Rabu, 29 Mei 2019

Ustadz Yusuf Mansur, Dulu Dipuji Kini Dicaci


Ustadz Yusuf Mansur. Sumber: muslimobsession.com
Membaca komentar banyak orang di setiap postingan instagram Ustadz Yusuf Mansur (UYM) sangat sedih. Komentar kasar, menyerang, dan tampak hubungan yang terbangun bukan antara santri dan guru, melainkan penggemar ke seseorang yang diidolakan, yang kemudian menjadi tak menarik dan tak dihormati lagi karena bergesernya preferensi politik.

Saya punya pengalaman menarik berinteraksi kecil dengan UYM, sekitar setahun lalu. Saya dan Agus (Mojok) diundang santri-santri UYM untuk berdiskusi membangun web kanal sedekah mereka. Kami juga mampir di komplek Pesantren Daarul Quran Jakarta. Selain itu, juga ke asrama mahasiswa tahfidz penerima manfaat PPPA DQ.

Beberapa pekan sesudahnya, saya mengisi pelatihan menulis untuk teman-teman PPPA DQ di Yogyakarta. Teman-teman inilah yang kelak ditugaskan untuk berdakwah di luar Jawa dan di daerah-daerah terpencil (sebagai cara membalas jasa beasiswa yang sudah mereka terima) di mana dakwah masih jarang.

Saya lalu menulis beberapa kegiatan dakwah PPPA DQ yang menurut saya inovatif pada salah satu kolom saya di Detik. Saya bercerita kegiatan mereka mendampingi mengaji anak-anak dhuafa di Kalicode. Tulisan tersebut ternyata sampai ke UYM. Olehnya, tulisan tersebut lalu dicapture dan diunggah di feed Instagram pribadi beliau.

Satu hal yang menggelikan saat itu adalah, setengah jam kemudian, unggahan tersebut dihapus lagi. Saya sempat berpikir kenapa, padahal caption unggahan saat itu jelas-jelas hanya bilang terima kasih karena sudah bercerita soal dakwah santri DQ.

Saya lalu paham. Saat itu, peristiwa kasus Ahok masih panas-panasnya. Istilah bela Islam sedang menggema di mana-mana. Beberapa orang di sekitar UYM mungkin mengenal nama saya (sebagai pihak yang kontra aksi bela Islam), lalu meminta UYM untuk lebih baik menghapus unggahan itu daripada beresiko jadi kemelut dengan tokoh-tokoh lain.

Saya sedikit kecewa.

Tapi tak berapa lama, ada whatsapp masuk. UYM mengirim pesan ke ponsel saya. Beliau bilang terima kasih banyak sudah beberapa kali datang melatih santri menulis dan telah menulis hal baik tentang santri DQ.

Saya jawab, sama-sama Ustadz. Saya bercerita kalau saya dan bapak senang menyimak pengajian Ustadz di ANTV dahulu selepas salat subuh. Di pesan yang singkat itu, saya cerita dengan bercanda kalau saya menghapal surah Al-Waqiah dan Al-Mulk gara-gara terpengaruh Ustadz karena saya ini miskin dan bapak saya utangnya banyak. Pengajian Ustadz soal rejeki amat berpengaruh ke kami.

UYM tertawa.  

Begitu saja, saya tidak bertanya mengapa postingan tulisan saya dihapus di feed instagram beliau.

UYM pernah datang memberi ceramah di pesantren tempat saya belajar di Blora. Pak Yai saya bercerita kalau amplop yang jadi hak beliau, saat itu dikembalikan lagi ke pesantren.

Lepas dari kontroversi soal bisnis-bisnis UYM, saya sedih membaca komentar banyak orang yang kasar dan tampak tanpa hormat di akun beliau. Mengherankan bagaimana seseorang terkadang bisa dijunjung sedemikian rupa karena dianggap membela umat, lalu relasinya berubah seperti kepada orang yang dibenci. UYM dianggap sudah tidak bersama umat karena keputusan politiknya beberapa waktu lalu.

Bagaimana (bisa) orang-orang ini merasa lebih Islam dari Islam itu sendiri?


(Disadur dari tulisan Aktivis Kesetaraan Gender Kalis Mardiasih)
Previous Post
Next Post

0 komentar: