Jumat, 17 Mei 2019

Telaah Moral untuk Bekal Pasca-Ramadan



Puasa sudah memasuki hari keduabelas. Itu berarti sekitar kurang-lebih dua pekan lagi, Ramadan akan berakhir. Karenanya, kita mesti memperbanyak untuk melakukan fikir dan zikir. Tujuannya agar amal ibadah selama satu bulan penuh ini, mampu mendongkrak kualitas ketakwaan kita.

Ramadan adalah bulan yang sakral dalam tradisi keislaman. Sebab ada beragam peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah diturunkan buku pedoman moral dan akhlak untuk seluruh umat manusia, yakni Al-Quran.

Al-Quran diperuntukkan bagi seluruh manusia. Bukan hanya Islam, terlebih khusus orang Arab. Karena sifat Al-Quran yang universal itulah, kita harus senantiasa mengamalkan perintah dan larangan yang bersifat menyeluruh.

Walau begitu, sekalipun ajaran soal moralitas di dalam Al-Quran bersifat universal, Allah tetap memberikan kekhususan bagi golongan manusia yang benar-benar dikehendaki untuk diberi pengkhususan. Yakni, orang-orang yang berada dalam naungan Islam; orang-orang yang selalu berpasrah, tunduk, dan patuh serta senantiasa menebar kedamaian dan keselamatan bagi sesama dan semesta.

Momentum Ramadan ini, sudah sepantasnya kita menelaah ajaran moral yang terdapat di dalam kitab suci paling bungsu itu. Sebab Ramadan dan Al-Quran adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Maka menelaah ajaran moral yang terkandung dalam Al-Quran di Ramadan, yang kemudian diimplementasikan selama sebelas bulan pasca-Ramadan, sangat baik di sisi Allah dan niscaya akan melahirkan manfaat bagi sesama manusia.

Ramadan merupakan bulan pendidikan serta bulan pembentukan akhlak, moral, budi, etika, tatakrama, dan adab. Sungguh merugi bagi siapa saja yang keluar dari Ramadan tapi tidak mendapat hikmah dan pelajaran apa-apa. Terlebih, tidak ada yang bisa diejawantahkan menjadi sebuah kebermanfaatan dan kebaikan untuk sesama.

Di dalam Al-Quran, beberapa waktu yang lalu saya menemukan ada kalimat cinta dari Allah yang membuat hati terenyuh. Parahnya lagi, saya sampai tidak bisa tidur selama hampir dua hari karena memikirkan satu ayat atau kalimat cinta itu, dan seperti ada yang mengganjal kalau tidak disampaikan.

Ayat ini seperti tamparan dan teguran keras bagi situasi dan hiruk-pikuk suasana negeri, akhir-akhir ini. Saya mensinyalir, bahwa Allah seakan tak rela jika bumi diantahberantahkan oleh konflik yang ditengarai karena motif balas dendam. 

Kalimat itu tersurat dalam Asy-Syuro ayat 40. Saya maknai: "Balasan bagi sebuah kejahatan adalah kejahatan serupa, tapi Allah mengapresiasi orang-orang yang membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena Allah tidak suka orang yang zalim."

Sederhana dan penuh makna yang tersirat, bukan? Selain itu juga terdapat kandungan cinta dan nilai estetika yang harus menjadi pegangan hidup dalam bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Jadi begini...

Hukum Islam itu banyak mengambil atau memodifikasi hukum-hukum agama terdahulu. Salah satunya adalah hukum Qishos. Orang-orang Yahudi jika dipukul, maka wajib hukumnya untuk membalas dengan pukulan yang bobotnya sama. Kemudian pukul-pukulan itu dijadikan hukum.

Sementara Nasrani atau Kristen mempunyai hukum yang berbeda. Mereka kalau dipukul pipi sebelah kiri, maka akan memberikan pipi sebelah kanan untuk dipukul lagi. Maksudnya bukan untuk menyombongkan diri, tapi merupakan sebuah perlawanan nonverbal untuk melawan kejahatan.

Apakah ada seorang maling yang tetap masuk lantaran dipersilakan oleh tuan rumah untuk mengambil seluruh barang yang ada di dalamnya? Kira-kira seperti itu tamsilnya.

Nah, hukum-hukum seperti itu kemudian diserap dan dimodifikasi oleh Islam.

Dalam ayat atau kalimat cinta di atas itu, saya menemukan bahwa betapa pun kadar kejahatan yang menghampiri diri, kita mesti bersabar dan menahan diri dari melawan kejahatan serupa (sekalipun memang kejahatan yang serupa adalah balasan dari kejahatan itu sendiri).

Sebab, memberi perlawanan kejahatan dengan kejahatan serupa merupakan sebuah kejahatan yang hanya berbeda kedudukan. Tapi intinya sama: kejahatan.

Maka, Allah menyiratkan agar kita senantiasa berbuat baik kepada orang-orang yang sudah melakukan kejahatan, karena sesungguhnya perbuatan yang demikian itu adalah senjata ampuh untuk melawan kejahatan.

Perlakuan tersebut juga sering kita dengar dari berbagai kisah yang dialami Nabi Muhammad. Ia senantiasa bersabar menghadapi kejahatan dan kemudian membalas kejahatan itu dengan senyum, pertolongan, welas asih sekaligus pencerahan.

Saya rasa, kisah Nabi Muhammad yang demikian sudah sangat populer di kalangan anak-anak.

Karena itu, sudah saatnya kita meneladani dan mengamalkan ajaran moral yang diajarkan oleh Rasulullah dan Al-Quran. Yakni tidak melawan kejahatan atas kejahatan, dan tidak melakukan perbuatan buruk sebagai perlawanan atas keburukan yang datang menghampiri. Dengan kata lain, jangan membalas dendam. 

Bagi para bijak bestari, muara agama adalah cinta. Keberagamaan seseorang akan baik di hadapan Allah ketika senantiasa menjajakan kebaikan kepada sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Ibadah ritual di setiap agama, sesungguhnya, adalah pemicu untuk peningkatan nilai dan kualitas moral seseorang.

Menjadi sangat keliru apabila ibadah ritual justru mengantarkan kita untuk berbuat kerusakan, baik kerusakan yang sifatnya sistemik atau tidak. 

Sementara telaah moral inilah yang harus dijadikan bekal agar selalu berkeinginan berbuat baik sekalipun kejahatan menimpa.

Saya kira, Inilah bekal supaya Ramadan tidak menjadi sia-sia di sebelas bulan setelahnya.


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: