Selasa, 13 Desember 2016

Membaca Kauniyah-Nya Untuk Kehidupan


Selat Sunda, dalam perjalanan Bakauheni-Merak, Senin (12/12) petang.

Melanjutkan tulisanku sebelumnya, bahwa Kenduri Cinta memberikan cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Di sana tidak sekadar mengajarkan bagaimana menadabburi ayat qouliyah. Tetapi juga memberikan pembelajaran yang tidak sembarang orang tahu. Yaitu mengenai penadabburan ayat kauniyah.

Kebenaran Tuhan tidak hanya terdapat pada teks kitab suci. Kebersatuan kita pada Dzat Ilahi tak sekadar dengan mempelajari kitab sucinya saja. Bahwa semesta, sesungguhnya adalah kebenaran atas keberadaan Tuhan yang secara langsung dapat kita saksikan; tanpa perlu berdebat menyoal tafsir yang tak tunggal.

Maka tepat sekali, ayat qouliyah Tuhan yang pertama adalah Iqro’ Bismirobbik alladzii kholaq. Membaca itu penting. Hal mendasar yang harus dilakukan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Proses menemukan kesejatian tidak akan pernah menemui titik akhir sebelum kita mampu membaca.

Dalam Firman Tuhan itu, Dia tidak menekankan bahwa pembacaan yang harus dilakukan adalah soal teks kitab suci. Tetapi bersifat universal. Tidak ada objek setelah kata “Bacalah!”. Barangkali, Dia sengaja tidak memberikan keterangan sesuatu apa dan bagaimana yang harus dibaca.

Karena itu, saya beranggapan bahwa Tuhan seperti menyiratkan agar kita mampu membaca segala sesuatu yang ada di kehidupan. Membaca situasi dan kondisi agar tak tersesat di jalan yang keluar dari koridor kebenaran-Nya.

Sebagaimana pesan Semar, yaitu ada dua kunci untuk mencapai ketenteraman hidup; Eling lan Waspada. Keduanya, bisa dimaknai sebagai pembacaan sesuatu atau situasi dan kondisi, agar tercipta ketenteraman.

Membaca Ayat Kauniyah Tuhan pada matahari yang mulai rebah di persemayamannya, Senin (12/12) petang. Lokasi, Selat Sunda.

Jadi, sudahkah Anda membaca kauniyah-Nya? Adakah ayat-ayat (tanda-tanda) keberadaan-Nya yang berhasil kita baca melalui alam, bukan sekadar teks kitab suci?

Saya pribadi merasa lebih dekat dengan Tuhan saat sedang membaca kauniyah, daripada qouliyah-Nya. Namun dengan begitu, bukan berarti saya menafikan Firman Tuhan yang dibukukan itu.

Kemarin, 10 Desember 2016, salah seorang teman yang sekaligus senior di kampus mengajak saya untuk bertandang ke kampung halamannya, Bandar Lampung.

Sepulang dari Kenduri Cinta, saya sempat tidur untuk meringankan beban mata. Saya terbangun pada jam 2 siang dan kemudian berangkat dari Bekasi jam 5 sore, menuju Pelabuhan Merak.

Sesampainya Merak jam 10 malam, rehat sebentar, kemudian menuju tempat bersandar Kapal Ferry untuk menyeberang ke Bakauheni. Di atas alat transportasi itu, saya merasa sangat rugi kalau tidak duduk di luar. Karena hal itu (naik Kapal Laut) adalah kali pertama.

Saya ingin melihat keadaan Laut di malam hari. Katanya, Laut itu damai dan mendamaikan. Terlebih saat disaksikan di kegelapan.

Embusan angin laut yang membuat gelagepan tak menyurutkan keinginanku untuk melihat keadaan tubuhnya. Saya ingin membacanya, menelaah, dan memaknai. Dengan begitu, saya akan merasa dekat dengan penguasa semesta; yang merajai bumi dan langit.

Ternyata, sifat Tuhan yang terkadang feminis, juga maskulin, dapat divisualisasikan melalui keadaan Laut yang terkadang lembut dan terkadang juga menampakkan amarahnya.

Menurutku, segala sesuatu yang diciptakan tak akan jauh berbeda dengan si pencipta. Hasil karya seorang pencipta adalah gambaran dari yang punya karya.

Begitu pun Tuhan dan Laut. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Laut adalah ciptaan Tuhan dan Tuhan-lah yang menciptakan Laut.

Tuhan lebih sering tergambar sebagai sosok yang feminin. Dia-lah Sang Maha Pemberi yang dengan kelembutan-Nya mampu menyayangi, mengasihi, memaafkan, melindungi, dan mengayomi.

Tetapi, jangan sesekali meremehkan feminitas Tuhan. Sebab, Dia juga bisa tergambar menjadi sosok yang maskulin. Tuhan itu Perkasa, Raja diraja, Laa Hawla wa Laa Quwwata wa Laa Sulthona Illa Billah. Tiada kekuatan apa pun yang dapat menandingi-Nya.

Pun Laut. Dia adalah ketenangan. Lembut. Laut dapat menerima segalanya, bahkan sampah sekalipun. Namun dengan kelembutannya juga, dia mampu mensucikan dirinya sendiri. Dia tidak butuh bantuan siapa pun untuk membersihkan tubuhnya dari noda yang membandel.

Tak jarang, Laut dijadikan sebagai tempat untuk bertransaksi barang haram; narkoba, obat-obatan terlarang, dan bahkan menjadi pintu masuk kelompok teroris. Dia menyimpan banyak energi dan selalu menerima siapa pun yang ingin menikmatinya; orang baik ataupun jahat.

Namun, jangan kira laut tak bisa marah. Kalau selalu diganggu, suatu saat dia akan menjadi gelombang besar yang akan menghancurkan segalanya. Meremehkan kelembutan Laut sama dengan mengerdilkan keberadaan Tuhan.

Mengagung-agungkan Tuhan, menurutku, bukan hanya dengan memekikkan nama-Nya, tetapi juga dengan merasa tak punya daya apa pun kecuali mendapat izin dari-Nya. Saat itu (12/12) aku merasa kecil di hadapan Tuhan.

Lalu, apa yang dapat kita ambil pelajaran dari hasil pembacaan saya atas kauniyah Tuhan itu? Bagaimana resolusi pandang kita dalam melihat beragam fenomena yang terjadi akhir-akhir ini?

Mampukah kepribadian Laut dapat menginspirasi untuk menciptakan solusi atas intensitas konflik yang meninggi? Dapatkah kita meniru kelembutannya sebagai bentuk penghambaan diri kepada Tuhan?

Saudaraku, marilah kita mencontoh sikap dan kepribadian Laut. Mampu menerima segala macam pandangan yang -bahkan- cenderung berpotensi mengotori keimanan kita.

Saya teringat pesan Kiai Muhammad Ainun Nadjib, "perbanyak menerima (masukan), perbanyak mendengar, dan kurangi berkomentar. Lembutlah dalam bertutur agar dapat melihat segala sesuatu dengan menggunakan kacamata cinta".

Artinya, jangan menutup diri. Karena Laut pun bersifat terbuka, dia menampung kehidupan, memberi banyak manfaat kepada makhluk, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan serupa kecuali jika memang itu terpaksa harus dilakukan.

Selama kelembutan bisa dijadikan sebagai solusi untuk melawan kejahatan, maka lakukanlah. Jangan tergesa, karena Laut pun tidak selalu memberikan gelombang besar (tsunami) sebagai bentuk amarah.

Jadi cobalah berpikir out the box, membuka diri pada perbedaan, tidak melulu berkumpul dengan teman-teman di kelompok sendiri sehingga pikiran menjadi picik, otak pun membeku.

Karena dengan membuka diri dan belajar dari Laut, kita akan merasa lebih dekat dengan Tuhan. Ketahuilah, bahwa harimau ditakuti karena diamnya sementara anjing dijadikan mainan karena gonggongannya.

Yuk, mencontoh kepribadian Laut. Tenang, damai, lembut, dan suci. Dia tidak pernah mengotori diri sendiri dengan perilaku yang gegabah. Namun, sesekali mengeluarkan amarah untuk memberikan pelajaran, itu perlu dilakukan kalau memang terpaksa harus dilakukan.

Kesimpulannya, jangan selalu membaca teks kitab suci tanpa mengindahkan teks semesta. Bahwa, kedekatan dan kemesraan Tuhan akan sangat terasa saat kita membaca Kauniyah. Membaca Laut adalah salah satu cara untuk merekatkan diri pada Tuhan; pemilik jagat raya yang menghadiahkan segala macam keindahan.

Di Selat Sunda, saya merayakan Maulid Nabi Muhammad dengan sangat sederhana. Membaca salawat asyghil di tengah embusan angin yang kencang nan sejuk. Sila, klik di sini.


Wallahu A'lam



Selat Sunda, 12 Desember 2016



Aru Elgete 

Previous Post
Next Post