Jumat, 01 November 2019

Mas Ulil: Kenapa Terjadi Penghakiman dalam Beragama?


Foto ini diambil dari beritagar.id

Selamat November. Selamat Jumat. Selamat membaca. Selamat bertambah berkah. Selamat bertambah segala kebaikan.

Kali ini saya menulis segala yang dipaparkan Mas Ulil Abshar Abdalla dalam acara yang digelar Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) bernama Picnikustik dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi pada Rabu, 30 Oktober 2019.

Tulisan ini cukup panjang. Bahkan sangat panjang. Sila dibaca hingga tuntas atau bagi yang tidak suka baca tulisan terlalu panjang, silakan bersabar saja.

Jujur, sejak poster kegiatan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi, saya jadi tertarik sekali untuk ikut. Tapi untuk mendaftar mengikuti kegiatan tersebut, karena satu dan lain hal, saya urungkan. Alasan utamanya adalah karena lokasinya yang sangat jauh dari rumah saya, di Jakarta Tenggara. 

Kenapa saya tertarik? Ini yang menjadi kegelisahan saya sebenarnya. Bahkan sejak beberapa tahun silam, ketika saya mulai dengan sangat intens dan bahkan rutin-terjadwal setiap bulan melingkar dalam forum komunitas pemikiran yang didirikan Mas Ulil di Utan Kayu, Jakarta Timur. 

Awalnya memang saya gelisah terhadap sebagian orang beragama diantara kita yang merasa paling 'islami', sehingga bagi kelompok muslim yang berada diluar dari mereka disebut atau dianggap kurang 'islami'. Begitu pula bagi lingkaran yang saya ada di dalamnya itu. Bagi sebagian besar dari kami, apa yang dilakukan oleh kelompok 'paling islami' itu lantaran mereka mempelajari Islam tidak menyeluruh, sehingga substansi agama itu sendiri menjadi hilang. 

Bagi kami, mereka bodoh. Sedangkan bagi mereka, kami tidak 'islami'. Meskipun labelisasi dilakukan dengan istilah yang lain, seperti kami menilai mereka sebagai fundamentalis, radikalis, ekstremis; atau mereka yang menilai kami sebagai pengidap sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Sebuah akronim yang homograf dengan penyakit kelamin menjijikkan. 

Singkatnya, kami dan mereka sama-sama merasa paling superior. Secara level keimanan, mereka menganggap kami tidak ada apa-apanya. Tetapi secara tingkat intelektualitas, keilmuan, dan kecerdasan, mereka jauh tertinggal dari kami. Sebab, kamilah orang-orang yang tercerahkan. Begitu pula mereka yang bangga karena dirasa dekat lebih dekat dengan Tuhan ketimbang kami.

Kenapa Terjadi Penghakiman?

Pertemuan Komuji yang mengangkat tema Sholeh Tanpa Menghakimi itu, oleh Mas Ulil dianggap sebagai tema yang (masih) sangat relevan untuk diangkat menjadi sebuah diskusi publik. Sebab, menurut Mas Ulil, orang-orang yang ada di Komuji, juga siapa saja, termasuk saya, pernah menjadi korban penghakiman. 

Tema itu dipilih, memang karena ada kegalauan dan kerisauan terhadap fenomena beragama yang mengarah pada penghakiman. Mungkin juga, fenomena tingkat keberagamaan seseorang yang pada saat bersamaan dibarengi dengan perasaan paling benar sendiri. Sehingga, konsekuensinya adalah menghakimi orang lain.

Konsekuensi itu, yakni menghakimi orang lain, memang tidak bisa dihindari oleh kita semua, sebagai manusia yang diberi akal dan nafsu. Semua berjalan secara naluriah. Itulah yang menjadi akibat, sedangkan penyebabnya perlu ditelaah lebih mendalam.

Penyebab yang paling mendasar dari adanya penghakiman, baik dalam hal keagamaan maupun pada semua kasus, biasanya karena seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat. Sehingga dengan sendirinya, dia akan dengan semangat mempertahankan posisi moralnya itu.

Sehingga orang yang demikian itu, memandang orang-orang yang berada pada posisi moral yang berbeda, sebagai kelompok yang salah. Namun sesungguhnya, hal tersebut bukanlah menjadi gejala dalam kehidupan beragama saja. Dalam semua hal, ketika seseorang memiliki posisi moral yang sangat kuat, pasti akan dengan sendirinya menganggap posisi moral yang lain tidak lebih baik dari posisi moralnya.

Jadi ketika seseorang punya posisi moral yang kuat, kemudian ditambah memiliki strong opinion (kekuatan argumentasi), biasanya akan sangat dengan mudah melakukan penghakiman kepada orang lain. Baik penghakiman itu dilakukan secara lagsung secara verbal atau dikemukakan secara implisit.

"Orang yang mempunyai strong opinion, kemudian ditambah pula punya strong moral standing, maka dia akan punya posisi moral yang sangat kuat sekali. Dia biasanya punya kecenderungan melihat orang yang berbeda sebagai pihak yang salah," kata Mas Ulil, dalam tayangan siaran langsung di akun facebook Ulil Abshar Abdalla yang saya tonton hingga selesai. 

Gejala tersebut, ditegaskan Mas Ulil, merupakan sebuah gejala yang manusiawi. Setiap manusia pada dasarnya punya kecenderungan yang seperti itu. Karenanya, pertemuan Komuji dengan tema Sholeh Tanpa Menghakimi merupakan momentum introspeksi. Maka kita, sebagai manusia, harus mulai hati-hati. 

Sebagaimana pertandingan sepakbola, misalnya Barcelona vs Real Madrid, kalau kita tidak memihak kepada salah satu kubu, maka otomatis pertandingan tidak akan berjalan seru dan asik. Bisa jadi, malah ngantuk karena tidak ada yang bisa dihakimi sebagai kubu yang 'kalah', atau sebagai kubu yang menang tapi 'curang'. 

Dengan demikian, strong opinion dalam hal apa pun, termasuk dalam kehidupan beragama masyarakat muslim kekinian, merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Namun kini yang menjadi permasalahannya adalah soal bagaimana kita punya strong opinion itu tapi tanpa disertai dengan penghakiman?

Baca juga: Sebuah Catatan: Melihat Mas Ulil Bicara Menggebu-gebu

Kebijaksanaan Imam Syafi'i

Mas Ulil kemudian memberikan sebuah wisdom atau kebijaksanaan yang didapatkannya ketika di pesantren dulu. 

Ada seorang imam besar. Sarjana besar yang merupakan pendiri madzhab yang kini banyak diikuti oleh umat Islam di Indonesia, yakni Imam Syafi'i. Dia adalah sosok yang sangat punya strong opinion dalam berbagai isu keagamaan, terutama dalam masalah hukum Islam. Kala itu, pada sekira abad ke-3, dia sering melakukan debat argumentatif dengan lawan-lawannya.

Apa yang menarik dari Imam Syafi'i? Tak lain karena dia dikenal dengan ungkapan yang sangat berguna hingga sekarang. 

"Ketika saya berpendapat tentang satu hal maka saya berpandangan bahwa saya benar, tetapi mungkin salah. Sementara pendapat lawan debat saya, saya pandang salah tapi juga mungkin benar."

Menurut Mas Ulil, posisi Imam Syafi'i itu merupakan posisi yang sangat ideal. Jadi, seseorang tidak dilarang punya strong opinion dalam hal apa pun. Bahkan justru bagi siapa saja yang tidak punya strong opinion dalam hal-hal tertentu, bisa dipastikan hidupnya tidak akan menarik.

Saat seseorang punya strong opinion, maka disitu kita menemukan passion yang menjadikan hidup lebih bergairah, karena memiliki suatu tujuan besar yang harus dibela secara argumentatif. Tapi yang menjadi masalah adalah strong opinion itu pasti punya kecenderungan untuk membuat seseorang melakukan penghakiman kepada orang lain; dalam semua hal.

Hampir semua orang Barat, ketika melihat umat Islam sangat penuh dengan penghakiman. Mas Ulil sering sekali menghadapi atau melayani wartawan-wartawan luar negeri, dari Barat, yang selalu saja ketika datang ke Indonesia pasti mengajukan pertanyaan, "Apakah Islam sesuai dengan demokrasi?"

Sesungguhnya, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang juga sekaligus menuduh. Maka sudah sangat tepat jika kita meniru apa yang dilakukan oleh Imam Syafi'i. Boleh berpendapat dan memiliki keyakinan terhadap suatu kebenaran, tapi tetap membuka ruang kemungkinan atas kebenaran kepada orang lain.

Imam Syafi'i mengajarkan kepada kita agar senantiasa menanamkan sikap keragu-raguan terhadap diri kita sendiri; benar-benar benar atau tidak. Tapi disaat yang sama juga meragukan posisi lawan debat, apakah mereka betul-betul salah atau justru ada kemungkinan benar.

"Jadi, keragu-raguan merupakan sikap yang sehat bagi seseorang yang punya pendapat kuat dalam suatu hal. Artinya ada keraguan terhadap diri kita sendiri sekaligus keraguan kepada lawan kita," kata Mas Ulil dengan sangat serius.

Penutup

Terakhir, Mas Ulil mengungkapkan bahwa memang kita semua harus juga menyadari bahwa selalu saja ada orang-orang yang beragama dengan seperti itu; penuh penghakiman. Karena orang-orang beragama tapi dengan menjengkelkan itu memang selalu ada. 

Konfusius mengatakan dalam kalimat negatif, "Jangan lakukan sesuatu kepada orang lain yang kalau kamu diperlakukan seperti itu kamu tidak akan suka." 

Sedangkan Nabi Muhammad pernah bersabda tapi dengan kalimat positif, "Kamu tidak disebut sebagai orang beriman sampai kamu melakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu suka jika orang lain itu melakukannya kepadamu."

Secara garis besar, apabila kita menyukai orang lain yang tidak menghakimi kita, maka kita juga harus melakukan hal itu kepada orang lain. Inilah kebijaksanaan yang sangat sederhana, tetapi penting untuk diterapkan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat kekinian.

Memang, akan selalu ada dan bertumbuh secara terus-menerus, tipe masyarakat yang beragama dengan sangat menjengkelkan. Maka dalam hal ini, Mas Ulil mengajak kita untuk mengikuti nasihat Imam Ghazali tentang cara menghadapi orang yang hidupnya menjengkelkan. 

Yaitu dengan menanamkan kesadaran bahwa jangan-jangan ketika ada orang yang menjengkelkan, Tuhan memang sengaja mengirim dia untuk kita sebagai pesan agar tahu bagaimana rasanya dibuat jengkel. Itulah pesan yang dikirim Allah, maka harus diterima dengan penuh syukur.

"Di balik terima dan syukur itu, sebenarnya ada Allah yang sedang mengirim pesan kepada kita. Itulah cara untuk kita menurunkan dosis kejengkelan kepada orang yang menjengkelkan," tutup Mas Ulil.


(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)
Previous Post
Next Post

0 komentar: