dan syariat.

Islam itu sebagai ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Jadi seluruh perdebatan, misalnya, soal halal-haram atau sesat-menyesatkan tidak lagi menempati posisi teratas dalam kehidupan keberagamaan kita sebagai muslim.

Walau demikian, diskursus soal itu, halal-haram dan sesat-menyesatkan, biar diletakkan di wilayah internal saja. Tergantung pada istidlal dan istinbath masing-masing.

Lalu pada skala makro, umat Islam juga harus bergerak pada pengejawantahan keislaman yang rahmatan lil 'alamin. Maka kemudian bergulirlah berbagai ide pengetahuan, sains, konsep moral dan budaya, yang akan mewujud pada persaudaraan-kemanusiaan tanpa pandang ras, suku, dan golongan atau bahkan agama.

Nah sayangnya, sebagian dari muslim yang ada di tengah masyarakat kita, terlalu takut memasuki ranah tersebut. Mungkin saja, beberapa orang beranggapan bahwa jika bersentuhan pada ide-ide kesetaraan dan perdamaian-kemanusiaan tanpa pandang bulu itu, akan menodai akidah dan keyakinan kepada Allah. Benarkah demikian? Saya rasa tidak. Itu hanya ekspresi dari dosis beragama yang terlalu tinggi.

Padahal, jutaan umat yang dalam doktrin keagamaannya mengusung spirit kemanusiaan ini tetap tidak akan kehilangan identitas akidahnya sebagai mukmin. Yakni sebagai orang-orang yang mampu memberikan kemananan terhadap sesama saudaranya, bahkan keamanan untuk negeri ini dan semesta.

Karena sesungguhnya, ketakutan terhadap akan bergeser akidah lantaran mengusung ide-ide kesetaraan atau perdamaian-kemanusiaan, merupakan sebuah kekeliruan dalam beragama. Alih-alih menyelamatkan akidah, tapi justru sikap dan tindakan yang muncul di kemudian waktu adalah arogansi, radikal, dan ekstrem.

Bukankah dengan kita selalu memelihara ketakutan itu, justru mengecilkan nilai tauhid yang diyakini?

Konsistensi tauhid itu sejatinya berada pada sikap pembebasan terhadap segala bentuk penindasan atau penghambaan, baik kepada makhluk atau bahkan kepada pikiran sendiri (dan kelompok). 

Sebenarnya, dalam konsep Islam, tauhid merupakan pemurnian hingga pada batas ketidakmampuan pikiran kita memberikan balasan atas hakikat, esensi, dan substansi Dzat Ilahi. 

"Tauhid kita bukan sekadar perkataan yang diucapkan lisan. Bukan juga sekadar persepsi falsafah hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Tapi tauhid kita adalah potensi pembebasan," kata Ayah Enha dengan semangat menjelaskan. 

Potensi pembebasan itu yang kemudian mampu memerdekakan manusia dengan segala kekuatannya dari menghambakan diri kepada sesama makhluk, ketika dengan tulus menghambakan diri kepada Allah dengan sangat sempurna.

Hal tersebut, bagi Ayah Enha merupakan realisasi total dari hubungannya dengan Allah. Yakni hubungan yang akan melindungi manusia itu sendiri dari segala macam kelemahan yang akan menyeretnya ke jurang keterasingan.

Lalu, kenapa kita berdebat soal teks suci dengan pemaknaan yang dipaksakan, padahal sejak dulu makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai? Ini berkaitan dengan ucapan simbolik dan kesucian.

"Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir, tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan," kata Ayah Enha.

Dikatakan, ribuan kitab tafsir Al-Quran dan prosesi martabat kesahihan hadits nabi yang disusun para ulama, menjadi indikasi paling signifikan mengenai ambiguitas persepsi atas dalil keagamaan. Karenanya, semua keyakinan terhadap penerimaan atas ajaran agama, akan segera berpulang kepada keyakinan penganutnya masing-masing.

Maka, sampai kiamat kita tidak akan bisa memaksakan terciptanya wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran). Arah wihdatul fikrah, seperti digagas oleh sekelompok umat, benar-benar ahistoris atas keragaman makna yang faktanya diakomodir oleh banyak dokumentasi nash dalam risalah Islam.

Perbedaan cara pandang dan proses memaknai risalah harus benar-benar disikapi dengan tenang, damai, dan berorientasi pada produktivitas karya kemanusiaan yang nyata. Bukan justru mengedepankan arogansi kelompok dan golongan, sehingga membuat Islam semakin terpuruk dalam kejatuhannya.

Mari bangkit menuju keberagamaan yang tasamuh dan padat karya manfa'at. Aamin. Wallahua'lam...

Mas Ulil: Kenapa Terjadi Penghakiman dalam Beragama?


Foto ini diambil dari beritagar.id

Selamat November. Selamat Jumat. Selamat membaca. Selamat bertambah berkah. Selamat bertambah segala kebaikan.

Kali ini saya menulis segala yang dipaparkan Mas Ulil Abshar Abdalla dalam acara yang digelar Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) bernama Picnikustik dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi pada Rabu, 30 Oktober 2019.

Tulisan ini cukup panjang. Bahkan sangat panjang. Sila dibaca hingga tuntas atau bagi yang tidak suka baca tulisan terlalu panjang, silakan bersabar saja.

Jujur, sejak poster kegiatan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi, saya jadi tertarik sekali untuk ikut. Tapi untuk mendaftar mengikuti kegiatan tersebut, karena satu dan lain hal, saya urungkan. Alasan utamanya adalah karena lokasinya yang sangat jauh dari rumah saya, di Jakarta Tenggara. 

Kenapa saya tertarik? Ini yang menjadi kegelisahan saya sebenarnya. Bahkan sejak beberapa tahun silam, ketika saya mulai dengan sangat intens dan bahkan rutin-terjadwal setiap bulan melingkar dalam forum komunitas pemikiran yang didirikan Mas Ulil di Utan Kayu, Jakarta Timur. 

Awalnya memang saya gelisah terhadap sebagian orang beragama diantara kita yang merasa paling 'islami', sehingga bagi kelompok muslim yang berada diluar dari mereka disebut atau dianggap kurang 'islami'. Begitu pula bagi lingkaran yang saya ada di dalamnya itu. Bagi sebagian besar dari kami, apa yang dilakukan oleh kelompok 'paling islami' itu lantaran mereka mempelajari Islam tidak menyeluruh, sehingga substansi agama itu sendiri menjadi hilang. 

Bagi kami, mereka bodoh. Sedangkan bagi mereka, kami tidak 'islami'. Meskipun labelisasi dilakukan dengan istilah yang lain, seperti kami menilai mereka sebagai fundamentalis, radikalis, ekstremis; atau mereka yang menilai kami sebagai pengidap sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Sebuah akronim yang homograf dengan penyakit kelamin menjijikkan. 

Singkatnya, kami dan mereka sama-sama merasa paling superior. Secara level keimanan, mereka menganggap kami tidak ada apa-apanya. Tetapi secara tingkat intelektualitas, keilmuan, dan kecerdasan, mereka jauh tertinggal dari kami. Sebab, kamilah orang-orang yang tercerahkan. Begitu pula mereka yang bangga karena dirasa dekat lebih dekat dengan Tuhan ketimbang kami.

Kenapa Terjadi Penghakiman?

Pertemuan Komuji yang mengangkat tema Sholeh Tanpa Menghakimi itu, oleh Mas Ulil dianggap sebagai tema yang (masih) sangat relevan untuk diangkat menjadi sebuah diskusi publik. Sebab, menurut Mas Ulil, orang-orang yang ada di Komuji, juga siapa saja, termasuk saya, pernah menjadi korban penghakiman. 

Tema itu dipilih, memang karena ada kegalauan dan kerisauan terhadap fenomena beragama yang mengarah pada penghakiman. Mungkin juga, fenomena tingkat keberagamaan seseorang yang pada saat bersamaan dibarengi dengan perasaan paling benar sendiri. Sehingga, konsekuensinya adalah menghakimi orang lain.

Konsekuensi itu, yakni menghakimi orang lain, memang tidak bisa dihindari oleh kita semua, sebagai manusia yang diberi akal dan nafsu. Semua berjalan secara naluriah. Itulah yang menjadi akibat, sedangkan penyebabnya perlu ditelaah lebih mendalam.

Penyebab yang paling mendasar dari adanya penghakiman, baik dalam hal keagamaan maupun pada semua kasus, biasanya karena seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat. Sehingga dengan sendirinya, dia akan dengan semangat mempertahankan posisi moralnya itu.

Sehingga orang yang demikian itu, memandang orang-orang yang berada pada posisi moral yang berbeda, sebagai kelompok yang salah. Namun sesungguhnya, hal tersebut bukanlah menjadi gejala dalam kehidupan beragama saja. Dalam semua hal, ketika seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat, pasti akan dengan sendirinya menganggap posisi moral yang lain tidak lebih baik dari posisi moralnya.

Jadi ketika seseorang punya posisi moral yang kuat, kemudian ditambah memiliki strong opinion (kekuatan argumentasi), biasanya akan sangat dengan mudah melakukan penghakiman kepada orang lain. Baik penghakiman itu dilakukan secara lagsung secara verbal atau dikemukakan secara implisit.

"Orang yang mempunyai strong opinion, kemudian ditambah pula punya strong moral standing, maka dia akan punya posisi moral yang sangat kuat sekali. Dia biasanya punya kecenderungan melihat orang yang berbeda sebagai pihak yang salah," kata Mas Ulil, dalam tayangan siaran langsung di akun facebook Ulil Abshar Abdalla yang saya tonton hingga selesai. 

Gejala tersebut, ditegaskan Mas Ulil, merupakan sebuah gejala yang manusiawi. Setiap manusia pada dasarnya punya kecenderungan yang seperti itu. Karenanya, pertemuan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi merupakan momentum introspeksi. Maka kita, sebagai manusia, harus mulai hati-hati. 

Sebagaimana pertandingan sepakbola, misalnya Barcelona vs Real Madrid, kalau kita tidak memihak kepada salah satu kubu, maka otomatis pertandingan tidak akan berjalan seru dan asik. Bisa jadi, malah ngantuk karena tidak ada yang bisa dihakimi sebagai kubu yang 'kalah', atau sebagai kubu yang menang tapi 'curang'. 

Dengan demikian, strong opinion dalam hal apa pun, termasuk dalam kehidupan beragama masyarakat muslim kekinian, merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Namun kini yang menjadi permasalahannya adalah soal bagaimana kita punya strong opinion itu tapi tanpa disertai dengan penghakiman?

Baca juga: Sebuah Catatan: Melihat Mas Ulil Bicara Menggebu-gebu

Kebijaksanaan Imam Syafi'i

Mas Ulil kemudian memberikan sebuah wisdom atau kebijaksanaan yang didapatkannya ketika di pesantren dulu. 

Ada seorang imam besar. Sarjana besar yang merupakan pendiri madzhab yang kini banyak diikuti oleh umat Islam di Indonesia, yakni Imam Syafi'i. Dia adalah sosok yang sangat punya strong opinion dalam berbagai isu keagamaan, terutama dalam masalah hukum Islam. Kala itu, pada sekira abad ke-3, dia sering melakukan debat argumentatif dengan lawan-lawannya.

Apa yang menarik dari Imam Syafi'i? Tak lain karena dia dikenal dengan ungkapan yang sangat berguna hingga sekarang. 

"Ketika saya berpendapat tentang satu hal maka saya berpandangan bahwa saya benar, tetapi mungkin salah. Sementara pendapat lawan debat saya, saya pandang salah tapi juga mungkin benar."

Menurut Mas Ulil, posisi Imam Syafi'i itu merupakan posisi yang sangat ideal. Jadi, seseorang tidak dilarang punya strong opinion dalam hal apa pun. Bahkan justru bagi siapa saja yang tidak punya strong opinion dalam hal-hal tertentu, bisa dipastikan hidupnya tidak akan menarik.

Saat seseorang punya strong opinion, maka disitu kita menemukan passion yang menjadikan hidup lebih bergairah, karena memiliki suatu tujuan besar yang harus dibela secara argumentatif. Tapi yang menjadi masalah adalah strong opinion itu pasti punya kecenderungan untuk membuat seseorang melakukan penghakiman kepada orang lain; dalam semua hal.

Hampir semua orang Barat, ketika melihat umat Islam sangat penuh dengan penghakiman. Mas Ulil sering sekali menghadapi atau melayani wartawan-wartawan luar negeri, dari Barat, yang selalu saja ketika datang ke Indonesia pasti mengajukan pertanyaan, "Apakah Islam sesuai dengan demokrasi?"

Sesungguhnya, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang juga sekaligus menuduh. Maka sudah sangat tepat jika kita meniru apa yang dilakukan oleh Imam Syafi'i. Boleh berpendapat dan memiliki keyakinan terhadap suatu kebenaran, tapi tetap membuka ruang kemungkinan atas kebenaran kepada orang lain.

Imam Syafi'i mengajarkan kepada kita agar senantiasa menanamkan sikap keragu-raguan terhadap diri kita sendiri; benar-benar benar atau tidak. Tapi disaat yang sama juga meragukan posisi lawan debat, apakah mereka betul-betul salah atau justru ada kemungkinan benar.

"Jadi, keragu-raguan merupakan sikap yang sehat bagi seseorang yang punya pendapat kuat dalam suatu hal. Artinya ada keraguan terhadap diri kita sendiri sekaligus keraguan kepada lawan kita," kata Mas Ulil dengan sangat serius.

Penutup

Terakhir, Mas Ulil mengungkapkan bahwa memang kita semua harus juga menyadari bahwa selalu saja ada orang-orang yang beragama dengan seperti itu; penuh penghakiman. Karena orang-orang beragama tapi dengan menjengkelkan itu memang selalu ada. 

Konfusius mengatakan dalam kalimat negatif, "Jangan lakukan sesuatu kepada orang lain yang kalau kamu diperlakukan seperti itu kamu tidak akan suka." 

Sedangkan Nabi Muhammad pernah bersabda tapi dengan kalimat positif, "Kamu tidak disebut sebagai orang beriman sampai kamu melakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu suka jika orang lain itu melakukannya kepadamu."

Secara garis besar, apabila kita menyukai orang lain yang tidak menghakimi kita, maka kita juga harus melakukan hal itu kepada orang lain. Inilah kebijaksanaan yang sangat sederhana, tetapi penting untuk diterapkan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat kekinian.

Memang, akan selalu ada dan bertumbuh secara terus-menerus, tipe masyarakat yang beragama dengan sangat menjengkelkan. Maka dalam hal ini, Mas Ulil mengajak kita untuk mengikuti nasihat Imam Ghazali tentang cara menghadapi orang yang hidupnya menjengkelkan. 

Yaitu dengan menanamkan kesadaran bahwa jangan-jangan ketika ada orang yang menjengkelkan, Tuhan memang sengaja mengirim dia untuk kita sebagai pesan agar tahu bagaimana rasanya dibuat jengkel. Itulah pesan yang dikirim Allah, maka harus diterima dengan penuh syukur.

"Di balik terima dan syukur itu, sebenarnya ada Allah yang sedang mengirim pesan kepada kita. Itulah cara untuk kita menurunkan dosis kejengkelan kepada orang yang menjengkelkan," tutup Mas Ulil.


(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)