Rabu, 08 Mei 2019

Salat Tarawih dengan Gerakan Cepat? Jangan Kagetan, Dong!


Pura-pura salat

Di media sosial, tengah viral video salat tarawih berjamaah yang gerakannya sangat cepat. Berbagai komentar muncul, baik yang mendukung atau pun respons atas ketidaksukaan terhadap salat dengan gerakan yang sangat cepat itu. 

Saya memperhatikan, tanpa sedikit pun berkomentar. Walau sebenarnya, saya juga pernah merasakan salat tarawih dengan gerakan cepat sewaktu di Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Saat saya di sana, yang menjadi imam tarawih adalah Ustadz (atau saya memanggilnya Kang) Ammar Firman Maulana. 

Bahkan menurut kabar yang beredar dari para senior terdahulu, ayahanda beliau --yang menjadi imam tarawih sebelumnya-- yakni Almaghfurlah KH Salim Effendi Anas, lebih cepat gerakannya. Bayangkan, salat tarawih 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat hanya dilakukan dalam waktu kurang dari setengah jam. 

Maka sesungguhnya, bagi santri yang berada di lingkungan Nahdlatul Ulama, peristiwa yang demikian itu tadi, bukan lagi menjadi persoalan baru dan apalagi sesuatu yang aneh. Kalau toh, ada yang kaget dengan fenomena itu, dapat dipastikan bahwa dia bukan santri NU. Percayalah. 

Di facebook, saya berteman dengan Wakil Katib Syuriyah PCNU Kabupaten Bogor, nama penggunanya (username) adalah Cep Herry Syarifuddin. Beliau juga turut menanggapi fenomena yang ramai diperbincangkan di media sosial itu.

Beliau mengatakan bahwa Nabi hanya menganjurkan salat tarawih di malam Ramadan. Namun, cepat atau lambat gerakan salatnya terserah. Asalkan memenuhi kriteria tuma'ninah. Apa itu?

سكون بعد حركة بقدر سبحان الله 
"Diam sejenak setelah bergerak seukuran membaca Subhanallah."

(Perhatian: baca subhana robbiyal a'la wa bihamdih atau subhana robbiyal 'adzhimi wa bihamdih itu sunnah dan tidak termasuk ke dalam rukun salat. Yang menjadi rukun dan menjadi tidak sah salat seseorang itu adalah salah satunya tuma'ninah itu. Paham ya?)

Selain itu juga dipersilakan untuk memilih yang sedikit atau banyak jumlah rakaatnya. Sebab yang pasti Nabi pernah menjelaskan:

أجرك بقدر نصبك
"Ganjaranmu tergantung pada kadar kepayahanmu."

Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh KH Husein Muhammad saat peringatan tujuh hari wafatnya KH Sahal Mahfudh di Kantor PBNU, beberapa tahun lalu. Saat itu, Kiai Husein diberi kesempatan untuk memaparkan Fiqih Sosial ala Mbah Sahal. 

Dalam paparannya tersebut, saya pun baru tahu bahwa orang berpuasa yang diperbolehkan untuk berbuka (sebelum waktu magrib) dilihat dari kepayahannya. Bukan hanya ditinjau dari jarak yang ditempuh.

Sebagai contoh, seseorang dari Jakarta hendak pergi ke Surabaya dengan menggunakan pesawat terbang. Secara jarak tempuh, orang tersebut diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain di luar Ramadan.

Tapi apakah dengan menggunakan pesawat terbang ke Surabaya, orang itu menjadi sangat lelah sehingga situasi atau kondisi tubuh menjadi tidak stabil jika puasa dilanjutkan?

Contoh kedua, seseorang dari Bekasi ke Matraman dengan mengayuh sepeda karena ada kepentingan atau kebutuhan yang mendesak. Karena tidak ada opsi kendaraan lain, maka sepedalah yang menjadi alat satu-satunya untuk bisa tiba di lokasi tujuan.

Lantas apakah karena jarak tempuh yang diperbolehkan untuk berbuka puasa, tapi dengan kepayahan yang telah dirasakannya, orang tersebut tetap tidak boleh berbuka? Padahal, kalau puasa tetap dilanjutkan, maka akan sangat berbahaya bagi tubuhnya? 

Maka Kiai Husein mengatakan, Mbah Sahal Mahfudh memiliki pandangan bahwa orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa (jika dalam keadaan bepergian) dihitung bukan berdasarkan jarak tempuh, tapi sesuai dengan kadar kepayahannya. 

Luar biasa, bukan? Baiklah, kita kembali ke laptop. 

Duh, berhubung laptop saya baterai lemah. Bagaimana jika dilanjut besok? Intinya, jangan kagetan. Cari referensi sebanyak-banyaknya. Saya juga mau cari referensi lain, nih. 

Terima kasih, ya,  sudah membaca. Pembahasan soal salat tarawih dengan gerakan cepat itu, nanti kita lanjutkan. 
Previous Post
Next Post