Rabu, 24 Oktober 2018

Bang Aru Tanggapi Pembakaran Bendera Bertuliskan Kalimat Tauhid




Persoalan pembakaran bendera berlambang kalimat tauhid, memancing emosi sebagian besar umat Islam di Indonesia. Kejadian itu terjadi saat perayaan Hari Santri di Limbangan, Garut, Jawa Barat, pada Senin (22/10) lalu.

Bermula dari video yang viral, kemudian muncul berbagai tanggapan. Pro-kontra tak terbantahkan. Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dianggap anti-tauhid, karena dengan sengaja dan sukacita membakar bendera berkalimat tauhid, sembari menyanyikan sya’ir Syubbanul Wathon.

Berdasarkan informasi yang didapat, jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan perayaan Hari Santri, panitia sudah menginstruksikan agar tidak membawa bendera selain bendera merah putih dan bendera Nahdlatul Ulama (NU). Namun saat Apel sedang berlangsung khidmat, seorang pemuda tanggung kedapatan membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Setelah itu, pemuda tersebut dipanggil dan dibicarakan dengan baik-baik. Banser memang berlebihan, seharusnya bendera berkalimat tauhid itu tak perlu dibakar, cukuplah disimpan saja.

Akan tetapi, dengan terbakarnya bendera itu, maka kita dapat mengetahui bahwa Hizbut Tahrir di Indonesia, termasuk simpatisannya, masih hidup. Mereka itulah yang marah karena bendera bertuliskan kalimat tauhid dibakar.

Saudaraku yang baik, sebelum marah-marah dan mengeluarkan pernyataan yang dapat memecah-belah persatuan, mari kita telaah masalah yang terjadi. Benarkah Banser membakar bendera tauhid, benderanya umat Islam, sehingga Banser dituduh anti-tauhid? Sungguh, ini rumit sekali.

Banser menyatakan bahwa yang dibakar adalah bendera Hizbut Tahrir, organisasi terlarang di negeri ini. Namun, ada pula yang mengatakan: kalau bendera itu milik Hizbut Tahrir, maka ada tulisan Hizbut Tahrir-nya, walhasil bendera itu adalah panji Rasulullah.

Dalam bahasa Arab, kita mengenalnya dengan istilah Liwa dan Rayah. Di dalam Kitab Fathul Bari’, karya Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Juz 6, halaman 95, yang ia kutip dari pendapat Abu Bakar Ibnu Arabi dan Tirmidzi, bahwa Liwa berarti panji yang dipasang di ujung tombak Nabi.

Sedangkan Rayah adalah bendera, yakni kain yang diikat di tombak dan berkibar oleh tiupan angin. Hadits yang menerangkan warna bendera dan panji Nabi diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Nasa’i. Imam Bukhari sendiri tidak meriwayatkan hadits tentang warna bendera atau panji Nabi.

Bukhari hanya menerangkan bahwa dalam ekspedisinya, Nabi menggunakan bendera sebagai tanda untuk membedakan diri dari musuh. Hadits-hadits dari sejumlah rawi lain menyebut warna bendera Nabi berbeda-beda.

Dalam banyak ekspedisi militer, Nabi tidak menggunakan warna tunggal; kadang putih, hitam, atau kuning. Hal itu berarti, bendera Nabi bukan identitas paten sebagaimana yang jamak kita ketahui saat ini. Sementara hadits yang menyebut kalimat tauhid tertulis di bendera Nabi itu diriwayatkan oleh Abu Syaikh, yang oleh Ibnu Hajar dikatakan: sanadnya lemah.



Bendera yang bertuliskan kalimat tauhid, dari masa ke masa, telah digunakan oleh kelompok pemberontak. Ikhwan Wahabi Saudi menggunakan bendera tersebut pada kisaran tahun 1920-1930. Tapi kemudian mereka memberontak terhadap Raja Ibnu Saud.

Kemudian, Al-Qaeda. Organisasi teroris, di bawah komando Osama bin Laden, juga menggunakan bendera dengan tulisan kalimat tauhid sebagai kebanggaan bagi kelompoknya. Mereka menggunakan bendera itu sejak tahun 1988 hingga sekarang.

Ada pula organisasi pemberontak lainnya, yakni Taliban yang ingin menguasai Afghanistan. Bendera yang mereka gunakan berwarna putih dengan kalimat tauhid berwarna hitam. Mereka menggunakan bendera tersebut sejak tahun 1996 hingga 2001.

Selain itu, ada juga Jamaah Tauhid. Bendera kebanggaan mereka berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid berwarna putih. Kemudian ada juga tulisan At-tawhid jama’ah wal-jihad dengan warna kuning. Mereka menggunakan bendera itu sejak tahun 1999 hingga 2004.

Jama’ah Nusroh, ‘adik kandung’ dari Al-Qaeda pun demikian. Bendera yang mereka gunakan berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid berwarna putih. Mereka gunakan sejak 2012 hingga kini.

ISIS pun demikian. Benderanya berwarna hitam, tulisan tauhid berwarna putih. Mereka gunakan sebagai kebanggaan dalam memberontak pemerintahan yang sah di negeri Suriah. Bendera ISIS itu ada sejak 2006 hingga saat ini.

Terakhir, Hizbut Tahrir. Organisasi transnasional yang saat ini sudah dilarang di belasan negara Islam, juga menggunakan bendera dengan bertuliskan kalimat tauhid. Kalau Hizbut Tahrir berhasil menguasai dunia dengan satu kekhilafahan Islam, maka akan ada dua jenis bendera yang berbeda.

Pertama, bendera putih (liwa’) digunakan untuk simbol negara. Kedua, bendera hitam (rayah) digunakan untuk perang. Jejak digital pun ada, silakan dicari di internet bagaimana jenis-jenis bendera berkalimat tauhid yang digunakan oleh Hizbut Tahrir.

Dari semua bendera itu, sama sekali tidak ada yang mencantumkan nama organisasi. Semuanya berlambang tauhid dengan gaya yang berbeda-beda. Parahnya, semua organisasi tersebut menganggap bahwa bendera miliknya itu merupakan panji Rasulullah.


Kembali ke persoalan Banser di Limbangan, Garut, Jawa Barat.

Menurut saya, tidak akan terjadi insiden pembakaran jika tidak ada yang membawa bendera Hizbut Tahrir. Hal ini juga terjadi saat ISIS berhasil dikalahkan oleh Tentara Suriah. Bendera ISIS kemudian dibakar sebagai simbol kemenangan bagi warga Suriah yang sudah sejak lama terjajah oleh gerombolan teroris berkedok tauhid bernama: ISIS.


Tentara Suriah membakar bendera ISIS

Dengan begitu, jelaslah bahwa yang dibakar oleh Banser adalah bendera Hizbut Tahrir. Dan bagaimana mungkin, Banser anti-tauhid, padahal hampir setiap minggu, Banser yang juga warga NU kerap mengadakan tahlilan yang didalamnya tentu ada kalimat tauhid: laa ilaaha illallah.

Kalimat tauhid, lebih besar maknanya dari sekadar cetakan sablon yang terdapat di bendera. Tauhid berarti upaya untuk menyatukan diri kepada Allah. Segala hal yang dilakukan haruslah berujung-pangkal dan bermuara pada kebesaran Allah. Ia tidak menjadi kecil, seperti tertulis di dalam bendera. Kalimat tauhid itu besar, sebesar kekuasaan Allah di dunia dan alam semesta.

Banser, terlalu reaksioner. Terlalu emosional. Hal itu sesungguhnya bukanlah yang diajarkan oleh para kiai NU; kecuali jika dalam keadaan genting sehingga harus melakukan perlawanan yang bersifat konfrontatif.

Akan tetapi, Banser telah membuka mata kita semua, bahwa bertauhid tidak hanya sekadar mengagung-agungkan simbol dan bendera. Maka ketika marah dengan bendera, baik marah hingga membakarnya atau pun marah karena dibakar, sebenarnya siapa yang sedang kita tauhidkan? Allah atau bendera?


Banser tidak sepenuhnya benar, dan tidak sepenuhnya salah. Klik disini untuk melihat video tanggapan Bang Aru terhadap pembakaran bendera Hizbut Tahrir.


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: