Sabtu, 25 Mei 2019

Lailatul Qadar dan Pertaubatan Diri



Lailatul Qadar adalah malam yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan. Malam itu turun hanya di bulan Ramadan.

Bagi sebagian besar ulama, Lailatul Qadar hadir di sepuluh malam terakhir, terutama di malam-malam ganjil. Barangkali karena memang Allah menyukai bilangan ganjil. Innallaha yuhibbul witr.

Para malaikat pun turut hadir menyertai malam penuh kebaikan itu. Tanda-tandanya, sudah sering kita dengar dari para khutoba (penceramah) di atas mimbar. Yakni pada malam itu suasana menjadi hening, angin tidak bertiup kencang, dan berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Bagi siapa pun yang mendapatkannya tentu mendapat kebaikan setara selama sekitar 80 tahun. Lailatul Qadar merupakan salah satu imbalan yang Allah berikan kepada manusia yang menghidupkan malam Ramadan dengan peningkatan kualitas ibadah.

Bukan hanya itu, Allah juga menjanjikan bahwa di sepuluh malam terakhir, kado terindah bagi orang yang menghidupkan malam Ramadan adalah dijauhkan dari siksa api neraka.

Siapa yang tidak mau? Sudah mendapat kebaikan yang setara selama sekitar 80 tahun, dapat pula keringanan dari Allah untuk dijauhkan dari pedihnya neraka.

Malam terakhir ini memang lebih khusus. Dalam pembagiannya, Allah sangat mengistimewakan orang-orang yang konsisten (istiqomah). Tidak sembarang orang yang bakal meraih hadiah istimewa dari Allah itu.

Sejak sepuluh malam pertama, kedua, hingga terakhir Allah memberi ganjaran yang luar biasa. Karena memang, bulan Ramadan adalah bulannya Allah. Soal balasan, pahala, dan ganjaran, serahkan kepada Allah.

Nilai yang akan didapat, masing-masing orang tentu berbeda. Kita sudah melewati fase dimana rahmat dan kasih sayang Allah dicurahkan, yakni pada sepuluh malam pertama.

Kemudian terdapat ‘obral’ ampunan yang sudah Allah berikan secara cuma-cuma kepada kita di sepuluh malam kedua. Terakhir, di babak final (sepuluh malam ketiga), Allah limpahkan berbagai keistimewaan.

Kalau pada malam-malam pertama, Allah berikan rahmat kepada segenap manusia di bumi; sepuluh malam kedua, Allah limpahkan ampunan bagi seluruh umat Islam yang masih konsisten meramaikan Ramadan; maka tentu lebih khusus lagi, Allah hanya berikan Lailatul Qadar dan jauhkan siksa api neraka kepada segelintir orang saja.

Sebab, di malam-malam terakhir ini ada banyak orang yang lalai karena disebabkan perkara dunia. Seperti misalnya membeli kebutuhan hari raya, mudik ke kampung halaman, dan lain hal yang jelas melalaikan dari pendekatan diri kepada Allah.

Menurut hemat saya, Allah sengaja memberi berbagai kenikmatan menuju hari raya karena ganjaran untuk fokus tetap konsisten mengisi Ramadan dengan aktfitas yang sifatnya ukhrawi, sangatlah luar biasa.

Sepuluh hari lagi, Ramadan meninggalkan kita. Sudahkah kita berbelas kasih memohon rahmat, ampunan, dan dijauhkan dari siksa neraka kepada Allah? Paling tidak, ada pertaubatan dan pengakuan diri bahwa dosa dan kejahatan itu adalah hal buruk yang harus enyah dari kehidupan.

Saya jadi teringat bagaimana Syi’ir I’tiraf yang sangat menyentuh hati. Sebuah karya sastra luar biasa dalam rangka memuji dan memohon keridhoan Allah. Sebab hanya Allah-lah satu-satunya tempat kita menggantungkan harap dan doa.

laahi lastu lil firdausi ahlaa. Wa laa aqwa ‘alaa naaril jahiimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi. Fainnaka ghofirudz-dzambil ‘adzhimi.”

“Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga. Akan tetapi aku juga tidak akan kuat menahan siksa api neraka. Maka Engkaulah yang maha menerima taubat dan maha mengampuni dosa seorang hamba. Karena sesungguhnya hanya Engkau pula-lah yang mampu mengampuni dosa-dosa yang besar.”

Kurang lebih seperti itu makna Syi’ir I’tiraf yang terdapat dalam bait pertama. Bahwa sebagai seorang hamba, kita hendaknya merendah karena tak punya daya apa-apa kalau tanpa Allah. Dia Maha Segala. Mulai dari memberi rahmat, hingga dijauhkan dari neraka.

Siapa orang yang telah merasa pantas masuk surga? Sedangkan Rasulullah Muhammad SAW yang maksum (terjaga dari perbuatan maksiat) saja senantiasa memberi teladan baik. Bahkan kita pernah mendengar kisah bagaimana beliau melaksanakan salat malam hingga kakinya bengkak.

Lantas siapa pula orang yang mau dan bersedia dimasukkan ke dalam api neraka? Sementara Rasulullah sudah menjamin ada syafa’at yang akan diberikan kepada umatnya di hari akhir nanti. Walau demikian, sekalipun sudah dijamin syafa’at, tidak dibenarkan juga kita berpangku tangan tanpa usaha untuk menjauh dari siksa neraka.

Kalau bukan karena rahmat, ampunan, dan ridha Allah, mustahil kita mendapat surga dan dijauhkan dari neraka. Ibadah selama seribu tahun pun belum tentu dijamin bakal mencicipi nikmatnya surga kalau dibarengi dengan rasa sombong.

Itulah barangkali keresahan hati Syeikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari yang kemudian menjadi untaian kalimat indah:

’’Maksiat yang mewariskan rasa rendah diri dan membutuhkan rahmat Allah, lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan kesombongan’’.

Maka, saya mengajak agar kita semua mampu melakukan kontemplasi dan perenungan yang mendalam sebelum Ramadan tahun ini pergi meninggalkan kita. Sebab belum tentu kita dipertemukan dengan Ramadan berikutnya. 

Sudahkah mengisi dan menghiasi hari-hari selama Ramadan dengan penyesalan yang menimbulkan rasa membutuhkan rahmat Allah?

Semoga Ramadan ini kita adalah orang yang mendapat gelar takwa dari Allah. Wallahu A’lam. 
Previous Post
Next Post

0 komentar: