Selasa, 07 Mei 2019

Puasa di Musim Politik




Puasa di hari kedua, masih saja dalam suasana pascapilpres yang semakin memanas. Berbagai macam adegan politik tanah air, menampilkan banyak kisah: kelucuan hingga kedunguan. Ada yang bilang, "Ramadan tahun ini ujiannya lebih berat dari sebelum-sebelumnya."

Berlebihan memang, jika dikatakan seperti itu. Tapi juga tidak salah, karena memang fakta yang berbicara. Toh, masyarakat awam seperti kita disuguhkan berkali-kali, kekisruhan dan kekacauan para petinggi negeri yang saling berebut kuasa. Mulai dari melempar isu, hingga masuk ke dalam Istana Rakyat yang dihuni Presiden Jokowi.

Hiruk-pikuk semakin kentara. Bising suara kebencian dan amarah kian jelas diperdengarkan dari hari ke hari, bahkan terpampang lima senti di hadapan wajah setiap detiknya melalui saluran media sosial. Lalu harus bagaimana kita bersikap agar puasa yang dijalankan tetap sesuai koridor, serta tidak hancur pahala puasanya karena tenggelam ke dalam samudera konflik?

Begini...

Jauh sebelum Prabowo dan Jokowi berebut kuasa yang mengorbankan masyarakat awam untuk saling bertengkar, Imam Ghazali dalam Kitab Ihya' Ulumiddin menulis dengan sangat indah sebagai gambaran manusia dalam berpuasa. Menurutnya, terdapat, setidaknya, tiga derajat atau tingkatan.

إعلم أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص: وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله، وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام، وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر

"Ketahuilah, bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus adalah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintar dalam hati pikiran selain Allah dan hari akhir."

Ketiganya, oleh Imam Ghazali disusun berdasar pada sifat manusia yang mengerjakan puasa.

Ada orang puasa, tetapi hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum. Sementara mulut, tangan, dan seluruh anggota tubuhnya masih digunakan untuk berbuat dosa. Namun, memang itulah puasanya orang awam. Mereka mendefinisikan puasa, baru sebatas menahan diri dari berbagai hal yang dapat membatalkan puasa secara zahir.

Berbeda dengan tingkatan yang kedua. Yakni puasa khusus. Orang-orang yang berpuasa pada jenis ini, lebih maju daripada orang-orang awam berpuasa. Mereka meyakini bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dapat menimbulkan dosa akibat maksiat. Maka, mereka menjadikan maksiat sebagai pembatal puasa.

Terakhir, puasa yang paling khusus. Inilah puasa yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Sangat sedikit yang mampu melakukan dan mengerjakannya. Mereka berpuasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tidak hanya menahan anggota tubuh untuk tidak berbuat maksiat, tetapi juga menjaga hati dari hal-hal keduniaan yang dapat melalaikan diri dari ingat kepada Allah. Karenanya, hal yang dapat membatalkan puasa, bagi mereka, adalah saat mereka memikirkan segala sesuatu selain Allah.

Dari penjelasan di atas, kita bisa segera melakukan introspeksi diri, di mana letak keberpuasaan kita selama ini? Masih berada di tingkat pertama, kedua, atau bahkan sudah mencapai tingkat ketiga? Dari situ kemudian kita mampu menjadikan puasa sebagai alat kontrol hawa nafsu untuk mengendalikan diri dalam kehidupan sebelas bulan pasca-Ramadan.

Kita juga bisa memberi penilaian kepada orang-orang di sekitar, atau mungkin saja para politisi dan elit negeri ini, tapi khususnya diri kita sendiri, soal bagaimana puasa yang sedang kita jalani ini. Memang, Ramadan adalah ruang privat hamba dengan Tuhannya. Tak seorang pun tahu, kecuali diri sendiri dengan Allah. Namun, gejolak-gejolak yang timbul dan kemudian menimbulkan hiruk-pikuk di tengah masyarakat, menyiratkan nilai atau kualitas puasa seseorang.

Kalau kita berpuasa, tetapi masih suka umbar kebencian dan amarah, terutama di media sosial, maka tergolonglah kita sebagai orang awam yang digambarkan oleh Imam Ghazali. Namun, ketika kita mampu menahan diri untuk tidak tenggelam ke dalam samudera konflik yang kian tak jelas arahnya ini, maka kualitas puasa kita di Ramadan tahun ini tentu sudah meningkat.

Bahkan, jika kita mampu senantiasa mengingat Allah tanpa memikirkan dan menghadirkan apa pun ke dalam hati dan pikiran, kecuali Allah, maka berbahagialah karena derajat kita sudah setara dengan para kekasih Allah.

Dengan demikian, puasa di musim politik era cebong-kampret ini memang menyedihkan, tapi sekaligus mengasyikkan. Kita bisa memilih untuk menjadi penengah, pemain, atau pura-pura jadi korban. Tinggal memilih saja. 

Tapi, melalui tulisan ini saya mengajak untuk bersama-sama meningkatkan kualitas puasa kita. Minimal, puasa kita adalah yang menurut Imam Ghazali puasa yang khusus atau tingkatan kedua.

Hal tersebut agar kita mampu menahan diri, menahan seluruh anggota tubuh kita dari maksiat, dari perbuatan yang dapat mengakibatkan konflik horizontal. Terutama dalam rangka berkehidupan di media sosial.

Lantas, bisakah kita berpuasa yang paling khusus itu? Hmmmm, jauh banget.
Previous Post
Next Post