|
Saat memberikan materi Jurnalistik |
Ada yang lupa saya katakan, saat memberikan materi sekaligus pengalaman berkegiatan Jurnalistik di kehidupan nyata. Bahwa dari ketiga narasumber, hanya saya yang belum mendapat gelar sarjana. Namun, panitia Amazing Communication Family (ACF) 4, mendaulat saya sebagai narasumber. Ini menarik.
Saya masih berstatus mahasiswa, tapi duduk bersebelahan dengan para sarjana di hadapan sekitar 90 mahasiswa/i yang siap bergabung di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi.
Dengan para peserta ACF 4, status saya sama, yakni sebagai mahasiswa. Tapi dengan narasumber lainnya, jelas berbeda. Maka, yang ingin saya katakan adalah bahwa segala hal yang berbeda jangan pernah disama-samakan. Sementara sesuatu yang memang sama, jangan dibeda-bedakan.
Kalimat tersebut berlaku dalam berbagai hal. Sila maknai dengan tafsir sebebas-bebasnya. Terkadang, di hadapan orang yang baru dikenal, saya berpenampilan layaknya seorang bijak. Padahal, tidak sama sekali. Saya adalah orang yang masih perlu diberi kebijaksanaan oleh siapa pun.
Karenanya, di depan peserta ACF 4 yang masih unyu-unyu itu, saya selalu sampaikan agar jangan mudah percaya dengan berbagai hal yang keluar dari mulut saya. Semoga, yang disampaikan bukanlah sesuatu yang seketika itu dapat dipahami, agar dialektika pembelajaran tetap berjalan di luar ruangan.
Saya bukan pendogma dan pendoktrin. Salah dan benar serta baik dan buruk, masih dapat diperdebatkan lain waktu. Sebab yang paling utama dari penyampaian saya ketika itu adalah bagaimana caranya agar adik-adik mahasiswa bisa mendapatkan pengantar untuk senantiasa giat belajar.
Materi Jurnalistik, saya sampaikan alakadarnya. Hanya sedikit-sedikit saja. Tidak seperti di ruang kelas. Kemudian, seluruh pengalaman berkegiatan saya di dunia Jurnalistik, mulai dari menjadi wartawan NU Online (nu.or.id), menjadi Pengelola Media NU Kota Bekasi (nubekasi.id) hingga memiliki website berbayar aruelgete.id, saya kemukakan.
Itu hanya stimulus supaya adik-adik unyu di hadapan saya memiliki semangat untuk belajar memahami sesuatu yang bakal didapatkannya di kemudian hari. Hanya sebatas itu, tak lebih.
|
Wefie bersama peserta ACF 4 |
Di hari kedua ACF 4, materi dipadatkan. Beberapa diantaranya adalah pemaparan pengalaman dan materi keilmuan (Jurnalistik, kehumasan, dan kewirausahaan), materi kehimikoman, pengenalan organisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (IMIKI), teknik persidangan, dan debat ilmiah.
Kegiatan pada hari itu, ditutup dengan Malam Minggu Ilkom. Seluruh peserta diberikan kesempatan untuk menampilkan bakat dan talentanya. Ada yang bernyanyi, berpuisi, bahkan stand up comedy. Saya melihat, semuanya bergembira. Tak ada raut ketidaksukaan dari 90 peserta yang mengikuti kegiatan ini.
Usai Malam Minggu Ilkom, peserta dipersilakan tidur. Sementara panitia dan senior, melakukan persiapan untuk kegiatan selanjutnya. Yakni, jurit malam. Terdapat empat pos: motivasi, kehimikoman, keorganisasian, dan kebangsaan. Saya ditempatkan di pos pertama.
Kepada setiap rombongan peserta yang telah dikelompokkan, sekitar 6-8 orang per kelompok, saya mengajukan pertanyaan sederhana kepada mereka: siapa yang ingin berorganisasi di himikom? Sebagian mengacungkan tangan, sebagian lagi tidak. Ada pula yang langsung membeberkan alasannya.
Jawaban atau alasan normatif, saya terima. Itu wajar. Dari tahun ke tahun, tidak lebih dari sekadar untuk memperbanyak teman dan memperluas wawasan. Tapi, bukan itu yang ingin saya stimulus ke alam bawah sadar mereka.
Dengan sangat yakin, saya justru mengatakan agar mereka semua lebih baik tidak berhimikom. Sebab himikom akan tetap ada, sekalipun mereka tak terlibat di dalamnya. Berorganisasi itu berat, maka jangan hanya dijadikan sebatas mencari teman dan memperluas wawasan.
Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, tidak berdosa jika tidak berhimikom. Tidak juga berpahala jika mengurusi Himikom. Sebab semuanya bukan soal itu. Melainkan soal tanggung jawab moral sebagai bagian dari Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi.
Bagaimana mungkin, mahasiswa yang setiap hari belajar di Ilmu Komunikasi, kemudian dinaungi oleh rumah bernama Himikom, tapi justru acuh dengan tata kelola organisme yang berjalan di dalamnya. Tanggung jawab moral, sebagai bagian dari keluarga, (jika Himikom diibaratkan sebagai rumah tangga) bakal dipertanyakan.
Saya kemudian bertanya: "Ketika duduk di bangku SMA/sederajat, masuk dan pulang sekolah jam berapa? Ada berapa pelajaran dalam sehari?"
Kemudian mereka menjawab berbeda-beda, tapi intinya sama. Bahwa kegiatan di ruang kelas, lebih banyak dan padat saat di sekolah daripada jam perkuliahan. Di kampus, mahasiswa hanya mendapat mata kuliah, kurang lebih 5 sks dalam sehari. Sebelum zuhur, terkadang, sudah selesai perkuliahan.
"Kalian pernah dengar nasihat bijak soal manusia yang merugi ketika tidak mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin?" tanya saya kepada mereka. Lantas, mereka mengiyakan.
Di tengah gigil menuju subuh, saya menyampaikan bahwa alangkah lebih baiknya tanggung jawab moral itu diaplikasikan agar waktu selama kuliah jadi manfaat, dan tidak menjadi manusia yang merugi. Mereka, lagi-lagi mengangguk tanda mengerti.
|
Bersama panitia dan peserta ACF 4, serta pengurus Himikom Unisma Bekasi |
Menjadi mahasiswa berarti telah ditinggikan derajatnya. Sebab banyak juga anak-anak Indonesia yang tidak kesampaian untuk menduduki nikmatnya bangku perkuliahan. Kemudian, barangsiapa yang telah tinggi derajatnya, maka tugas dan tanggung jawab yang diberikan akan lebih berat dari sebelumnya.
Berorganisasi itu berat. Saya menceritakan berbagai pengalaman saat menjadi Ketua Himikom periode 2015-2016, sebagai gambaran bahwa berorganisasi tidak sebercanda generasi milenial yang dengan mudahnya mengunggah foto ke instagram. Butuh waktu, pikiran, bahkan biaya yang tidak sedikit.
"Kalau memang tidak siap untuk berorganisasi, lebih baik jangan pernah terlibat di Himikom sedari awal. Himikom akan selalu ada dan jaya, sekalipun kalian tak ada di dalam Himikom," sekali lagi saya menegaskan kepada mereka.
Himikom, bagi saya bukan hanya soal menambah jejaring (bahkan kalau boleh sombong, saya adalah orang yang menghubungkan kembali Himikom dengan IMIKI) dan memperluas wawasan keilmuan saja. Melainkan soal ruang pendewasaan dan dialektika tubuh yang kerap mendapat asupan gizi intelektual karena sering bersentuhan dengan berbagai permasalahan.
Himikom adalah bagian dari kampus. Maka, Himikom harus terlibat dari berbagai persoalan yang muncul di sana. Himikom tak boleh apatis dan menutup mata dari permasalahan yang ada. Sebab kampus adalah miniatur dari kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Orang-orang yang tuntas berorganisasi di kampus, maka tak akan pernah menemukan kesulitan jika suatu saat menjadi bagian dari masyarakat di luar kampus. Maka, dari Himikom-lah kita belajar. Saya, terutama, banyak belajar dari Himikom. Sehingga ketika menghadapi banyak orang di lingkungan masyarakat, tidak pernah menemukan kegugupan sama sekali. Santai saja.
Saya juga menanyakan kepada mereka, apa alasan mengikuti kegiatan ACF 4? Sebagian besar menjawab karena ada 'kewajiban'. Ini teguran bagi panitia dan pengurus Himikom. Kenapa diwajibkan? Mereka, mahasiswa baru, jelas akan merasa takut dan merasa berdosa jika tidak mengikuti kegiatan yang sifatnya wajib.
Untuk melakukan regenerasi, atau katakanlah kaderisasi, tak perlu memberikan embel-embel wajib untuk kegiatan yang dilakukan. Biarlah atas dasar kemauan sendiri. Sebab, militansi dan dedikasi yang tinggi merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan organisasi. Bukan justru dari keterpaksaan yang menciptakan ketakutan-ketakutan baru.
Memaksa, menakut-nakuti, dan bertindak semaunya; itu kerja-kerja orde baru. Tak perlu diikuti.
|
Ketua Himikom sejak 2014, dari kiri ke kanan: Ahmad Fadhol Dikjaya, Aru Lego Triono, Malik Abdul Jabbar, dan Andam Rukhwandi Rakhman |
Terakhir, saya ingin sampaikan bahwa Himikom adalah organisasi independen yang dipegang langsung oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi, tanpa campur tangan dari mana pun, tetapi jika hanya sebatas saran dan anjuran, silakan diterima sebagai pertimbangan.
Nah, kalau sudah ada intervensi dari luar, lebih baik Himikom ditiadakan!
Sekian.
(Kegiatan ACF 4 Himikom Unisma Bekasi dilaksanakan pada 12-14 Oktober 2018, di Villa Evasari, Cisarua, Kabupaten Bogor)