Kamis, 11 Oktober 2018

Ini Hikmah di Balik Peristiwa Hoaks, Judo, dan UFC





Bukan Indonesia namanya jika tak gaduh. Akhir-akhir ini, energi pikir dan celoteh kita habis oleh berbagai fenomena yang menarik jika diambil hikmahnya. Hikmah, berarti kebijaksanaan. Bisa juga diartikan sebagai manfaat atau makna terdalam dari setiap peristiwa yang terjadi.


Adegan yang hingga kini masih bergulir dan kian panas adalah kasus berita bohong yang dilakukan Ratna Sarumpaet. Entah rekayasa atau tidak, ada skenario di balik kejadian itu atau tidak, saya tak ambil pusing.


Sebagai masyarakat awam, saya melihat ada yang tidak beres dari para elit negeri ini mempermainkan lakon dagelan di layar kaca. Bagaimana mungkin, sosok aktivis yang suaranya cukup vokal, bisa membohongi seorang Prabowo Subianto dan orang-orang terdekatnya.


Tapi sudahlah. Tak perlu dibahas. Semuanya sudah melakukan klarifikasi versi masing-masing. Meski selalu ada babak baru dari berbagai argumentasi yang dikemukakan. Banyak anggapan bahwa Ratna merupakan sosok yang memiliki rasa tanggung jawab atas kebohongannya di depan publik.


Ada pula yang mengatakan, Prabowo pun bersikap ksatria. Memaafkan Ratna, meski proses hukum harus terus dijalankan, sekalipun dirinya pun juga terlibat dalam proses hukum itu. Walau demikian, ada saja yang berasumsi bahwa Prabowo cuci tangan terhadap kasus berita bohong tersebut.


Amien Rais pun demikian. Ia dipanggil aparat kepolisian untuk diperiksa dan memberikan kesaksian terkait kasus Ratna Sarumpaet itu. Amien, merupakan orang dekat Ratna, karena sama-sama menjadi bagian dari Tim Pemenangan Prabowo-Sandi.


Namun, rupanya ia pernah mangkir karena ada kesalahan penulisan nama. Kemudian, akhirnya ia datang ke Polda Metro Jaya dengan membawa 300 pengacara yang siap mendampingi. Begitu pula simpatisan setianya. Saat diwawancara, apa yang mereka katakan: kriminalisasi terhadap tokoh agama (atau katakanlah ulama).


Akar rumput jadi tegang. Riuh. Sesama warga masyarakat pun bahkan ada yang saling bersilang pendapat, hingga akhirnya terpercik aroma kebencian. Ini yang tak sehat. Lantas, apa yang mesti kita ambil sebagai hikmah dari kejadian tersebut?


Jelas, menyebarkan berita bohong itu adalah perbuatan yang tidak baik. Secara tidak langsung, Ratna mengajarkan kepada masyarakat bahwa hoaks menjadi musuh bersama bangsa ini. Perlahan, masyarakat awam jadi cerdas.


Berhati-hati dalam mencerna pemberitaan yang datang dan berseliweran di media sosial. Uji validitas dan mencari kebenaran sebelum menyebarkannya kembali. Kalau ternyata, kebenaran dari sebuah berita yang didapat itu meragukan, maka alangkah lebih baiknya untuk tidak melanjutkan penyebarannya.


Menjadi bijak, memang sulit. Tetapi berusaha untuk menjadi bijak, terutama dalam berselancar di media sosial, harus dimulai sejak dini. Pelajaran berharga yang telah diajarkan oleh Ratna Sarumpaet itu mestilah jadi pencerdasan bagi kita.


Terlepas para elit politik negeri ini kian gencar menggulirkan bola panas, yang ditujukan kepada lawannya, masyarakat sebaiknya tak turut dalam perguliran bola panas itu. Sebab jika akar rumput terbakar, maka takkan ada lagi penyeimbang kebenaran atas moralitas di negeri ini.


Itu Ratna Sarumpaet...


Kemudian, ada atlet Judo di ajang Asian Para Games 2018 bernama Miftahul Jannah. Ia wanita muslim dengan balutan jilbab di kepalanya. Namun, ia rupanya diminta untuk membuka ‘mahkota’nya jika ingin melanjutkan kontestasi di kompetisi bergengsi kaum difabel se-Asia itu.


Penghargaan dan apresiasi berdatangan dari mana-mana saat ia memutuskan untuk mundur dari pertarungan. Alasannya karena mempertahankan ajaran agama, akidah, dan syari’at Islam. Sesaat setelah pertandingan itu dimulai, Jannah harus menerima diskualifikasi dari wasit.


Berbondong-bondong masyarakat Indonesia tersulut emosinya. Berasumsi bahwa wasit pertandingan kala itu tengah melakukan diskriminasi terhadap agama Islam. Parahnya, barangkali karena ketidaktahuan, banyak yang menyangka bahwa rezim di bawah Jokowi benar-benar anti-Islam.


Namun rupanya, aturan tentang pelarangan mengenakan penutup kepala termasuk jilbab telah diberlakukan sejak lama. Alasannya demi keamanan sang atlet. Sebab, jilbab dinilai dapat membahayakan atlet judo, seperti leher tercekik atau cedera lainnya di bagian kepala.


Direktur Olahraga Panitia Penyelenggara Asian Para Games 2018 (Inapgoc), Fanny Irawan membenarkan bahwa aturan tersebut telah berlaku secara internasional. Menurutnya, dalam aturan Federasi Judo Internasional (IJF), artikel empat poin empat disebutkan kepala tidak boleh ditutup kecuali untuk membalut yang bersifat medis.


“Balutan medis itu pun harus mengikuti aturan kerapian kepala,” kata Fanny, demikian saya lansir dari kompas.com.


Lebih lengkap aturan itu berbunyi:

Rambut panjang harus diikat dengan pita rambut yang terbuat dari karet atau bahan sejenis dan tidak ada komponen kaku atau logam. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat medis yang harus mematuhi aturan kerapian kepala.


Sedangkan Penanggung Jawab Judo Asian Para Games 2018, Ahmad Bahar, larangan itu juga sudah diatur dalam aturan wasit di Federasi Olahraga Buta Internasional (IBSA).


Selain itu, Ketua National Paralympic Committee (NPC), Senny Marbun mengaku bersalah dan meminta maaf. “NPC sangat malu dan tidak mengharapkan ini terjadi. Saya akui NPC bersalah karena ini keteledoran kami juga,” kata Senny.


Namun, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Kemenpora, Mulyana, mengatakan perubahan peraturan dalam cabang olahraga Judo terkait penggunaan jilbab yang sesuai harus mendapatkan dukungan internasional, termasuk dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).


“Rekomendasi atlet berjilbab dapat mengikuti pertandingan dalam cabang olahraga Judo butuh kajian dan harus datang dari seluruh federasi. Namun, aturan dalam Judo itu mengacu pada prinsip keselamatan bagi seluruh atlet dan tidak ada diskriminasi dalam olahraga,” kata Mulyana.


Lantas, sebagai masyarakat awam yang tak tahu regulasi olahraga Judo apa yang bisa kita ambil sebagai hikmah dari kejadian yang menimpa Miftahul Jannah itu?
Pertama, jelas soal pengetahuan baru tentang peraturan yang berdasarkan pada prinsip keselamatan itu. Peraturan dibuat tentu atas kajian-kajian mendalam terlebih dulu. Terlebih, aturan tersebut berlaku untuk skala internasional.


Kedua, NPC telah mengakui kesalahan atas keteledoran yang telah diperbuat. Maka, dalam segala aspek kehidupan hendaklah kita mengetahui berbagai aturan yang sudah terterap untuk dilaksanakan. Melanggar peraturan, terlebih mengingkari keputusan yang telah disepakati bersama merupakan bentuk pengkhianatan. Paham ya?


Ketiga, mari kita dorong IJF untuk segera mengkaji ulang peraturan tentang pelarangan terhadap atlet Judo mengenakan penutup kepala. Sebab, ada banyak negara muslim di dunia yang atlet-atletnya berjilbab. Tentu, peraturan itu juga harus berasaskan pada prinsip keselamatan.


Keempat, kejadian Miftahul Jannah itu mengajarkan kepada kita agar tidak berkomentar tentang segala sesuatu yang tidak menjadi kompetensi diri. Serahkan semua kepada ahlinya. Sebab, pepatah mengatakan: “tong kosong nyaring bunyinya”.


Kelima, sudahi bersikap playing victim!


Selain Judo dan berita hoaks, kita juga dihebohkan oleh aksi heroik yang dilakukan Khabib Nurmagomedov melawan Conor McGregor dalam gelaran Ultimate Fighting Championship 229 di T-Mobile Arena, Las Vegas, Amerika Serikat, pada Sabtu (6/10) malam waktu setempat.


Sebelum pertandingan, si penantang (McGregor) berkali-kali melakukan provokasi sebelum pertandingan dengan melempari bus. Bahkan urusan-urusan pribadi Khabib kerap direcoki. Termasuk ayah dan agama Islam yang dianut Khabib kerap dihina dengan cercaan yang menyakitkan.


Namun, semuanya dibalas dan terlampiaskan di arena pertandingan. Petarung muslim asal negeri Komunis itu akhirnya keluar sebagai juara. Ia mampu membuat McGregor KO hanya dalam empat ronde.


Lalu, apa yang harus kita ambil hikmah dari peristiwa heroik itu? Sebagai muslim, kita tentu akan mengatakan bahwa jangan sembarangan dengan agama penyempurna itu. Sebab ada hadits yang berbunyi: al-islam ya’lu wa laa yu’la alaih.


Substansi Islam akan senantiasa tertampak, sekalipun bertubi-tubi banyak pihak yang ingin melemahkannya. Ada pula peribahasa yang berbunyi bahwa mutiara akan tetap berkilau meski terkubur dalam lumpur.


Kemudian, kita mendapat pelajaran berharga bahwa di banyak pertandingan atau kontestasi, penantang memang akan agresif melakukan provokasi. Lebih-lebih, jika mengetahui kualitas lawan lebih unggul.


Hal tersebut mirip dengan situasi politik Indonesia akhir-akhir ini. Sekali lagi, penantang akan lebih provokatif jika melihat kubu lawan lebih punya kualitas tinggi.


Itu UCF...


Selain itu, ada juga Kontes Gay di Pulau Para Dewa, Bali. Syukurnya sudah dibatalkan. Namun, satu yang ingin saya katakan: Tuhan tidak pernah ikut campur ke dalam persoalan teknis.


Allah dalam Al-Qur'an seringkali berfirman: afalaa tatafakkaruun, afalaa tatadabbaruun, afalaa ta'qiluun. Itu bahasa Allah, halus. Bahasa Cak Lontong: mikir!

Previous Post
Next Post

0 komentar: