Rabu, 29 Mei 2019

Mudik, Sebuah Tradisi atau Hanya Sebatas Gengsi?


Sumber gambar: merdeka.com

Ustadz Yusuf Mansur, Dulu Dipuji Kini Dicaci


Ustadz Yusuf Mansur. Sumber: muslimobsession.com
Membaca komentar banyak orang di setiap postingan instagram Ustadz Yusuf Mansur (UYM) sangat sedih. Komentar kasar, menyerang, dan tampak hubungan yang terbangun bukan antara santri dan guru, melainkan penggemar ke seseorang yang diidolakan, yang kemudian menjadi tak menarik dan tak dihormati lagi karena bergesernya preferensi politik.

Saya punya pengalaman menarik berinteraksi kecil dengan UYM, sekitar setahun lalu. Saya dan Agus (Mojok) diundang santri-santri UYM untuk berdiskusi membangun web kanal sedekah mereka. Kami juga mampir di komplek Pesantren Daarul Quran Jakarta. Selain itu, juga ke asrama mahasiswa tahfidz penerima manfaat PPPA DQ.

Beberapa pekan sesudahnya, saya mengisi pelatihan menulis untuk teman-teman PPPA DQ di Yogyakarta. Teman-teman inilah yang kelak ditugaskan untuk berdakwah di luar Jawa dan di daerah-daerah terpencil (sebagai cara membalas jasa beasiswa yang sudah mereka terima) di mana dakwah masih jarang.

Saya lalu menulis beberapa kegiatan dakwah PPPA DQ yang menurut saya inovatif pada salah satu kolom saya di Detik. Saya bercerita kegiatan mereka mendampingi mengaji anak-anak dhuafa di Kalicode. Tulisan tersebut ternyata sampai ke UYM. Olehnya, tulisan tersebut lalu dicapture dan diunggah di feed Instagram pribadi beliau.

Satu hal yang menggelikan saat itu adalah, setengah jam kemudian, unggahan tersebut dihapus lagi. Saya sempat berpikir kenapa, padahal caption unggahan saat itu jelas-jelas hanya bilang terima kasih karena sudah bercerita soal dakwah santri DQ.

Saya lalu paham. Saat itu, peristiwa kasus Ahok masih panas-panasnya. Istilah bela Islam sedang menggema di mana-mana. Beberapa orang di sekitar UYM mungkin mengenal nama saya (sebagai pihak yang kontra aksi bela Islam), lalu meminta UYM untuk lebih baik menghapus unggahan itu daripada beresiko jadi kemelut dengan tokoh-tokoh lain.

Saya sedikit kecewa.

Tapi tak berapa lama, ada whatsapp masuk. UYM mengirim pesan ke ponsel saya. Beliau bilang terima kasih banyak sudah beberapa kali datang melatih santri menulis dan telah menulis hal baik tentang santri DQ.

Saya jawab, sama-sama Ustadz. Saya bercerita kalau saya dan bapak senang menyimak pengajian Ustadz di ANTV dahulu selepas salat subuh. Di pesan yang singkat itu, saya cerita dengan bercanda kalau saya menghapal surah Al-Waqiah dan Al-Mulk gara-gara terpengaruh Ustadz karena saya ini miskin dan bapak saya utangnya banyak. Pengajian Ustadz soal rejeki amat berpengaruh ke kami.

UYM tertawa.  

Begitu saja, saya tidak bertanya mengapa postingan tulisan saya dihapus di feed instagram beliau.

UYM pernah datang memberi ceramah di pesantren tempat saya belajar di Blora. Pak Yai saya bercerita kalau amplop yang jadi hak beliau, saat itu dikembalikan lagi ke pesantren.

Lepas dari kontroversi soal bisnis-bisnis UYM, saya sedih membaca komentar banyak orang yang kasar dan tampak tanpa hormat di akun beliau. Mengherankan bagaimana seseorang terkadang bisa dijunjung sedemikian rupa karena dianggap membela umat, lalu relasinya berubah seperti kepada orang yang dibenci. UYM dianggap sudah tidak bersama umat karena keputusan politiknya beberapa waktu lalu.

Bagaimana (bisa) orang-orang ini merasa lebih Islam dari Islam itu sendiri?


(Disadur dari tulisan Aktivis Kesetaraan Gender Kalis Mardiasih)

Selasa, 28 Mei 2019

Imam Tarawih dan Kepemimpinan Bangsa


Ilustrasi. Sumber: ruang.info
Ramadan sudah memasuki malam-malam terakhir. Menurut para khutoba (penceramah) saban salat tarawih, sepuluh malam terakhir merupakan babak final. Sebab, siapa pun yang menghidupkannya dengan berbagai peningkatan ibadah dan pendekatan kepada Allah, maka akan dijauhkan dari siksa api neraka.

Namanya juga final, maka hanya segelintir saja yang akan berkompetisi di dalamnya. Itulah sebabnya, di masjid dan musala, baik di perkampungan maupun di perkotaan, jamaah salat tarawih kian maju. Lelucon para ustadz, rumah ibadah mengalami kemajuan. Artinya, yang tetap menghidupkan masjid dan musala dengan salat tarawih, hanya sedikit.

Nah, saya tertarik untuk membahas soal imam tarawih yang kemudian dianalogikan dengan kepemimpinan bangsa. Karena memang, pada zaman Rasulullah dulu, masjid menjadi sentral peradaban. Maka, bukan tidak mungkin, untuk menjadi seorang pemimpin bangsa, kita mencontoh dari gaya kepemimpinan imam tarawih.

Imam, berasal dari kata ummun yang berarti ibu. Sudah jamak kita ketahui bahwa seorang ibu memiliki sifat penyayang. Sikapnya santun yang tentu selalu merasa berkewajiban untuk menyenangkan dan menenangkan hati sang anak. Ibu tak akan mungkin membuat si buah hati kecewa dan terluka hatinya.

Seorang ibu tentu harus paham keadaan dan keinginan anak. Terlebih kalau memiliki anak lebih dari satu. Masing-masing anak memiliki perilaku yang berbeda, tinggal bagaimana ibu memahami segala hal yang dikehendaki anak, agar tidak terjadi keretakan dalam rumahnya.

Begitu juga halnya imam tarawih. Jumlah rakaatnya berbeda-beda, ada yang berpendapat 36 rakaat, 20 rakaat, bahkan hanya delapan rakaat. Tentu semuanya memiliki argumentasi matang yang menjadi dasar kokoh untuk menjalankan tarawih.

Terkait bacaan surat dan gerakan pun berbeda. Ada yang membaca surat dengan intonasi dan gerakan salat yang sangat cepat, tetapi ada pula yang lambat. Namun, ada juga yang biasa-biasa saja.

Sebagian ulama berargumentasi bahwa kalau jumlah rakaatnya banyak maka lebih baik salat tarawih dilakukan dengan gerakan yang agak cepat. Begitu pula sebaliknya, apabila tarawih dilaksanakan dengan jumlah rakaat yang sedikit, maka tarawih dilakukan dengan gerakan yang tidak cepat.

Demikian juga halnya dengan bacaan imam. Kalau bacaan yang dipilih adalah surat-surat panjang, maka gerakan salat alangkah baiknya dipercepat. Namun jika surat-surat pendek yang dibaca, maka gerakan salat eloknya diperlambat.

Terlepas dari itu semua, seorang imam mesti paham bagaimana kondisi para makmum yang mengikutinya. Kalau sebagian besar adalah orang yang sudah berusia lanjut, maka jangan cepat-cepat melakukan gerakan salat. Sementara apabila makmumnya sebagian besar adalah anak muda, jangan pula terlalu lambat gerakan salatnya.

Hal-hal itulah yang harus kita pelajari dan terapkan dalam mencari atau menjadi seorang yang berjiwa kepemimpinan untuk bangsa di masa mendatang. Kita mesti cerdas dalam mencari pemimpin yang mengerti keadaan dan kemauan masyarakat Indonesia.

Sebab dewasa ini, untuk menjadi seorang pemimpin tidak mudah. Selain harus mengeluarkan biaya yang mahal, seorang pemimpin juga seringkali hanya menjadi objek caci-maki rakyat. Sepertinya ada hal yang salah dan mesti diluruskan. Entah dari bagaimana kepemimpinan itu sendiri diterapkan, atau bisa jadi dari ketidakpuasan rakyat dalam dipimpin.

Dalam tradisi Islam, misalnya, seorang pemimpin punya kriteria tertentu. Yakni empat sifat Nabi Muhammad. Berkata benar (shiddiq), menepati janji (amanah), cerdas (fathonah), dan transparan (tabligh). Keempatnya itulah dasar yang mesti ada dalam jiwa kepemimpinan setiap individu. Terlebih, kalau ingin menjadi seorang pemimpin bangsa.

Kalau empat sifat mulia itu terterap, maka makmum (masyarakat) akan sangat senang dengan keberadaan seorang pimpinannya (imam). Begitu pula sebaliknya, imam akan paham bagaimana semestinya memperlakukan makmum dengan baik. Tidak semena-mena atau bahkan hanya menjadikan makmum sebagai objek yang pasif.

Karenanya, belajar dari sikap imam tarawih yang paham bagaimana kondisi makmumnya itu, ke depan, insyaallah bangsa Indonesia akan dipimpin oleh sosok yang benar-benar memiliki karakter seperti imam; yang memiliki sikap dan sifat keibuan. Penyayang, mengayomi, dan mengerti keinginan anak-anaknya. 

Selamat menjalankan ibadah di sisa-sisa Ramadan ini. Semoga segala amal ibadah yang telah dikerjakan selama sebulan penuh dapat terejawantahkan dalam laku keseharian dalam sebelas bulan pasca-Ramadan, hingga kita dipertemukan kembali dengan Ramadan berikutnya.

Wallahua'lam...

Minggu, 26 Mei 2019

Golongan Islam Narsisme di Ramadan, Siapa Mereka?


Ilustrasi. Sumber: NU Online

Islam menurut KBBI adalah sebuah agama yang diajarkan melalui Rasulullah SAW dan berpedoman pada kitab suci Al-Quran yang diturunkan ke dunia melalui Wahyu Allah.

Sementara menurut pendapat umum, Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan; Tauhid. Yakni yang ajarannya bersumber dari Al-Quran dan Hadits.

Rasyid Rida dalam jurnal al-manaar menyatakan bahwa Islam bukanlah sebuah definisi yang diperuntukkan bagi agama yang sudah terinstitusi atau terlembaga, karena Islam bukan sebuah lembaga, tetapi Islam adalah sebuah sikap atau perilaku yang mampu memberikan rasa aman dan keselamatan bagi yang lain.

Jadi, siapa pun bisa disebut Islam, sebab Islam bersifat universal dan tak bisa tersekat oleh apa pun.

Sebagaimana definisi yang diberikan Rasulullah di bawah ini:

المسلم من سلم المسلمون  من لسا نه ويده

Bahwa definisi muslim adalah seorang yang mampu memberikan keselamatan dan kedamaian dari lisan dan tangannya.

Sementara itu, narsisme adalah perbuatan seseorang yang mencintai diri sendiri secara berlebihan. Sampai-sampai orang lain tidak diberi ruang untuk mampu terlihat baik, karena menganggap tidak ada kebaikan selain yang ada pada dirinya.

Narsisme mulai berkembang pesat sejak maraknya media sosial. Kaum Yahudi-lah penggagas media sosial itu, awalnya dirancang untuk memudahkan manusia berdoa dan diaminkan oleh banyak orang di dunia maya.

Sebab dalam berdoa, umat Yahudi selalu menempatkan posisi tubuhnya di hadapan tembok ratapan. Maka, kanal atau saluran di media sosial untuk berdoa atau mengeluarkan keluh-kesah dan curahan hati diberi nama wall atau beranda.

Sejak itu, paham yang bernama narsisme menjangkiti manusia sedunia. Lambat laun, beranda media sosial tidak lagi sesuai fungsi awal yang dibuat Yahudi. Saat ini, saya rasa, merupakan puncak kegentingan narsisme yang justru berpotensi menimbulkan (persepsi) kesombongan, baik diri sendiri maupun orang lain yang menilai.

Di Ramadan ini, dan hampir di setiap tahunnya, Islam Narsisme selalu timbul di permukaan beranda media sosial. Bahkan, narsisme yang menjangkiti sebagian umat Islam itu seringkali menjadi trending topik dengan beragam kemasan.

Terlebih, di bulan Ramadan ini, akan sangat terlihat banyak golongan Islam Narsisme. Yakni golongan yang merasa paling baik ibadahnya di bulan suci. Kemudian, bersamaan dengan itu timbul di dalam hati sebuah kesombongan. Kalau tidak, justru menimbulkan persepsi negatif pada orang lain, sekalipun persepsi itu salah.

Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong dan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam hal keagamaan. Karena prinsip Tauhid adalah sebuah proses penyatuan diri kepada Allah dengan selalu melibatkan Allah di dalam keseharian; serta tercermin dalam perbuatan kemanusiaan secara menyeluruh.

Dalam tulisan kali ini, sebelum Ramadan berakhir, saya akan memberikan kado yang semoga spesial, untuk mendapat predikat takwa dan penyayang di dalam diri serta dijauhkan dari sifat takabbur dalam diri, seperti mencintai diri sendiri.

Dalam surat Al-Furqan ayat 63 kita diberi bekal Allah dalam perjalanan selama sebulan ini. Pertama, seluruh ibadah di Ramadan ini haruslah membuat dan menjadikan kita seorang yang tawadhu dan bijaksana.

وعبادالرحمن الذين يمشون على الارض هونا واذاخاطبهم الجاهلون قالوا سلاما

Allah menyebut dirinya sebagai Ar-Rahman. Sebagian ulama berpendapat, orang yang mengamalkan kandungan ayat ini akan mendapatkan gelar 'ibadurrahman.

Pertama, orang yang apabila berjalan di atas bumi dengan penuh kewibawaan atau tidak dengan kesombongan dan keangkuhan.

Kedua, 'ibadurrahman adalah mereka yang bicaranya memberikan solusi dan kedamaian atau menyejukkan bagi orang-orang yang bodoh.

Artinya, gelar 'ibadurrahman akan diperoleh bagi mereka yang tidak sombong dan angkuh. Kewibawaan dan ketidaksombongan bagi 'ibadurrahman diperjelas dari bagaimana ia bertutur.

Sebagian ulama berpendapat bahwa قالوا سلاما adalah ucapan yang solutif, yang tidak merasa pintar di hadapan orang bodoh.

Jadi, kalau Ramadan ini masih banyak yang suka mengumpat dan mengumbar kebencian karena berbeda interpretasi dan pemaknaan keagamaan, mereka bukan 'ibadurrahman tetapi 'ibadusy-syaithon.

Nah, daripada kebanyakan narsis dan menciptakan golongan Islam teranyar (Islam Narsisme) yang justru merusak peradaban, lebih baik mengamalkan ayat itu agar tidak merugi di Ramadan tahun ini.

Kuncinya, jangan sombong dan bertuturlah dengan nilai-nilai kedamaian yang mendamaikan (solutif).


Wallahua'lam...

Sabtu, 25 Mei 2019

Lailatul Qadar dan Pertaubatan Diri



Lailatul Qadar adalah malam yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan. Malam itu turun hanya di bulan Ramadan.

Bagi sebagian besar ulama, Lailatul Qadar hadir di sepuluh malam terakhir, terutama di malam-malam ganjil. Barangkali karena memang Allah menyukai bilangan ganjil. Innallaha yuhibbul witr.

Para malaikat pun turut hadir menyertai malam penuh kebaikan itu. Tanda-tandanya, sudah sering kita dengar dari para khutoba (penceramah) di atas mimbar. Yakni pada malam itu suasana menjadi hening, angin tidak bertiup kencang, dan berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Bagi siapa pun yang mendapatkannya tentu mendapat kebaikan setara selama sekitar 80 tahun. Lailatul Qadar merupakan salah satu imbalan yang Allah berikan kepada manusia yang menghidupkan malam Ramadan dengan peningkatan kualitas ibadah.

Bukan hanya itu, Allah juga menjanjikan bahwa di sepuluh malam terakhir, kado terindah bagi orang yang menghidupkan malam Ramadan adalah dijauhkan dari siksa api neraka.

Siapa yang tidak mau? Sudah mendapat kebaikan yang setara selama sekitar 80 tahun, dapat pula keringanan dari Allah untuk dijauhkan dari pedihnya neraka.

Malam terakhir ini memang lebih khusus. Dalam pembagiannya, Allah sangat mengistimewakan orang-orang yang konsisten (istiqomah). Tidak sembarang orang yang bakal meraih hadiah istimewa dari Allah itu.

Sejak sepuluh malam pertama, kedua, hingga terakhir Allah memberi ganjaran yang luar biasa. Karena memang, bulan Ramadan adalah bulannya Allah. Soal balasan, pahala, dan ganjaran, serahkan kepada Allah.

Nilai yang akan didapat, masing-masing orang tentu berbeda. Kita sudah melewati fase dimana rahmat dan kasih sayang Allah dicurahkan, yakni pada sepuluh malam pertama.

Kemudian terdapat ‘obral’ ampunan yang sudah Allah berikan secara cuma-cuma kepada kita di sepuluh malam kedua. Terakhir, di babak final (sepuluh malam ketiga), Allah limpahkan berbagai keistimewaan.

Kalau pada malam-malam pertama, Allah berikan rahmat kepada segenap manusia di bumi; sepuluh malam kedua, Allah limpahkan ampunan bagi seluruh umat Islam yang masih konsisten meramaikan Ramadan; maka tentu lebih khusus lagi, Allah hanya berikan Lailatul Qadar dan jauhkan siksa api neraka kepada segelintir orang saja.

Sebab, di malam-malam terakhir ini ada banyak orang yang lalai karena disebabkan perkara dunia. Seperti misalnya membeli kebutuhan hari raya, mudik ke kampung halaman, dan lain hal yang jelas melalaikan dari pendekatan diri kepada Allah.

Menurut hemat saya, Allah sengaja memberi berbagai kenikmatan menuju hari raya karena ganjaran untuk fokus tetap konsisten mengisi Ramadan dengan aktfitas yang sifatnya ukhrawi, sangatlah luar biasa.

Sepuluh hari lagi, Ramadan meninggalkan kita. Sudahkah kita berbelas kasih memohon rahmat, ampunan, dan dijauhkan dari siksa neraka kepada Allah? Paling tidak, ada pertaubatan dan pengakuan diri bahwa dosa dan kejahatan itu adalah hal buruk yang harus enyah dari kehidupan.

Saya jadi teringat bagaimana Syi’ir I’tiraf yang sangat menyentuh hati. Sebuah karya sastra luar biasa dalam rangka memuji dan memohon keridhoan Allah. Sebab hanya Allah-lah satu-satunya tempat kita menggantungkan harap dan doa.

laahi lastu lil firdausi ahlaa. Wa laa aqwa ‘alaa naaril jahiimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi. Fainnaka ghofirudz-dzambil ‘adzhimi.”

“Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga. Akan tetapi aku juga tidak akan kuat menahan siksa api neraka. Maka Engkaulah yang maha menerima taubat dan maha mengampuni dosa seorang hamba. Karena sesungguhnya hanya Engkau pula-lah yang mampu mengampuni dosa-dosa yang besar.”

Kurang lebih seperti itu makna Syi’ir I’tiraf yang terdapat dalam bait pertama. Bahwa sebagai seorang hamba, kita hendaknya merendah karena tak punya daya apa-apa kalau tanpa Allah. Dia Maha Segala. Mulai dari memberi rahmat, hingga dijauhkan dari neraka.

Siapa orang yang telah merasa pantas masuk surga? Sedangkan Rasulullah Muhammad SAW yang maksum (terjaga dari perbuatan maksiat) saja senantiasa memberi teladan baik. Bahkan kita pernah mendengar kisah bagaimana beliau melaksanakan salat malam hingga kakinya bengkak.

Lantas siapa pula orang yang mau dan bersedia dimasukkan ke dalam api neraka? Sementara Rasulullah sudah menjamin ada syafa’at yang akan diberikan kepada umatnya di hari akhir nanti. Walau demikian, sekalipun sudah dijamin syafa’at, tidak dibenarkan juga kita berpangku tangan tanpa usaha untuk menjauh dari siksa neraka.

Kalau bukan karena rahmat, ampunan, dan ridha Allah, mustahil kita mendapat surga dan dijauhkan dari neraka. Ibadah selama seribu tahun pun belum tentu dijamin bakal mencicipi nikmatnya surga kalau dibarengi dengan rasa sombong.

Itulah barangkali keresahan hati Syeikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari yang kemudian menjadi untaian kalimat indah:

’’Maksiat yang mewariskan rasa rendah diri dan membutuhkan rahmat Allah, lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan kesombongan’’.

Maka, saya mengajak agar kita semua mampu melakukan kontemplasi dan perenungan yang mendalam sebelum Ramadan tahun ini pergi meninggalkan kita. Sebab belum tentu kita dipertemukan dengan Ramadan berikutnya. 

Sudahkah mengisi dan menghiasi hari-hari selama Ramadan dengan penyesalan yang menimbulkan rasa membutuhkan rahmat Allah?

Semoga Ramadan ini kita adalah orang yang mendapat gelar takwa dari Allah. Wallahu A’lam. 

Jumat, 17 Mei 2019

Telaah Moral untuk Bekal Pasca-Ramadan



Puasa sudah memasuki hari keduabelas. Itu berarti sekitar kurang-lebih dua pekan lagi, Ramadan akan berakhir. Karenanya, kita mesti memperbanyak untuk melakukan fikir dan zikir. Tujuannya agar amal ibadah selama satu bulan penuh ini, mampu mendongkrak kualitas ketakwaan kita.

Ramadan adalah bulan yang sakral dalam tradisi keislaman. Sebab ada beragam peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah diturunkan buku pedoman moral dan akhlak untuk seluruh umat manusia, yakni Al-Quran.

Al-Quran diperuntukkan bagi seluruh manusia. Bukan hanya Islam, terlebih khusus orang Arab. Karena sifat Al-Quran yang universal itulah, kita harus senantiasa mengamalkan perintah dan larangan yang bersifat menyeluruh.

Walau begitu, sekalipun ajaran soal moralitas di dalam Al-Quran bersifat universal, Allah tetap memberikan kekhususan bagi golongan manusia yang benar-benar dikehendaki untuk diberi pengkhususan. Yakni, orang-orang yang berada dalam naungan Islam; orang-orang yang selalu berpasrah, tunduk, dan patuh serta senantiasa menebar kedamaian dan keselamatan bagi sesama dan semesta.

Momentum Ramadan ini, sudah sepantasnya kita menelaah ajaran moral yang terdapat di dalam kitab suci paling bungsu itu. Sebab Ramadan dan Al-Quran adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Maka menelaah ajaran moral yang terkandung dalam Al-Quran di Ramadan, yang kemudian diimplementasikan selama sebelas bulan pasca-Ramadan, sangat baik di sisi Allah dan niscaya akan melahirkan manfaat bagi sesama manusia.

Ramadan merupakan bulan pendidikan serta bulan pembentukan akhlak, moral, budi, etika, tatakrama, dan adab. Sungguh merugi bagi siapa saja yang keluar dari Ramadan tapi tidak mendapat hikmah dan pelajaran apa-apa. Terlebih, tidak ada yang bisa diejawantahkan menjadi sebuah kebermanfaatan dan kebaikan untuk sesama.

Di dalam Al-Quran, beberapa waktu yang lalu saya menemukan ada kalimat cinta dari Allah yang membuat hati terenyuh. Parahnya lagi, saya sampai tidak bisa tidur selama hampir dua hari karena memikirkan satu ayat atau kalimat cinta itu, dan seperti ada yang mengganjal kalau tidak disampaikan.

Ayat ini seperti tamparan dan teguran keras bagi situasi dan hiruk-pikuk suasana negeri, akhir-akhir ini. Saya mensinyalir, bahwa Allah seakan tak rela jika bumi diantahberantahkan oleh konflik yang ditengarai karena motif balas dendam. 

Kalimat itu tersurat dalam Asy-Syuro ayat 40. Saya maknai: "Balasan bagi sebuah kejahatan adalah kejahatan serupa, tapi Allah mengapresiasi orang-orang yang membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena Allah tidak suka orang yang zalim."

Sederhana dan penuh makna yang tersirat, bukan? Selain itu juga terdapat kandungan cinta dan nilai estetika yang harus menjadi pegangan hidup dalam bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Jadi begini...

Hukum Islam itu banyak mengambil atau memodifikasi hukum-hukum agama terdahulu. Salah satunya adalah hukum Qishos. Orang-orang Yahudi jika dipukul, maka wajib hukumnya untuk membalas dengan pukulan yang bobotnya sama. Kemudian pukul-pukulan itu dijadikan hukum.

Sementara Nasrani atau Kristen mempunyai hukum yang berbeda. Mereka kalau dipukul pipi sebelah kiri, maka akan memberikan pipi sebelah kanan untuk dipukul lagi. Maksudnya bukan untuk menyombongkan diri, tapi merupakan sebuah perlawanan nonverbal untuk melawan kejahatan.

Apakah ada seorang maling yang tetap masuk lantaran dipersilakan oleh tuan rumah untuk mengambil seluruh barang yang ada di dalamnya? Kira-kira seperti itu tamsilnya.

Nah, hukum-hukum seperti itu kemudian diserap dan dimodifikasi oleh Islam.

Dalam ayat atau kalimat cinta di atas itu, saya menemukan bahwa betapa pun kadar kejahatan yang menghampiri diri, kita mesti bersabar dan menahan diri dari melawan kejahatan serupa (sekalipun memang kejahatan yang serupa adalah balasan dari kejahatan itu sendiri).

Sebab, memberi perlawanan kejahatan dengan kejahatan serupa merupakan sebuah kejahatan yang hanya berbeda kedudukan. Tapi intinya sama: kejahatan.

Maka, Allah menyiratkan agar kita senantiasa berbuat baik kepada orang-orang yang sudah melakukan kejahatan, karena sesungguhnya perbuatan yang demikian itu adalah senjata ampuh untuk melawan kejahatan.

Perlakuan tersebut juga sering kita dengar dari berbagai kisah yang dialami Nabi Muhammad. Ia senantiasa bersabar menghadapi kejahatan dan kemudian membalas kejahatan itu dengan senyum, pertolongan, welas asih sekaligus pencerahan.

Saya rasa, kisah Nabi Muhammad yang demikian sudah sangat populer di kalangan anak-anak.

Karena itu, sudah saatnya kita meneladani dan mengamalkan ajaran moral yang diajarkan oleh Rasulullah dan Al-Quran. Yakni tidak melawan kejahatan atas kejahatan, dan tidak melakukan perbuatan buruk sebagai perlawanan atas keburukan yang datang menghampiri. Dengan kata lain, jangan membalas dendam. 

Bagi para bijak bestari, muara agama adalah cinta. Keberagamaan seseorang akan baik di hadapan Allah ketika senantiasa menjajakan kebaikan kepada sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Ibadah ritual di setiap agama, sesungguhnya, adalah pemicu untuk peningkatan nilai dan kualitas moral seseorang.

Menjadi sangat keliru apabila ibadah ritual justru mengantarkan kita untuk berbuat kerusakan, baik kerusakan yang sifatnya sistemik atau tidak. 

Sementara telaah moral inilah yang harus dijadikan bekal agar selalu berkeinginan berbuat baik sekalipun kejahatan menimpa.

Saya kira, Inilah bekal supaya Ramadan tidak menjadi sia-sia di sebelas bulan setelahnya.


Wallahua'lam...

Kamis, 16 Mei 2019

Puasa Ramadan Melatih Kepemimpinan


Nyai Shinta Nuriyah memakaikan peci Gus Dur kepada Jokowi
Ramadan sudah memasuki sepuluh hari kedua. Yakni sebuah fase dimana Allah memberikan banyak pengampunan bagi hamba-Nya yang beriman, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah serta menyegerakan diri untuk memohon ampunan.

Karena itulah kemudian, menjadi sangat disayangkan jika dalam Ramadan ini masih banyak rasa dengki yang menyelimuti hati. Sebab, Ramadan merupakan salah satu bulan yang diagungkan Allah. Bulan mulia yang penuh keberkahan dan ampunan.

Keindahan Ramadan memiliki makna bagi manusia untuk lebih meningkatkan kondisi spritualitasnya. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Serta mengharap ridha dan ampunan-Nya.

Ramadan menjadi bagian peradaban bagi kehidupan umat Islam di seluruh dunia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya.

Problematika kehidupan manusia menjadi persoalan yang dapat diminimalisasi dengan segala kegiatan penunjang dalam mengembangkan keimanan kepada-Nya.

Sesunggugnya, puasa diwajibkan kepada umat Islam yang beriman untuk membentuk pribadi yang bertakwa. Baik dalam Al-Quran maupun Hadits sudah banyak tercantum berbagai dalil tentang keutamaan puasa.

Para penceramah pun sudah banyak yang menyampaikan materi tentang keutamaan Ramadan dalam berbagai kesempatan, baik kuliah shubuh, kultum tarawih, dan tulisan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik (online). Bahkan tak jarang, dilakukan dengan melakukan livestreaming (siaran langsung) di media sosial. 

Puasa memberikan makna yang dalam bagi kehidupan manusia di penjuru dunia. Puasa seakan-akan memberikan isyarat bagi kita semua bahwa dalam menjalankan kehidupan perlu ada yang mengendalikan, mengingatkan, dan menyadarkan pola pikir serta tingkah laku manusia yang telah dilakukan sebelumnya.

Karena setiap orang yang berpuasa pada Ramadan, esensinya adalah transformasi nilai dan memperbaiki kualitas diri untuk menjadi lebih baik, meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah.

Dalam konteks kepemimpinan, ibadah puasa Ramadan menjadi sarana membentuk kemampuan kepemimpinan untuk mencapai pembaruan terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Hal ini dipandang lebih luas karena nilai-nilai yang terdapat dari Ramadan seperti menumbuhkan kepedulian sosial, mengendalikan diri secara emosional, mematangkan daya pikir intelektual, dan tingkah laku yang proporsional sesungguhnya menjadi hakikat kepemimpinan agar korelasinya antara ibadah dapat tercapai dengan baik.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat sebuah daging, jika daging tersebut baik, maka akan baik seluruh tubuhnya, dan jika daging tersebut buruk, maka akan buruk seluruh tubuhnya. Ketahuilah, daging itu bernama hati.” (HR Bukhari dan Muslim).

Puasa Ramadan juga berfungsi sebagai pengendalian keinginan dari makan dan minum, sekaligus memimpin hati agar terhindar dari sifat-sifat buruk seperti riya', sombong, takabur, iri, dan dengki.

Sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Banyak orang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus.” (HR Thabrani).

Hal ini disebabkan karena selama berpuasa, manusia kadang tidak pernah menjaga pikiran, perkataan, sikap dan perbuatanya. Dia berpuasa tapi tetap tergoda oleh hawa nafsu dan berbuat zalim terhadap kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Bagi seorang pemimpin, puasa menumbuhkan rasa peka, empati dan peduli terhadap keinginan serta harapan masyarakatnya. Dia mampu merasakan  problematika yang terjadi, sehingga seorang pemimpin akan bijak terhadap keputusan yang dijalankan.

Puasa juga menuntun pemimpin untuk mengoreksi dan menilai sejauh mana dia mampu memimpin diri dan masyarakatnya. Selain itu juga sejauh mana pengaruh pemimpin mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Sehingga hal tersebut akan berdampak kepada peningkatan kualitas akhlak pemimpin yang dapat dirasakan; bukan untuk dirinya saja melainkan seluruh umat manusia di muka bumi.

Semoga Allah memberikan ridha terhadap niat dan ibadah kita dalam menjalankan puasa di Ramadan kali ini. Semoga kita semua menjadi pemimpin yang dapat menyejukkan, mententramkan, serta menumbuhkan kecintaan dan kasih sayang dalam bingkai kesucian antarumat manusia, agama, bangsa, dan negara.

Selasa, 14 Mei 2019

Hanya Lakukan Provokasi, Dakwah FPI Tidak Qur'ani



Sudah memasuki puasa hari kesembilan. Satu fase di bulan Ramadan akan segera berakhir. Yakni sebuah momentum dimana Allah memberikan rahmat atau kasih sayang-Nya kepada orang-orang beriman yang tekun beribadah. 

Fase kedua nanti, kita masuk ke dalam kubang pengampunan Allah yang Mahakaya. Siapa saja yang tulus dan atas dasar keimanan yang teguh dalam beribadah di bulan suci, maka sudah barang tentu mendapatkan ampunan dari Allah. 

Namun, di musim politik ini, bangsa Indonesia sepertinya agak susah mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, walaupun kita tahu kedua pemberian Allah itu hanya Dia yang tahu. Tetapi kan indikasi-indikasinya bisa kita saksikan bersama. 

Pertanyaannya: apakah orang-orang yang gemar mencaci-caci maki, mengujar kebencian, mengajak permusuhan, dan mengancam pembunuhan akan mendapat rahmat dan kasih sayang Allah? Atau bisakah orang-orang yang tidak mampu memberikan maaf dan menyayangi musuh-musuhnya akan diberikan ampunan Allah? Sedangkan dia sendiri tidak bisa 'mengampuni' orang lain. 

Jadi begini...

Hiruk-pikuk politik negeri ini, menjelang pengumuman KPU pada 22 Mei 2019 menjadi sangat terasa hangatnya, bahkan berubah menjadi begitu panas. Hal tersebut diperparah dengan ajakan-ajakan provokatif yang disampaikan oleh Front Pembela Islam (FPI) melalui mulut Provokator Ulung, yakni Yang Mulia Habib Rizieq Shihab. 

People power itu rencananya memang akan dikerahkan untuk melawan 'kezaliman'. Sebab Pilpres tahun ini dirasa ada banyak 'kecurangan'. Tapi hingga detik ini, tidak ada satu pun tuduhan-tuduhan itu diungkapkan berdasarkan data dan fakta. Hanya tuduhan serampangan atau sembarangan saja. Tak lebih. 

Namun kabarnya, Selasa (14 Mei 2019) sore, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mengadakan pertemuan di Hotel Grand Sahid Jakarta, untuk mengungkap fakta-fakta kecurangan Pilpres 2019.

Silakan diungkap dengan sebenar-benarnya. Kita tunggu hasilnya, apakah kemudian fakta kecurangan yang diungkap itu dilaporkan sehingga melakukan proses sesuai prosedur yang berlaku, sebagaimana aturan yang berlaku di negara demokrasi ini? Entahlah.

Kembali ke people power. Ajakan itu kian masif di media sosial. Sepertinya memang ada pihak yang menyengaja untuk membenturkan sesama anak bangsa. Merekalah sesungguhnya penumpang gelap demokrasi. Ujung-ujungnya, mereka mendoktrin dan memprovokasi umat agar tidak mempercayai segala bentuk sistem yang berlaku di negeri ini. Solusinya? Khilafah! preeett...

Saya tuh gregetan dengan Provokator Habib Rizieq Shihab bersama FPI-nya. Mereka kerap membakar amarah umat sehingga mau turun ke jalan, secara brutal dan urakan --baik verbal maupun nonverbal-- dengan mengatasnamakan jihad. Atau sebutannya: jihad konstitusional. Bohong!

Jihad konstitusional itu adalah menaati segala peraturan konstitusi yang berlaku di negeri ini. Tidak menuduh bahkan cenderung fitnah kepada pemerintahan yang sah, bahwa telah melakukan kezaliman-kezaliman sehingga wajib untuk diperangi. Bulan puasa? Perang namanya. Sebagaimana perang badar serta perang-perang Rasulullah lainnya yang dilakukan di Ramadan, dan Islam pemenangnya. 

Kemudian timbul pertanyaan, apakah FPI dengan propaganda dan provokasinya itu --untuk mengajak turun ke jalan pada 22 Mei-- adalah jihad yang benar-benar mewakili seluruh keresahan umat Islam, sebagaimana ketika di zaman nabi? Jelas tidak, sama sekali. FPI hanya memprovokasi umat agar sama-sama berjihad membela kepentingan pragmatis-politis. 

Jangan mau dibohongi FPI. Karena cara dakwah FPI, terlebih di bulan Ramadan dengan penuh hasud dan dengki, sama sekali tidak mencerminkan dakwah Islam sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Lantas mereka mengikuti siapa? Jawabannya, mengikuti hawa nafsu kepentingan dunia; bukan kepentingan umat Islam.

Sekali lagi, jangan mau dibohongi FPI. 

Dakwah-dakwah mereka sama sekali tidak Qur'ani. Bahkan bertentangan dan bertolak belakang dari laku yang dicontohkan atau diteladankan oleh Nabi Muhammad. Mereka hanya gila kuasa, berambisi besar untuk menguasai negeri ini, dan kemudian melakukan segala sesuatu yang selama ini mereka inginkan. 

Mereka bersama Habib Rizieq Shihab itulah sebenarnya-benarnya penista agama karena selalu membakar amarah umat dan mengajak untuk membenci, bermusuhan, dan membunuh satu sama lain: sesama anak bangsa bahkan sesama ahlul qiblah. Na'uzubillahi min dzalik. 

Dakwah Islam yang sesungguhnya

Bulan Ramadan adalah momentum kita untuk memperbaiki akhlak. Semacam madrasah, agar kita mampu menjadi pembelajar yang sukses pasca-Ramadan. Murid atau pelajar yang sukses bukanlah mereka yang sedang belajar ketika di madrasah, tetapi mereka akan terlihat sukses --atau tidaknya-- yakni ketika telah lulus dari madrasah tempatnya belajar. 

Begitulah sesungguhnya Ramadan. Maka, sungguh aneh jika bulan suci ini justru diisi dengan tindakan inkonstitusional yang mengatasnamakan Islam tetapi sesungguhnya justru sangat bertentangan dengan ajaran-ajarannya.

Seperti itulah FPI. Mereka sesungguhnya yang menjadi benalu demokrasi, yang selalu bertugas mengompor-kompori rakyat agar bergejolak melawan pemerintahan, dengan dalih membela agama. Bohong!

Kepada saudaraku yang berada di FPI, marilah kembali kepada Al-Qur'an. Mari kita kaji bagaimana dakwah yang sesuai dengan kondisi zaman. Sebuah zaman yang sudah tidak ada lagi perang.

Mari mengkaji agar Indonesia menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Bukan justru membuat anak bangsa saling mencaci-maki, memecah-belah, dan memusuhi satu sama lain, hanya karena berbeda pandangan yang tidak sampai melunturkan keimanan kita sebagai muslim.

Dakwah ala Rasulullah itu bukanlah dakwah yang hobinya memecah-belah. Tetapi dakwah yang mampu membersamai orang-orang lemah, kaum yang termarginalkan, dan orang-orang yang terzalimi. Rasulullah adalah orang yang penyayang.

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Laqod jaa-akum rasuulun min anfusikum 'aziizun 'alaihi maa 'anittum hariishun 'alaikum bil mu'miniina ra-uufun rohiim.

Lalu apakah pemerintahan Joko Widodo ini telah zalim dan keluar dari koridor-koridor keislaman? Saya rasa tidak. Segala sesuatunya bisa diproses secara hukum yang berlaku di negeri demokrasi. Bukan justru dilawan dengan cara-cara brutal yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif sebagaimana yang dilakukan FPI untuk mengompori dan memprovokasi umat. 

Lagipula, ini kan hanya persoalan pemilu yang lima tahunan. Kenapa seolah-olah persoalan pemilu ini menjadi persoalan yang kalau tidak diselesaikan, kiamat akan segera tiba? Tunggu saja lima tahun lagi, tarung lagi. Dalam demokrasi, pemilu, menang dan kalah itu biasa. Sangat biasa. Terlebih bagi orang yang sudah biasa menang dan sudah biasa kalah.

Kunci dakwah Islam yang dicontohkan oleh Al-Qur'an adalah mengajak orang-orang ke jalan Allah dengan cara-cara bijaksana dan keteladanan yang patut ditiru. Kemudian kalau memungkinkan untuk beradu argumentasi, maka kemukakanlah dengan santun. 

Ud'u ilaa sabiili rabbika bil hikmah wal mau-idzhotil hasanah wa jaadilhum billati hiya ahsan. Demikian pesan Allah kepada Nabi Muhammad agar kemudian diteruskan kepada umat Islam dalam rangka menjalankan program-program dakwah di muka bumi. 

Artinya, jika pilpres ini dirasa curang haruslah diprotes dengan cara-cara yang Qur'ani seperti itu. Bijaksana, keteladanan, dan cara yang santun. Tidak brutal dan anarkis, baik verbal maupun nonverbal. 

Kemudian Allah juga mengingatkan Rasulullah bahwa tugas dakwah itu hanyalah mengingatkan, bukan menjadi diktator (sebagaimana Soeharto pada masa orde baru). Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaitir.

Karena sesungguhnya hanya Allah yang memiliki hak penuh atas keimanan seseorang. Sebagai pendakwah, hendaklah tidak menggunakan cara-cara anarkis dan memaksa dalam upaya memperkenalkan agama Allah. 

Walau syaa-a rabbuka la-amana man fil-ardli kulluhum jamii’an, afaanta tukrihunnaasa hattaa yakuunu mu’miniin.

Sungguh, Allah sebenarnya bisa saja membuat semua orang di muka bumi beriman. Namun apakah kemudian kita akan memaksan orang yang berbeda --pendapat, keyakinan, dan pandangan-- untuk beriman sebagaimana yang sedang kita imani. 

Sebagai agama penyempurna yang telah paripurna, Islam juga mengajarkan tentang bagaimana cara untuk memperlakukan kejahatan dengan proporsional. Berbeda dengan agama-agama sebelumnya, yakni Yahudi dan Nasrani. 

Di dalam agama Yahudi, jika seorang berbuat zalim kepadanya maka haruslah dibalas tuntas seperti perbuatan yang dilakukan kepadanya. Itulah kemudian yang diadopsi ke dalam Islam, sehingga menjadi hukum yang kita kenal: qishos

Sementara di dalam tradisi Nasrani, jika seorang menampar pipi kiri maka wajib diberikan pipi kanan agar ditampar. Artinya, tidak membalas sama sekali. Tetapi justru membiarkan perbuatan zalim itu dilakukan, karena hanya Allah yang Maha Pemberi Pertolongan dan yang akan membalas kezaliman itu. 

Nah, di Islam kita diajarkan pula untuk melawan kejahatan. Bahkan, Islam memberikan dua opsi. Allah berfirman: Wa jazaa-u sayyiatin sayyiatun mitsluha, fa man 'afaa wa ashlaha fa ajruhuu 'alallah, Innallaha laa yuhibbu-dzh dzholimiin

Bahwa balasan untuk perbuatan kejahatan adalah kejahatan yang serupa (qishos), tetapi siapa orang yang mampu memaafkan kejahatan itu dengan tulus maka akan mendapat ganjaran atau apresiasi langsung dari Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang-orang zalim. 

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa cara dakwah yang dilakukan FPI dalam rangka mengajak orang lain ke jalan Allah, sangat bertolang belakang dengan yang termaktub di dalam kitab suci. Saudaraku, Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an, maka mari kita kembali mengkaji Al-Qur'an agar tak salah jalan.

Terakhir, saya tegaskan bahwa dakwah model FPI sangat tidak Qur'ani. FPI hanya bertugas mengadu domba umat agar pecah-belah, saling bermusuhan satu sama lain, dan kemudian ada pertumpahan darah sesama ahlul qiblah. Na'udzubillahi min dzalik. 

Berikut ini contoh provokasi yang disampaikan FPI untuk melakukan people power pada 22 Mei mendatang.






Semoga kita senantiasa diberi rahmat dan ampunan dari Allah. Btw, ada yang mau dibantah?

Senin, 13 Mei 2019

Pengancam Presiden Jokowi adalah Korban Propaganda FPI


Hermawan Susanto, Pengancam Presiden Jokowi

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh video yang viral saat gerombolan pendukung capres-cawapres nomor urut 02 melakukan aksi di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta. Video itu dibuat oleh seorang perempuan, yang merasa bangga karena sedang berada di tengah-tengah massa aksi menuntut 'keadilan' karena Pemilu 17 April 2019 lalu dianggap 'curang'.

Di belakang perempuan itu, ada seorang laki-laki --Hermawan Susanto namanya-- memakai peci dan pakaian khas keagamaan, meneriakkan kalimat takbir berkali-kali, seraya menyelipkan ungkapan atau keinginannya untuk memenggal kepala Presiden RI Joko Widodo.

Anehnya, saat diciduk oleh pihak kepolisian, Hermawan mengaku khilaf dan spontan saat mengungkapkan kalimat yang tak berkemanusiaan itu. Dia tidak sadar bahwa yang menjadi objek dari ungkapannya itu adalah orang nomor satu di negeri ini, disamping sebagai calon presiden (petahana) nomor urut 01.

Tapi apakah dalam berucap itu, Hermawan sedang dalam keadaan yang tidak sadar? Tentu saja tidak demikian. Dia pasti sadar, karena tengah melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Lantas, apakah dia sudah mengotori kesucian Ramadan? Tentu saja. Ramadan yang semestinya diisi dengan berbagai macam ibadah, sebagai pengejawantahan dari keberimanan seseorang dalam mencapai derajat ketakwaan, akan ternodai dengan ucapan serampangan itu. Miris. 

Dia akhirnya diciduk di daerah Bogor, Jawa Barat, dengan wajah memelas seraya diakhiri permintaan maaf yang sangat mendalam. Sungguh, dia sudah berbuat salah. Dengan mengucapkan permintaan maaf atas ucapan bernada ancaman kepada presiden itu, menandakan bahwa dirinya memang tidak gila, alias sedang dalam keadaan sadar. 

Lantas apa yang tersisa dari ucapan yang tidak mencerminkan Islam, tidak mencerminkan kumandang takbir yang seringkali diucapkannya, juga tidak mencerminkan dari cita-cita perjuangan agama? Apa yang tersisa?

Usia Hermawan masih 25 tahun. Seperempat abad. Ancaman pemenggalan kepala terhadap kepala negara itu sungguh memprihatinkan dan membuat seluruh anak bangsa yang masih berakal sehat menjadi geram. Perbuatan seperti itu, sudah mirip dengan kelakukan para teroris, atau sebut saja: ISIS. 

Berbagai pertanyaan kemudian bermunculan. Seperti misalnya, dari mana dia belajar agama? Apakah selama ini lingkaran keagamaannya adalah ulama atau ustadz yang gemar menebarkan kebencian, ajakan permusuhan, hingga ancaman pembunuhan?

Kalau begitu, mungkin saja Hermawan ini sudah terdoktrin, terpengaruh, dan terhasut oleh berbagai provokasi dan propaganda yang seringkali dilakukan petinggi Front Pembela Islam. Salah satunya Yang Mulia Habib Rizieq Shihab.

Masih ingat dengan video monolog Habib Rizieq dari Arab Saudi yang mengajak kelompoknya untuk mengepung Kantor Bawaslu dan KPU? Betapa provokatifnya dia, sebagai seorang yang memiliki pengaruh besar.

Karena memang, sebagian besar ulama di FPI termasuk Habib Rizieq Shihab itu tak jarang melancarkan kritik terhadap pemerintah dengan nada kebencian. Apakah seperti itu adalah representasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu? Tentu saja tidak. Lantas, usai kasus yang menimpa Hermawan di bulan Ramadan ini, ke mana FPI? Apakah mereka cuci tangan? Atau akan memberi pembelaan kepada Hermawan?

Saudaraku, itulah sesungguhnya yang dikhawatirkan jika FPI terus-menerus dibiarkan berada di negeri ini. Para petinggi FPI akan selalu memberikan provokasi, propaganda, dan hasutan kebencian terhadap perbedaan, bahkan kepada ulil amri-nya sendiri. Pemerintah yang sah secara konstitusional. 

Menurut saya, selain Hermawan sebagai pelaku tindak pidana karena telah mengancam presiden, dia juga telah menjadi korban dari dakwah-dakwah kebencian yang kerap keluar dari mulut para petinggi FPI, termasuk Habib Rizieq. 

Apakah kini tugas FPI masih dalam koridor memperjuangkan nilai-nilai Islam, yang selama ini dibangga-banggakan? Tidak. Sama sekali tidak. Mereka lebih sibuk menyerang pihak lawan seraya membela kelompok tertentu dan kemudian serangan-serangan yang dilancarkan itu tanpa didukung fakta serta alasan yang jelas.

Hermawan telah menjadi korban kebrutalan FPI secara fikrah (pemikiran). Apa kita masih harus membiarkan kehidupan FPI langgeng di Indonesia? Saya harap, jangan sampai. Semoga Indonesia selalu diberi kedamaian tanpa harus ada organisasi Islam kemasyarakatan seperti FPI yang bercokol di permukaan dengan dalih membela, tetapi sesungguhnya justru yang terdepan menista agama.

Rasulullah hingga Walisanga yang menyebarkan Islam di Tanah Nusantara, tidak pernah menyampaikan kalimat sebrutal Hermawan yang merupakan korban dari doktrinasi yang selalu dilancarkan oleh FPI. Sebab berdakwah itu adalah merangkul bukan memukul. Mendidik bukan menghardik. Mengajak bukan mengejek. Memberikan teladan bukan menyerukan berbagai hasutan, terlebih ancaman pembunuhan.

Apakah kemudian atas kejadian Hermawan yang telah menjadi korban dari keganasan FPI itu, kita masih bisa berasumsi bahwa FPI adalah organisasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Bro dan Sis, kalau hanya terjun ke berbagai lokasi bencana, tidak perlulah mengklaim FPI sebagai organisasi yang paling manusiawi. Sebab, manusia sedurjana apa pun, pasti terketuk hatinya saat melihat saudaranya yang sedang tertimpa bencana. Bahkan, semua organisasi juga pasti turun ke lokasi bencana. Tak terkecuali partai politik. 

Karena selama ini, yang didengungkan oleh simpatisan FPI untuk mendukung agar organisasi preman berkalung sorban tersebut, hanya sebatas itu. Tidak ada yang lain. Kalau hanya soal itu, Nahdlatul Ulama melalui NU Care, juga sudah barang tentu hadir di lokasi. Tapi kan pertanyaannya, di sisi lain, apakah FPI kerap membela Islam dan menghadirkan sisi kemanusiaan dalam memperkenalkan agama Allah yang mulia itu?

Atau bisakah kemudian amar ma'ruf nahi munkar ala FPI yang kerap menimbulkan mafsadat (kerusakan) atau kemunkaran serta berbagai permasalahan baru itu, dapat dikategorikan sebagai dakwah yang menjunjung tinggi kemanusiaan? Orang yang berakal sehat di mana pun berada pasti tidak akan mentolerir berbagai tindak kebrutalan FPI dalam berdakwah.

Dakwah Islam yang patut dicontoh adalah berbagai laku yang telah diteladankan para wali di Nusantara. Mereka masuk ke lorong-lorong gelap, ke tempat-tempat maksiat, berbaur bersama orang-orang yang termarginalkan, dan mendedikasikan diri untuk membela orang-orang yang sedang terzalimi agar kemudian merasa tersentuh dengan keluhuran agama Islam.

Maka melalui tulisan ini, sekali lagi saya tegaskan bahwa ungkapan Hermawan Susanto yang ingin memenggal kepala Presiden Jokowi adalah bentuk pengejawantahan dari doktrinasi dan hasutan yang sering diungkapkan petinggi FPI.

Hermawan adalah korban. Sedangkan salah satu solusi agar tidak ada lagi korban selanjutnya, tidak ada kata lain, kecuali membubarkan organisasi radikal dan ekstrem semacam FPI.

Ada yang mau dibantah? 

Minggu, 12 Mei 2019

Bagaimana Jika FPI Dibubarkan Saja?


Sumber: suaradewan.com
Siapa yang tak kenal Front Pembela Islam atau FPI? Itulah sebuah nama organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang memiliki jargon NKRI Bersyariah. Atau, ormas Islam yang mendaku memiliki misi melakukan amar ma'ruf nahi munkar. 

Membawa label Islam, rupanya tak membuat orang-orang di dalam organisasi tersebut menjadi muslim: yang senantiasa berserah diri, pasrah, tunduk, memberikan keselamatan, kedamaian, dan menghindari kerusakan baik secara lisan, tulisan, atau pun tangan. 

Dengan label Islam, di kalangan akar rumput dan masyarakat awam, keberadaannya seolah baik dan menjadi representasi Islam, sehingga hanya FPI-lah yang pantas mewakili Islam? Apakah demikian? Saya rasa tidak. FPI hanya bagian kecil dari Islam: sebuah agama besar yang menjadi jawaban atas peradaban dan perubahan zaman.

Sesungguhnya FPI itu kecil, sangat kecil. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Mereka tak sebesar dan memiliki pengaruh kuat sebagaimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah: dua ormas Islam yang menjadi elemen penting dalam berdirinya NKRI. 

Namun, mereka selalu saja merasa besar. Seolah menjadi Islam yang mayoritas sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Walaupun sebenarnya FPI-lah yang seringkali mengganggu kedamaian berbangsa dan bernegara. Prinsip mereka, siapa orang yang tak menyukainya itu sama saja membenci Islam. Sebuah pemikiran picik nan sempit. 

Sejak kehadirannya, mereka selalu membuat suasana menjadi gaduh. Terlebih jika Ramadan tiba. Mereka seolah bekerja sebagaimana Satpol PP. Di bulan puasa, warung-warung yang buka dihancurkan atau dipaksa untuk tutup. 

Begitu pula halnya Imam Besar FPI yang diklaim sebagai Imam Besar Umat Islam --padahal keberadaannya sama sekali tidak merepresentasikan Umat Islam di Indonesia-- yakni Yang Mulia Habib Muhammad Rizieq Shihab, kerapkali bicara seenaknya saja. Atas nama agama, katanya, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah ujaran kebencian dan ajakan permusuhan.

Dia sering menghina ulama-ulama NU, bahkan Presiden RI ke-4 atau cucu dari Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, yakni KH Abdurrahman Wahid pun pernah dilecehkan. Habib Rizieq pernah mengatakan --dan tidak akan pernah bisa dilupakan oleh warga NU-- bahwa Gus Dur itu buta mata dan buta hati. Karena itulah kemudian, kini Islam Indonesia masuk pada sebuah fase baru: Islam caci-maki. Na'udzubillahi min dzalik.

Hal tersebut jika terus-menerus dibiarkan, maka akan berdampak kepada generasi penerus Islam yang juga mengikuti jejak langkah Habib Rizieq, Sang Provokator Ulung itu. Yakni gemar mencaci-maki, menuduh sesat, menghardik, mencela, dan parahnya mengajak permusuhan antarsesama anak bangsa. Itulah sebenar-benarnya penista agama Islam. Bukan yang lain.

Bersamaan dengan itu, masuk pula ajaran-ajaran yang tak kalah kasarnya. Yaitu penampilan Islam yang menonjolkan eksklusivitas, pemurnian Islam yang sesungguhnya hanya menurut versi mereka sendiri yang kemudian diklaim sebagai perpanjangan dari firman Allah, dan pengkafiran yang kerap digencarkan kepada kelompok yang tak sepaham-sepemikiran.

Alih-alih membela Islam, mereka justru seperti mengambil hak prerogatif yang hanya dimiliki Allah. Mereka menganggap dirinya sebagai pemegang kunci surga, sedangkan yang tidak sejalan sudah barang tentu dikatakan sebagai penghuni kekal di neraka jahannam. Na'uzubillahi min dzalik.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama dan telah beredar pula di media sosial bahwa pada Juni mendatang, izin FPI sebagai ormas Islam akan habis. Di linimasa-linimasa media sosial juga sudah beredar ratusan ribu tanda tangan petisi yang tidak ingin FPI hidup dan berkembang di tanah Ibu Pertiwi ini.

Alasan penolakan terhadap eksistensi FPI sudah sangat jelas. Yaitu bahwa sumber kegaduhan berdalih memperjuangkan hak-hak keagamaan, Islam, harus dihentikan. Sebab yang mereka lakukan selalu saja menimbulkan kerusakan-kerusakan baru, baik fisik maupun mental. Oleh karenanya, Indonesia tak butuh ormas Islam yang tidak ada gunanya. 

Kalau persoalannya adalah mewakili kepentingan Islam dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah cukup dengan adanya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah sangat mumpuni. Keduanya telah sama-sama berjuang dalam menghadirkan udara kemerdekaan yang detik ini sedang kita hirup kesegarannya.

Jadi, sama sekali tidak ada alasan untuk memperpanjang izin FPI. Semoga, lembaga atau pihak yang berwenang dalam mengeluarkan izin terhadap ormas di Indonesia dapat lebih bijak dan terjaga marwah serta martabatnya.

Maka itu, mari kita ucapkan: Selamat Jalan FPI. Sebab mereka sudah sangat tidak pantas berada di NKRI. Terlebih berkedok membela agama yang rupanya hanya menimbulkan permasalahan-permasalahan bahkan kerusakan baru di Bumi Pertiwi ini.

Sesungguhnya keberadaan FPI yang seolah membela Islam merupakan penghinaan bagi Islam itu sendiri. Sebab secara logika sederhana, pihak pembela berarti memiliki kemampuan lebih dari objek yang dibela. Kalau demikian, berarti FPI menganggap bahwa Islam lemah dan tak mampu berbuat apa-apa jika tanpa pembelaannya.

Bagaimana mungkin ada sekelompok orang yang kemudian dengan angkuh dan jemawa merasa lebih hebat dari Allah, sehingga merekalah yang berhak membela Islam? Sungguh, Islam tak perlu dibela. 

Islam merupakan agama yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad Saw sebagai sosok sentral yang mampu menjadi rahmat bagi semesta alam. Penuh kasih sayang terhadap sesama. Bukan dengan arogan, semena-mena, dan seenaknya saja. Seperti mengumbar kebencian serta memecah-belah anak bangsa agar saling bermusuhan satu sama lain.

Mari kita lanjutkan untuk menandatangani petisi dalam rangka menyatakan, 'Stop Izin FPI' agar kemudian menjadi pertimbangan kuat bagi pemerintah yang sedang berkuasa dan memiliki kewenangan di negeri ini. Klik di sini untuk menandatangani petisi.

*********

Berikut ini beberapa daftar kemunkaran yang diciptakan FPI dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar dan membela agama Allah.

1 November 2004
Sebanyak 500 anggota FPI merusak kafe dan bentrok dengan Forum Masyarakat Kemang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

23 Desember 2004
Sekitar 150 anggota FPI bentrok dengan petugas keamanaan (sekuriti) JICT, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

9 Juli 2005
Sekira 400 orang beratribut FPI menyerbu kampus Mubarak, Parung, Jawa Barat. Mereka memberi ultimatum: dalam waktu 7x24 jam, FPI akan bertindak lebih keras lagi.

1 Juni 2008
Sejumlah 27 aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang tengah melakukan aksi memprotes surat keputusan bersama Ahmadiyah, mengalami luka-luka karena dianiaya massa FPI di Monas, Jakarta Pusat.

8 Agustus 2011
Sekitar 30 orang FPI mengobrak-abrik Warung Coto Makassar di Jalan AP Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan, karena tetap buka siang hari saat Ramadan.

28 Agustus 2011
Ratusan anggota FPI merusak mobil Daihatsu Luxio di kawasan Senayan, Jakarta Pusat. Sementara di Matraman Raya, massa FPI bentrok dengan pemuda.

28 Oktober 2011
Ratusan anggota FPI bentrok dengan anggota Polres Metro Bekasi Kota saat menggelar unjuk rasa di depan Sekolah Yayasan Mahanaim di Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat. FPI menilai yayasan sekolah telah melakukan pemurtadan agama terhadap warga Bekasi sejak tahun 2008.

12 Januari 2012
Massa dari FPI dan Forum Umat Islam berdemo di depan kantor Kemendagri, Jakarta Pusat. Massa kemudian melempari gedung dengan batu dan telur busuk. Aksi protes dilakukan atas pembatalan Perda Miras oleh pihak Kemendagri.

8 Juli 2013
FPI terlibat bentrok dengan Warga Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, ketika melakukan pawai dan razia. FPI dan warga sekitar terlibat cekcok yang berakibat tewasnya seorang warga akibat tertabrak mobil Avanza yang dikemudikan anggota FPI.

12 Agustus 2013
FPI terlibat adu bacok dengan warga Desa Kandang Semangkon, Lamongan, Jawa Timur, yang diawali aksi penganiayaan anggota FPI kepada tiga orang warga di sebuah rental Playstation.

30 Desember 2013
Kepolisian Kota Depok, Jawa Barat, menangkap lima orang anggota FPI lantaran melakukan razia di sebuah toko di Cimanggis. Polisi menangkap mereka karena terindikasi anarkis dalam melakukan aksinya.

25 September 2014
Massa FPI dan Gerakan Pemuda Kabah terlibat bentrok saat demo di depan gerai McDonald, Kawasan Simpanglima, Semarang, Jawa Tengah.

3 Oktober 2014
Kejadian ini terjadi ketika FPI melakukan unjuk rasa menolak pengangkatan Ahok menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo. Bentrokan yang awalnya damai, berujung rusuh yang melukai belasan anggota polisi. Kepolisian berhasil menangkap koordinator sekaligus otak kerusuhan, Novel Bamukmin, bersama 21 anggota FPI lainnya.

Kasus Habib Rizieq

Pada tanggal 30 Oktober 2008, Habib Rizieq divonis 1,5 tahun penjara terkait kerusuhan pada tanggal 1 Juni di Monas karena terbukti secara sah menganjurkan orang lain dengan terang-terangan, dan dengan tenaga bersama-sama untuk menghancurkan barang atau orang lain sesuai dengan Pasal 170 ayat (1) jo Pasal 55 KUHP.

Pada tanggal 20 April 2003, Habib Rizieq ditahan karena dianggap menghina Kepolisian Negara Republik Indonesia lewat dialog di stasiun televisi; SCTV dan Trans TV. Dia divonis tujuh bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Juli 2003.

Pada tanggal 13 November 2015, Habib Rizieq kembali menjadi sorotan saat diundang ceramah oleh Bupati Purwakarta di kota tersebut. Saat berceramah, dia memplesetkan kata "Sampurasun" menjadi "Campur Racun". Dalam bahasa Sunda, "Sampurasun" bisa diartikan sebagai salam hormat dan doa.

Atas kejadian tersebut, Habib Rizieq dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat yang diinisiasi oleh Angkatan Muda Siliwangi Jawa Barat ke Polda Jawa Barat atas tuduhan penghinaan dan pelecehan terhadap Budaya Sunda.

Pada 27 Oktober 2016, Ketua Partai Nasional Indonesia Marhaenisme yang juga putri dari Presiden Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri melaporkan Habib Rizieq ke Bareskrim Polri karena dianggap telah menghina Pancasila dan Soekarno atas pernyataan "Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di Pantat. Sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di Kepala".

Pada 26 Desember 2016, Habib Rizieq diperkarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) atas tuduhan penistaan agama karena telah berkata "Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?"

Pada 12 Januari 2017, Habib Rizieq dilaporkan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar, Raden Prabowo Argo Yuwono atas tuduhan penghinaan terhadap profesi hansip karena telah berkata, "Di Jakarta, Kapolda mengancam akan mendorong Gubernur BIuntuk melaporkan Habib Rizieq. Pangkat jenderal otak Hansip" dan "Sejak kapan jenderal bela palu arit, jangan-jangan ini jenderal enggak lulus litsus."

Pada Februari 2017, tersiar rumor adanya percakapan pornografi antara Habib Rizieq dengan seorang perempuan bernama Firza Hussein beserta foto-foto syur Firza di WhatsApp. Pada 29 Mei 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Berikut ini kata-kata FPI, terutama Habib Rizieq yang digunakan untuk memprovokasi umat.

1. Wiranto jadi Wiranti.
2. Jokowi jadi Jokodok. 
3. Ahok dibilang kutil babi.  
4. Jilat pantat cinanya. 
5. Polisi suruh pake beha.
6. Sampurasun jadi campur racun. 
7. Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat. 
8. Pala lo bau menyan.
9. Cacing pasir.
10. Presiden goblok.
11. Istana Negara: Istana Setan.
12. Menteri Agama sesat.
13. Gusdur buta mata buta hati.

Jadi, bagaimana jika FPI dibubarkan saja?

Sabtu, 11 Mei 2019

Pelukan Cinta Anak TK Lintas Iman, Sinyal FPI Dibubarkan?


Sumber: radarmadiun.co.id
Puasa sudah memasuki hari keenam. Namun suasana perbincangan wacana politik-keagamaan di media sosial tak habis-habisnya bergulat pada amarah dan kebencian. Satu kubu dengan kubu lainnya saling melancarkan serangan, bertahan sesaat saja, selebihnya menyerang lagi. 

Serangan-serangan itu kian serampangan dan tak jelas arahnya. Siapa saja bisa terkena serangan yang membabi-buta itu. Sudah babi, buta pulak. Alamaaak! 

Dualisme dan politik pecah belah semakin jelas terlihat. Bahkan, orang yang kerap memposisikan dirinya berada di tengah atau netral, ikut juga menjadi bulan-bulanan dari serangan yang tidak jelas itu. Tidak ada lagi rasa welas asih kepada "wong liyan". Nilai-nilai keindonesiaan yang sejak lama dipupuk, yakni Pancasila yang jika diperas menjadi Trisila dan diperas lagi menjadi Ekasila (gotong-royong) itu telah hilang sama sekali.

Entahlah, saya bicara ke teman-teman diskusi tongkrongan di warung kopi, barangkali perseteruan dan perkelahian wacana di media sosial itu hanya terjadi di Jakarta dan daerah-daerah penyangganya saja? Bagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya? Hmmmmmm, rencana pemindahan ibu kota mungkin saja itu langkah yang baik untuk memeratakan konflik di negeri ini.

Selain itu, saya merasa bahwa Ramadan tahun ini --di Jakarta dan sekitarnya, entah di daerah lain-- tidak seperti Ramadan sebagai bulan yang ideal, yang selama ini kita wacanakan persis dengan apa yang difirmankan Tuhan dalam Qur'an dan digambarkan Nabi dalam Hadits. Entahlah.

Terlebih jika kita melihat di media sosial. Ah, sudahlah. Pokoknya begitu. Semrawut.

Nah menariknya, saat suasana sedang panas karena saling serang itu, ada pemandangan indah yang ditampilkan melalui berita online radarmadiun.co.id, Jumat (10/5) kemarin. 

Yakni suasana dimana anak-anak TK yang berbeda keyakinan saling berpelukan. Itulah pelukan cinta. Kejadian tersebut terjadi saat momentum anak-anak TK Katolik Santo Bernadus mengunjungi TK Islam ABA Aisyiah di Madiun. Banyak teman saya di facebook yang kemudian mengunggah ulang foto tersebut menjadi postingannya sendiri. Ada rasa haru yang diciptakan.

Mereka, anak-anak kecil itu --yang belum mengerti persoalan orang-orang dewasa yang mengotak-kotakkan pergaulan, kubu-kubuan, dan saling bersitegang karena perbedaan pandangan-- berani menembus dinding penyekat yang oleh orang dewasa kekinian dianggap tabu.

Anak Katolik dan Muhammadiyah itu rupanya telah mengingatkan orang-orang dewasa tentang sesuatu yang sangat berharga, yang sulit ditemukan di zaman serba konflik seperti sekarang ini. Apa itu? Rekonsiliasi. Hal yang pasti tidak dipahami anak kecil.

Selain mengingatkan soal betapa pentingnya rekonsiliasi di kalangan elit negeri ini, bahasa tubuh anak-anak TK itu juga menyiratkan bahwa Ramadan merupakan bulan yang mulia. Sedangkan kemuliaan itu lahir bukan atas dasar permintaan agar dimuliakan oleh "wong liyan", tetapi kemuliaan justru bisa tercipta jika masing-masing kubu saling mengapresiasi satu sama lain.

Teman saya juga ada saja yang nyeletuk. Katanya, benarkah pelukan anak kecil lintas iman itu merupakan sinyal bahwa FPI akan segera menyusul HTI menjadi almarhum --secara harakah dan siyasah tapi tidak secara fikrah-- di negeri ini? Entahlah, mungkin benar tapi bisa saja tidak tepat. 

Kalau saya justru bertanya-tanya, bisakah FPI belajar dari anak TK di Madiun itu? Sepertinya tidak. Karena sudah tidak ada waktu lagi untuk belajar, karena insyaallah pada Juli mendatang, FPI sudah tidak ada di Bumi Pertiwi.

Btw apa kabar Habib Rizieq Shihab, Sang provokator ulung dari Arab Saudi? Semoga selalu diberikan kesehatan, agar provokasi dan propaganda kebencian senantiasa diperdengarkan oleh masyarakat FPI di Indonesia. Itulah yang menjadi salah satu cahaya yang sangat terang benderang bahwa FPI akan segera dibubarkan. 

Namun FPI dibubarkan atau tidak, semuanya ada di tangan Wiranto. Lho? 

Jumat, 10 Mei 2019

Fatwa Anjing Pak Kiai


Ilustrasi

Suatu ketika, di sebuah kampung terpencil, dihebohkan oleh seorang pemilik anjing yang hewan kesayangannya itu mati. 

Setelah mati, ia bersikeras untuk mengkafani anjingnya dan kemudian menyolatkan di musala kampung. Tentu, penduduk sekitar menolak dengan keras permintaan majikan anjing itu.

Untuk merendahkan tensi yang sedang memanas sekaligus menyelesaikan permasalahan dengan baik dan secara kekeluargaan, maka dipanggil seorang kiai kondang di kampung itu.

Pak Kiai akan dimintakan fatwa dan pendapatnya mengenai persoalan anjing mati itu yang membikin suasana kampung menjadi heboh. Tak lama, dari kejauhan nampak Pak Kiai sedang berjalan tergopoh-gopoh agak terburu-buru, bersama warga yang menjemputnya.

Setibanya di lokasi, Pak Kiai bertanya, "Mana pemilik anjing mati yang sudah dikafani ini?"

Seorang pria paruh baya maju dan berkata, "Saya pak Kiai."

"Atas dasar apa kamu minta anjing kamu itu dikafani lalu disalatkan sebelum dikubur? Dia kan binatang, bukan manusia. Selain itu tidak ada ajaran dalam Islam soal menyolatkan binatang yang mati!" tegas Pak Kiai.

"T..t..tapi Pak Kiai, ini adalah wasiat dari anjing saya."

"Bohong kamu. Itu tidak mungkin. Mana mungkin anjing bisa berwasiat?!" 

"Selain itu anjing saya ini juga berwasiat agar saya menyerahkan uang Rp100 juta kepada siapa pun yang menjadi imam salatnya."

Tak diduga, Pak Kiai tiba-tiba berkata, "Kalau begitu, siapkan prosesi salat dan ajak warga untuk menyolatkan anjingmu itu."

Tentu saja warga kian heboh karena mendengar jawaban Pak Kiai yang sangat absurd dan aneh. Namun, warga tidak ada yang berani menentang kiai kondang tersebut. Sebagian dari mereka pun berbaris di belakang Pak Kiai membentuk shaf salat jenazah.

Setelah selesai salat, ada seorang warga yang memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Pak Kiai.

"Pak Kiai, mohon maaf pak. Kenapa Pak Kiai jadi berubah pikiran dan setuju untuk menyolatkan anjing itu?"

"Setelah saya telisik dengan saksama, ternyata anjing itu masih memiliki nasab mulia dari anjing milik pemuda Ashabul Kahfi," jawab Pak Kiai setelah mengambil nafas panjang.

Warga pun hanya bisa mengangguk, entah tanda mengerti atau sekedar ikut-ikutan saja.


*********

Kira-kira, hal apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran? Wallahua'lam...