Sabtu, 30 November 2019

Kiai Enha Bertutur (1): Konsekuensi Tauhid adalah Kemanusiaan


Suasana di selasar rumah Kiai Enha


Sore itu, 29 November 2019, saya "main" ke Pesantren Motivasi Indonesia. Sebuah institusi pendidikan yang memiliki nama lain Istana Yatim. Di sana, santri-santrinya adalah anak-anak yatim. Baik yatim lantaran sudah tidak punya orangtua, maupun mereka yang diyatimkan oleh keadaan. 

Pesantren ini terletak di pelosok Bekasi. Kalau malam tiba, tidak ada suara apa pun, kecuali angin yang saling bersaut dan suara-suara sunyi yang mengetuk keramaian kota. Lebih tepatnya, pesantren ini berada di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

Santri-santri di sini, diasuh oleh seorang kiai muda jebolan Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur. Dia adalah Kiai Haji Nurul Huda (Enha). Para santri memanggilnya dengan sebutan Ayah. Sebuah panggilan keakraban yang memang sangat dirindukan bagi anak-anak yang sejak kecil sudah ditakdirkan berpisah dengan pemimpin keluarganya. 

Dia adalah putra dari Buya KH Muhali, salah seorang ulama terkemuka di Tanah Betawi, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Kiai Enha juga merupakan bagian dari ulama muda NU. Namanya sudah dikenal oleh para kiai di kalangan NU. Bersahabat pula dengan–salah satunya–Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand. Seringkali dirinya diundang untuk ceramah di Bumi Eropa, mendakwahkan Islam yang ramah dan penuh kedamaian. Dalam bahasa arab, disebut rahmatan lil alamin. 

Saya tiba di kediaman Kiai Enha bakda ashar. Di selasar rumahnya, ada sekira tujuh orang tamu sedang berkumpul. Salah satu diantaranya adalah Handreas, seorang nonmuslim dari Cikarang Barat yang ingin masuk Islam dengan dibimbing langsung oleh Kiai Enha. Tak lama berselang waktu, hadir juga dua orang pemuda dari Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cimuning, Choky dan Viko.

Di selasar rumah Kiai Enha, berarti sedang berkumpul orang-orang yang berbeda latar belakang, terutama berbeda latar belakang agama. Tutur kata Kiai Enha, sangat terukur dan terstruktur. Kalimat demi kalimat yang diucapkan, menjadi semacam stimulus untuk semakin giat beragama. Selain sebagai kiai, dia juga seorang orator dan motivator. Maka wajar jika setiap kata yang diucapkan memberi dampak positif bagi pendengarnya. Benar-benar komunikator yang baik. 

Kiai Enha, dalam pembicaraannya, mengutip ayat kelima dari Surat Al-Bayyinah. Olehnya, ayat itu dimaknai bahwa agama akan menjadi kuat (dinul qayyimah), jika didasari atas penghambaan kepada Allah secara tulus sekaligus melakukan pengorbanan berupa pelayanan kepada hamba-Nya. 

Di dalam agama apa pun, kata Kiai Enha, pasti terdapat tata cara peribadatannya masing-masing. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplementasikan keberagamaan dengan memberikan pelayanan kepada sesama. Maka, kemelekatan di dalam diri harus segera dienyahkan. Kalau sudah demikian, maka pengorbanan apa pun yang dilakukan, tidak akan ada tujuan lain kecuali Allah. 

Sejak Nabi Adam, Allah sudah mengajarkan betapa pentingnya sebuah pengorbanan yang menjadi bukti atas kehambaan diri terhadap Sang Pencipta. Itulah sebenarnya yang menjadi poin penting atau substansi dari nilai-nilai agama yang, menurut Kiai Enha, harus terus disosialisasikan. 

"Dalam beragama, diperlukan sebuah kesadaran bahwa agama (secara personal) menghubungkan kita kepada Tuhan. Tapi fakta di lapangan, sesungguhnya, Tuhan akan mengukur kedalaman iman seseorang ketika dia bisa melayani hamba-Nya. Thats the point," kata Kiai Enha. 

Karenanya, di dalam Islam, ritual ibadah (salat) diawali dengan–yang disebut–takbiratul ihram. Sebuah gerakan awal di dalam salat yang bukan hanya sebatas gerakan saja, tetapi punya makna yang dalam. Artinya, sebagai seorang muslim yang sedang salat, haruslah memiliki kesadaran bahwa Allah Mahabesar. Hanya Allah yang besar. 

Suasana di selasar rumah Kiai Enha

Pada tutur kata yang saya dengar, Kiai Enha mengatakan bahwa salat merupakan urusan yang bersifat spiritual, sampai-sampai untuk melaksanakannya harus dengan membersihkan diri terlebih dulu. Tidak boleh sembarangan. Lalu setelah melalui serangkaian gerakan yang di dalamnya berdimensi spiritual yang membesarkan Allah itu, salat ditutup dengan salam yang berarti kedamaian.

Artinya (Kiai Enha mempersepsikan ungkapan Allah), "Ketika engkau berjumpa dengan-Ku dalam salatmu, engkau kecil bukan siapa-siapa, Aku yang besar. Tetapi ketika engkau selesai salat, kau bawa kebesaran-Ku dalam baju keselamatan yang kau tebarkan ke kanan dan kirimu."

Sehingga, salat yang demikian itu memiliki makna. Tidak kosong. 

Lalu, kepada Handreas yang ingin memeluk Islam itu (juga saya persepsikan kepada siapa saja yang mendengar tutur Kiai Enha dan membaca tulisan ini), dianjurkan agar sering-sering mendatangi tokoh agama, seperti kiai dan ulama. Tujuannya untuk memperdalam pengetahuan tentang keislaman. Tentu saja, saya memahami bahwa Kiai Enha berharap agar seorang muslim harus mampu beragama dengan didasari ilmu pengetahuan. 

Sebab di dalam Al-Quran itu, kata Kiai Enha, agar seseorang mampu memahami kalimat tauhid laa ilaaha illallah harus dengan fa'lam (pahami) annahu, bukan fa'mal (lakukan) annahu. Artinya, fa'lam itu berarti based on knowledge (berdasarkan pengetahuan) not based on action (bukan berdasarkan pada aksi).

Kalau fa'mal, Kiai Enha berasumsi, hanya akan berujung pada ritual semata. Tapi kalau fa'lam (itulah yang sesungguhnya) menjadi syarat dari ketauhidan seorang muslim, yakni paham atau kenal. Jadi, based on knowledge itu menjadi penting, supaya orang beragama diliputi dengan keimanan yang kuat.

"Karena apabila tidak kuat, akan sangat dengan mudah dibikin bingung atau dibuat ragu. Kenapa knowledge itu menjadi penting? Ya untuk memahamkan kepada diri tentang Tuhan," katanya.

Bagi Kiai Enha, agama harus memahamkan seseorang tentang Tuhan yang sebenar-benarnya. Yaitu Tuhan yang menurunkan agama, yang menciptakan jagad raya untuk kehidupan makhluk di dalamnya. Namun demikian, orang-orang beragama, terkadang memiliki konsep Tuhan menjadi dua kategori.

"Ada Tuhan yang menciptakan kita, ada Tuhan yang kita ciptakan. Tuhan yang kita ciptakan adalah Tuhan yang menurut akal dan pikiran sendiri, termasuk yang berpikir bahwa Tuhan itu adalah pemarah sehingga yang keluar adalah perilaku yang selalu marah-marah dan membuat agama tampil menyeramkan," kata Kiai Enha.

Kalau ada yang beranggapan bahwa Tuhan adalah sesuai dengan akal pikiran, lebih-lebih mempersepsikan Tuhan sebagai algojo yang sangar dan bengis, maka yang demikian itu bukan ajaran inti agama. Tetapi disebabkan karena pelaku agamanya sendiri yang menafsirkan Tuhan dengan seenaknya, tanpa ilmu pengetahuan yang mumpuni.

"Pelaku agama yang begitu, terkadang merasa dirinya sudah seperti Tuhan. Ini bahaya sekali, karena menggambarkan Tuhan yang kejam. Maka di agama apa pun, larangan terbesar adalah saat engkau merasa seperti Tuhan," kata Kiai Enha.

Islam, menurutnya, bermakna damai. Jadi, kalau ternyata ada umat Islam yang sudah tidak mengajarkan atau menebarkan kedamaian kepada kehidupan kemanusiaan, itu berarti ada yang keliru dalam pemahaman tentang Islam itu sendiri. 

"Itu bahaya sekali," kata Kiai Enha.
Previous Post
Next Post

0 komentar: