Di tepi sungai yang menjadi sumber perairan semata wayang, terdapat deretan rumah yang manusianya tak saling kenal satu sama lain. Sibuk. Orang-orang di sana lebih mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing.
Prinsipnya, tak boleh saling ganggu. Karena memang kesempatan untuk menganggu pun lenyap dilahap waktu. Mereka tak membutuhkan siapa-siapa. Jangankan agama, Tuhan pun mereka tak butuh.
Dan suatu ketika, mereka sendiri yang lebur termakan gelap. Sedikit pun pelita tiada. Hanya sisa satu lilin harapan yang, jika mati, musnah sudah peradaban.
Lalu, kehidupan sudah tiada. Sepi. Tak ada lagi hiruk-pikuk kesibukan duniawi yang mereka cipta. Ingar-bingar kebahagiaan tanpa sesiapa tak lagi menjadi teman, yang semula dianggap, abadi.
Tak butuh waktu lama; Tuhan menurunkan kuasa. Kehidupan berganti. Di tepian sungai itu, kini hidup beragam makhluk. Dari manusia hingga sesuatu yang sengaja tak Tuhan tampakkan.
Semua menjadi indah rupa. Saling bicara dan tegur sapa. Berbagi canda, menimbun nestapa. Kala sedih bersama, saat suka semuanya bergembira. Tenteram, nyaman, dan aman; barangkali itu yang dirasa.
Tuhan tak tinggal diam. Dia beri petunjuk kepada masing-masing makhluk, agar hidupnya tak sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Tiap-tiap yang bernafas, menyebut nama-Nya berulang-ulang; pagi hingga malam, dan sampai pagi lagi.
Namun dalam mencapai titik pertemuan dengan Tuhan, dilakukannya dengan cara yang berbeda. Sesuai dengan petunjuk yang didapat. Rupanya, Tuhan memang sengaja memberikan petunjuk yang beragam.
Mereka, satu sama lain, menjadi heran melihat keragaman itu. Karena merasa benar, mereka saling mendebat. Berdasarkan petunjuk yang didapat, yang juga berbeda, tetapi memiliki kesamaan makna; menuju titik satu; Tuhan.
Klaim kebenaran dan tudingan kesalahan mencuat sepanjang masa. Sementara Tuhan berasyik-masyuk menyaksikan perseteruan itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menyunggingkan senyum di bibir pinggir sebelah kiri atas, layaknya seorang dewasa yang melihat perkelahian anak-anak usia 5 tahun.
Petunjuk yang Tuhan beri sebagai penunjang moral dan keluhuran budi itu, kini menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan musuh. Siapa pun yang berbeda adalah musuh dan harus segera dimusnahkan.
Mereka lupa, bahwa hidupnya berawal dari ketiadaan. Kemudian menjadi ada dan mereka sendiri yang justru berniat meniadakannya kembali. Seperti tak menyadari bahwa perbuatan itu justru mencederai perasaan Tuhan.
Di salah satu pohon rindang, mereka pasang spanduk berukuran jumbo bertuliskan, "JANGAN KRITIK PETUNJUK KAMI! KARENA PETUNJUK INI DATANGNYA LANGSUNG DARI LANGIT!"
Mereka menggunakan strategi bertahan, yang seolah-olah teraniaya. Sementara menganiaya adalah makanan sehari-hari. Segala argumentasi yang tak ada di petunjuk itu, dianggap salah. Padahal di petunjuk yang lainnya, terdapat argumentasi yang bersifat menguatkan.
Pada akhirnya, petunjuk itu melembaga. Mengorganisasi. Mereka berkelompok. Saling baca petunjuk, mengingatkan, kalau sudah tepat, serang! Petunjuk yang Tuhan beri menjadi alat untuk melumpuhkan yang lain.
Mereka, berangkat dari kelompok yang memiliki kesamaan latar belakang; berteriak saat diserang. Menjadi riuh, gaduh, dan ricuh. Seakan di tiap sudut mata angin, harus mendengar keluh-kesahnya itu.
Tetapi menjadi sunyi, saat salah satu dari mereka ada yang melakukan kesalahan. Menyerang dan melukai musuh; yang mendapat petunjuk berbeda dari Tuhan. Bahkan, mereka kembali merancang strategi untuk dapat berteriak; mencari pembenaran kolektif, agar kembali mendapat kemenangan.
Akhirnya mereka bersepakat, menjunjung tinggi nilai kebenaran yang berdasarkan petunjuk pemberian Tuhan itu adalah harga mati. Dari situ, menjadi bebaslah untuk memberi kritik dan bahkan celaan bagi petunjuk yang lain.
Mengkritik petunjuk lain dengan berdasar petunjuk sendiri ialah hal wajar. Tetapi saat petunjuknya dikritik dengan berdasarkan pada petunjuk yang lain, itu adalah sebuah kesalahan.
Kesepakatan yang lain adalah, saat merasa diserang, teriak sekencang-kencangnya. Tetapi kalau ada salah satu dari mereka yang menyerang, harus dibela. Kalau tidak bisa membela, lebih baik diam.
Kelak hingga Tuhan kembali memusnahkan kehidupan, spanduk besar itu tetap eksis di pohon rindang pinggir sungai, "JANGAN KRITIK PETUNJUK KAMI! KARENA PETUNJUK INI DATANGNYA LANGSUNG DARI LANGIT!"
Jangan lupa pula, saat melakukan kesalahan dan tersiar kabar yang menyudutkan, katakan bahwa itu adalah pengalihan isu semata. Jangan cemas, Tuhan selalu bersama.
Hingga suatu ketika, ada seorang yang melangitkan doa, berharap agar kehidupannya menjadi sibuk; tak butuh siapa dan apa; juga Tuhan dan petunjuk-Nya.
Ia menginginkan kehidupan yang dijalani, persis seperti kehidupan sebelumnya. Sibuk. Tak punya kesempatan untuk menganggu satu sama lain. Hanya itu.
Sekian...
Bekasi Utara, 28 Desember 2016
Aru Elgete