Jumat, 31 Desember 2021

Pidato Lengkap Gus Yahya pada Haul Ke-12 Gus Dur di Ciganjur


Sumber gambar: tangkapan layar TVNU

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Terpilih masa khidmat 2021-2026 KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya berkesempatan hadir dan menyampaikan pidato dalam agenda Haul Ke-12 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Kamis 30 Desember 2021.

"Mari Kita Bangun Gerakan Menghidupkan Gus Dur!" kalimat inilah yang tetiba menghentakkan saya bahwa mungkin saja, saat ini adalah saat-saat di mana Gus Dur harus benar-benar dihidupkan.

Berikut pidato lengkap Gus Yahya di Haul Ke-12 Gus Dur: 

Pada malam ini kita memperingati Haul Gus Dur yang ke-12. Dua belas tahun yang lalu, Gus Dur kembali ke hadirat Allah. Dua belas tahun ini, kita semua terpaksa meneruskan hidup tanpa kehadiran Gus Dur secara fisik, bersama-sama kita.

Tapi kita bisa merasakan dan saya tahu, saya bisa merasakan betapa saudara-saudara semua, sampai detik ini, terus menerus merindukan Gus Dur. Dan kita tahu di luar sana, sekian banyak orang, anak-anak bangsa, anak-anak kemanusiaan, tidak henti-hentinya merindukan Gus Dur.

Kita merindukan Gus Dur karena kita semua masih merasakan kebutuhan akan kehadiran Gus Dur. Di tengah berbagai masalah, sekian banyak kesulitan yang melingkupi kita, melingkupi bangsa ini, merundung kemanusiaan, alangkah sedikit yang tampil dengan kecerdasan untuk menawarkan jalan keluar seperti Gus Dur.

Di tengah mendung moral, yang menggelapi dunia di sekitar kita, alangkah sedikit yang hadir di tengah-tengah manusia dengan kejujuran penuh seperti Gus Dur. Di tengah-tengah begitu banyak ketidakpastian masa depan, kekalutan, alangkah sedikit yang mampu tampil dengan gerakan-gerakan profetik seperti Gus Dur.

Rasanya, tidak ada lagi hari ini seorang manusia yang bisa berperan menggantikan Gus Dur.

Tetapi saudara-saudara sekalian, kita semua mengenal Gus Dur. Kita menghabiskan masa belajar kita untuk belajar tentang Gus Dur. Kita tahu, apa yang ada dalam diri Gus Dur. Kita tahu bahwa Gus Dur adalah idealisme dan visi.

Idealisme Gus Dur adalah idealisme kemanusiaan inklusif, kemanusiaan universal, bahwa kita sebagai manusia harus berpihak kepada seluruh manusia tanpa kecuali, tanpa peduli latar belakang apa pun. Visi Gus Dur adalah bergerak untuk mengupayakan transformasi realitas, transformasi masyarakat seluas-luasnya menuju kualitas kehidupan yang lebih baik untuk semua.

Baca: Gus Yahya Ajak Masyarakat Bangun Gerakan Menghidupkan Gus Dur

Mungkin kita punya peluang untuk menghadirkan kembali apa yang dulu pernah dihadirkan oleh Gus Dur apabila kita mengupayakannya bersama-sama.

Kalau tidak ada satu orang pun yang bisa menggantikan Gus Dur, mari kita sediakan seribu orang untuk bekerja seperti Gus Dur. Kalau seribu orang belum cukup untuk menghadirkan Gus Dur, mari kita sediakan sejuta orang untuk bekerja laksana Gus Dur.

Kalau sejuta orang belum cukup, mari kita ajak seluruh umat manusia untuk bersama-sama mengadopsi, mempercayai nilai-nilai yang dulu diperjuangkan oleh Gus Dur, gerakan yang dulu dijihadi oleh Gus Dur, nilai-nilai kemanusiaan universal dan perjuangan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, yang lebih mulia bagi peradaban umat manusia seluruhnya.

Mari kita bangun gerakan menghidupkan Gus Dur! (*)

Kamis, 30 Desember 2021

Model Kepemimpinan Nabi Ibrahim


Ilustrasi Nabi Ibrahim. Sumber: Islamidotco


Oleh: Rahmat Wahyudin, Lutfi Amsori, dan Fika*

Konsep dasar tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam dirumuskan oleh Prof Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Prof Dr Wan Mohammad Nor Wan Daud dalam buku The ICLIF Leadership Competency Model (LCM) an Islamic Alternatif (Kuala Lumpur): The Intrernational Centre for Leadership in Finance (ICLIF) yang diterbitkan pada 2007. Menurut dua pakar pemikiran Islam itu, kepemimpinan bukanlah semata-mata soal bagaimana mengatur perubahan, tetapi kepemimpinan adalah amanah (trust). Dari konsep amanah inilah, lahir konsep kewajiban dan tanggung jawab.

“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban,” begitu pesan penting Rasulullah. Karena itu, soal kepemimpinan dalam Islam adalah soal agama, amanah, dan pertanggungjawaban kepada Allah. Bukan semata-mata soal kuasa, tahta, harta, dan tanggung jawab kepada sesama manusia. Bisa dikatakan, pemimpin ideal merupakan dambaan setiap insan, meskipun tak mudah menjumpainya.

Al-Qur'an menyebut Nabi Ibrahim 'alahissalam sebagai sosok pemimpin ideal. Hal itu termaktub dalam QS An-Nahl ayat 120-122. Allah berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.

Kepemimpinan Nabi Ibrahim ditegaskan langsung oleh Allah dalam ayat itu dengan menyebutnya sebagai ummah. Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lafadz ummah pada QS An-Nahl ayat 120 itu bermakna pemimpin yang dijadikan teladan dan mengajarkan kebaikan kepada manusia. Kepemimpinan ini menyebabkannya sukses di dunia dan akhirat. Nabi Ibrahim menjadi orang yang terpilih dan ditunjuk Allah kepada jalan kebenaran.


Tiga Kriteria Utama Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim disebut sebagai imam, karena memiliki tiga kriteria utama. Pertama, qânit lillah yang bermakna tunduk kepada Allah. Syekh Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur'an menjelaskan bahwa qânit yang asal katanya qunût berarti luzûmut-tha'ah ma'al khudu' atau senantiasa taat dan tunduk. Dengan kata lain, tidak pernah menyimpang dan membantah titah-Nya. Lebih-lebih sampai meragukan dan mengingkari keberadaan-Nya. Nabi Ibrahim jauh dari sifat skeptis, relativis, gnostis, dan pluralis dalam berkeyakinan kepada Allah. Demikian juga jauh dari sikap culas dan maksiat dari perintah dan larangan-Nya.

Kedua, hanîf yang berarti lurus dalam jalan kebenaran. Makna asal dari hanîf atau hanaf ini, sebagaimana dikemukakan Ar-Raghib, sama dengan janaf yakni mail: berbelok atau menyimpang. Bedanya, hanîf atau hanaf menyimpang dari kesesatan menuju kebenaran, sementara janaf menyimpang dari kebenaran menuju kesesatan (lihat QS Al-Baqarah: 182). Pengertian hanîf ini diperkuat dengan penegasan Allah dalam ayat itu yakni wa lam yakun minal musyrikin yang artinya tidak pernah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Karena itu, dengan tegas Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud hanîf adalah menyimpang dari syirik menuju tauhid.

Hanif adalah kejujuran dan keterusterangan untuk hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan,  dan mengakui Ad-Dinul Islam sebagai jalan kebenaran, meski harus berbeda dan berselisih dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama (QS Al-Mumtahanah: 4). Tujuh ayat yang menyatakan hanîf dalam Al-Qur'an selalu disertai dengan pernyataan muslim dan tidak termasuk golongan musyrik (Lihat QS Al-Baqarah: 135, Ali ‘Imran: 67 dan 95, Al-An’am: 79 dan 161, An-Nahl: 120 dan 123).

Ketiga, syukur. Maksud kata ini, sebagaimana dijelaskan Ar-Raghib adalah mengakui nikmat dan memperlihatkannya. Mengakui nikmat adalah dengan hati, sementara memperlihatkannya melalui lisan dan amal perbuatan. Nabi Ibrahim seorang yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah. Hatinya senantiasa mengakui keagungan-Nya, lisannya tidak pernah kering dari pengakuan akan nikmat-nikmat-Nya, dan amalnya tidak pernah menyimpang dari tuntunan-Nya.

Sosok pemimpin seperti Nabi Ibrahim jelas jauh dari sifat zalim, korup, dan permusuhan. Nikmat berupa sumber daya alam yang melimpah pasti akan dipergunakan sebagaimana peruntukannya, bukan malah dijadikan lahan korupsi. Nikmat jabatan juga tidak digunakan untuk memperkaya diri dengan melupakan rakyatnya, tetapi akan digunakan untuk mengabdi dengan penuh amanah.

Ketiga kriteria di atas menggambarkan sosok pemimpin yang berkarakter kuat yakni lurus dalam akidah serta mantap dalam ibadah dan akhlak.


Ujian berat

Pemimpin lahir dari proses ujian yang berat. Allah menegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 124 bahwa Nabi Ibrahim dijadikan pemimpin karena telah berhasil melalui proses ujian yang berat. Kalaupun Nabi Ibrahim meminta agar keturunannya juga dijadikan para pemimpin, Allah tetap menegaskan bahwa mereka harus berhasil melewati ujian-ujian terlebih dulu dengan tidak gagal (baca: zalim). Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.

Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan, Allah telah menguji Nabi Ibrahim dengan thahârah: lima di kepala dan lima di badan. Di kepala yaitu mencukur kumis, berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, menggosok gigi, dan bersisir rambut. Di badan berupa memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci bekas buang air dengan air (Tafsir Ibnu Katsir). Meski demikian, menurut para ulama tafsir, tidak berarti bahwa ujian Nabi Ibrahim itu hanya thahârah saja, ini hanya sebagian ujiannya saja. Para ulama tafsir umumnya menafsirkan kalimât yang merupakan bentuk ujian dalam QS Al-Baqarah ayat 124 itu dengan ‘semua perrintah dan larangan’.

Jika merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim, Allah telah menguji dengan berbagai ujian yang berat. Pertama, berkorban dengan diri sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai harus menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup (QS Al-Anbiya: 51-69). Kedua, berkorban dengan keluarga ketika harus meninggalkan anak istrinya di Bakkah (QS Ibrahim: 37).  Ketiga, berkorban dengan anak ketika harus menyembelih Isma’il (QS As-Shaffat: 102-107). Keempat, berkorban dengan harta dan tenaga ketika harus membangun Masjidil Haram (QS Al-Baqarah: 125-127).


Keyakinan

Hanya sedikit yang mampu lulus dari ujian-ujian seperti yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Jika dirumuskan dengan singkat, ciri kepemimpinan Nabi Ibrahim itu dibangun dengan konsep dasar yang kuat, yaitu keimanan yang kokoh dan semangat pengorbanan yang tinggi. Keimanan yang kokoh mampu mengantarkan Nabi Ibrahim ke tingkat pengorbanan yang agung. Demi idealisme, menegakkan Tauhid, Nabi Ibrahim rela diaci-maki kaumnya sendiri. Ia ikhlas berhadapan dengan keluarganya sendiri dan tak surut langkah saat raja dan kaumnya mengusirnya. Demi keyakinan, Nabi Ibrahim berani melangkah ke dalam kobaran api.

Karena itulah, keyakinan (conviction) akan kebenaran dan ketinggian cita-cita wajib dimiliki seorang pemimpin. Sebab, hanya dengan keyakinan, seorang mampu meraih cita-cita besar. Penyair legendaris Pakistan, Dr Mohammad Iqbal menulis dalam puisinya Bal-e-Jibril yang berisi tentang bahaya pendidikan barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.

Hilangnya keyakinan dari diri seorang manusia, kata Iqbal, adalah lebih buruk dari perbudakan. Keyakinanlah yang telah menjadikan seorang Ibrahim dengan tenang memasuki kobaran api. Keyakinanlah yang memungkinkan seorang mampu mencapai derajat yang tinggi berupa pengorbanan diri. Iqbal mengingatkan: Wahai Anda, yang telah jadi korban peradaban modern! Ingatlah, hilang keyakinan lebih buruk dari perbudakan! 

Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of  conviction is worse than slavery.” (Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964).


Kesimpulan

Berbagai perilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia saat ini adalah akibat dari kelemahan orang-orang shaleh. Praktik-praktik buruk seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai ketidakadilan dalam pemerintahan yang dilakukan orang-orang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang shaleh. Karena itu, orang-orang beriman haruslah memilih orang shaleh yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan NabiIbrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah dan bertanggung jawab juga kepada rakyat.

Untuk memilih pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat rekam jejak kepribadiannya di masa lalunya. Secara vertikal, ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah. Sementara secara horizontal, ia selalu berbuat adil, bijaksana, penuh kasih sayang, dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Karena atas dasar inilah, Nabi Ibrahim dipilih Allah sebagai imam bagi semua manusia.

Hanya dengan kejelian dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shaleh, beriman dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Pencipta, di samping berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya. Negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi dan menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan dan loyalitas kita kepada Allah. Caranya dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang telah diturunkan-Nya, sebagai apa pun kita dan di mana pun posisi kita, baik dalam kehidupan berkeluarga atau bermasyarakat dan berbangsa.

Karenanya, Rasulullah berpesan kepada kita agar selalu bertakwa kepada Allah di mana pun kita berada:

 

فاتقوا الله يا عبادالله، وصلوا وسلموا على نبيكم كما أمركم الله في محكم كتابه: “إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما”. اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن دعا بدعوته ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.

 

اللهم اغفرلنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين .

 

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه. اللهم ادفع عنا الغلاء والوباء والبلاء والفحشاء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدائد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة إنك على كل شيء قدير


*) Tulisan ini disusun sebagai tugas membuat makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi. Seluruh konten adalah tanggung jawab para penulis.


Minggu, 06 Juni 2021

6 Juni Ke-27

 

Aru Elgete. Foto: Zulfikar

Tak terasa, perjalanan sudah sangat panjang rupanya. Berbagai fenomena kehidupan telah dilalui dengan beragam perasaan. Ada sedih, gembira, kecewa, sakit hati, dan bangga. Semua bercampur, datang silih berganti. 

Pada 6 Juni ke-27, sebagaimana yang sudah sering dikatakan, saya ibarat sedang berbuka puasa. Saat ini tengah menikmati berbagai hidangan yang melegakan. Saya kadang menyebutnya sebagai 'santapan ruhani' yang bagi setiap orang, pasti berbeda-beda. 

Saya masih ingat betul perjalanan dari Juni ke Juni. Beberapa tahun lalu misalnya, saya sedang berasyik-masyuk dengan kesibukan yang sungguh tidak produktif. Saya pernah pula jadi seperti 'sapi perahan' yang selalu dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. 

Saya pernah juga dijauhi, hanya karena memegang teguh prinsip. Sungguh, sejak kecil, saya selalu dididik untuk tidak berkawan dengan orang-orang munafik. Bapak di rumah pun selalu mengajarkan agar selalu komitmen dengan prinsip supaya tidak menjadi munafik. 

Dalam hidup, saya punya prinsip yang tidak bisa diganggu, yakni saya sebagai manusia berjalan di atas dua kaki, kanan dan kiri. Fungsinya, kaki kanan untuk berteman dan kaki kiri untuk melawan. Semua tergantung dari bagaimana sikap yang saya terima. Kalau buruk, saya akan melawan dengan cara saya sendiri. Tapi kalau baik, pertemanan akan sangat baik saya jaga. 

Selama perjalanan menuju 6 Juni ke-27 ini, saya banyak melihat orang-orang yang pernah saya lawan itu, kini masih saja berpuasa. Belum sama sekali berbuka. Mereka masih disibukkan dengan persoalan remeh-temeh: mencari panggung di media sosial. Sebab, eksistensi akan membuahkan apresiasi. Keduanya, masih jadi santapan mereka. 

Sementara saya, sudah sangat kenyang dengan makanan bernama apresiasi dan eksistensi. Saya sudah sejak lama, bergelut dalam hal membuat panggung untuk menciptakan eksistensi dan apresiasi di media sosial. Itu hal mudah. Saya punya banyak peluru sekaligus senjata untuk bertempur. 

Kini, pada 6 Juni ke-27 ada banyak rencana yang tengah dipersiapkan. Saya tidak mungkin lagi mengurusi sesuatu yang remeh-temeh sehingga kehabisan waktu untuk mencapai target tertentu. 

Sejak Juni ke-27 ini, saya berkomitmen untuk senantiasa meningkatkan kualitas penghambaan kepada Allah. Hal ini sebagaimana yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Kata Allah, jin dan manusia diciptakan di bumi tak lain hanya bertugas untuk menghamba kepada-Nya.

Karena itu, saya bersumpah tidak akan menghamba kepada selain Allah demi mendapat proyek, harta, dan jabatan. Begitu pula saya tidak akan memperhambakan orang lain demi kepentingan keduniaan. Sebab menghamba dan memperhambakan terhadap sesuatu selain Allah adalah syirik, dosa terakbar yang tidak akan diampuni-Nya. 

Saya bersyukur, karena di usia hampir tiga dasawarsa ini, telah diingatkan tentang pemahaman yang dapat menumbuhkan rasa keimanan paling mendasar itu. Sebab dalam soal menghamba dan memperhambakan itu, jangankan saya yang masih bergelimang dosa, seorang kiai pun bisa saja terjerumus ke dalam perbuatan syirik itu.

Itulah virus sesungguhnya yang harus kita hindari, buat siapa pun, baik pendosa seperti saya maupun para kiai dan tokoh agama yang berkalung kehormatan serta kesucian. Menghamba kepada Allah dan memperhambakan diri sendiri di hadapan Allah, itu berarti berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang paling berkuasa. Dia-lah yang layak memberikan penghidupan pada kita, bukan yang lain. 

Nah dengan pemahaman yang seperti itu, saya jadi semakin ringan menjalani hidup. Tanpa beban sedikit pun. Saya juga akan semaksimal mungkin menghindari tawaran orang lain yang berpotensi menjadikan saya 'berutang budi'. Itu pasti saya hindari.

Sebab utang budi terbesar yang saya punya, biarlah hanya kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik saya selama berpuluh tahun. Saya tidak mau menambah beban utang budi kepada selain orang tua saya. 

Terima kasih, saya ucapkan, kepada orang-orang yang telah memberikan tawaran dan iming-iming kenikmatan duniawi. Berbagai hal kebendaan, memang masih menggiurkan. Tetapi bagi saya saat ini, tidak ada yang lebih menggiurkan daripada memegang prinsip agar selalu berhindar dari perbuatan syirik dan berutang budi kepada orang lain. Ini nikmat dan menggiurkan sekali. 

Semoga di perjalanan menuju Juni ke-28 hingga Juni-Juni yang ke sekian, saya selalu diselamatkan untuk tidak terjerumus. Sebagaimana telah Allah selamatkan saya dari gerombolan kaum munafik, beberapa waktu lalu.

Sungguh, saya pun masih munafik, karena berkali-kali menolak previlese atau akses mudah untuk menjadi kaya. Padahal kaya adalah keinginan semua orang. Ya, saya munafik untuk itu. Biarlah. 

Semoga segala hal baik menyertai saya dan kita semua. 


Bekasi, 6 Juni 2021

Rabu, 26 Mei 2021

Kisah Guru dan Murid: Menutup Aib

 

Ilustrasi. Sumber: ideapres.com


Suatu ketika, sekelompok pemuda sedang menghadiri pesta pernikahan teman sejawatnya semasa duduk di masa putih-biru. Salah satu di antara mereka adalah Asep. Setibanya di lokasi, ia melihat Pak Solihin, seorang guru yang dulu pernah menjadi walikelasnya.

Lalu dengan sangat cekatan, karena dibalut rasa rindu yang menebal, Asep langsung menghampiri dan mengecup punggung tangan sang guru dengan penuh takzim (penghormatan) dan takrim (pemuliaan).

Usai mencium tangan gurunya itu, ia membuka percakapan seraya duduk di kursi kosong sebelahnya. "Masih ingat saya kan, pak guru?"

"Wah maaf, saya lupa."

"Masa sih bapak nggak ingat saya?" tanya Asep penuh heran.

Dia melanjutkan, memberi gambaran siapa dan bagaimana dirinya saat di sekolah dulu.

"Saya Asep, Pak. Murid yang dulu nyolong jam tangan punya teman di kelas."

"Ketika anak yang kehilangan jam itu menangis, bapak menyuruh kita untuk berdiri semua, karena akan dilakukan penggeledahan saku murid semuanya," lanjut Asep bercerita.

"Saat itu saya berpikir, saya akan dipermalukan di hadapan teman-teman dan para guru. Bahkan bakal jadi bahan ejekan dan hinaan. Mereka pasti akan melabeli saya sebagai pencuri. Harga diri saya pasti akan hancur selama hidup saya."

Pak Solihin  tetap dengan saksama menyimak cerita Asep sedari awal tadi, sembari berkali-kali menghisap rokok kretek kesukaannya. 

Asep melanjutkan uraiannya, "Bapak menyuruh kami berdiri menghadap tembok dan menutup mata kami semua. Kemudian bapak menggeledah kantong kami. Ketika tiba giliran saya, bapak ambil jam tangan itu dari kantong saya, dan bapak lanjutkan penggeledahan sampai murid terakhir."

"Setelah selesai, bapak menyuruh kami membuka penutup mata, dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Saat itu, saya takut bapak akan mempermalukan saya di depan teman-teman saya. Tapi rupanya bapak tunjukkan jam tangan itu dan langsung bapak berikan kepada pemiliknya tanpa menyebutkan siapa yang mencuri."

"Selama saya belajar di sekolah itu, bapak tidak pernah bicara sepatah kata pun tentang kasus jam tangan itu. Bahkan, tidak ada satu orang pun guru atau murid yang bicara tentang pencurian jam tangan itu."

Setelah menjelaskan panjang-lebar, Asep mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan atas kekagumannya kepada Pak Solihin untuk meyakinkan ingatan bahwa dia-lah murid yang dulu pernah ditolong oleh sang guru. 

"Bapak masih ingat saya, kan? Saya adalah murid bapak. Kisah tadi itu adalah cerita pedih yang akan selalu saya ingat sepanjang hidup. Saya sangat mengagumi bapak. Sejak peristiwa itu saya berubah menjadi orang yang baik dan benar hingga sekarang saya jadi orang sukses. Saya juga mencontoh semua akhlak, sikap, dan perilaku bapak."

Guru yang dikagumi Asep itu pun akhirnya buka suara.

"Sungguh aku tidak mengingatmu, karena pada saat menggeledah itu aku sengaja menutup mata agar tidak mengenalimu. Aku tidak mau merasa kecewa atas perbuatan salah satu muridku. Aku sangat mencintai semua murid-muridku."

Pak Solihin menjelaskan kepada Asep bahwa saat ini sudah sama sekali tidak ada orang suci seperti para Nabi yang ma'shum atau terbebas dari dosa. Sebab yang ada sekarang hanyalah orang-orang yang aib atau keburukannya masih ditutup oleh Allah.

Ia lantas menyampaikan sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam At-Tirmizi. Disebutkan bahwa Allah akan menutup aib orang yang senantiasa menjaga aib orang selama di dunia. 

ومن ستر على مسلم في الدنيا ستر الله عليه في الدنيا والاخرة

"Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim selama di dunia, Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat."

Setelah mendengar penjelasan Pak Solihin, Asep berkali-kali terisak dan menyeka air mata. Asep merasa haru dan bangga pada keteladanan sang guru. Menurutnya, orang semacam Pak Solihin, saat ini sudah sangat sulit ditemukan.

"Terima kasih, Pak, saya dapat banyak pencerahan dari Bapak. Terima kasih juga karena sudah menutupi Aib saya."

"Iya sama-sama, Sep. Sana kamu makan dulu. Saya pamit pulang, ya. Salam buat teman-temanmu yang lain," kata Pak Solihin, seraya mematikan rokoknya yang sudah pendek dengan diinjak. Ia kemudian berdiri, menyalami Asep, dan berjalan ke luar arena pesta pernikahan. 

Jumat, 14 Mei 2021

Sebuah Catatan: Melupakan Pesan Ramadan


Foto: Syakir Niamillah Fiza

Puasa Ramadan sudah usai. Hari Raya Idulfitri telah tiba. Kini, segala kebaikan, mulai dan sedang dipertaruhkan. Kualitas ibadah pada sebulan penuh, akan dipertontonkan di hari-hari ke depan.

Sudah tidak ada lagi santunan anak yatim, yang digelar tak ubahnya hanya sebatas seremonial dan formalitas, bahkan tidak menyentuh ke akar substansi sama sekali.

Tayangan islami; mulai dari perlombaan menghafal Al-Qur'an, kontestasi ceramah agama, pesantren kilat, kultum Ramadan, tabligh akbar di televisi, hingga iklan sirup di siang hari, sudah habis kontraknya.

Masjid dan musala kembali ditinggalkan. Kotak amal tak lagi dihiraukan keberadaannya, kecuali saban jum'at di masjid-masjid. Al-Qur'an, lagi-lagi menjadi pajangan dan penghuni paling atas di lemari atau rak buku.

Diskotik, hotel esek-esek, warung remang-remang, pekerja seks, pria hidung belang, dan segala macam kemaksiatan bersuka-cita menyambut kepergian Ramadan. Para penceramah dan ustaz-ustaz kampung, kehilangan 'honorarium' berupa uang beserta kain sarung.

Barangkali, hal-hal itulah yang menjadi kesedihan setiap kali Ramadan pergi. Parahnya, sedih pun hanya di mulut dan kata-kata, sementara perilaku sama sekali tidak menggambarkan kesedihan. 

Pada kenyataannya, orang-orang justru berbahagia menyambut datangnya Hari Raya Idulfitri. Bukan karena mengembalikan diri pada kesucian atau lantaran puasa dan tarawih yang tak pernah absen sekali pun, juga bukan karena khatam Al-Qur'an lebih dari tiga kali.

Namun, karena Idulfitri menawarkan segala macam kebebasan. Karena selepas Ramadan, segala hal yang semula ditutup-tutupi, kini terbuka lagi secara gamblang. Lebaran menawarkan kenikmatan yang tidak ada pada Ramadan.

Menengok ke belakang, beberapa hari lalu.

Saat-saat menjelang Ramadan berakhir, orang-orang sibuk menyiapkan (dan bahkan memaksa untuk membawa) segala macam kebutuhan untuk pulang ke kampung halaman. Menemui orang tua, handai taulan, dan kerabat semasa kecil. Bersilaturahmi serta menjalin kembali persaudaraan yang telah renggang selama setahun.

Beberapa hari yang lalu, sebelum tiba lebaran, orang-orang yang memiliki kedudukan di perusahaan dan organisasi, melancarkan aksi pamer jabatan. Mereka membuat desain pamflet dengan diterangkan nama dan jabatannya, sembari dibubuhi kata-kata indah nan manis.

Saat tiba lebaran, usai menemui sanak saudara dan kerabat (silaturahmi), linimasa media sosial dipenuhi sukacita yang (barangkali) sangat berlebihan. Sebab terlalu bahagia, sebagian besar orang (termasuk saya), tidak lupa untuk mengunggah foto ke beranda akun pribadi.

Narsisme terpampang jelas. Bahkan, kuburan pun diajak untuk berswafoto. Semua sibuk merunduk. Mengetik keterangan (caption) foto semenarik mungkin agar disukai dan dikomentari banyak orang. 

Barangkali ada beberapa pesan Ramadan yang kurang mematri jiwa. Pesan mendalam tentang hidup yang harus terus melihat ke bawah. Merasakan lapar sebagaimana saudara kita yang susah-payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya di atas rumah gerobak, atau di teras-teras ruko pinggir jalan. Tujuannya, agar kita mampu rendah hati, selalu merasa kecil, dan tak memiliki kekuatan apa pun jika tanpa pertolongan Allah.

Barangkali ada yang lupa, kalau ternyata ibadah ritual adalah tonggak dari berdirinya bangunan sosial. Ramadan juga berpesan agar hidup tak korup. Berlaku jujur, sederhana, amanah, dan tidak riya' atau menampilkan kepongahan.

Sebab, apa yang menjadikan puasa sebagai sesuatu yang pantas disombongkan? Toh, puasa adalah ibadah privat, antara Allah dan seorang hamba. Nilai pahala yang diberikan, diterima atau tidak ibadah selama Ramadan, dan seberapa tingginya kualitas amal saleh yang dilakukan, hanya Allah-lah yang tahu.

Barangkali juga ada yang tertinggal dari Ramadan, yakni soal menyembunyikan keburukan karena ada rasa malu di dalam diri. Bahasa positifnya, bukan munafik, tapi menutupi aib.

Kini, semua terpampang jelas dan kembali mengemuka. Bahkan, lebih dekat dari mata dan telinga. Keburukan atau kemaksiatan kini telah terdigitalisasi. Sejak bangun tidur hingga tertidur lagi, semuanya hadir dalam genggaman.

Lalu, pesan Ramadan apa yang akan kita bawa untuk bekal menuju perjalanan yang jauhnya hingga menempuh kurang lebih 330 hari?

Wallahua'lam...


*Catatan ini pertama kali ditulis pada Juni 2019

Selasa, 13 April 2021

Menyambut Ramadhan (4)


Ziarah di makam sesepuh Buntet Pesantren Cirebon


Siapa yang tak bahagia kedatangan Ramadhan?

Semua orang menyambutnya dengan sukacita. Mengunjungi makam-makam leluhur sebelumnya, sebagai bagian dari pelestarian tradisi Islam Nusantara

Orang-orang mulai mengatur jadwal. Menghubungi kerabat dan handai taulan yang dikenal. Mendiskusikan pertemuan untuk sekadar reuni, seperti bukber dan sahur bersama di sana-sini. Padat sekali.

Selain itu, ada pula yang mulai mengatur jadwal ceramah. Panitia Ramadhan di masjid dan mushala, mulai mencari tokoh agama terkemuka. Mengisi mimbar-mimbar keagamaan sebelum tarawih atau usai shalat isya. Semua sibuk menyambut Ramadhan dengan sukacita.

Kini, ada media sosial yang menghantui laksana pisau bermata dua. Menjadi baik jika dimanfaatkan sesuai porsi, tetapi menjadi buruk saat dimanfaatkan demi kepentingan duniawi.

Orang-orang di kota misalnya, tak jarang mengatasnamakan dakwah untuk memperjelas dan mempercantik citra diri. Semula yang bersifat privasi, kini dipublikasi dengan sedemikian rupa. Dibumbui kata-kata manis, mengajak pada kebaikan.

Padahal, barangkali, bisa saja demi sebuah pengabaran diri atau orang kota menyebutnya: pen-citra-an.

Ya, Ramadhan memang seperti itu. Selain sebagai ladang untuk memperbanyak amal kebaikan, juga menjadi ajang berpura dan menyombongkan diri. Lebih-lebih di era digital ini.

Ibadah di bulan suci tak lagi suci, jika dibumbui bermacam kata-kata bersampul suci. Diunggah ke media sosial
dengan maksud mendapat apresiasi.

Bijak bestari bertutur, ibadah di bulan suci tak sekadar menahan nafsu lapar dan dahaga, tetapi juga seluruh laku dan gerak mesti dijaga.

Sebab, Ramadhan adalah penyatu jiwa kepada Pemiliknya. Lucu, jika Ramadhan sudah tiba, hati justru jauh dari-Nya.

Sombong, angkuh, dan berpura-pura dalam ibadah. Itulah penyebab tercipta jarak antara hamba dengan Tuhannya.

Maka, seluruhnya mesti dibatasi. Bukan hanya soal lapar dan dahaga di siang hari, tetapi juga eksistensi di berbagai kanal media sosial milik pribadi.

*Ditulis pertama kali di Bekasi pada 2019

Kamis, 08 April 2021

Menyambut Ramadhan (3)

 






Ramadhan bulan mulia.

Sebuah arena kebaikan untuk saling berlomba. Sebagai tempat melakukan peningkatan kadar intelektual. Juga ajang memperhalus rasa, menyeimbangkan raga,
serta melatih kejujuran dalam dada.

Ramadhan bulan pendidikan.

Orang-orang beriman dididik, agar menjadi takwa dan menjadi manusia berkualitas paling baik.

Ramadhan bulan cinta.

Segala yang dilakukan di dalamnya merupakan manifestasi cinta. Banyak kesempatan emas tercipta. Kesempatan-kesempatan itu dimanfaatkan agar cinta terejawantah pada Pemilik Jiwa.

Namun bagi para bijak bestari, cinta tak butuh eksistensi karena cinta bersemayam di ruang paling sembunyi, dalam sanubari.

Karenanya, cinta tak butuh peng-aku-an. Tak butuh hormat. Cinta juga tak perlu apresiasi yang membuatnya kian meninggi. Cinta tak pernah berkenan pada perasaan jemawa, walau sedikit saja.

Lebih jauh,
Cinta bukan sesuatu yang dibangun dari pondasi kemunafikan dan kepura-puraan.

Ramadhan tak pernah beri ruang bagi kepura-puraan. Kalaupun iya, maka sungguh menyedihkan. Atau, barangkali, sebagian besar manusia memanfaatkannya untuk meraup keuntungan.

Orang-orang berlomba-lomba tampil di muka, memakai kostum keagamaan. Penceramah-penceramah pun demikian. Mereka mulai mencari bahan untuk diorasikan di atas mimbar kehormatan.

Hal yang  dikhawatirkan adalah saat mereka, para penceramah-penceramah itu, menggunakan agama seraya memanfaatkan Ramadhan demi mendapat keuntungan semata.

Sekalipun berkali-kali mulut sudah berbusa dan terus berucap: lillahi ta'ala.


*ditulis pertama kali di Bekasi pada 2019

Senin, 05 April 2021

Menyambut Ramadhan (2)





Ramadhan segera tiba.

Orang-orang sibuk berbenah, berlomba mencitra diri dengan kebaikan, mempertontonkan amal ke banyak kanal media sosial. 


Ramadhan segera tiba.

Orang-orang mulai persiapkan diri. Dalam setahun, barangkali, hanya sekali berkunjung dan berwisata ke rumah anak yatim-dhuafa.

Panti asuhan di mana pun berada, penuh tamu. Mendapat rezeki lewat perantara orang kaya. Orang-orang kaya berupaya membersihkan hartanya, seraya meningkatkan elektabilitas
juga popularitas. Barangkali bisa naik tahta hingga yang paling atas.

Ramadhan segera tiba.

Di pinggir-pinggir jalan, menjamur gembel dan gelandangan. Meminta belas kasih agar diberi rezeki untuk makan. Jumlah mereka akan lebih banyak dari bulan-bulan sebelum Ramadhan.

Barangkali seperti itu akting mereka menjadi kaum miskin kota. Mengharap nasi lalu bertamasya dari masjid ke masjid, untuk sekadar dapat memulai dan membatalkan puasa.

Tayangan di layar kaca berubah drastis. Seluruhnya menjadi religi, artis-artis lekas-lekas mengubah diri, masing-masing berperan menjadi saleh dan salehah. Saat Ramadhan usai, peran pun selesai

Ramadhan segera tiba.

Tayangan-tayangan gosip ibu kota, pasti menampilkan aktivisme selebriti yang berbeda, yang rajin beribadah dan bersedekah. Itulah kapitalisasi media yang merasuki sendi-sendi agama. Kaum kapital akan tetap untung, mereka tak mau buntung.

Meski dengan kepura-puraan hanya dalam waktu sebulan, intinya adalah mencari dan mendapat keuntungan. Lumayan.

Nun jauh di sebuah kota, dari negeri sengkarut yang tak tertata, saat nanti Ramadan tiba, warung makan rupanya tetap buka. Entah setengah pintu atau hanya ditutup bagian depan, dengan papan setengah badan.

Ramadhan segera tiba.

Orang-orang yang tak kuat puasa harus sembunyi, bahkan terkesan dipaksa untuk sembunyi. Sungguh, menjadi minoritas di negeri itu rentan siksaan baik fisik maupun psikis.

Siapa yang tak puasa nanti, siap-siaplah menerima siksa duniawi. Sementara solusi agar terhindar dari siksa adalah pura-pura.

Lalu, para bijak bestari bertanya-tanya:

Mengapa harus ada kepura-puraan di bulan penuh cinta? Padahal cinta tak pernah berkenan pada kebohongan.

Benarkah kepura-puraan itu merupakan bentuk penghormatan pada Ramadhan?
Betulkah kemuliaan Ramadhan luntur jika tak dihormati?


*Ditulis pertama kali di Bekasi pada 2019

Selasa, 30 Maret 2021

Menyambut Ramadhan




Apa yang istimewa dari bulan kesembilan tahun hijriyah ini?

Manusia-manusia modern rupa-rupanya hanya berupaya mencari keuntungan semata.

Tayangan iklan, program-program religi, hingga busana muslim-muslimah segera disajikan ke muka.


Apa yang istimewa dari bulan penuh ampunan ini?

Orang-orang di kota tetap saja berkelahi dengan dalih menghargai.

Padahal di kitab suci, sama sekali tak ada perintah untuk menghargai orang yang berpuasa.

Atau jangan-jangan puasanya orang kota hanya pura-pura suci?

Tujuannya, barangkali, agar mendapat ampunan dan penghargaan dari sesama manusia, bukan dari yang memiliki ampunan sungguhan.


Apa yang istimewa dari bulan kasih sayang ini?

Toh ternyata, masih saja ada kata-kata sindir kepada yang tidak menjalankan kewajiban.

Padahal tentu ada banyak alasan.

Kenapa tak bisa saling sayang dengan bertabayun meminta penjelasan?


Apa yang istimewa dari bulan pahala yang berlipat ganda ini?

Jika ternyata agenda-agenda santunan kepada anak yatim dan dhuafa hanya jadi ajang pencitraan.

Berswafoto, lalu diunggah ke seluruh akun media sosial milik pribadi.

Pengaturan privasi diatur publik, dibumbui tulisan pemantik mencitra diri, lalu senang mendapat puji. 

Hanya itu?


Ramadan, bagiku, sejak dulu, adalah bulan kepura-puraan tanpa ragu.

Semua orang berusaha menutup-nutupi diri, agar terlihat lebih saleh daripada kemarin hari.

Kemudian tampil membawa ayat sebiji dan menjadikan mimbar sebagai panggung unjuk gigi, untuk menyalahkan yang lain, menghujat yang tak sama, menafikan yang berbeda.


Marilah segera menjadi munafik, menampilkan diri yang terbalik, seolah-olah baik, tapi bejat di dalam bilik-bilik.


Marilah segera menjadi munafik, menahan haus dari sinar terik, menjaga lapar hingga rembulan naik, tapi sepanjang hari hanya dengki serupa salik.


Marilah menjadi bajik.

Berpuasa bukan hanya karena wajib, tetapi melatih diri untuk tak menjadi munafik.

Sebab gelar takwa akan tersemat dengan baik, bukan di awal pentas ramadan, tetapi di detik-detik akhir menuju kesucian.


Ramadan, benarkah bulan kemunafikan?

Bagiku, iya, jika puasa hanya sekadar.


Ramadan, benar, bulan mulia.

Bagiku, iya, jika puasa tetapi tak ingkar.

Raga, fikir, jiwa, dan seluruhnya turut menahan segala, tak alakadarnya.

Cukup? sudah.


*Ditulis pertamakali pada 2019

Selasa, 23 Maret 2021

Janji yang Terlupakan


Ilustrasi. Sumber: kalderanews.com


Kisah ini bermula ketika seorang pemuda, sebut saja Rohman, berbelanja di sebuah pasar tradisional di desa tempat tinggalnya. Baru selangkah turun dari motornya, Rohman dihampiri seorang pria paruh baya penjual pisang. 


"Pisang, Tong, matang di pohon," kata sang kakek menawarkan barang dagangannya kepada Rohman. 


"Saya belanja dulu ya, Kek. Nanti kalau sudah pulang, saya baru beli."


"Iya, Kakek tunggu ya."


Rohman lantas bergegas masuk ke dalam pasar dengan sedikit berjinjit. Semalam, hujan deras memang mengguyur desa sehingga pasar menjadi banyak genangan air keruh, becek. Kalau tidak hati-hati, celana panjang yang dikenakan Rohman bisa-bisa kotor karena kecipratan air keruh itu. 


Baginya, belanja di pasar segar memang jauh lebih nyaman tapi berbagai harga di sana pasti selangit. Karena itu, Rohman lebih memilih untuk belanja di pasar tradisional kebanggaan masyarakat desa, sekalipun harus rela melewati genangan air dengan sangat hati-hati. 


Usai membeli berbagai kebutuhan, Rohman pulang. Melewati banyak perkebunan dan persawahan yang mendominasi sepanjang perjalanan. Tetiba, ia melihat banyak pisang yang menguning tanda matang, tergantung di pohon pada sebuah kebun pisang yang dilewatinya. Detik itu pula, Rohman langsung ingat pada janjinya kepada sang kakek penjual pisang di pasar tadi. 


"Astaghfirullah," ucap Rohman seketika ia ingat kepada kakek itu.


Sebenarnya, ia ingin langsung putar balik. Namun, barang belanjaan berupa sayuran dan bahan lainnya sedang ditunggu sang ibu di rumah. Sebab, akan dilangsungkan pengajian bulanan majelis taklim di rumah, pada malam hari nanti. Karena itu, mau tidak mau, barang harus sudah tiba di rumah sesegera mungkin. 


Pikiran Rohman bercabang. Jika tidak segera kembali ke pasar, ia merasa bersalah kalau ternyata si kakek terus menanti. Sedangkan kalau benar pedagang pisang itu menunggu dalam waktu cukup lama, pasti akan bosan dan justru lebih memilih untuk pulang. 



"Nggak mungkin dia tunggu sampai pasar bubar," kata Rohman, membatin.


Bayangan kakek tua dengan kopiah miring dan kemeja putih agak lusuh terus menari di pikiran Rohman. Tiba-tiba, ia dikagetkan dengan bunyi suara klakson sangat nyaring. 


"Mas, jangan melamun dong. Bikin celaka aja!" kata seorang pengendara motor di belakang, yang terhalang Rohman karena mengurangi kecepatan motornya.  


Saat terkejut, gas ditarik sehingga motor Rohman melaju dengan sangat cepat. Sampai-sampai ia hampir saja menabrak seseorang yang sedang menyeberang. Rohman kaget bukan main. 


Tapi akhirnya, Rohman tiba di rumah. Sang ibu yang menanti di halaman turut membantu menurunkan barang belanjaan seraya memeriksa karena khawatir ada satu item yang luput dibelanjakan. 


"Loh kok kamu nggak beli pisang, Man? Kan pisang itu nanti kita masukkan ke dalam kotak nasi?" tanya sang ibu.


Mendengar itu, bayang-bayang wajah kakek tua sangat jelas tampak di pikiran Rohman. Ia beranggapan, sang kakek pasti masih menanti kedatangan Rohman untuk membeli pisang dalam jumlah yang banyak.


"Aku lupa, Bu. Memang pisang juga perlu ya?" tanya Rohman. 


Ibu hanya mengangguk seraya meninggalkan Rohman, membawa barang belanjaan ke dalam rumah. Rohman pun turut masuk ke rumah meneguk segelas air untuk menenangkan diri.


Lalu ia langsung keluar. Kembali memacu motor dengan kecepatan tinggi. Terik matahari yang muncul setelah sebelumnya mendung, tidak sama sekali dihiraukan. Di pikiran Rohman hanya ada bayang kakek dengan kayu di pundaknya. 


Tiba di pasar, Rohman melihat sang kakek masih setia menantinya di tempat yang sama. Ia merasa pilu. Batinnya berkata, "Bagaimana kalau aku tidak kembali? Ya Allah itu si kakek masih saja duduk menungguku dengan beberapa sisir pisang uli dan raja."


"Kek, pisangnya masukin semua (20 sisir) ke kantung ini ya," kata Rohman sembari berjongkok dan membuka kantung tas. Ia rentangkan kantung itu dan turut memasukkan pisang, membantu sang kakek. 


"Jangan, Tong, jangan diborong semua. Tadi saya sudah janji sama pemuda yang sudah lebih dulu pesan pisang ini. Nanti dia kecewa. Tadi juga banyak yang mau beli, tapi nggak saya kasih karena sudah janji dengan pemuda itu," kata kakek dengan intonasi suara yang menunjukkan bahwa dirinya sudah lunglai. 


Tak terasa, Rohman meneteskan air mata dari balik kacamata yang dikenakannya. Ia kemudian melepas masker dan helm. 


"Kek, maafkan saya, sudah bikin kakek menunggu. Kakek belum makan ya karena nungguin saya?"


Dilihatnyalah Rohman dengan saksama, dari kaki hingga kepala. Sang kakek merasa heran bahwa ternyata pemuda ini yang tadi berjanji ingin membeli pisang tapi lama tidak kembali, sehingga membuatnya menunggu. 


"Maaf, tadi saya pulang dulu, Kek," kata Rohman lagi. 


Rohman tidak mengatakan kalau sebenarnya ia lupa untuk kembali. Namun setelah membayar harga pisang, ia menyelipkan satu lembaran seratus ribu rupiah ke saku baju sang kakek. 


"Jangan, Tong, kan pisang kakek sudah diborong. Bayar saja sesuai harga," kata kakek, menolak seraya tangannya menahan tangan Rohman. Namun, Rohman tetap meninggalkan uang itu ke saku sang kakek. Akhirnya, uang itu diterima juga. Hati Rohman pun lega. 


Saat melangkah ke motor sambil membawa borongan pisang yang sangat banyak itu, terlintas di benak Rohman tentang hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga. Salah satu dari ketiga ciri orang munafik itu adalah jika berjanji tidak ditepati. 


"Karena bisa jadi, orang yang kita janjikan bakal betul-betul berharap," ujar Rohman dalam hati, kemudian ia menyalakan motor dan segera melaju, kembali ke rumah. 

Minggu, 21 Maret 2021

Ketika Musim Berganti

 



Ketika musim berganti

segala-gala berubah menjadi yang dinanti
orang-orang lantas bergerombol mendekati
rupanya, ada sesuatu yang dapat melegakan hati

Ketika musim sudah berganti
dan tidak segera berbondong mendekat
percayalah, kau tidak akan mendapat selamat
lebih-lebih ada ancaman yang membuat detak jantung terhenti

"Kau tak dapat jatah," kata seorang pimpinan gerombolan.

"Ada apa gerangan?"

"Karena kau tak ikut kami bergerak bersama-sama."

Sejak itu
seorang pemuda pemberani itu
tak pernah menginjakkan kakinya ke tempat gerombolan itu
dia memisahkan diri karena tak ingin jadi babu
katanya begitu

Musim telah berganti
orang-orang bodoh tetap tak mau pergi
mereka tetap berada di dalam gerbong tadi
entah sampai kapan semuanya berhenti
barangkali hingga musim selanjutnya lagi

Musim depan jika berganti hari
pemuda itu rupanya terselamatkan dengan janji seorang pak haji
diajaknya dia memasuki ruang baru
bukan menjadi babu seperti mereka-mereka itu
tetapi mendapat keinginan yang dimau

Musim kalau berganti nanti
kita tak pernah tahu Tuhan jika memberi
semoga saja kita hidup tetap merdeka
tak menjadi babu kesana-kemari
tetapi mampu menentukan hajat hidupnya sendiri

Kalau demikian
jika musim berganti nanti
seperti Islam, yang dikatakan Gus Dur ketika itu
kita lihat perkembangannya di masa yang akan datang
benarkah demikian?

Minggu, 14 Februari 2021

Hari Valentine Embel-embel Islami

 

Ilustrasi. Sumber: NU Online


Hari ini, 14 Februari 2021, disebutnyalah sebagai Valentine's Day. Entah dari mana mulanya, tiba-tiba dimaknai sebagai Hari Kasih Sayang. Umat Islam tentu saja berbondong-bondong menolaknya, karena secara kesejarahan, Valentine's Day tidak bernilai. Namun kalau dimaknai secara positif, tentu saja bisa, dan itu lebih baik. 


Kemudian bagaimana misalnya jika valentine kita beri embel-embel Islami saja? Ini bertujuan agar umat Islam tidak alergi dengan valentine alias mampu berpikir positif dan memanifestasikannya ke dalam laku Islam yang penuh selamat, damai, dan sejahtera. Lagi pula, umat Islam di Indonesia ini kan memang suka sekali dengan embel-embel Islami. Ya, kan?


Saya rasa kalau valentine diberi embel-embel Islami, mungkin saja sebagian umat Islam yang kerap membawa-bawa dalil beserta terjemahannya untuk menolak bisa turut merayakan Hari Valentine Islami ini. Setidaknya, mereka tidak turut dalam kebisingan penghakiman. 


Islam secara substantif tentu berbeda dengan kostum drama, sinetron, dan tayangan-tayangan televisi saat Ramadan. Islam adalah nilai sekaligus metodologi. Ia (Islam) bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari agama lain, dari ilmu-ilmu sosial modern, dan bahkan khazanah tradisional suatu bangsa. Namun secara entitas, Islam hanya sama dengan Islam.


Bahkan, Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang beragam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’ah, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, FPI, dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah. (Najib, 2014)


Semua pemeluk Islam, pasti akan berjuang mempertahankan pandangannya masing-masing untuk mendekati kebenaran dan kesejatian Islam. Namun sungguh, pandangan itu pun bukanlah kebenaran dan kesejatian Islam itu sendiri. Secara otomatis, hal itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mendaku diri bahwa Islam yang benar adalah kelompok Islam yang dianutnya.


Jika ada orang atau sekelompok tengah berjuang melakukan Islamisasi, dakwah Islam, syiar Islam, bahkan perintisan pembentukan Negara Islam, maka yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah (konsep) Islamnya mereka sendiri.


Islamnya setiap orang, tentu tidak bisa diklaim sebagai Islam yang sama persis dengan Islam menurut Allah. Begitulah memang, hakikat penciptaan Allah atas kehidupan sehingga ketika Islam bertamu ke rumah kita, tidak lantas bermaksud untuk memaksa kita agar mau menerimanya.


Ayat Laa ikraha fiddin bermakna bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Termasuk tidak boleh ada pemaksaan dalam menafsirkan Islam. Tafsir populer atas Islam, bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.


Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya dipenuhi pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.


Di samping itu, Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk melakukan kamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi, dan keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja. 


Sebagian umat Islam berpandangan bahwa memeluk Islam itu sama artinya dengan yang penting tidak tampak kafir, bergabung dengan training shalat, terlihat di mata orang lain bahwa dirinya menjadi bagian dari orang yang mencari surga, berdzikir ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagai pasukan Malaikat Jibril.


Sedemikian rupa-lah Islam, sehingga (dapat) diselenggarakan dan dilakukan dengan berbagai formula dunia modern, industri liberal, modeshow, pembuatan film, diskusi pengajian, dan yang terpenting adalah dikasih 'kostum Islam'.


Tapi tentu saja jangan diteruskan hingga ke tingkat penyelenggaraan gosip Islami, peragaan busana renang muslimah, lokalisasi pelacuran Islami, bahkan pertandingan voli wantia muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai-sampai dengan sangat polos dan ahistorisnya, kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagai Hari Valentine Islami.


Lantas apakah ada Hari Kasih Sayang Islam versi Islam? Tentu saja. Ini tak lain dari kisah heroik Nabi Muhammad pada Fathu Makkah yang dalam Al-Quran disebut sebagai Fathan Mubiina (kemenangan yang nyata). Kemenangan ini diraih pada 10 Ramadan tahun ke-8 hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah berhasil merebut kembali Makkah. Atas izin Allah, Islam akhirnya memperoleh kemenangan besar. Lalu tawanan musuh diberi amnesti massal.


Setelah itu, Nabi kemudian berpidato di hadapan ribuan tawanan perang, "hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa."


Artinya: "Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing."


Mendengar pidato itu, pasukan Islam merasa kaget juga. Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman, musuh diminta untuk dibebaskan. 


Itu pun belum cukup.


Nabi memerintahkan agar seluruh harta rampasan perang, seperti berbagai harta benda dan ribuan onta untuk dibagikan kepada para tawanan. Sayangnya, pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sebagian dari mereka mengeluh dan sebagian pasukan Islam yang lainnya mengajukan protes kepada Rasulullah.


Mereka dikumpulkan dan Nabi bertanya: "Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?"


Mereka menjawab: "Sekian tahun, sekian tahun."


"Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”


"Tentu saja sangat mencintai."


Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: ”Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”


Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan, bahkan dengan bumi dan langit.


Maka tentu saja, seumpama kita berada di situ sebagai bagian dari pasukan Islam, sepertinya kita akan menjawab dengan ungkapan yang berbeda: "Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh juga diberi onta dan emas barang segram dua gram."


Hahahahahahahaaha....

Jumat, 05 Februari 2021

Sebuah Catatan: Kilas Balik Perjalanan Sebelum 2021


Foto: dokumen pribadi

Tahun ini sudah berjalan lebih dari satu bulan. Mimpi-mimpi dan resolusi yang direncanakan sejak lama, mesti segera diwujudkan. Salah satu impian saya pada 2021 ini adalah ingin mengajak kita semua untuk belajar menulis dengan baik dan benar.


Menulis memang perkara mudah, tetapi hanya segelintir orang saja yang mampu menulis dengan baik, sehingga menjadi renyah ketika dibaca.

 

Sesungguhnya, saya tidak sama sekali punya keterampilan kecuali menulis yang dilakukan setiap hari. Bahkan, dari menulislah saya bisa mendapatkan penghasilan yang kemudian dipakai untuk membayar cicilan rumah, membayar servis motor, dan persiapan menikah di tahun depan. Hahahahahaha percaya nggak?

 

Impian untuk memberikan pemahaman kepada teman-teman soal bagaimana menulis dengan baik dan benar, sudah lama terpendam. Ini serupa nazar ketika saya sedang dalam masa hopeless, hilang harapan.


Ya, sekira akhir tahun 2019 saya benar-benar merasakan bahwa hidup serasa tidak berguna. Kuliah sudah hampir enam tahun, skripsi belum juga selesai, dan tidak pernah punya uang setiap hari. Inilah catatan kilas balik perjalanan sebelum 2021.


Lingkaran setan

 

Jadi, awal persoalan dimulai dari sini. Ketika sudah seharusnya menyelesaikan studi, saya justru berselancara di luar kampus. Mencari kesibukan yang lain. Bahkan, hingga kini pun, saya tidak tahu kenapa waktu itu lebih memilih ‘ke luar’ kampus untuk berkesibukan yang tidak jelas. Sesuatu yang dicari pun tidak sama sekali ditemukan. Nihil.

 

Kesemrawutan hidup ini bermula sekali pada sekira 2018. Saat itu, saya menjadi relawan politik. Baik di tingkat daerah (Pilkada Kota Bekasi) maupun di tingkat nasional (Pilpres 2019). Hasilnya? Nihil. Pascapilpres semuanya berubah.


Saya seperti disadarkan oleh banyak kejadian yang ternyata hampir saja meluluhlantakkan idealisme. Sebab awalnya saya pikir, saat kontestasi politik usai, kehidupan di lingkaran ini menjadi kembali semula yang benar memperjuangkan gagasan bersama. Tetapi ternyata tidak sama sekali, karena mementingkan perut agar kenyang setiap hari adalah agenda yang harus dijalani. Kepentingan kelompok tidak diindahkan.

 

Dengan sangat berat hati, pada pertengahan 2019, akhirnya saya tinggalkan lingkaran setan yang politis itu. Sebuah lingkaran yang hanya beriorientasi pada kepentingan diri sendiri. Perut kenyang, hati senang. Idealisme? Hancur-lebur.


Bagi saya, orang-orang yang ada di lingkaran itu, terutama mereka yang semula sepakat menjaga kesucian idealisme tapi akhirnya tergoda dengan iming-iming duit haram adalah orang-orang munafik. 


Gila, saya merasa tertipu berada di lingkaran ini. Awalnya mereka sepakat memperjuangkan idealisme, tetapi ternyata omong kosong. Tergoda juga dengan harta duniawi. Hahahahaha. 


Saya tidak menemukan kebenaran di dalam lingkaran itu. Semua sudah bias. Karena yang ada hanya pembenaran-pembenaran yang sifatnya politis. Bahkan, orang-orang di lingkaran itu, sudah sangat diplomatis sekali gaya bicaranya. Mirip politisi-politisi anyaran yang belagu karena baru jadi orang kaya, dari duit hasil pemalsuan berbagai dokumen yang diserahkan ke negara. Bocorin jangan nih? Hahahaha.

 

Bersyukur sekali saya tersadar, lingkaran itu ternyata benar-benar tidak baik. Walhasil saya menarik diri, tetapi bukan menyerah. Saya lebih memilih untuk tetap menjaga idealisme agar tidak runtuh. Di sini, saya memutuskan untuk mencari ‘jalan baru’ untuk menemukan kehidupan yang benar-benar saya idamkan.

 

Namun ketika saya sudah keluar dari lingkaran itu, saya masih punya satu pekerjaan lain yang harus dituntaskan, yaitu skripsi yang terbengkalai akibat melingkar di lingkaran setan itu. Hingga akhir 2019, kuliah sudah jalan enam tahun, saya hampir putus asa. Semua orang tidak bisa diandalkan, kecuali diri sendiri untuk benar-benar berkomitmen menyelesaikan tugas akhir itu.

 

Nah, setelah hampir putus-asa itulah, pada akhir 2019, saya mendatangi acara tabligh akbar yang diadakan alumni Buntet Pesantren, di masjid Perumahan Prima Harapan, Bekasi Utara. Tabligh akbar itu mendatangkan Ustadz Yusuf Mansur. Saya datang dengan membawa harapan agar mampu menuntaskan masalah yang sedang dihadapi. Barangkali sang ustadz mampu memberikan solusi. Begitu pikir saya, ketika itu.

 

Di awal Januari 2020, saya kemudian teringat tips atau cara mengatasi masalah ala Ustadz Yusuf Mansur yang disampaikannya dalam acara tabligh akbar di pengujung tahun 2019 itu. Yaitu doa. Prinsipnya: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Doa apa yang diajarkan oleh UYM ini? Yakni doa untuk orang lain yang sedang dilanda kesusahan sebagaimana kita.

 

Artinya, kalau kita sedang kesulitan karena kemiskinan maka kita harus mendoakan orang-orang di sekeliling kita yang miskin agar menjadi kaya. Atau kalau kita sedang kesulitan mencari jodoh, maka kita harus mendoakan orang lain di sekitar kita agar cepat dapat jodoh. Nah soal skripsi ini, saya menjalankan amalan yang sangat sederhana itu. 

 

Setiap selesai salat, saya mendoakan teman-teman dan adik-adik kelas saya agar dimudahkan dalam menggarap skripsi. Saya juga berdoa agar mereka tidak dipersulit dalam proses kelulusan atau 'dibantai' ketika presentasi hasil penelitian di hadapan dosen penguji, di ruang sidang. Apakah doanya harus menggunakan bahasa arab? Tentu saja tidak. Allah paham semua bahasa, kok.


Doa yang baik, menurut UYM dan saya sepakat, adalah doa yang dirincikan serinci-rincinya. Kita harus mempreteli doa itu. Sebut nama siapa orang yang sedang kita doakan, sebut apa yang ingin kita doakan. Semuanya harus disebutkan dengan sangat rinci. Ya, Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang tidak terlihat, terdengar, dan terdeteksi oleh hamba-Nya. 

  

Kenapa kok kita harus mendoakan orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri? Jawabannya adalah karena kalau kita berdoa untuk diri sendiri, akan ada banyak penghalang: dosa yang terlalu banyak dan amal kebaikan yang sangat sedikit. Tetapi berbeda halnya kalau kita mendoakan orang lain. Berdoa untuk orang lain sama sekali tidak ada batas penghalangnya.

 

Bahkan, malaikat rahmat tidak segan-segan mendoakan si pendoa, yakni kita sendiri, untuk mendapatkan hal serupa dari yang kita doakan untuk orang lain. Itulah sebabnya kenapa para guru, ulama, dan kiai kita sering mengajak umat Islam untuk saling berdoa satu sama lain. Saya pikir, di agama lain, juga menerapkan hal yang sama. Ya, saling mendoakan. 

 

Berbagai kemudahan dalam menggarap skripsi mulai terasa, saat awal-awal 2020. Terutama sejak Maret, awal Covid-19 melanda negeri ini dan harus ada karantina selama 14 hari. Semua harus dilakukan di rumah. Saat itu, tentu saja saya memanfaatkan waktu untuk menggarap skripsi. Maret, April, Mei. Tiga bulan inilah, masa-masa saya menggarap skripsi.

 

Memasuki Juni, keluarga saya dirundung kesedihan. Bapak harus melangsungkan operasi prostat. Di rumah sakit, baru kali itu saya melihat bapak kesakitan setelah sekian lama, bahkan sejak kecil, bapak adalah sosok yang benar-benar tangguh. Tetapi ketika itu, pascaoperasi terutama, saya dan dua orang kakak saya, bergantian melayani keperluan bapak. Di samping itu, masih di bulan yang sama, kakak ipar saya segera melahirkan. Sudah bulannya.

 

Tepat di hari ulang tahun saya, 6 Juni 2020, bapak keluar dari rumah sakit dan memilih untuk berobat jalan. Sementara seminggu setelahnya, 13 Juni 2020, keponakan saya lahir. Dia perempuan bernama Alenaya Cahaya Aksara, putri pertama dari Nisfu Syawaluddin Tsani dan Dwi Niar Damayanti.

 

Juni 2020, terdapat perasaan campur aduk. Antara sedih, senang, haru, gembira, dan was-was. Pasalnya, pada 24 Juni 2020, saya akan melangsungkan sidang skripsi setelah enam tahun kuliah. Tentu saja saya berhasil melewati masa-masa sulit ini dengan baik. Saya meyakini bahwa kesulitan akan selalu membersamai kemudahan. Sejak Juni ini, harapan yang semula hilang, mulai berangsur kembali.

 

Setelah bapak pulih, Alenaya lahir dengan sempurna, dan sidang skripsi tuntas dengan hasil memuaskan, tapi saya malah jadi bingung. Bingung harus kerja di mana. Ya, saya harus tetap mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Bekerja maksudnya, mencari penghasilan. Usai sidang skripsi, sekira di akhir Juni, saya menetapkan dua pilihan pekerjaan ke depan.

 

Salah satu dari dua pilihan itu adalah saya berencana melamar untuk menjadi wartawan nasional di NU Online. Toh sudah sejak 2017, saya menjadi kontributor warta di sana. Pada Maret 2018, tulisan-tulisan saya di NU Online sudah resmi diberi harga. Pikir saya, ketika nanti saya melamar di NU Online, saya sudah punya bekal cukup. Ditambah, saya menempuh kuliah dengan konsentrasi jurnalistik. Linier sekali, kan?

 

Tetapi sesungguhnya, saya sudah sejak lama punya prinsip ingin bekerja (atau menghasilkan uang) tanpa melamar dan tanpa lampiran ijazah, SKCK, kartu kuning, surat lamaran, CV. Selama satu bulan, sejak Juni, saya menimbang-nimbang prinsip itu. Haruskah tetap mempertahankan prinsip atau tidak? Saya gamang.

 

Pucuk dicinta ulam pun tiba.

 

Akhir Juli 2020, saya ditelpon oleh salah seorang redaktur NU Online. Diminta untuk menghadap pemimpin redaksi (pemred), dan diajak untuk bergabung, membantu keredaksian nasional NU Online. Wah, saya senang bukan kepalang. Impian saya menjadi wartawan NU akhirnya terwujud. Saya iyakan seketika itu. Kemudian bertemu pemred pada awal Agustus 2020. Terhitung sejak 10 Agustus 2020, saya mulai bekerja untuk NU Online.

 

Bangga dan bahagia sekali, bisa ikut serta menggawangi medianya ormas Islam terbesar di negeri ini. Meski penghasilan yang diperoleh tidak sebesar gaji karyawan pabrik, tetapi setidaknya saya memiliki kepuasan tersendiri karena bekerja sesuai dengan passion dan keterampilan diri sendiri. Di saat orang-orang sulit mendapatkan pekerjaan akibat pandemi, saya justru ditawari kerja yang sesuai dengan keahlian sendiri, tanpa persyaratan apa pun, kecuali pengalaman menulis jurnalistik yang sudah dilakukan sejak 2017. Menarik bukan?

 

Ya, saya bangga karena sama sekali tidak bergantung hidup pada orang lain. Murni, saya bergantung hidup pada keterampilan menulis, terutama keahlian jurnalistik. Melakukan wawancara, menentukan sudut berita, judul, dan menyajikan informasi dengan bahasa yang enak dibaca.

 

Nah sekarang di tahun 2021 ini, waktunya nazar itu perlahan diwujudkan. Di web pribadi saya ini, aruelgete.id, saya akan memberikan berbagai materi, tips, dan pemahaman tentang kebahasaan dalam tradisi menulis. Sebab, bahasa lisan dengan bahasa tulisan tentu saja beda.

 

Saya terkadang geregetan melihat orang yang menulis tapi kerapkali menabrak kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu, agar menjadi amal jariyah saya, ke depan akan disajikan berbagai pemahaman tentang cara membuat supaya tulisan kita enak dibaca. Nantikan tulisan-tulisan berikutnya.


Wallahua'lam...

Rabu, 03 Februari 2021

Rindu Embun Pagi

 

Ilustrasi. Sumber foto: aswirusani.com


Oleh: Silvi Insani Zein


Redup redup mata memandang

melihat sosok yang sebenarnya tak pernah kupandang


Inginku bertanya, siapakah dirinya? 


Tuhan..

Makhluk ciptaanmu amatlah menawan

sampai tiada kata bosan 

kabut pagi pun bukan halangan 


Diam diam, sering kali kucuri pandang

menatapnya dengan tenang


Senyum sapa menyapa

tak ada lagi sebuah kata 

terdiam, tanpa bicara menyambutnya


Sampai pada saatnya, uluran jemari-Mu mengait erat tanganku

dalam hati kubicara, "Ah, Ya Tuhan, ini mimpi atau tidak sebenarnya?"

seketika tak sengaja mengukir senyumku

sampai pipiku merona

 

Kalau saja seperti itu, inginku terus-menerus rasanya

lebih baik, kumemilih jatuh saja

agar kembali kurasakan hangat tangannya


Akhir pertemuan memanglah sulit

perasaan menahan sakit

Karena belum tentu ku bisa kembali merasa sweet


Dari sekian banyak harapan

hanya satu yang ingin kembali terulang, yaitu sebuah pertemuan

dengan suasana yang kembali menenangkan