Selasa, 27 Desember 2016

HABIB RIZIEQ (TIDAK) MENISTA AGAMA?


Sumber: megapolitan.kompas.com

Perayaan Maulid Nabi Muhammad dalam Islam, dan Hari Raya Natal Yesus Kristus bagi umat Kristiani, sangat berdekatan. Hal ini, bisa berpotensi menjadi alasan penguat Kebhinnekaan, dan pula sebaliknya.


Sabtu (24/12) malam, di Jl Arabika 8 No 3 Perumnas Pondok Kopi Jakarta Timur, Habib Rizieq bersama Front Pembela Islam (mungkin juga bersama GNPF-MUI), mengelar acara tabligh akbar dalam rangka memperingati Maulid Kanjeng Nabi Saw.

Dalam ceramahnya itu, dia menyinggung berbagai isu yang sensitif. Pertama, kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang hingga kini belum menemui titik final.

Kedua, fatwa MUI yang mengharamkan ucapan Selamat Natal kepada Umat Kristiani. Ketiga, (masih) fatwa MUI yang melarang pemilik toko atau perusahaan memaksa pekerjanya untuk memakai atribut natal.

Keempat, soal kontroversi kelahiran Yesus Kristus atau Isa Al-Masih (keduanya hanya berbeda bahasa, kalau saya keliru tolong diluruskan).

Ceramahnya itu menjadi viral di media sosial setelah salah seorang jamaahnya mengunggah video berdurasi kurang-lebih 21 detik di akun Instagramnya.

Menjadi lebih seru saat Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI) melaporkan Habib Rizieq ke pihak yang berwajib untuk diproses hukum.

Dari beragam isu yang berkembang, pelaporan tersebut dianggap sebagai ajang balas dendam atas kasus sebelumnya (yang dilakukan Cagub DKI Jakarta nomor urut 2).

Namun, Ketua Umum PP-PMKRI, Angelo Wake Kako menyatakan, dirinya sama sekali tidak berafiliasi dengan partai atau kegiatan politik mana pun. Hal itu, murni karena merasa tersinggung atas ucapan Habib Rizieq dalam ceramahnya.

Banyak yang beranggapan bahwa Habib Rizieq tidak sedang menista agama Kristen. Mengingat dia adalah orang yang keilmuannya tidak bisa diragukan lagi. Seorang yang diyakini berada di garis keturunan Nabi Muhammad Saw.

Tanggapan Saya



Demi merawat Kebhinnekaan dan menjaga keutuhan NKRI, saya perlu menanggapi hal ini. Saya tidak akan tinggal diam seperti bersembunyi di balik tembok besar, yang sesaat lagi akan rubuh menimpa keharmonisan kita semua.

Perlu diingat, tanggapan saya ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan Habib Rizieq apalagi agama Islam. Saya tidak lebih pintar atau lebih alim darinya. 

Tulisan ini adalah bagian dari keresahan yang harus ditumpahkan. Sebagai awam yang jauh dari keilmuan, sekali lagi, saya tidak bermaksud mencaci atau menghina Habib kebanggaan Umat Islam itu.

Pertama, mengenai tataruang dan tatabudaya. Kedua hal itu yang terlebih dahulu ingin saya bahas. Karena kita takkan pernah lepas dari keadaan ruang dan kebudayaan yang melingkupi kehidupan.

Saya sedikit ingin bercerita.

Saat saya sedang menjadi santri di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Darul Maghfiroh, Cilincing, Semper Barat, Jakarta Utara, pernah suatu ketika remaja masjid setempat mengadakan Tabligh Akbar.

Seperti biasa, mikrofon yang digunakan corongnya diarahkan ke luar sehingga satu perumahan pasti mendengar suara penceramah. Warga di sana pun beragam, tidak semuanya beragama Islam.

Ketika sedang membicarakan sesuatu yang dianggap sensitif dan khawatir menyinggung perasaan warga yang tidak beragama Islam, penceramah pun bersikap cerdas. Dia berbicara tanpa menggunakan pengeras suara.

Dengan begitu, yang dapat mendengar ceramahnya hanya orang-orang yang berada di sekitar Masjid Darul Maghfiroh saja. Sementara warga di luar, yang bukan beragama Islam tidak bisa mendengar isi ceramah itu.

Kandungan ceramahnya ketika itu, persis seperti yang diutarakan Habib Rizieq beberapa hari yang lalu. Mengenai larangan mengucapkan selamat dan merayakan natal bagi seorang Muslim, serta Lam Yalid Wa Lam Yulad dan Yesus Kristus yang dianggap sebagai Anak Tuhan.

Dari perspektif atau sudut pandang Islam, pendapat Habib Rizieq dan penceramah itu (saya lupa namanya) soal larangan dan Anak Tuhan itu tidak bisa disalahkan. Karena pasti memiliki referensi yang dijadikan landasan untuk menyampaikan pendapatnya.

Tetapi, dalam penyampaiannya perlulah menyesuaikan diri dengan tataruang dan tatabudaya yang ada.

Budaya kita masih mengedepankan ketokohan. Ketika seorang yang ditokohkan menyatakan A sebagai kebenaran, otomatis B dan C tidak benar. 

Maka, sebagai komunikator yang baik, menurut saya, perlu membaca situasi dan kondisi (tataruang) agar pesan dapat tersampaikan tanpa gangguan apa pun.

Saya melihat, Habib Rizieq kurang menempatkan diri pada ruang yang pas, sehingga menimbulkan efek yang juga kurang pas.

Maksud saya, kalau saja dia berceramah di Masjid dengan tanpa pengeras suara dan tidak direkam dalam bentuk audio-visual, jalan ceritanya tentu akan berbeda.

Kedua, kita sedikit kembali ke permasalahan Ahok yang dilaporkan atas kasus penistaan agama.

Jujur, saya pun kecewa dan tersinggung. Dia adalah tokoh yang saya dambakan agar dapat memberikan signifikansi perubahan bagi Ibukota.

Dengan tanpa melihat tataruang dan tatabudaya, dia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan. Sehingga menimbulkan reaksi yang luar biasa dari Umat Islam.

Saya tidak sedang membandingkan atau bahkan menyandingkan Ahok dan Habib Rizieq. Karena keduanya memang tak saling banding dan juga tak saling sanding. Tapi, menurut saya, kedua tokoh itu memiliki titik gravitasi yang sama.

Ahok dan Habib Rizieq saat menyatakan satu kalimat, seluruh pendengar atau komunikannya tertawa terbahak-bahak. 

Hal itu menyiratkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang telah disepakati bersama.

Atau, kebenaran merupakan apa-apa yang keluar dari mulut komunikator yang notabene adalah seorang yang ditokohkan.

Saat Ahok menyatakan, "Jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah," sontak semuanya tertawa.

Begitu pun saat Habib Rizieq mengatakan, "Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?" seluruh jamaah, seketika itu bergembira.

Padahal, kalimat yang mengundang tawa itu justru melahirkan ketersinggungan yang membutuhkan pertanggungjawaban.

Ketiga, saya bukan pembela Ahok dan Habib Rizieq. Dan bukan pula penggemar keduanya. Kalau terpaksa harus membela, saya membela sekadarnya. Jika terpaksa harus menggemari mereka berdua, saya tidak melakukannya secara berlebihan.

Sejak kecil, saya diajarkan ibu agar tidak berlebihan dalam membenci dan mencintai seseorang. Dengan begitu, kata ibu, terdapat sedikit ruang untuk mengkritik dan memberi apresiasi.

Saya menyesalkan statement Ahok dan Habib Rizieq itu. Sekalipun keduanya menganggap bahwa kalimat yang diucapkan itu adalah sebuah kebenaran, menjadi sangat disayangkan ketika diungkapkan di ruang publik dan di dalam ruang kebudayaan yang saya jelaskan di atas.

Bagi siapa pun yang saat ini sedang menjadi seorang yang ditokohkan, saya harap, agar mampu menempatkan diri dalam berkomunikasi. Selain itu juga bisa memposisikan diri di ruang dan kebudayaan yang pas, agar pesan tersampaikan dengan baik, serta melahirkan efek yang tidak buruk.

Jadi, benarkah Habib Rizieq (tidak) menista agama? Kita lihat proses hukum.

Sebagai penutup, saya akan meninggalkan kutipan dari Gus Dur dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Salah dua orang tokoh yang paling saya rindukan.

Gus Dur pernah berkata: "Kalau tidak ingin dibatasi, maka jangan membatasi. Kita sendirilah yang harus tahu batasannya masing-masing."

"Al-Muslimu man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi," dawuh Kanjeng Nabi.

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(Maha benar Allah atas segala firman-Nya)

Satu lagi, ada kutipan yang saya dapat dari Instagram @NUGarisLucu, "Lebih baik mencari persamaan daripada sulit merawat perbedaan."




Wallahu A'lam




Bekasi Utara, 27 Desember 2016



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: