Senin, 04 November 2019

Definisi dan Syarat Menjadi Ulama Menurut Mas Ulil


Foto ini diambil di kediaman Mas Ulil

Dalam sebuah acara di Bali, bertajuk Ngaji Kebangsaan, Mas Ulil Abshar Abdalla menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang berdasar pada ulama, dan ulama itu dasarnya adalah ilmu.

Kata ulama itu berasal dari ilmu. Lalu muncul kata 'alimun, artinya adalah orang yang punya ilmu; jamaknya menjadi 'ulama, yaitu orang-orang yang punya pengetahuan.

Jadi, Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang didalamnya adalah orang-orang yang punya ilmu. Tetapi maksud Mas Ulil adalah ilmu dalam segala bidang atau dalam hal apa pun. Baik ilmu yang disebut Imam Ghazali sebagai 'ulum syar'iyyah (ilmu yang bersumber dari wahyu), maupun ilmu yang ghairu syar'iyyah.

Pengertian yang kedua itu adalah ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari wahyu, melainkan bisa saja berasal dari akal manusia atau dari pengalaman-pengalaman manusia. Seperti misalnya pertanian yang merupakan ilmu karena didasari atas pengalaman para petani selama berpuluh atau ribuan tahun, yang kemudian lahirlah ilmu tentang pertanian.

Tetapi pada umumnya, sebagian besar masyarakat kita menyematkan gelar ulama itu hanya kepada pengertian yang pertama, yakni orang-orang yang punya pengetahuan di bidang ilmu-ilmu keagamaan atau 'ulum syar'iyyah. Padahal, orang yang berilmu sebagaimana pengertian yang kedua itu bisa juga disebut sebagai ulama.

Jadi, ulama itu artinya bukan hanya orang yang punya keilmuan di bidang keagamaan saja tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu diluar agama, atau bukan ilmu syara'. 

"Semua orang yang berilmu itu, baik yang berilmu agama maupun nonagama, itu semua sama, mereka adalah ulama. Kalau mereka betul-betul punya ilmu yang sesungguhnya, maka mereka berarti juga punya sikap yang sama sebagai ulama," kata Mas Ulil.

Sikap ulama itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Quran: innamaa yakhsyallaha min 'ibadihil 'ulama. Jadi, akibat atau hasil akhir dari orang yang punya pengetahuan itu adalah punya rasa takut kepada Allah. Itulah inti dari sikap dasar seorang ulama. 

Maka, objek ketakutan seorang ulama bukanlah manusia atau segala perkara keduniaan, tetapi takutnya hanya kepada Allah semata. Itulah ciri dari para ulama, baik ulama dalam ilmu agama maupun nonagama. Kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi hasil akhirnya tidak punya rasa takut kepada Allah–melainkan takut kepada jabatan, uang, atau kepada sesama manusia–maka itu sudah pasti bukan ulama.

Sebagai contoh, ada fenomena seorang pendakwah yang takut kalau-kalau jumlah pendengarnya berkurang. Maka yang demikian itu sudah bisa dipastikan bukanlah seorang ulama. Itu pula yang dikritik oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin di bagian pertama tentang kitabul 'ilmi. Bahwa banyak orang yang memiliki ilmu agama tetapi sikapnya justru berkebalikan dari sikap yang disebut dalam Al-Quran itu.

Bahkan, ada orang yang belajar ilmu agama tetapi justru yang lahir dari orang itu bukan akhlak agama. Seperti misalnya, menjadikan ilmu yang dimilikinya itu sebagai alat untuk menyombongkan diri, padahal yang dipelajarinya adalah ilmu agama seperti fiqh. Fenomena seperti itu sudah sangat banyak dan seringkali terjadi. 

Ilmu fiqh, kata Mas Ulil, sering membuat seseorang yang mempelajarinya, kalau tidak hati-hati, justru akan membuat diri merasa lebih hebat dari yang lain. Terlebih, misalnya dalam bahtsul masail. Di forum debat itu, seringkali orang-orang merasa paling pintar. Sebab orang kalau sudah debat, pasti punya tujuan untuk mengalahkan lawan debatnya.

"Itulah contoh ilmu agama yang kemudian menjadi washilah untuk sombong kepada orang lain," kata Mas Ulil.

Maka, takut kepada Allah itulah yang harus menjadi pegangan utama bagi seorang yang berilmu. Artinya, memiliki kesadaran atas hadirnya Allah dalam seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. 

Sebagaimana yang pernah didawuhkan Nabi Muhammad, bahwa umat Islam itu akan berjalan seperti menaiki tangga. Tangga pertama adalah iman, kedua adalah Islam, dan tangga terakhir yang paling tinggi adalah ihsan. Nah, orang beragama, dalam Islam, haruslah sampai kepada tingkat yang ketiga itu.

"Ihsan itu didefinisikan Kanjeng Nabi adalah: engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Allah. Tapi kalau tidak bisa mencapai tingkat tertinggi itu, minimal kita merasa kehadiran Allah yang terus-menerus melihat kita. Itu namanya ihsan," kata Mas Ulil.

Sebab, hidup ini seluruhnya adalah ibadah. Sedangkan ibadah bukan berarti hanya salat saja, melainkan seluruh tindak-tanduk kehidupan seorang manusia di bumi–pada hakikatnya–adalah ibadah. Kalau ada orang yang mengaplikasikan ihsan hanya ketika salat saja, sementara diluar salat tidak dipraktikkan, maka itu bukan yang dimaksud ihsan.

Oleh karena semua tindakan dalam hidup ini adalah ibadah, maka harus punya kesadaran bahwa Allah melihat segala hal yang kita lakukan. Bahkan, kalau bisa memiliki kesadaran bahwa kita melihat Allah. Namun, yang demikian itu hanya untuk para wali.  

Secara implisit, ihsan itulah yang disebut khasyyah, takut kepada Allah. Sebuah sikap sadar atas seluruh gerak-gerik yang dilakukan di bumi, karena semuanya pasti dilihat Allah.

Wasiat KH Abdullah Rifa'i

Mas Ulil kemudian menyampaikan sebuah pesan atau wasiat dari KH Abdullah Rifa'i. Dikatakan, Allah itu menyukai kalau seorang hamba melakukan sesuatu yang kemudian dilakukan dengan penuh profesionalitas. Dalam bahasa Arab, dikatakan: innallaha ahabba 'abdan idza 'amila syai-an atqonahu.

Itqon itu artinya adalah melaksanakan sesuatu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Itulah profesional, tidak dikerjakan secara serampangan. Segala sesuatu dilakukan dengan sesuai prosedur, sesuai dengan ilmu yang dibutuhkan.

Kalau seseorang sadar terhadap kehadiran Allah dalan kehidupannya, maka dalam melakukan sesuatu, apa pun, pasti penuh dengan tanggung jawab. Sebab, dia sadar bahwa yang mengawasinya bukanlah manusia tetapi langsung diawasi oleh Yang Menciptakan Kehidupan. Karena itu, dia pasti punya keinginan untuk melakukan segala hal di dunia ini dengan maksimal.

"Kalau ada orang beriman tapi tidak bekerja secara profesional, maka akan diragukan keimanannya. Kalau ada orang beriman kepada Allah tapi melakukan sesuatu dengan sembarangan, menjadi medioker, berarti orang ini belum merasa kehadiran Allah dalam kehidupannya," kata Mas Ulil.

Dalam periode kedua ini, Presiden Jokowi konon akan fokus pada pengembangan Sumber Daya Manusia. Nah, SDM Indonesia, saat ini, masih kalah jauh dibanding dengan SDM di negeri-negeri lain. Seperti misalnya soal kemampuan mengerjakan segala sesuatu dengan profesional, maksimal, dan dengan sebaik-baiknya.

Kebinekaan

Akhir-akhir ini, isu yang mencuat dan menjadi tema pembahasan oleh banyak kalangan adalah soal keberagaman. Disadari atau tidak, memang sekarang sedang muncul sebuah gejala keagamaan yang sepertinya memusuhi kebinekaan.

Atau bahkan lebih jauh lagi, yakni memusuhi eksistensi negara Indonesia. Model keagamaan yang seperti itulah, yang justru belakangan ini muncul di kalangan masyarakat perkotaan. Anehnya, gejala tersebut menyerang kalangan orang-orang terdidik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa muncul model atau pola keagamaan yang mempertentangkan antara keislaman dengan keindonesiaan; atau antara keislaman dengan kebinekaan? Kenapa semua itu terjadi?

Menurut Mas Ulil, salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena kurangnya ilmu pengetahuan. Tetapi, hanya NU-lah yang sangat vokal dan lantang menyuarakan kebinekaan, perdamaian, dan persaudaraan sesama anak bangsa. 

Kenapa demikian?

Karena NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang landasan utamanya adalah ilmu. Nahdlatul Ulama itu artinya kebangkitan orang-orang yang punya pengetahuan. Sementara ulama itu, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bukanlah semata-mata orang yang punya ilmu agama tetapi semua orang berilmu di bidang apa saja dengan dibarengi rasa takut kepada Allah.

Karena itu, kalau merasa menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama, maka harus memiliki tanggung jawab atas kebangsaan. Nah, tanggung jawab kebangsaan kita adalah menyebarkan ilmu yang sudah diperoleh dari para kiai ke masyarakat. 

Sesungguhnya ada banyak sekali ilmu yang dikembangkan oleh para ulama NU. Tetapi salah satunya adalah ilmu Tri Ukhuwah yang diajarkan Allahyarham KH Ahmad Shiddiq. Tiga model persaudaraan itu sangat penting, sekalipun kelihatannya hanya sederhana. Tetapi tidak semua orang paham, bahkan tidak semua orang mau paham.

Ketiganya itu adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Kalau dalam hidup berkebangsaan memegang ilmu yang diajarkan Kiai Ahmad Shiddiq itu, maka insyaallah Indonesia akan selesai dengan berbagai konflik keagamaan yang mencederai kebinekaan. 

Sumber Ilmu Kiai Ahmad Shiddiq

Salah satu sumber ilmu Kiai Ahmad Shiddiq ini, menurut Mas Ulil, adalah dari Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah. Suatu ketika, dia berkirim surat kepada gubernur yang diperintahkan untuk menjadi wakilnya di Mesir. Gubernur itu adalah Malik Al-Asytar.

Ali menulis surat panjang sekali. Wasiat dalam surat itu sekitar 35 halaman. Namun kalau dipelajari, wasiat Ali dalam surat itu bisa menjadi pelajaran penting tentang teori mengurus negara menurut Islam. 

Dalam pembukaan suratnya, Ali berkata: "Wahai Malik Al-Asytar, nanti kalau engkau sudah tiba di Mesir dan kemudian menjadi gubernur di sana, ingatlah, engkau jangan berlaku seperti gubernur-gubernur sebelummu, terutama sebelum kedatangan Islam di Mesir."

Dulu sebelum Islam datang, Mesir menjadi bagian dari wilayah Romawi Timur yang ibukotanya di Bizantium (di Turki yang sekarang ini). Akidah Nasrani di Mesir kemudian bertentangan dengan Nasrani di Bizantium itu. Oleh sebab itu, Mesir akhirnya menjadi sasaran penindasan karena punya penafsiran keagamaan yang berbeda mengenai kekristenan.

Sayyidina Ali ketika mengutus Al-Asytar itu berpesan:

"Jangan sesekali nanti kalau engkau menjadi gubernur, engkau seperti gubernur-gubernur sebelumnya. Yakni engkau menjadi seperti binatang buas yang punya gigi tajam yang menerkam hewan lain. Engkau jangan menjadi seperti binatang buas yang memakan harta orang lain. Maksudnya memakan harta rakyatmu sebagaimana tradisi gubernur-gubernur sebelumnya. Ingat, manusia itu terbagi menjadi dua, manusia yang seagama dan manusia yang tidak seagama tapi sama-sama manusia. Maka, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Dikatakan Mas Ulil, bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) atau konsep kemanusiaan, sesungguhnya sudah diterapkan sejak dulu. Maka tak heran kalau di batu nisan makam Gus Dur tertulis: "Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan."

Bisa jadi, Mas Ulil menduga bahwa sumber utama dari ilmu KH Ahmad Shiddiq mengenai Tri Ukhuwah itu adalah surat Ali kepada Malik Al-Asytar. Konsep Tri Ukhuwah itu sesungguhnya berasal dari Sayyidina Ali. 

Kanjeng Nabi pernah berkata: Ana madinatul 'ilmi wa 'aliyyun baabuha. Artinya, Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah gerbangnya.

"Ali ini kira-kira bagian depan rumahnya Kanjeng Nabi. Jadi kalau mau sowan kepada Kanjeng Nabi, maka pertama kali harus sowan terlebih dulu kepada Ali," kata Mas Ulil.

Kesimpulannya adalah bawah ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting, yang harus dimiliki seorang ulama dan dengan dibarengi oleh rasa takut kepada Allah, karena selalu dalam pengawasan-Nya. Sedangkan ilmu Kiai Ahmad Shiddiq, Tri Ukhuwah, merupakan sebuah modal untuk hidup berkebangsaan.
Previous Post
Next Post

0 komentar: