Selasa, 30 Oktober 2018

Puisi Gus Mus: Syahadat



Inilah kesaksianku, inilah pernyataanku, inilah ikrarku:
Laa ilaaha illalLaah
Tak ada yang boleh memperhambaku kecuali Allah, tapi nafsu terus memperhambaku.

Laa ilaaha illalLaah

Tak ada yang boleh menguasaiku, tapi kekuasaaan terus menguasaiku.

Laa ilaaha illalLaah
Tak ada yang boleh menjajahku kecuali Allah, tapi materi terus menjajahku.

Laa ilaaha illalLaah

Tak ada yang boleh mengaturku kecuali Allah, tapi benda mati terus mengaturku.

Laa ilaaha illalLaah
Tak ada yang boleh memaksaku kecuali Allah, tapi syahwat terus memaksaku.

Laa ilaaha illalLaah
Tak ada yang boleh mengancamku kecuali Allah, tapi rasa takut terus mengancamku

Laa ilaaha illalLaah
Tak ada yang boleh merekayasaku kecuali Allah, tapi kepentingan terus merekayasaku.

Laa ilaaha illalLaah
Hanya kepada Allah aku mengharap, tapi kepada siapapun, masya Allah, aku mengharap.

Laa ilaaha illalLaah
Hanya kepada Allah aku memohon, tapi kepada siapapun, masya Allah, aku terus memohon.

Laa ilaaha illalLaah
Hanya kepada Allah aku bersimpuh, tapi kepada apapun, masya Allah, aku terus bersimpuh

Laa ilaaha illalLaah
Hanya kepada Allah aku bersujud, tapi kepada apapun aku terus bersujud.

Laa ilaaha illalLaah
Masya Allah

(KH A Mustofa Bisri/Gus Mus)


Minggu, 28 Oktober 2018

Sebuah Catatan: Kongkow Bareng Gusdurian Bekasi Raya





Sabtu (27/10) malam, saya berkesempatan melingkar dan kongkow bareng teman-teman Gusdurian Bekasi Raya, di Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi, Tambun Selatan.

Pertemuan itu baru pertama kali dilakukan karena Gusdurian Bekasi Raya baru terbentuk beberapa waktu yang lalu. Hadir pula Gusdurian Bogor, Gus Michael Sebastian Prihartono, dan Gusdurian Desa Parwoto, Mas Triono.

Masing-masing dari setiap orang yang hadir diperkenankan berbicara, selain untuk memperkenalkan diri, juga memberikan pandangan soal Gusdurian atau sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur telah banyak mengajarkan kepada bangsa Indonesia tentang kesetaraan, persamaan, dan mampu merangkul berbagai perbedaan. 

Karenanya, Jaringan Gusdurian dibentuk untuk melestarikan berbagai ajaran yang telah ditularkan Gus Dur semasa hidup.

Ada banyak hal yang dapat diteladani dari sosok Presiden ke-4 RI itu. Salah satunya soal perdamaian yang kian terkikis di tengah isu perpecahan dewasa ini. Kalau Gus Dur dikorek hatinya, maka tak sedikit pun ditemukan ada kebencian.

Memperjuangkan  pemikiran Gus Dur adalah sebuah keniscayaan dan membutuhkan kerelaan hati. Hal tersebut demi menyatukan berbagai keragaman yang ada di Bumi Pertiwi. Gus Dur telah melakukannya. Maka di Jaringan Gusdurian, pemikiran Gus Dur itu dilestarikan.

Gus Dur adalah sosok yang tak pernah melihat latar belakang seseorang. Ia memandang seseorang justru dari kemanusiaannya. Semua orang di mata hukum, bagi Gus Dur, sama kedudukannya; bahkan di hadapan Allah sekalipun.

Berbagai pemikirannya, baik yang tertuang dalam tulisan maupun diungkapkan melalui lisan, sangat progresif. Beberapa kali pernyataan yang dikeluarkan terkesan aneh, tapi akan dibuktikan kebenarannya di waktu mendatang. Pemikiran Gus Dur, melampaui zamannya.


Di banyak kesempatan, bahkan hampir di setiap tindak-tanduknya, Gus Dur senantiasa mengajarkan soal perilaku. Ia melakukan atas segala sesuatu yang telah diucapkan. Karenanya, Gus Dur sangat peduli terhadap masyarakat yang termarginalkan; hal itu karena Gus Dur senantiasa meneladani laku kehidupan.

Gus Dur adalah sosok yang unik. Bahkan, bisa dikatakan, ia merupakan seorang yang sangat Indonesia. Indonesia beragam yang kemudian menjadi satu: itulah Gus Dur. Di kepala Gus Dur ada banyak pemikiran yang bisa jadi satu.

Dari ideologi kanan hingga kiri, ia telah tuntas memahaminya. Liberalisme dan Sosialisme diambil segala hal yang baik, dan kemudian menjadi satu kesatuan di dalam ideologi negara Indonesia: Pancasila. Ia seorang pembaca dan penulis, maka berbagai pernyataan yang dikemukakan sangat matang diutarakan.

Di balik kelucuan-kelucuan yang kerap ditampilkan, Gus Dur merupakan sosok yang keras jika sedang membicarakan NKRI. Karena itulah, Jaringan Gusdurian harus keras pula terhadap kelompok yang ingin mengganti dasar negara.

Gus Dur adalah orang yang mampu menghargai perbedaan, termasuk perbedaan pendapat. Tapi jika yang dibicarakan mengenai ideologi negara, ia takkan memberi ampun. Ruh Pancasila, itulah Gus Dur.

Bagi Gus Dur, setiap orang memiliki kebebasan dan dilindungi oleh negara. Di Indonesia tidak ada pengekangan. Siapa pun berhak hidup bebas. Namun, kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Hal yang membatasi kebebasan adalah ilmu.

Kini, keempat putri Gus Dur mengkristalisasikan ajaran yang telah didapat. Soal politik kebangsaan, ada Mbak Alissa Wahid yang menangani melalui Jaringan Gusdurian. Sedangkan sosok Gus Dur yang terlibat ke dalam politik praktis, dilanjutkan perjuangannya oleh Mbak Yenny Wahid melalui Barisan Kader (Barikade) Gus Dur.

Mbak Anita Wahid, fokus kepada gerakan advokasi masyarakat. Ia mendirikan organisasi perkumpulan pada 2016 lalu, yakni Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Terakhir, ada Mbak Inayah Wahid yang menularkan sisi humor Gus Dur. Ia aktif di teater, seni pertunjukkan rakyat, bahkan di sinetron televisi. Stand up comedy pun, Mbak Inayah jago.

Demikian catatan saya, selama kongkow bareng Jaringan Gusdurian Bekasi Raya. Selamat melanjutkan nilai, ajaran, dan berbagai pemikiran Gus Dur ke dalam kehidupan masyarakat: di Bekasi. 

Gusdurian jangan hanya wacana, jangan hanya menjadi ruang diskusi saja, tetapi juga harus mampu turun ke masyarakat, menjadi pemecah kebuntuan dari berbagai permasalahan kehidupan yang kian mengkhawatirkan.

Wallahua'lam...

Jumat, 26 Oktober 2018

Ngobrol Politik Bareng Bang Hasan



Swafoto dengan Bang Hasan (kiri)

Jumat pekan lalu, pada 19 Oktober 2018, usai salat Jumat di Masjid Asrama Haji Bekasi, saya bertemu dengan salah seorang pemuda kepunyaan Kota Bekasi.

Di Bekasi Utara, di kalangan anak-anak muda dan remaja, namanya kerap menjadi perbincangan.

Dia-lah Hasan Muhtar. Sekretaris Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Bekasi itu, tengah mencoba peruntungan di dunia politik. Kini, pria yang akrab disapa Bang Hasan itu menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi, melalui Partai Golongan Karya (Golkar) nomor urut 4 dengan Daerah Pemilihan 2, Bekasi Utara.

Caleg yang menjadi representasi dari kaum milenial itu, berbicara banyak soal dunia politik hari ini. Katanya, politik di negeri ini sedang mengalami perubahan. Yakni dari politik konvensional menuju politik digital. Sebagai milenials, dia paham betul strategi yang jitu untuk merangkul para pemuda.

Kaum milenial, hidupnya tak pernah lepas dari gadget. Mulai bangun tidur hingga terlelap kembali, gadget senantiasa menyertai hidupnya. Maka, Bang Hasan, lebih memprioritaskan untuk mengkampanyekan diri melalui media sosial terlebih dulu.

Turun ke lapangan, nongkrong bareng anak muda, dan menyambangi warga sudah dilakukan. Tapi belum ingin dimaksimalkan. Sebab menurutnya, kampanye turun langsung ke masyarakat itu hanya efektif saat tiga bulan jelang pemilihan. Saat ini, yang dia lakukan adalah mem-buzzer akun media sosialnya.

Terlepas dari berbagai strategi kampanye yang dilakukan itu, hal menarik yang saya dapatkan saat berbincang santai dengannya adalah soal fenomena anak muda. Katanya, ada dua kategori pemuda saat ini: kalau tidak apatis, pasti pragmatis.

Kebanyakan dari mereka, anak-anak muda, memandang politik sebagai momok menakutkan sehingga harus dijauhi dari kehidupan sehari-hari. Padahal, politik merupakan pijakan awal untuk mampu melakukan perubahan di kehidupan masyarakat.


Kalau memang, politik disebut-sebut sebagai biang dari perpecahan di negeri ini, maka anak-anak muda harus tampil dengan mengubah penampilan politik menjadi lebih kekinian. Apatis, sikap acuh tak acuh terhadap politik yang menjangkiti anak muda, menurut Bang Hasan, sebenarnya bisa diatasi.

Begini, ada yang bilang bahwa politik adalah seni mempengaruhi orang lain. Ketika mampu mempengaruhi orang lain, sehingga memiliki satu frekuensi pemikiran dengan orang banyak, disitulah politik sudah bekerja dengan baik.

Hal yang terpenting untuk bisa mempengaruhi anak muda agar gandrung terhadap politik adalah dengan cara mengemas gaya komunikasi. Menurut Bang Hasan, politik itu bukan serupa film horor atau misteri gunung merapi. Akan tetapi, politik itu seperti kue coklat.

Politik seperti film horor dan politik seperti kue coklat, menurut saya, hanya berlainan kemasan saja. Jika para senior dan elit politik menampilkan gaya berpolitik dengan angkuh dan hanya berorientasi pada kekuasaan semata, maka anak-anak muda harus mampu mengemas politik dengan gaya yang baru.

Misalnya politik seperti wahana bermain yang di sana terdapat berbagai pilihan untuk menentukan segala kebijakan bagi kesejahteraan dan kemaslahatan warga. Politik seperti kue coklat berarti politik memiliki daya tarik karena kenikmatan dan rasanya yang membuat siapa pun menjadi candu.

Gaya komunikasi yang menggunakan permisalan semacam itu sangat penting dilakukan untuk bisa merangkul anak muda. Kalau Bang Hasan ini sudah mampu didekati oleh banyak kaum milenial di Bekasi Utara, maka saat nanti duduk di kursi parlemen, dia bisa menjadi teladan atau motivasi generasi berikutnya untuk ikut berpartisipasi di dunia politik.

“Pemuda apatis dengan politik, sudah gak jaman,” kata Bang Hasan. Kalimat itu kemudian seringkali dimunculkan yang, menurut saya, sebagai pemicu dan motivasi agar anak-anak muda, kaum milenial, dapat turut serta di dalam percaturan dunia politik.

Menurutnya, anak-anak muda harus melek politik agar tidak mudah dimanfaatkan oleh politisi-politisi pengejar kekuasaan yang kemudian meninggalkan konstituen saat sudah jadi penguasa. Pragmatisme di dalam gaya berpikir anak muda seringkali menjadi angin segar atau serupa washilah para politisi untuk dapat menduduki jabatan dengan mudah.

Saat kampanye, banyak fenomena yang telah menjadi rahasia umum. Yakni politik uang yang melibatkan anak-anak muda. Hal itu disebabkan oleh ketidaktahuan para pemuda soal politik. Maka oleh sebagian besar elit politik, anak-anak muda hanya akan dijadikan alat saja.

Apatis dan pragmatis merupakan bentuk kausalitas. Keduanya saling berkaitan. Jika apatis, besar kemungkinan anak-anak muda akan terjerembab di jurang pragmatisme. Pragmatis, disebabkan karena sikap apatis, acuh tak acuh, dan tidak peduli dengan politik.

Karenanya, demi merangkul suara anak-anak muda yang notabene adalah pemilih pemula dari kalangan milenial, maka kemasan politik hari ini haruslah diubah. Ongkos politik memang tidak sedikit. Akan tetapi, dapat diminimalisasi dengan gaya politik yang berbasis pada kedekatan emosional.

Jika anak-anak muda kekinian, kesehariannya digandrungi oleh media sosial, maka para politisi muda harus ambil bagian di sana. Menampilkan kesan bahwa menjadi anak muda yang terjun ke dunia politik adalah sebuah keniscayaan.

Kalau tembok-tembok pemisah antara anak muda dengan politik, berupa sikap apatis dan pragmatis itu bisa dihancurkan, maka saya yakin, Bang Hasan akan sangat dengan mudah duduk di kursi parlemen. Duduknya Bang Hasan di sana juga merupakan keniscayaan, bukan hanya sebagai wakil dari warga masyarakat Bekasi Utara secara umum, tetapi juga sebagai perwakilan kaum milenial yang berprestasi di bidang politik.

Bang Hasan sudah memberi contoh dan teladan baik, kita sebagai anak muda, khususnya di Bekasi Utara, haruslah senantiasa mendukung dan mengikuti jejak langkahnya.

Selamat berjuang, Bang!

Rabu, 24 Oktober 2018

Bang Aru Tanggapi Pembakaran Bendera Bertuliskan Kalimat Tauhid




Persoalan pembakaran bendera berlambang kalimat tauhid, memancing emosi sebagian besar umat Islam di Indonesia. Kejadian itu terjadi saat perayaan Hari Santri di Limbangan, Garut, Jawa Barat, pada Senin (22/10) lalu.

Bermula dari video yang viral, kemudian muncul berbagai tanggapan. Pro-kontra tak terbantahkan. Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dianggap anti-tauhid, karena dengan sengaja dan sukacita membakar bendera berkalimat tauhid, sembari menyanyikan sya’ir Syubbanul Wathon.

Berdasarkan informasi yang didapat, jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan perayaan Hari Santri, panitia sudah menginstruksikan agar tidak membawa bendera selain bendera merah putih dan bendera Nahdlatul Ulama (NU). Namun saat Apel sedang berlangsung khidmat, seorang pemuda tanggung kedapatan membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Setelah itu, pemuda tersebut dipanggil dan dibicarakan dengan baik-baik. Banser memang berlebihan, seharusnya bendera berkalimat tauhid itu tak perlu dibakar, cukuplah disimpan saja.

Akan tetapi, dengan terbakarnya bendera itu, maka kita dapat mengetahui bahwa Hizbut Tahrir di Indonesia, termasuk simpatisannya, masih hidup. Mereka itulah yang marah karena bendera bertuliskan kalimat tauhid dibakar.

Saudaraku yang baik, sebelum marah-marah dan mengeluarkan pernyataan yang dapat memecah-belah persatuan, mari kita telaah masalah yang terjadi. Benarkah Banser membakar bendera tauhid, benderanya umat Islam, sehingga Banser dituduh anti-tauhid? Sungguh, ini rumit sekali.

Banser menyatakan bahwa yang dibakar adalah bendera Hizbut Tahrir, organisasi terlarang di negeri ini. Namun, ada pula yang mengatakan: kalau bendera itu milik Hizbut Tahrir, maka ada tulisan Hizbut Tahrir-nya, walhasil bendera itu adalah panji Rasulullah.

Dalam bahasa Arab, kita mengenalnya dengan istilah Liwa dan Rayah. Di dalam Kitab Fathul Bari’, karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Juz 6, halaman 95, yang ia kutip dari pendapat Abu Bakar Ibnu Arabi dan Tirmidzi, bahwa Liwa berarti panji yang dipasang di ujung tombak Nabi.

Sedangkan Rayah adalah bendera, yakni kain yang diikat di tombak dan berkibar oleh tiupan angin. Hadits yang menerangkan warna bendera dan panji Nabi diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Nasa’i. Imam Bukhari sendiri tidak meriwayatkan hadits tentang warna bendera atau panji Nabi.

Bukhari hanya menerangkan bahwa dalam ekspedisinya, Nabi menggunakan bendera sebagai tanda untuk membedakan diri dari musuh. Hadits-hadits dari sejumlah rawi lain menyebut warna bendera Nabi berbeda-beda.

Dalam banyak ekspedisi militer, Nabi tidak menggunakan warna tunggal; kadang putih, hitam, atau kuning. Hal itu berarti, bendera Nabi bukan identitas paten sebagaimana yang jamak kita ketahui saat ini. Sementara hadits yang menyebut kalimat tauhid tertulis di bendera Nabi itu diriwayatkan oleh Abu Syaikh, yang oleh Ibnu Hajar dikatakan: sanadnya lemah.



Bendera yang bertuliskan kalimat tauhid, dari masa ke masa, telah digunakan oleh kelompok pemberontak. Ikhwan Wahabi Saudi menggunakan bendera tersebut pada kisaran tahun 1920-1930. Tapi kemudian mereka memberontak terhadap Raja Ibnu Saud.

Kemudian, Al-Qaeda. Organisasi teroris, di bawah komando Osama bin Laden, juga menggunakan bendera dengan tulisan kalimat tauhid sebagai kebanggaan bagi kelompoknya. Mereka menggunakan bendera itu sejak tahun 1988 hingga sekarang.

Ada pula organisasi pemberontak lainnya, yakni Taliban yang ingin menguasai Afghanistan. Bendera yang mereka gunakan berwarna putih dengan kalimat tauhid berwarna hitam. Mereka menggunakan bendera tersebut sejak tahun 1996 hingga 2001.

Selain itu, ada juga Jamaah Tauhid. Bendera kebanggaan mereka berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid berwarna putih. Kemudian ada juga tulisan At-tawhid jama’ah wal-jihad dengan warna kuning. Mereka menggunakan bendera itu sejak tahun 1999 hingga 2004.

Jama’ah Nusroh, ‘adik kandung’ dari Al-Qaeda pun demikian. Bendera yang mereka gunakan berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid berwarna putih. Mereka gunakan sejak 2012 hingga kini.

ISIS pun demikian. Benderanya berwarna hitam, tulisan tauhid berwarna putih. Mereka gunakan sebagai kebanggaan dalam memberontak pemerintahan yang sah di negeri Suriah. Bendera ISIS itu ada sejak 2006 hingga saat ini.

Terakhir, Hizbut Tahrir. Organisasi transnasional yang saat ini sudah dilarang di belasan negara Islam, juga menggunakan bendera dengan bertuliskan kalimat tauhid. Kalau Hizbut Tahrir berhasil menguasai dunia dengan satu kekhilafahan Islam, maka akan ada dua jenis bendera yang berbeda.

Pertama, bendera putih (liwa’) digunakan untuk simbol negara. Kedua, bendera hitam (rayah) digunakan untuk perang. Jejak digital pun ada, silakan dicari di internet bagaimana jenis-jenis bendera berkalimat tauhid yang digunakan oleh Hizbut Tahrir.

Dari semua bendera itu, sama sekali tidak ada yang mencantumkan nama organisasi. Semuanya berlambang tauhid dengan gaya yang berbeda-beda. Parahnya, semua organisasi tersebut menganggap bahwa bendera miliknya itu merupakan panji Rasulullah.


Kembali ke persoalan Banser di Limbangan, Garut, Jawa Barat.

Menurut saya, tidak akan terjadi insiden pembakaran jika tidak ada yang membawa bendera Hizbut Tahrir. Hal ini juga terjadi saat ISIS berhasil dikalahkan oleh Tentara Suriah. Bendera ISIS kemudian dibakar sebagai simbol kemenangan bagi warga Suriah yang sudah sejak lama terjajah oleh gerombolan teroris berkedok tauhid bernama: ISIS.


Tentara Suriah membakar bendera ISIS

Dengan begitu, jelaslah bahwa yang dibakar oleh Banser adalah bendera Hizbut Tahrir. Dan bagaimana mungkin, Banser anti-tauhid, padahal hampir setiap minggu, Banser yang juga warga NU kerap mengadakan tahlilan yang didalamnya tentu ada kalimat tauhid: laa ilaaha illallah.

Kalimat tauhid, lebih besar maknanya dari sekadar cetakan sablon yang terdapat di bendera. Tauhid berarti upaya untuk menyatukan diri kepada Allah. Segala hal yang dilakukan haruslah berujung-pangkal dan bermuara pada kebesaran Allah. Ia tidak menjadi kecil, seperti tertulis di dalam bendera. Kalimat tauhid itu besar, sebesar kekuasaan Allah di dunia dan alam semesta.

Banser, terlalu reaksioner. Terlalu emosional. Hal itu sesungguhnya bukanlah yang diajarkan oleh para kiai NU; kecuali jika dalam keadaan genting sehingga harus melakukan perlawanan yang bersifat konfrontatif.

Akan tetapi, Banser telah membuka mata kita semua, bahwa bertauhid tidak hanya sekadar mengagung-agungkan simbol dan bendera. Maka ketika marah dengan bendera, baik marah hingga membakarnya atau pun marah karena dibakar, sebenarnya siapa yang sedang kita tauhidkan? Allah atau bendera?


Banser tidak sepenuhnya benar, dan tidak sepenuhnya salah. Klik disini untuk melihat video tanggapan Bang Aru terhadap pembakaran bendera Hizbut Tahrir.


Wallahua'lam...

Sabtu, 20 Oktober 2018

Komentar Mpok Mumun untuk Mahasiswi S3 Anti-Feminisme




Di beranda (facebook) saya dipenuhi poster tentang promosi ceramah seorang perempuan program doktoral yang akan memberikan ceramah tentang anti-feminisme. Ia mengecam feminisme. 

Katanya, feminisme mendorong perempuan untuk berkarir. Sehingga meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Ia juga menyebut soal perempuan berkarir demi tujuan materi, agar dapat hidup dengan gaya sosialita.

Ketika sedang asyik membaca poster tersebut, saya dikagetkan oleh Kipli dan Mpok Mumun. Rupanya mereka berdua di belakang sejak tadi sedang memperhatikan apa yang saya baca.

"Itu bener Bang? Seorang mahasiswi doktoral mengkritik feminisme. Anti femisme tapi sedang menempuh doktoral? Membangun pengertian sendiri tentang feminisme, lalu memusuhi sendiri pengertian yang ia buat. Tuh cewek pinter, tapi bego," Ucap Mpok Mumun.

"Sabar, Beb, sabar. Jangan galak-galak. Entar cakepnye ilang," ucap Kipli menenangkan kekasih hatinya.

"Gimana gak kesel. Kuliah S3 tapi isi otaknya SMP. Feminisme itu memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Setara dengan laki-laki. Artinya setara sebagai manusia. Ini yang paling fundamental. Di masa Jahiliyah dulu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Itu anggapan yang dibuat oleh masyarakat, dan dianut juga oleh perempuan. Kemudian Nabi SAW datang mengubah tatanan itu," kata Mpok Mumun.

"Bahkan dalam dunia pendidikan, Nabi SAW dengan tegas bersabda: (menuntut ilmu) wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan. Kalau laki-laki diberi pendidikan, maka perempuan juga berhak atas pendidikan. Zaman Jahiliyyah dulu perempuan tidak boleh berilmu, karena tugasnya cuma mengangkang di atas kasur, goyang-goyang erotis, memasak di dapur, dan mencuci di sumur. Kalau yang bicara itu emak-emak yang tiap hari di rumah sih aye enggak protes. Lah ini mahasiswi S3 tapi mengkritisi feminisme. Apa nggak tolol namanya?" Lanjut Mpok Mumun berapi-api.

"Tuh dengerin Bang Udin. Bebeb aye pinter kan jelasinnya. Walaupun cuma tamatan Aliyah, itu pun berhenti di kelas 2. Tapi aye cinte kok," ucap Kipli sambil mengerlingkan matanya kepada Mpok Mumun. 

"Iyeee, iyeee Pli. Mumun keren. Tapi yang enggakk keren itu elu. Kapan mau nikahin Mumun?" Ucap saya.

"Ah enggak asik lu, Bang. Jurus maut dikeluarin terus. Huuuuu," protes Kipli.


(Penulis: Bahrudin Achmad)

Rabu, 17 Oktober 2018

Ketika Rasulullah Menjawab Syair Hassan bin Tsabit di Masjid Nabawi


Sumber gambar: artikula.id


Suatu ketika, Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawi. Kemudian, ia ditegur oleh Sayyidina Umar bin Khattab ra. 

Hassan berkata: Aku sudah membaca syair nasyidah di sini, di hadapan orang yang lebih mulia dari engkau, Umar. Yakni Nabi Muhammad saw.

Lalu, Hassan berpaling dan menghampiri Abu Hurairah ra seraya berkata: Bukankah kau dengar Rasulullah saw menjawab syairku dengan doa?

Doa tersebut adalah: Wahai Allah bantulah ia dengan ruhul qudus.

Maka, Abu Hurairah ra berkata: Betul!


(Tulisan di atas menjadi salah satu dasar puji-pujian atau salawatan. Diambil dari Status Facebook Kiai Ahmad Iftah Sidik, Pengasuh Pondok Pesantren Fatahillah, Mustikajaya. Bersumber dari: Shahih Bukhari Hadits Nomor 3040 dan Shahih Muslim Hadits Nomor 2485)

Pesan Bang Aru untuk Himikom Unisma Bekasi


Saat memberikan materi Jurnalistik

Ada yang lupa saya katakan, saat memberikan materi sekaligus pengalaman berkegiatan Jurnalistik di kehidupan nyata. Bahwa dari ketiga narasumber, hanya saya yang belum mendapat gelar sarjana. Namun, panitia Amazing Communication Family (ACF) 4, mendaulat saya sebagai narasumber. Ini menarik.

Saya masih berstatus mahasiswa, tapi duduk bersebelahan dengan para sarjana di hadapan sekitar 90 mahasiswa/i yang siap bergabung di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himikom) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi.

Dengan para peserta ACF 4, status saya sama, yakni sebagai mahasiswa. Tapi dengan narasumber lainnya, jelas berbeda. Maka, yang ingin saya katakan adalah bahwa segala hal yang berbeda jangan pernah disama-samakan. Sementara sesuatu yang memang sama, jangan dibeda-bedakan. 

Kalimat tersebut berlaku dalam berbagai hal. Sila maknai dengan tafsir sebebas-bebasnya. Terkadang, di hadapan orang yang baru dikenal, saya berpenampilan layaknya seorang bijak. Padahal, tidak sama sekali. Saya adalah orang yang masih perlu diberi kebijaksanaan oleh siapa pun. 

Karenanya, di depan peserta ACF 4 yang masih unyu-unyu itu, saya selalu sampaikan agar jangan mudah percaya dengan berbagai hal yang keluar dari mulut saya. Semoga, yang disampaikan bukanlah sesuatu yang seketika itu dapat dipahami, agar dialektika pembelajaran tetap berjalan di luar ruangan.

Saya bukan pendogma dan pendoktrin. Salah dan benar serta baik dan buruk, masih dapat diperdebatkan lain waktu. Sebab yang paling utama dari penyampaian saya ketika itu adalah bagaimana caranya agar adik-adik mahasiswa bisa mendapatkan pengantar untuk senantiasa giat belajar.

Materi Jurnalistik, saya sampaikan alakadarnya. Hanya sedikit-sedikit saja. Tidak seperti di ruang kelas. Kemudian, seluruh pengalaman berkegiatan saya di dunia Jurnalistik, mulai dari menjadi wartawan NU Online (nu.or.id), menjadi Pengelola Media NU Kota Bekasi (nubekasi.id) hingga memiliki website berbayar aruelgete.id, saya kemukakan. 

Itu hanya stimulus supaya adik-adik unyu di hadapan saya memiliki semangat untuk belajar memahami sesuatu yang bakal didapatkannya di kemudian hari. Hanya sebatas itu, tak lebih. 


Wefie bersama peserta ACF 4

Di hari kedua ACF 4, materi dipadatkan. Beberapa diantaranya adalah pemaparan pengalaman dan materi keilmuan (Jurnalistik, kehumasan, dan kewirausahaan), materi kehimikoman, pengenalan organisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (IMIKI), teknik persidangan, dan debat ilmiah.

Kegiatan pada hari itu, ditutup dengan Malam Minggu Ilkom. Seluruh peserta diberikan kesempatan untuk menampilkan bakat dan talentanya. Ada yang bernyanyi, berpuisi, bahkan stand up comedy. Saya melihat, semuanya bergembira. Tak ada raut ketidaksukaan dari 90 peserta yang mengikuti kegiatan ini.

Usai Malam Minggu Ilkom, peserta dipersilakan tidur. Sementara panitia dan senior, melakukan persiapan untuk kegiatan selanjutnya. Yakni, jurit malam. Terdapat empat pos: motivasi, kehimikoman, keorganisasian, dan kebangsaan. Saya ditempatkan di pos pertama.

Kepada setiap rombongan peserta yang telah dikelompokkan, sekitar 6-8 orang per kelompok, saya mengajukan pertanyaan sederhana kepada mereka: siapa yang ingin berorganisasi di himikom? Sebagian mengacungkan tangan, sebagian lagi tidak. Ada pula yang langsung membeberkan alasannya.

Jawaban atau alasan normatif, saya terima. Itu wajar. Dari tahun ke tahun, tidak lebih dari sekadar untuk memperbanyak teman dan memperluas wawasan. Tapi, bukan itu yang ingin saya stimulus ke alam bawah sadar mereka.

Dengan sangat yakin, saya justru mengatakan agar mereka semua lebih baik tidak berhimikom. Sebab himikom akan tetap ada, sekalipun mereka tak terlibat di dalamnya. Berorganisasi itu berat, maka jangan hanya dijadikan sebatas mencari teman dan memperluas wawasan.

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, tidak berdosa jika tidak berhimikom. Tidak juga berpahala jika mengurusi Himikom. Sebab semuanya bukan soal itu. Melainkan soal tanggung jawab moral sebagai bagian dari Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi.

Bagaimana mungkin, mahasiswa yang setiap hari belajar di Ilmu Komunikasi, kemudian dinaungi oleh rumah bernama Himikom, tapi justru acuh dengan tata kelola organisme yang berjalan di dalamnya. Tanggung jawab moral, sebagai bagian dari keluarga, (jika Himikom diibaratkan sebagai rumah tangga) bakal dipertanyakan.

Saya kemudian bertanya: "Ketika duduk di bangku SMA/sederajat, masuk dan pulang sekolah jam berapa? Ada berapa pelajaran dalam sehari?"

Kemudian mereka menjawab berbeda-beda, tapi intinya sama. Bahwa kegiatan di ruang kelas, lebih banyak dan padat saat di sekolah daripada jam perkuliahan. Di kampus, mahasiswa hanya mendapat mata kuliah, kurang lebih 5 sks dalam sehari. Sebelum zuhur, terkadang, sudah selesai perkuliahan.

"Kalian pernah dengar nasihat bijak soal manusia yang merugi ketika tidak mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin?" tanya saya kepada mereka. Lantas, mereka mengiyakan.

Di tengah gigil menuju subuh, saya menyampaikan bahwa alangkah lebih baiknya tanggung jawab moral itu diaplikasikan agar waktu selama kuliah jadi manfaat, dan tidak menjadi manusia yang merugi. Mereka, lagi-lagi mengangguk tanda mengerti.


Bersama panitia dan peserta ACF 4, serta pengurus Himikom Unisma Bekasi

Menjadi mahasiswa berarti telah ditinggikan derajatnya. Sebab banyak juga anak-anak Indonesia yang tidak kesampaian untuk menduduki nikmatnya bangku perkuliahan. Kemudian, barangsiapa yang telah tinggi derajatnya, maka tugas dan tanggung jawab yang diberikan akan lebih berat dari sebelumnya.

Berorganisasi itu berat. Saya menceritakan berbagai pengalaman saat menjadi Ketua Himikom periode 2015-2016, sebagai gambaran bahwa berorganisasi tidak sebercanda generasi milenial yang dengan mudahnya mengunggah foto ke instagram. Butuh waktu, pikiran, bahkan biaya yang tidak sedikit. 

"Kalau memang tidak siap untuk berorganisasi, lebih baik jangan pernah terlibat di Himikom sedari awal. Himikom akan selalu ada dan jaya, sekalipun kalian tak ada di dalam Himikom," sekali lagi saya menegaskan kepada mereka.

Himikom, bagi saya bukan hanya soal menambah jejaring (bahkan kalau boleh sombong, saya adalah orang yang menghubungkan kembali Himikom dengan IMIKI) dan memperluas wawasan keilmuan saja. Melainkan soal ruang pendewasaan dan dialektika tubuh yang kerap mendapat asupan gizi intelektual karena sering bersentuhan dengan berbagai permasalahan.

Himikom adalah bagian dari kampus. Maka, Himikom harus terlibat dari berbagai persoalan yang muncul di sana. Himikom tak boleh apatis dan menutup mata dari permasalahan yang ada. Sebab kampus adalah miniatur dari kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Orang-orang yang tuntas berorganisasi di kampus, maka tak akan pernah menemukan kesulitan jika suatu saat menjadi bagian dari masyarakat di luar kampus. Maka, dari Himikom-lah kita belajar. Saya, terutama, banyak belajar dari Himikom. Sehingga ketika menghadapi banyak orang di lingkungan masyarakat, tidak pernah menemukan kegugupan sama sekali. Santai saja.

Saya juga menanyakan kepada mereka, apa alasan mengikuti kegiatan ACF 4? Sebagian besar menjawab karena ada 'kewajiban'. Ini teguran bagi panitia dan pengurus Himikom. Kenapa diwajibkan? Mereka, mahasiswa baru, jelas akan merasa takut dan merasa berdosa jika tidak mengikuti kegiatan yang sifatnya wajib.

Untuk melakukan regenerasi, atau katakanlah kaderisasi, tak perlu memberikan embel-embel wajib untuk kegiatan yang dilakukan. Biarlah atas dasar kemauan sendiri. Sebab, militansi dan dedikasi yang tinggi merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan organisasi. Bukan justru dari keterpaksaan yang menciptakan ketakutan-ketakutan baru. 

Memaksa, menakut-nakuti, dan bertindak semaunya; itu kerja-kerja orde baru. Tak perlu diikuti. 



Ketua Himikom sejak 2014, dari kiri ke kanan: Ahmad Fadhol Dikjaya, Aru Lego Triono, Malik Abdul Jabbar, dan Andam Rukhwandi Rakhman

Terakhir, saya ingin sampaikan bahwa Himikom adalah organisasi independen yang dipegang langsung oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi, tanpa campur tangan dari mana pun, tetapi jika hanya sebatas saran dan anjuran, silakan diterima sebagai pertimbangan. 

Nah, kalau sudah ada intervensi dari luar, lebih baik Himikom ditiadakan!

Sekian.


(Kegiatan ACF 4 Himikom Unisma Bekasi dilaksanakan pada 12-14 Oktober 2018, di Villa Evasari, Cisarua, Kabupaten Bogor)

Senin, 15 Oktober 2018

Mie Shower ala Santri


Bersama Rafi (kiri) dan Jaya (tengah)

Oleh: Kiai Ahmad Iftah Sidik

Ada dua orang santri, Jaya dan Rafi. Kepada mereka saya minta tolong untuk menjaga Umi di RS selama saya pergi ke Tegal, mengambil brankar (bed pasien) bantuan dari Kamal Jabodetabek dan teman alumni pesantren yang tinggal di sana.

Jaya diminta tolong karena hobinya memijat kami, para asatidz, dan juga Umi. Malah terkadang, anak Tanjung Priok itu lebih suka disuruh memijat daripada sekolah. Maka, saat sadar dari koma, selain keluarga, yang paling sering dipanggil Umi dalam keadaan setengah sadar adalah Jaya.

Rafi, sering diajak Jaya. Keduanya memang teman akrab karena hobinya memelihara. Rafi hobi beternak unggas. Di pondok, ia punya peternakan ayam dan burung dara mini.

Bahkan dulu, saat disuruh mondok di Fatahillah oleh pamannya, pertanyaan pertama yang diajukan Rafi sebagai pertimbangan persetujuan untuk mondok adalah: "di pondok boleh melihara ayam, gak?" 

Saya menjawab mantap, ketika Rafi dan pamannya bertanya. "Kamu boleh beternak apa pun di sini, selagi kamu urus sendiri makannya dan kebersihan kandangnya".

Makanya kebanyakan santriwan Fatahillah punya peliharaan. Kalau tidak ikan di akuarium atau kolam yang mereka buat sendiri, mereka melihara ayam, atau burung dara. Rafi-lah yang kemudian menjadi konsultannya. 

Setiap kali pondok mendapat bantuan buku, jika ada yang berkaitan dengan peternakan, Rafi yang selalu saya panggil terlebih dulu. "Baca tuh, Fi, abis itu ajarin teman-teman."

Sementara itu, Jaya hobi memelihara ikan. Mulai dari yang dibelinya dari tukang hias, hingga ikan yang ia pancing di rawa dekat pondok. Ia pun beternak ikan lele di kolam yang dibuat sendiri dari bekas plastik banner. Jaya juga yang selalu rajin menyiram tanaman di pot-pot milik pesantren.

Rafi dan Jaya juga merupakan aktivis yang sering mengorek dapur atau tempat sampah pesantren. Mereka senang mencari dan mengumpulkan gelas plastik bekas, botol atau gelas air mineral.

Tak jarang, jika usai acara di pondok, mereka bisa dapat plastik hingga satu kantong plastik besar. Setiap libur sekolah, Ahad, mereka izin ke luar pondok untuk menjual plastik ke lapak.

"Hasilnya lumayan pak. Lama-lama bisa buat pergi haji," kata Rafi.

Siang ini, sepulang dari Tegal, saya kembali ke RS, menggantikan mereka yang harus kembali ke pondok untuk sekolah.

"Kalian sudah sarapan?" Tanya saya.

"Sudah, Pak," Jaya menjawab.

"Makan apa?"

"Mie instan Pak, itu.." kata Jaya sembari menunjuk beberapa bungkus mie instan.

"Lha masaknya pakai apa?"

"Di sini enak, Pak. Kalau mau masa mie tinggal masuk ke kamar mandi, buka bungkus mie terus putar kran pancuran mandi, keluar deh air panas, bisa buat ngopi juga," kata Jaya dengan semangat.

"Kalau mau minum dingin tinggal buka kran satunya, tuang ke nutrisari. Jadi deh es nutrisari," lanjutnya.

Saya pun bingung dan bengong.

"Eeettt dah, itu mah air shower buat mandi, bukan air dispenser."

Gantian mereka yang bengong. Lalu kami tertawa bareng.

Rafi yang insting bisnisnya bagus, segera nyeletuk, "Wah, kayaknya bagus juga kalau kita bikin warung jualannya Mie Shower."

Akal santri emang kagak ada matinya.

😂😂😂😂😂

(Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Fatahillah, Mustikajaya, Kota Bekasi)

Jumat, 12 Oktober 2018

Kurang Ngopi Bisa Bikin Emosi


Sumber gambar: jogja.tribunnews.com


Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia (RI) KH Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan bahwa kesalehan santri tidak dilihat dari penampilan sok suci dan tanda-tanda fisik ahli ibadah. Melainkan dari pengaruhnya terhadap perbaikan masyarakat.

“Dalam pergaulan santri, kedalaman ilmu dan kebijaksanaan diri seringkali digambarkan dengan secangkir kopi,” katanya saat orasi kebudayaan pada acara Malam Kebudayaan Pesantren, di Panggung Krapyak, Yogyakarta, Rabu (10/10) malam.

Ia mengamati bahwa dunia kehidupan pesantren, santri yang punya kebiasaan malas dan kurang produktif dianggap kurang minum kopi. Santri yang emosional dan mudah dibohongi adalah tanda kalau minum kopinya kurang pahit.

“Santri yang kuper dan kudet, berarti ngopinya kurang jauh. Santri yang suka ngeyel dan mudah menyalahkan orang lain, itu tandanya belum pernah menyeduh kopi,” kata Kiai Lukman di hadapan ribuan orang yang saat itu hadir sembari duduk bersila dan sebagian ada pula yang berdiri.

Selain itu, ia menilai santri yang hanya mementingkan diri sendiri, jelas suka kopi yang gratisan. “Tapi kalau ada santri jam segini tak kunjung ngopi, itu cuma perkara belum dapat rejeki,” kelakarnya disambut gelak tawa hadirin yang sebagian besar adalah santri Krapyak.


Kiai Lukman menerangkan bahwa ada seorang ulama bernama Syekh Ihsan dari Jampes, Kediri, Jawa Timur yang mengarang kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayaani Qahwah wad Dukhon (Petunjuk Umum untuk Kopi dan Rokok). Dalam kitab itu disebutkan, kopi adalah minuman para ulama karena bisa meningkatkan dan mempertajam intuisi.

Di dalamnya, diulas pula soal perdebatan tentang hukum menyeruput kopi. Hal tersebut menjadi maklum, karena kopi sudah terlalu jauh masuk ke wilayah pesantren. Bahkan, terdapat adagium bahwa penggerak utama pesantren itu sesungguhnya terdiri dari kiai, santri, ngaji, dan kopi.


“Saya tidak hendak mengajak anda semua untuk ngopi. Tapi saya justru ingin mengingatkan, pesantren bukanlah warung kopi. Pesantren adalah tempat menuntut ilmu dan menimba pengalaman,” tambahnya.

Ia memandang bahwa pesantren merupakan tempat untuk menyadari tentang menjalani hidup yang diibaratkan seperti menikmati kopi. Ada pahit-pahit manis yang bikin melek hati. Sebagai majelis pengetahuan, kopi pun jadi bahasan ulama dalam karya tulisnya.

“Ini berarti, ilmunya para kiai tidak sebatas perkara salat hingga haji, tak cuma soal membasuh muka sampai menata hati, tetapi juga urusan menyeruput kopi,” pandang Kiai Lukman.

Baginya, hal yang harus digarisbawahi adalah betapa kuat budaya literasi kaum santri hingga sempat-sempatnya menulis kitab tentang kopi.

“Boleh jadi lantaran mereka tak pernah lupa bahwa literasi adalah tradisi asli para ulama dan kiai,” pungkasnya.




(Sumber: NU Online)