Selasa, 28 Februari 2017

Berdakwah Melalui Tulisan


Memaparkan materi penulisan cerpen di MAN 3 Jakarta. Foto: Muhammad Iqbal

Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Jakarta Pusat, mengadakan kegiatan 1 Juta Pelajar Menulis di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Jakarta, Senin (27/2/2017). 

Bertempat di auditorium sekolah, kegiatan tersebut bertema Tolerance, Peace, and Love untuk Indonesia Penuh Karya. Penulisan dikhususkan pada pembuatan Cerita Pendek (cerpen) berdasarkan ketiga tema itu.

Sebagai informasi, kegiatan itu merupakan program dari Pengurus Wilayah (PW) IPNU DKI Jakarta. Targetnya, selama sebulan 50 sekolah di Ibukota terjamah. Masing-masing sekolah, peserta dibatasi. Hanya 20 orang. 

Masing-masing Pengurus Cabang di 5 wilayah, berbagi tugas. Sementara ini, PC IPNU Jakarta Pusat sudah mendatangi 3 sekolah. Yakni SMKN 31, SMAN 5, dan MAN 3 Jakarta. 

"Nanti, kalau 50 sekolah di DKI Jakarta sudah terjamah, tulisan-tulisan dari 20 peserta di setiap sekolah akan dibukukan. Kita mau launching buku antologi cerpen," demikian kata Muhammad Ammar, Ketua PC IPNU Jakarta Pusat saat berbicara di hadapan murid MAN 3 Jakarta, kemarin (27/2/2017).

Minggu (26/2/2017) malam, Ammar, yang juga sahabat saya sejak di Buntet Pesantren Cirebon, menghubungi saya untuk memberikan materi penulisan cerpen. Tanpa pikir panjang, saya bersedia. 

Sependek pemikiran saya, menulis adalah cara berdakwah kekinian untuk melawan hegemoni kebencian. Tentu yang saya maksud adalah berdakwah agar memperkuat cinta dan kasih sayang sesama anak bangsa.

Selain itu, menulis juga sebagai bentuk pengabdian pada keabadian. Seorang penulis akan hidup sepanjang masa, karena karya yang dihasilkan. Dengan tulisan, seseorang menjadi abadi. Tak pernah mati, hidup selama-lamanya.

Foto bersama Ketua PC IPNU Jakarta Pusat dan peserta 1 Juta Pelajar Menulis, murid-murid MAN 3 Jakarta. Foto: Muhammad Iqbal

Setibanya di lokasi, saya sempat dibuat terharu saat melihat antusias yang tinggi dari peserta 1 Juta Pelajar Menulis itu. Mereka memperhatikan secara saksama ketika saya memaparkan teknik penulisan cerpen.

Saya katakan, menulis adalah bentuk pengejawantahan kata-kata atas keresahan yang dialami seseorang. Setiap manusia pasti memiliki keresahan. Beruntunglah mereka yang resah dan peka atas itu, kemudian menerjemahkannya melalui tulisan.

Masing-masing peserta diberi tugas untuk membuat cerpen seputar toleransi, kedamaian, dan cinta. Pikir saya, hal itu dilakukan guna memperkuat persaudaraan antar sesama anak bangsa.

Sebagaimana yang diketahui, saat ini kondisi negara sedang dipertontokan oleh keangkuhan, kebencian, dan permusuhan. Maka, kegiatan itu sebagai perlawanan atas keburukan-keburukan yang terjadi. 

Menulis adalah kemuliaan. Menulis adalah kebaikan. Menulis adalah tentang pendewasaan berpikir seseorang. Menulis cerita soal toleransi, kedamaian, dan cinta merupakan cara berdakwah yang paling tinggi derajatnya.

Maka itu, menulislah untuk keabadian. Menulislah agar hidup selama-lamanya. Menulislah supaya tidak pernah mati sepanjang zaman. Menulislah dengan cinta. Menulislah sebagai jalan dakwah; demi Indonesia yang damai.


Tabik,

Aru Elgete

Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 28 Februari 2017

Tiada Kesejatian; Selainmu, Kekasih


Rehat sejenak di Puncak Pass, Sabtu (18/2/2017) pagi. Foto: Alycia Marsheilla

Kekasih, sudah lama kupasrah-rebahkan cinta untukmu. Tak bertuju pada siapa-siapa. Selainmu.

Aku tak mengkhususkan cinta pada sembarang jiwa. Sebab nuraniku berkata bahwa ada kesejatian yang mesti dipertahankan. Engkau, kekasih.

Aku berhenti. Memutuskan tidak lagi mencinta. Bukan karena takut. Namun, sesungguhnya hanya dirimu kesejatian bermuara.

Izinkanku setia; pada garis ketulusan; pada titik tuju yang tak tergeser sedikit pun. Engkau, kekasih.

Aku tak lagi mencinta. Tiada lagi pengkhususan. Tak ada yang mesti menjadi tujuan utama; selainmu, kekasih.

Bahwa dalam jiwamu, kekasih, ada kebersamaan kita; kelak di ujung pencapaian.


Aru Elgete


Bekasi Utara, 28 Februari 2017

Senin, 27 Februari 2017

Silaturrahim Alumni dan Program Beasiswa Santri Berprestasi


Silaturrahim Iklab Jabodetabek di Jatirahayu, Pondokgede, Bekasi, Minggu (26/2/2017).

Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon wilayah Jabodetabek memiliki agenda rutin. Yakni, mengadakan silaturrahim sekaligus pengajian dua bulanan. Kali ini, salah seorang anggota Iklab, Ismail, menjadi tuan rumah. Sekitar 30 orang, hadir.

Semua bersuka-cita. Menyambut salam dan saling lempar senyum kerinduan. Tertawa, berbahagia, serta berbagi cerita keindahan masalalu. Hal itu seperti menjadi bumbu sedap pertemuan para alumni yang mengikat dirinya sebagai keluarga.

Lepas Salat Zuhur, makan siang bersama. Lauk-pauk dan sayur-mayur dibicarakan jauh-jauh hari. Masing-masing membawa, sesuai kemampuannya. Gotong-royong. Jengkol, gulai kambing, makanan alakadarnya nan sederhana, terasa nikmat karena terbalut rona kebahagiaan.

Tahlil dan doa bersama dilakukan, membuka agenda kegiatan siang itu. Dipimpin oleh KH Mashuri Mukhtar, alumni Buntet Pesantren Cirebon tahun 1977 yang juga pengasuh Yayasan Nur Attaqwa, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Selanjutnya, acara dibuka. Ketua Umum PP Iklab, KH Masrur Ainun Najih diberi kesempatan menyampaikan sambutan. Dia membahas program tahunan organisasi, yakni Beasiswa Santri Berprestasi. Diberikan kepada santri yang memiliki prestasi di bidangnya masing-masing.

Sebab menurut perkiraan alumni Al-Hikmah K-1 Buntet Pesantren Cirebon itu, sekitar 70-80% lulusan Buntet, hanya fokus di lingkaran keagamaan. Menjadi mubaligh atau penceramah. Padahal, problematika umat saat ini, tidak hanya berkutat di persoalan keagamaan saja.

Bersyukur, saat ini di Buntet sudah ada SMK NU Mekanika, Akademi Keperawatan (Akper), dan sekolah-sekolah lain di bawah naungan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC) terdapat jurusan yang tidak hanya mengarah pada keagamaan saja.

Pelatihan jurnalistik dan kepenulisan, serta radio komunitas disediakan bagi santri yang memiliki potensi di bidang itu. Perpustakaan pun dihadirkan demi menambah luas cakrawala pengetahuan dan pemikiran para santri.

Harapannya, saat sudah lulus nanti. Santri Buntet dapat mengambil posisi strategis dalam percaturan global. Menjadi dokter, perawat, jurnalis, penyiar radio, mekanik, dan hal-hal keduniaan lain. Namun dengan begitu, tidak akan menghilangkan jiwa kesantriannya sedikit pun.

Bagi para alumni Buntet Pesantren Cirebon yang ingin berkontribusi dalam program Beasiswa Santri Berprestasi, silakan menghubungi H Deden Abdurrahman, sahabat Ulun Ni'ma, dan Bunda Yayos; selaku ketua panitia, Bendahara, dan sekretaris kegiatan tersebut.



Program Beasiswa Santri Berprestasi akan dilangsungkan pada saat Haul Buntet Pesantren Cirebon, 15 April 2017. Untuk pembahasan lebih lanjut, silakan menghadiri pertemuan berikutnya di kediaman salah seorang alumni, sahabat Agustian, di Depok pada 9 April mendatang.

KH Masrur Ainun Najih juga mengatakan, saat ini Iklab punya rekening khusus. Juga telah diaktanotariskan. Selain untuk menumbuhkan kepercayaan, langkah tersebut juga bertujuan agar Iklab mampu bekerjasama dengan instansi pemerintahan dalam hal pendanaan.

Maka, kepada seluruh alumni Buntet Pesantren Cirebon dari Sumatera hingga Papua, yang ingin berkontribusi berupa dana untuk Beasiswa Santri Berprestasi, silakan mentransfer ke Bank MANDIRI, KCP JKT TMII, a/n Yayasan Keluarga Alumni Buntet Pesantren; 129.00.1104757-4.


Tabik,


Aru Elgete


Bekasi Timur, 27 Februari 2017

Sajak Kesunyian




Kekasih, aku mencintaimu di saat orang-orang sudah tak lagi mencintaimu.

Aku merindukanmu di saat orang-orang lupa bahwa merindukanmu adalah keniscayaan.

Aku juga akan membenci dan mendampratmu di saat orang-orang mencinta dan merindukanmu. 

Bahwa memilih jalan sunyi, kekasih, merupakan sebuah kenikmatan dalam menggapai keutuhanmu.


Bekasi Utara, 27 Februari 2017


Aru Elgete

Sabtu, 25 Februari 2017

Menerka Tingkah Angin dan Daun


Menikmati angin pagi. Foto: Muhammad Ammar

Kala musim gugur telah tiba,
meruntuhkan daun-daun keegoisan yang memerah-marah seketika,
kemudian berganti,
tumbuh daun-daun optimisme baru yang katanya dinanti-nanti.

Seorang sastrawan pernah berkata; daun yang gugur tak pernah membenci angin,
mungkin maksudnya karena sebenarnya angin sedang berbuat kebajikan bukan kebijakan,
angin mengerti kapan daun mesti berganti
seperti itu barangkali,
maka daun tak pernah membencinya.

Tapi bagaimana bila diantara daun dan angin saling rasa?
maksudku intim,
memiliki hubungan khusus
sehingga daun tak pernah, jangankan menyalahkan, membenci saja tidak.

Daun baru tumbuh berkat keintiman itu,
namun angin tetap saja mengganggu,
berusaha mengutak-atik tubuh daun agar gugur,
atau mungkinkah angin itu feminin?
kerjanya menggoda dan mengganggu,
hingga tiap daun yang bergelayut pada ranting selalu saja gugur,
adakah angin memiliki maksud tertentu? maksud baik namun tersampaikan dengan tidak laik. Benarkah angin seperti itu?

Entahlah...


Bekasi Utara, 25 Februari 2017


Aru Elgete

Jumat, 24 Februari 2017

Ruang Kontemplasi Pada Kesunyian


Ilustrasi, Sumber: hipwee.com

Hiruk-pikuk perdebatan masih kentara. Dinamika sosial, politik, dan keagamaan mengoyak sendi kedamaian. Media sosial, khususnya. Di sana bercampur-baur segala rupa. Terdapat banyak sekali pakar, ahli, dan intelektual karbitan. Bahkan, aku tak bisa menemukan pembeda; antara yang benar-benar tahu dengan seorang yang gagah menyombongkan ketidaktahuannya. Sebab kebenaran sudah entah; hilang atau sengaja dihilangkan.

Masing-masing individu menganggap benar ucapannya. Tiap-tiap huruf dipublikasi demi mencapai pengakuan diri. Karena kata Abraham Maslow memang demikian adanya. Kebutuhan manusia paling utama adalah mendapat pengakuan dari orang lain. Kini, terbukti. Antah-berantah mulai tampak di permukaan media sosial. Berantakan. Dengan argumentasi seadanya, seseorang bisa mendaku dirinya lebih cerdas dari orang yang memiliki keilmuan memadai.

Bahkan tak jarang, orang yang berilmu seringkali menyampaikan argumentasi dengan angkuh dan jemawa. Sehingga dunia menjadi sangat runyam. Di satu sisi sombong atas ketidaktahuannya, ada pula yang jemawa dalam menyampaikan ilmunya. Gaduh. Semua melakukan strategi bertahan, menurutku. Seolah teraniaya, tetapi sebenarnya menganiaya. Singkatnya, banyak orang yang menjadi korban sekaligus pelaku.

Membela dengan membabi-buta dan menghina bahkan mencaci seenaknya, tumpah-ruah di linimasa. Tampaknya, kemajuan teknologi telah menemukan titik puncak. Sehingga kembali ke semula; zaman dimana orang-orang saling berlomba memperlihatkan kebodohan dengan berselimut pada argumentasi yang terkesan dipaksakan. Antiklimaks. Barbarisme kata ditonjolkan untuk melumpuhkan siapa pun yang dianggap lawan.

Dalam perdebatan, diam dianggap kalah. Sedangkan bersuara dibilang marah. Serba salah. Tak ada titik tengah. Padahal menurutku, berada di tengah menandakan seseorang tidak memihak sama sekali. Sekalipun memihak, ia akan melakukan pemilahan dengan kejernihan berpikir. Ia akan mencari kebaikan dan kemaslahatan bersama. Tidak serta-merta membabi-buta atau marah tanpa arah. Semuanya dipikirkan demi kebaikan. 

Keberadaban seseorang akan terlihat dari caranya memposisikan diri. Memiliki prinsip walau terlihat seperti orang yang tak mempunyai pegangan hidup. Tidak terlalu ke kiri, juga tak ekstrem ke kanan. Sekalipun ke kiri, ia tahu batasan. Pun saat ia memutuskan untuk berpindah haluan ke kanan. Kiai Abdurrahman Wahid pernah mengatakan, "Kalau tak ingin dibatasi, maka jangan membatasi. Kita sendiri yang seharusnya tahu batasan masing-masing."

Namun, kini tidak demikian. Demokrasi yang seharusnya menjadikan diri lebih beradab dan bermartabat; justru berbanding terbalik. Saat ini, setiap orang mengatasnamakan kebebasan tanpa peduli apa-apa. Kebebasan yang dilakukan justru melanggar kebebasan yang lain. Memaksakan kehendak atau argumentasi kepada orang lain, sama saja melanggar kebebasan. Melakukan stigma kepada individu dan kelompok yang berbeda pun demikian; menabrak kebebasan. 

Spendek pemikiranku, berdakwah ada batasannya. Begitu pula dengan menyampaikan pendapat. Seorang yang memiliki adab dan akhlak yang baik, pasti mengerti bagaimana seharusnya ia melakukan sesuatu. Tidak memaksa juga tidak menyerang. Argumentasi yang ditawarkan pasti sudah matang. Berdasarkan pikiran jernih dan nurani yang bersih. Tidak penuh kebencian, apalagi sampai memutus ikatan persaudaraan.

Pada saat yang bersamaan, aku menemukan sebuah kenikmatan pada sunyi. Pada keheningan jiwa. Ketenteraman laku dan bertindak. Membatasi penggunaan media sosial dan sering pula acuh tak acuh pada gadget. Sudah hampir seminggu, banyak percakapan yang sengaja kulewatkan. Tak sedikit juga pesan elektronik yang belum sempat terbaca. Maaf, itu caraku mencari kesunyian. Sebab di dalamnya terdapat ruang kontemplasi; untuk berdialog dengan diri.

Aku merasa pernah melakukan kepongahan saat berselancar di media sosial. Melakukan penyerangan dan berbagai hal yang menyakitkan orang lain. Maka itu, perlu kiranya untuk memasuki ruang kontemplasi yang hanya didapat pada kesunyian. Di sana, aku menemukan kebodohan, kedurjanaan, bahwa melakukan pemunafikan dengan berteriak anti-kemunafikan. Semuanya kulakukan sampai akhirnya; entah aku yang menjemput kesunyian atau justru kesunyian yang mengantarkanku pada ruang kontemplasi.

Esok atau lusa, semoga menjadi lebih baik. Kembali berselancar di media sosial dengan bajik nan bijak. Sebab sudah hampir seminggu, aku mensunyikan diri. Bertolak dari kegaduhan ke arah yang memberikan kesejukan; baik jiwa, laku, dan berpikir. Bagiku, menjemput kesunyian merupakan cara untuk mengabdi pada keabadian. Karena tidak ada keabadian yang sejati tanpa melalui proses dan tahapan kesunyian; ruang kontemplasi.

Saat menjemput kesunyian dan menemukan ruang kontemplasi di dalamnya, serta menjadi abdi keabadian, kita akan memiliki kedaulatan diri. Tidak ada yang dapat menganggu, mengintervensi, dan menggugat kecuali diri sendiri. Berdialog dengan diri sendiri menjadi sangat penting. Puncaknya, kita akan memperoleh kesejatian. Mencapai titik keindahan. Melihat segala dengan cinta. Memandang dunia dari kacamata kasih dan sayang.

Jadi, adakah kebencian saat  diri sudah mencapai puncak kesejatian? Melalui kesunyian, menurutku, akan terjawab dengan sendirinya.



Wallahu A'lam


Aru Elgete


Sekretariat Teater Korek Unisma Bekasi, 24 Februari 2017 

Selasa, 14 Februari 2017

Jelang Pilkada, Komunitas GAZ Sowan Ke Luar Batang


.
Diskusi di salah satu warung, area Masjid Jami' Kramat Luar Batang, Jakarta Utara, Selasa (14/2) dinihari.

Malam Selasa (13/2), cuaca mendung. Seperti biasa. Hawa dingin menggigit gigil, menusuk pori-pori. Namun, sungguh ironi. Di balik kemesraan yang menyuguhkan romantika semesta, atmosfer perpolitikan tetap memanas.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta memiliki daya tarik tersendiri. Semua orang, dari Aceh hingga Papua membicarakannya. Perdebatan sengit marak dilakukan, baik dengan amarah yang meninggi, maupun dengan argumentasi yang menyejukkan hati.

Kebudayaan pun hilang entah ke mana. Siapa yang tak setuju, sekalipun dengan guru, caci dan hujatan kerapkali merambah ke permukaan. Budaya menghormati orangtua dan menghargai yang muda, tidak lagi dihiraukan. Semua hancur. Tak berbentuk.

Beberapa minggu yang lalu, saya menginisiasi teman-teman semasa di pondok agar membuat sebuah perkumpulan. Pikir saya, seorang santri, harus memiliki nalar yang cemerlang. Dalam berpendapat, tidak pernah menjatuhkan.

Singkatnya, sikap santri harus mampu menumbuhkan, bukan melumpuhkan. Sekalipun berbeda pandangan, santri wajib hukumnya menetralisasi situasi dan keadaan. Tidak justru memecah persatuan, terlebih membuat runyam persoalan.

Komunitas Gerakan Ayo Ziarah adalah jawabannya. Di dalamnya terdapat 6 orang. Saya, Muhammad Ammar, Abdussami' Makarim, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, Mohammad Helmy Faiz, dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi.

Kesemuanya, kecuali Syakir, adalah warga Jakarta yang menjadi santri di Buntet Pesantren Cirebon. Sementara Syakir merupakan putra Kiai. Saya dan teman-teman, mengadakan rutinitas ziarah ke makam para Awliya' dan Ulama di sekitaran Ibukota.

Tujuannya, selain untuk meneguhkan tradisi Islam Nusantara yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah bi thoriqoh Nahdlatul Ulama, juga supaya memiliki kelembutan hati. Meneladani orang-orang saleh, setidaknya mampu mengubah pribadi menjadi baik. Ziarah sebagai perantaranya.

Seperti biasa, titik kumpul di kediaman Ammar, Jl Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Saya dari Bekasi. Helmy dari Cakung. Ahmad Mustofa atau Mamet beserta Sami' dari Cibubur. Sedangkan Syakir dari Ciputat. Sebelum berangkat ke destinasi ziarah, kami berembuk. "Makam siapa yang akan diziarahi, malam ini?" tanya saya saat tiba di rumah Ammar, Senin (13/2) malam.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, kami menyepakati satu hal. Situasi politik di Ibukota sedang memanas, maka yang harus disowankan adalah Ulama Betawi. Yakni, Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, Luar Batang, Jakarta Utara.

Tujuan utamanya adalah, meminta ketersediaan beliau untuk mendoakan dan meridhoi perhelatan pesta demokrasi di Tanah Betawi. Mewashilahkan harapan kepada Allah agar memberkahi Pilgub DKI Jakarta yang banyak menyita waktu dan tenaga. Doa yang disemogakan tersebut, semoga berbuah kebaikan di hari pemilihan, besok (15/2).

Saya dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi (Mamet) di Makam Keramat Luar Batang, Selasa (14/2) dinihari.

Tepat pukul 00.05, kami tiba di lokasi. Mamet memimpin tahlil dan doa. Membudayakan tradisi Islam Nusantara adalah dakwah terselubung yang mesti dijalankan. Tidak perlu diberi dalil ini-itu, kami tetap menjalankan tradisi dan kebudayaan tersebut; tahlil dan doa berjamaah.

Usai tahlil, kami melipir ke sebuah warung kopi di area parkir Masjid Jami' Keramat Luar Batang. Di sana, diskusi mengenai situasi sosial-keagamaan yang kian mengkhawatirkan dikemukakan. Selain itu, keberadaan organisasi sentral alumni Buntet Pesantren Cirebon tak luput juga dari pembahasan.

Kami sepakat, meski berbeda pilihan politik dalam Pilkada DKI Jakarta, memberi argumentasi yang menyejukkan hati perlu dilakukan kepada orang-orang di akar rumput. Tidak perlu berdebat soal dalil. Intinya, bagi penganut agama Rahmatan Lil 'alamin akhlak dan adab mesti terpelihara dengan baik.

Memberi penyadaran bagi teman-teman santri khususnya, dan yang belum santri umumnya, agar menjaga adab dan budaya luhur bangsa. Menghormati orangtua dan menghargai orang muda. Sebab, Nabi Muhammad pun diutus dengan tujuan memperbaiki akhlak umatnya agar mulia.

Di akhir pembahasan, kami membicarakan soal keberlangsungan organisasi sentral bagi alumni Buntet Pesantren Cirebon untuk bernaung. Yakni, Ikatan Keluarga Alumni Buntet (IKLAB) Pesantren. Paling tidak, organisasi yang sebelumnya sudah ada agar dapat bergabung ke IKLAB.

Bukan bergabung secara struktural, tetapi bekerjasama dalam hal kekaryaan dan kebutuhan; mengharumkan nama Buntet Pesantren Cirebon di tingkat nasional. Selama ini, organisasi alumni Buntet tidak terpusat. Masih cenderung sektarian dan mengedepankan rasa primordialisme.

Kami, Komunitas GAZ siap merangkul teman-teman muda untuk bergabung bersama di keorganisasian IKLAB. Bersama-sama membangun organisasi, demi kepentingan bersama. Agar Buntet Pesantren Cirebon memiliki organisasi yang sentral dan terpusat; sebagaimana pesantren-pesantren lainnya, seperti Lirboyo, Gontor, dan Tebuireng.

Terakhir, bagi teman-teman santri Buntet Pesantren Cirebon yang ingin mengetahui IKLAB lebih jauh, silakan bertanya kepada kami. Juga bagi teman-teman yang ingin bergabung dalam Komunitas GAZ silakan hubungi saya. Mari, bersama-sama kita harumkan Islam Nusantara dengan tradisi ziarah ke makam para Awliya' dan Ulama Betawi.




Wallahu A'lam



Rawasari, 14 Februari 2017



Aru Elgete

Senin, 13 Februari 2017

H-2 Pilgub DKI, Waktunya Kontemplasi


Ketiga Pasang Calon Cagub-Cawagub DKI Jakarta. Sumber: poskotanews.com

Dua hari lagi pemilihan. Saat ini, mari kita lakukan kontemplasi. Menadabburi diri dan hati. Adakah kekalahan yang mesti diterima? Atau, bagaimana bila menang? Merendahkan, kah? Sombong tak terbendung?

Jujur, pertanyaan semacam itu muncul seketika. Saya khawatir keterpecahan merajai Ibukota; daerah sentral yang menjadi contoh kebersatuan jiwa, antar individu dan kelompok. Sejak dulu, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI selalu ramai diperhatikan.

Berbagai adegan telah sama-sama kita saksikan. Aksi saling lapor, hingga kriminalisasi terhadap lawan politik pun dilakukan. Isu agama mencuat. Merambah ke permukaan, hingga konflik horizontal tak tertahankan.

Aksi Bela Agama dan Ulama telah usai. Berakhir di jilid keempat. DKI Jakarta yang seharusnya menjadi teladan keberagaman, justru diwarnai dengan adegan sektarian dan primordial. Warga Ibukota terpecah. Remuk. Tak berbentuk sama sekali.

Memilih pemimpin berdasarkan agama, sungguh tak melanggar konstitusi. Lalu, bagaimana bagi warga yang memilih pemimpin berdasarkan kinerja, hasil, dan karya? Melanggar konstitusi, kah? Atau bahkan melanggar kitab suci?

Sependek pemikiran saya, teks Al-Quran bisu. Menjadi bermakna saat ada interpretan yang menafsirkan. Untuk bisa menafsirkan teks Al-Quran, diperlukan berbagai tingkatan ilmu yang tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat. 

Maka, Kiai Muhammad Ainun Nadjib membedakan antara tafsir dan tadabbur. Dia lebih suka tadabbur daripada tafsir. Sebab tafsir cenderung memecah-belah. Sementara tadabbur tidak. Yang terpenting dari tadabbur adalah outputnya. Menjadi lebih baik, tawadlu, dan menghargai perbedaan.

Karenanya, menurut penadabburan saya, di dalam Al-Quran sama sekali tidak ada larangan memilih pemimpin yang berbeda agama. Jadi, memilih pemimpin berdasarkan kinerja sama sekali tidak melanggar konstitusi dan kitab suci. Kalau ada pelarangan ini-itu, bukankah hal tersebut yang dilarang kitab suci dan konstitusi?

Di Pilgub DKI Jakarta 2017, dikotomisasi mengemuka. Misalnya, dikotomi kata "Muslim Sejati" dan "Muslim Munafik". Karena hal itu, menjadi hilang kebudayaan. Berdebat tanpa dasar. Menghina dan menjatuhkan. Bahkan kepada orangtua dan guru yang berbeda pilihan, silaturahim terputus. 

Saya mempunyai hak pilih pada 15 Februari mendatang. Hingga kini, saya bukan pendukung siapa-siapa. Bukan Agus, Ahok, atau Anies. Bukan pula tidak mendukung siapa-siapa. Singkatnya, siapa pun yang terpilih, semoga menciptakan karya yang tak mengecewakan.

Perlu diketahui, memilih untuk tidak memilih sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Itu adalah jalan terakhir saat buntu dalam memilih. Sebagian orang tidak melihat sosok yang ditampilkan, tetapi melihat tokoh yang ada di belakang layar. Alhasil, mereka lebih memilih untuk tidak memilih.

Saya pribadi misalnya, tertarik kepada sosok yang memiliki semangat kerja kebudayaan. Tidak meninggalkan budaya lama, tetapi justru mampu berinovasi dengan budaya baru yang berhasil diciptakan. Namun, saya berdoa semoga siapa pun gubernurnya nanti, semoga mampu menjadikan Ibukota lebih berbudaya.

Mari menghayati diri. Melakukan kontemplasi. Muhasabah an-nafs. Bagaimana jika pemimpin idaman kita kalah? Bagaimana kalau menang? Apakah Islam merasa terkalahkan bilamana Ahok maju sebagai Gubernur hingga lima tahun ke depan? Adakah tuntutan ini-itu? Dugaan kecurangan dan penggelembungan suara?

Yang saya khawatirkan dari Pemilu bukan soal siapa yang jadi dan kemudian tidak amanah. Bukan hanya itu. Melainkan soal keterpecahan. Rakyat di akar rumput, yang selama ini menjadi objek kampanye, akan saling bertikai karena tidak terima idolanya terkalahkan. Mampukah kita menjadi dewasa?

Kemudian bagaimana dengan rakyat yang merasa menang, karena pasangan yang didukungnya berhasil menjadi pemenang? Bersedia untuk tidak menyulut api, kah? Apakah sudah punya komitmen untuk tidak menghina dan merendahkan? Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian serius.

Saya rasa, konflik di akar rumput tidak akan terjadi jika orang-orang yang ditokohkan tidak berbuat gaduh. Indonesia, khususnya DKI Jakarta, memiliki budaya ketokohan yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian. Orang-orang yang ditokohkan itu disebut opinion leader.

Nah, mereka seharusnya mampu menjadi penenang. Tidak mengeksploitir kekuatan massa untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak adil. Harus bisa mengayomi dan menyadarkan bahwa kalah atau menang sudah biasa. Tidak perlu berlebihan, mari dukung siapa pun pemenangnya. Begitu kira-kira.

Sudah dua hari lagi pemilihan akan berlangsung. Semoga Indonesia, khususnya DKI Jakarta selalu dalam keberkahan. Tidak hancur hanya karena berbeda pilihan. Menjadi kuat dan kukuh karena menghargai satu sama lain.

Pesan saya, jangan berlebih dalam mencinta dan membenci. Sisakan sedikit ruang untuk apresiasi dan kritik yang membangun. Saat menjadi pemimpin, ciptakan ruang penerimaan apresiasi dan kritik atas kinerja yang dilakukan.

Jangan gila apresiasi, sehingga saat kritik datang dianggap provokasi dan ujaran kebencian. Sekali lagi, menjelang hari H pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, mari lakukan kontemplasi. Untuk itu, silakan jaga kedaulatan diri, keberimbangan berpikir, dan kestabilan dalam bersikap.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 13 Februari 2017


Aru Elgete

Jumat, 10 Februari 2017

Membaca Kata, Menerka Rasa




Sudah lama tak menulis soal rasa. Kali ini, akan kuceriterakan peristiwa kata-kata. Membaca kata adalah soal rasa. Namun, bagaimana bila dalam rasa terdapat kata-kata yang tak dapat dirasa?

Aneh memang. Bahkan, lucu. Aku jarang, bahkan tak pernah menulis tentang kata dan rasa. Terlebih, kata-kata yang tak dapat dirasa, tetapi itu pula yang dinamai rasa. Sekali lagi, kata yang tidak bisa dirasa adalah rasa.

Dalam kata dapat terlahir rasa. Atau pada kata yang melahirkan rasa itu, justru terkadang kita tak dapat merasakan apa-apa. Nah, ini yang ingin kusampaikan. Bahwa jangan sampai kata-kata hanya sekadar mampu menerka rasa.

Kita melakukan kata-kata bahwa malam adalah kesunyian yang berapi-api. Darinya, melahirkan rasa. Tenteram, damai, tenang, dan nyaman. Namun, tak jarang pula kita merasakan kata-kata pada malam yang sama sekali tak melahirkan apa-apa; rasa.

Malam hanya dijadikan sebagai angin lalu. Tanpa kata. Lalu, dijadikannya ia sebagai lampias keberingasan siang yang banyak menyita waktu dan tenaga. Singkat kata, malam hanya untuk rebah-pasrah; tanpa kata-kata.

Siang tadi misalnya, aku berkecamuk pada kata-kata yang sungguh tak lahirkan rasa. Ada banyak kata yang ingin kubaca dan merasainya. Hingga pada malam, ada sedikit rasa yang mengantarkan pagi menjadi damai.

Kata-kata yang dibawa Kalimalang sepenglihatan mata, kata-kata yang terbawa angin kesejukan, kata-kata yang menempel dalam doa; menjadi hilang rasa. Lucu. Bahkan membingungkan. Pikirku, mungkin ada kata-kata yang tak sempat kubaca. 

Atau justru karena sebagian orang di sekelilingku membaca kata dan menerka rasa. Ingat, menerka rasa. Terka, belum menjadi nyata. Barangkali juga justru kata-kata itu sendiri yang membuat rasa hanya sebatas terka. Ah, membingungkan sekali.

Baiklah. Aku akan lebih memperjelas. Begini. Seberlimpah apa pun kata-kata, baik yang terbaca atau tak sempat dibaca, rasa adalah pengantar dari pengejawantahan kata-kata itu. Mengerti?

Simpelnya, kalau kita membikin kata-kata, baiknya rasai dulu kata-kata itu. Agar kata-kata bermakna. Tak sia-sia. Percuma saja berkata-kata kalau rasa tak menyertainya. 

Boleh jadi, kita harus memperdalam rasa sebelum memecah kebisuan dengan kata-kata. Agar tak hilang rasa dan kata tidak menjadi apa-apa.

Terakhir, aku ingin berpesan. Kalau kau tak ingin membaca kata dan menerka rasa. Maka, merasai kata-kata menjadi perlu. Kata-kata adalah peluru. Menembus dada manusia yang ruangnya tidak kita tahu. 

Kalau kau tak menemukan rasa dalam kata-kata. Baiknya tinggalkan. Perlahan sila kau cari kata-kata selanjutnya, yang mampu lahirkan rasa. Namun, jangan jua kau paksakan rasa hingga hilang kata-kata. Atau kau paksakan kata-kata hingga rasa menjadi hilang sama sekali.



Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 10 Februari 2017



Aru Elgete


Rabu, 08 Februari 2017

Bela Islam 112, Soal Kemurnian dan Ketidakadilan


Ilustrasi. Sumber: bintang.com

Permasalahan Islam tak kunjung usai. Di negeri demokrasi ini, Ia seperti hilang kendali. Entah tertekan, menekan, atau ditekan. Agama yang satu ini senantiasa mengemuka. 

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta cukup menguras tenaga. Tak terkecuali Islam. Pesta demokrasi yang dihelat di Ibukota, menjadi buah bibir seluruh warga negara. 

Wajar saja, politik yang dibaurkan dengan agama memang terkesan seksi. Siapa pun ingin mendekat. Membicarakan. Bahkan, mempersoalkan. Saling menjatuhkan, tak lagi tertahankan.

Proses pendewasaan umat Islam di Indonesia, saya rasa, butuh waktu yang lebih lama lagi. Mungkin 10-20 tahun ke depan. Islam akan lebih mendewasa. Menjadi agama yang lebih kompetitif, bukan yang sering turun ke jalan, layaknya pedagang asongan.

Bahwa di dalam demokrasi siapa pun berhak bersuara. Berbicara. Tanpa memandang siapa dan apa. Semua sama. Tak memandang agama, suku, ras, atau golongan sekalipun. Bahkan, siapa dan apa bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Itu.

Sebagian besar umat Islam di Indonesia sepakat, bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah awal dari kegaduhan. Sudah diberi maaf, masih saja mengulangi perbuatan yang memancing amarah. Mulai di Kepulauan Seribu hingga di ruang pengadilan, menghina KH Ma'ruf Amin.

Sependek pemikiran saya, kegaduhan bukan berawal dari Ahok. Melainkan persoalan agama yang menjadi ujian demokrasi kita. Jauh sebelum ungkapan Ahok di Kepulauan Seribu, isu agama memang sudah mencuat, bukan? Jadi, siapa yang awalnya membakar api?

Sejak perpindahan ruang kerja Jokowi dari Balai Kota ke Istana, Gubernur tandingan muncul. Saat itu, Islam seperti dikebiri pergerakannya. Sebagian besar umat Islam mengatakan, banyak kebijakan Ahok yang anti-Islam. Ahok musuh Islam. Sebab kekafirannya.

Sekalipun badai menerpa, Ahok tetap bekerja. Sudah banyak yang berubah. Mulai dari normalisasi sungai, mengusir preman pasar Tenabang, membuat ruang terbuka hijau, membangun masjid, hingga memberangkatkan umroh pengurus masjid Ibukota (marbot). 

Membangun masjid di Balaikota, masjid Raya Jakarta di Jl Daan Mogot, hingga Kalijodo yang tak lagi menyeramkan adalah hasil karya Ahok semasa menjadi Gubernur. Jadi, apakah Ahok anti-Islam? Mari kita diskusikan.

Persoalan Al-Maidah sebenarnya sudah lama didiskusikan kaum santri melalui Bahtsul masa-il. Silang pendapat pun kerap terjadi. Diskusi macam itu, selain eksistensi, tetapi juga menambah ilmu pengetahuan. Karena berbagai referensi menjadi acuannya. Singkat kata, tak asal kutip ayat dan hadits.

Biasanya, Bahtsul masa-il tidak berakhir dengan penyamaan persepsi. Keputusan diserahkan kembali pada masing-masing individu. Tidak memaksakan kehendak. Sebab, persoalan yang dibahas di dalamnya sudah cukup memuaskan. Argumentatif dan bisa dipertanggungjawabkan.

Nah, kembali ke persoalan Ahok. Gubernur petahana itu memang seringkali bergaul dengan orang-orang yang tidak kaku dalam menafsirkan teks Al-Quran. Bahwa teks itu bisu, menjadi hidup karena dimaknai sesuai kemampuan berpikir.

Soal ucapannya di Kepulauan Seribu, Ahok tidak salah. Dia hanya mengeluarkan sedikit pengetahuannya tentang Al-Maidah 51. Seperti biasa, pidatonya pasti diunggah ke Youtube. Alasannya, supaya warga Jakarta mengetahui segala macam kegiatan dan aktivitasnya.

Seminggu setelah terunggahnya video itu, jagat dunia maya dihebohkan dengan potongan video karya Buni Yani. Hingga akhirnya, Ahok dinyatakan sebagai penista. Sekalipun Buni Yani sudah menyatakan kesalahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Ahok tetap dinyatakan salah dan melanjutkan langkahnya menuju kontestasi Pilkada bersama Djarot.

Umat Islam marah. Semuanya. Mulai dari yang hanya tersinggung, hingga yang menginginkan tegaknya Khilafah Islamiyyah macam HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) bersatu. Kelompok Islam seperti HTI mendapat angin segar dan panggung bebas. 

Mobilisasi massa dilakukan untuk menuntut Ahok segera dipenjarakan. Namun hingga kini, Ia belum jua masuk jeruji besi. Padahal kesalahannya sudah nyata di depan mata. Umat Islam semakin merasa dipinggirkan. Semakin merasa ditekan dan tertekan.

Ahok pun berkali-kali menghadiri persidangan. Sementara Ahok disidang, massa Islam (entah pejuang Khilafah atau bukan) melakukan aksi di luar ruang. Mengawal Ahok hingga ke penjara adalah amal saleh, berpahala, dan jelas masuk surga. Menurut mereka begitu, mungkin.

Lamanya proses hukum dan fenomena saling lapor, membuat umat Islam geram. Terlebih ketika Imam Besar Umat Islam, Habib Rizieq, dilaporkan menyoal kasus ini-itu. Banyak sekali. Di sini, umat Islam memutar otak. Bagaimana pun juga, Ahok harus mundur dari Pilkada. Titik.

Akhirnya ide pun muncul. KH Ma'ruf Amin dijadikan sebagai saksi ahli, sebagai ketua umum MUI. Perlu diketahui, di dalam ruang sidang dan di hadapan hukum, semua orang sama. Namun, memang dasar orang Indonesia, digesek sedikit meledak-ledak.

KH Ma'ruf Amin ditantang Ahok. Seperti dihina dan dinista. Begitu kata Umat Islam. Tak lama, isu itu digoreng. Umat Islam kembali terpancing. Padahal, sekali lagi, di ruang sidang semuanya sama. Lagi-lagi, Ahok dianggap mencoreng kesucian ulama dan agama Islam.

Saya pun geram ketika itu. Marah. Apalagi kalau sampai Ahok melaporkan KH Ma'ruf Amin atas kesaksian palsu. Keesokan harinya, Ahok minta maaf. Dimaafkan. Tapi api amarah Umat Islam masih membara. Ahok harus dipenjara. Titik.

Kabarnya, 11 Februari 2017 Umat Islam akan kembali menggelar aksi. Salat Subuh berjamaah di Istiqlal, kemudian turun ke jalan. Membela kehormatan Ulama dan kemurnian agama Islam. Lucu memang, tapi seperti itulah kenyataannya.

Mereka meneriakkan keadilan. Melawan ketidakadilan penguasa. Bahwa keadilan itu adalah, kalau Ahok dipenjara dan Habib Rizieq dibebaskan dari segala macam hukuman. Mereka tak tega melihat Imam Besar Umat Islam dihina dan direndahkan. Takbir membahana. Kemudian diikuti dengan wirid kebencian.

Saya menghargai teman-teman yang ikut Bela Islam 112. Meneriakkan dan memperjuangkan kemurnian Islam. Melawan penindasan dan ketidakadilan. Islam semakin terpinggirkan. Silakan lawan. Boleh dengan wirid kebencian, boleh juga dengan aksi yang membakar amarah.

Menurut pemikiran pendek saya, 112 adalah gerakan politis. Maka itu, saya menolak Aksi Bela Islam; sejak 411 digelar. Walau demikian, saya tetap menghargai dan menghormati sebagian besar Umat Islam yang turun ke jalan membela kebenaran versi sendiri. Saya tidak ikut.

Saya khawatir, kalau Ahok menang; Umat Islam kian menjadi-jadi. Akan menganggap bahwa kubu Ahok telah melakukan kecurangan yang massif, terstruktur, dan sistematis. Bela Islam kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya tak terhindarkan. Mirip sinteron Tersanjung atau Tukang Bubur Naik Haji.

Saya ingin mengutip pernyataan Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC), KH Adib Rofi'uddin Izza, "Mau memilih Ahok silakan. Yang tidak memlih Ahok silakan. Kalau setuju dengan Ahok, jangan teriak-teriak yang bisa menimbulkan konflik, begitu juga sebaliknya. Yang terpenting adalah persatuan rakyat Indonesia tetap terjaga."

Terakhir, kepada Teman Ahok atau Tim Pemenangan Ahok-Djarot, saya mohon untuk tidak memancing amarah Umat Islam. Toh, di sana juga ada yang Muslim. Silakan kemukakan kebaikan dan program unggulan Ahok. Jangan jatuhkan atau menjelekkan kubu lawan.

Begitu pula yang mendukung Anies dan Agus. Silakan ungkapkan keunggulan program yang ditawarkan. Tidak perlu mencibir Ahok sebagai kafir. Karena memilih kepala daerah berbeda dengan memilih Imam Salat.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 8 Februari 2017



Aru Elgete 

Senin, 06 Februari 2017

Jambore Mahasiswa (Tidak) Menolak Isu SARA!


Jambore & Silaturahmi Mahasiswa Indonesia, 4-6 Februari 2017

Malam Kamis, 25 Januari 2017 seorang teman menelepon saya. Dia mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Ibukota. Kabarnya, akan diadakan kegiatan Jambore Nasional Mahasiswa Indonesia (JNMI) pada Sabtu-Senin, 4-6 Februari 2017, di Buperta Cibubur, Jakarta Timur. Kegiatan itu sebagai perlawanan terhadap isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang akhir-akhir ini mencuat.

Saya gandrung terhadap isu keberagaman dan kebhinnekaan. Karenanya, ormas-ormas intoleran sangat meresahkan. Selain itu, saya juga tidak suka ketika agama dipolitisasi. Sebab agama sebagai penunjang moral, bukan alat perjuangan untuk mencapai kekuasaan. Saya sepakat untuk menolak isu SARA, ormas intoleran, dan pejuang khilafah anti-Pancasila.

Dengan sangat antusias, saya datang. Berharap ada perbaikan atas kesemrawutan kehidupan sosial-keagamaan di negeri ini. Sabtu (4/2) sore, saya tiba di lokasi. Bertemu dengan kawan-kawan mahasiswa dari Sabang-Merauke. Saya melihat Persatuan Indonesia, kala itu. Minimal sepulang dari JNMI, jaringan dan silaturahmi dengan mahasiswa seluruh Indonesia tidak terputus.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, hadir sebagai pembuka. Mereka berdialog dengan mahasiswa dari berbagai provinsi. Namun, ketiga menteri itu hanya presentasi program-programnya saja. Sementara sangat sedikit membahas permasalahan isu SARA yang tengah menguji persatuan bangsa.

Setelahnya, Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) hadir untuk membahas Situasi Nasional (Sitnas). Alih-alih bicarakan Sitnas, justru terlihat jelas menjatuhkan lawan politik dan salah satu kelompok keagamaan. Keadaan sempat memanas. Saya heran, menolak isu SARA, justru dengan cara yang tidak baik. Tidak dengan penguatan keagamaan yang mengajarkan cinta dan kasih sayang. 

Bagaimana mungkin, menolak isu SARA dengan menggunakan SARA? Itu sama saja dengan mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing. Sependek pemikiran saya, begitu. Namun, saya juga wajib bersyukur karena bisa berada di lingkaran mahasiswa se-Indonesia yang gelisah atas beragam permasalahan negeri.

Sabtu (4/2) petang, saya sudah tahu arah JNMI ini ke mana. Lucunya, ada yang memberi kritik kemudian dianggap provokator. Diusir. Tidak ada ruang untuk berbeda pandangan. Semua harus sama. Terpimpin. Yang berbeda dan kemudian bersuara, tidak ada ampun kecuali dipulangkan. Padahal, 'perbedaan adalah keniscayaan' menjadi jargon utama dari kegiatan itu.

Syukur saya tak terbawa arus. Sebagian besar teman-teman mahasiswa, saya rasa juga demikian. Resah atas keadaan negeri, ditambah gelisah atas JNMI yang sudah tidak sesuai dengan tema; menolak isu SARA. Sampai akhirnya, perbincangan di ruang diskusi berubah arah menuju Cikeas. Arah angin semakin jelas.

Saya ingin membantah pemberitaan di suaraindependen.com yang menyatakan bahwa kegiatan JNMI adalah soal kebangkitan PKI. Sungguh, itu kebodohan yang nyata. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan yang anti-Islam dan sebagainya. Bahwa ada mahasiswa yang diusir dari forum karena berbeda pendapat, itu benar.

Untuk lebih jelasnya, lihat pemberitaan di rappler.com (klik di sini). Sebagian besar mahasiswa menolak diri dari forum. Tersisa hanya sekitar 500 mahasiswa yang akhirnya turun ke jalan. Saya kecewa atas pergeseran nilai dari isu yang dibahas. Senin (6/2) dinihari, saya pulang. Sebab JNMI ini, kuat dugaan saya adalah tunggangan politik.

Atas dasar itu, saya mohon maaf kepada berbagai pihak yang mencoba melahirkan persepsi dan asumsi atas keikutsertaan saya di JNMI. Kepada penyelenggara, panitia, senior, pihak kampus, dan seluruh orang yang tidak berkenan dengan sikap saya. Mohon maaf.

Cara Menolak Isu SARA 

Kegiatan JNMI sangat mengecewakan. Tidak ada pelajaran penting yang bisa didapat, kecuali bertambah luas lingkar persahabatan sesama mahasiswa Indonesia. Hanya itu. Tidak ada solusi sama sekali untuk menghentikan laju politisasi agama dan isu SARA.

Menurut saya, cara terbaik untuk memberangus politisasi agama dan isu SARA adalah dengan tidak melakukan politisasi agama dan isu SARA. Kemudian tidak fanatik kepada suatu golongan. Tidak memprovokasi agar tidak terprovokasi. Biasa saja. 

Bersikap moderat (tawassuth), tenggang rasa (tasamuh), berimbang (tawazzun), dan beradab (tamaddun). Keempat sikap itu, menurut saya, adalah cara terbaik untuk menolak isu SARA dan politisasi agama. Hal itulah yang tidak ada di JNMI kemarin. Ketua Muslimat NU pun tidak membahas sikap tersebut dalam melawan isu SARA.

Dengan begitu, hidup tidak penuh prasangka kepada orang dan kelompok lain. Namun, eling lan waspada harus juga dilakukan. Menjadi tidak fanatik itu asik. Tidak gemar menjelekkan tanpa memberi solusi yang pasti. Tawassuth, tasamuh, tawazzun, dan tamaddun merupakan kunci utama melawan isu SARA.

Kita akan terlatih untuk tidak menjadi ekstrem kiri dan kanan. Berada di tengah. Moderat. Menjadi pemberi solusi. Prinsipnya tidak memihak siapa pun. Non-blok. Mengambil segala hal yang baik, meninggalkan yang buruk.

Contoh, ketidaksukaan saya terhadap FPI bukan lantas membentuk gumpalan kebencian yang berlebih. Pun kekecewaan saya atas kegiatan JNMI bukan berarti saya tidak dapat hal positif darinya.

Karena setiap manusia dan kelompok apa pun di dunia ini, pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, maka jangan merasa diri paling benar. Jangan fanatik. Jangan membuat orang dan kelompok lain merasa tersakiti akibat perbuatan diri sendiri.

Kalau ingin menolak isu SARA, ya jangan melakukan sesuatu dengan menyerang SARA. Jangan pula menolak provokasi dengan cara memprovokasi. Supaya tidak seperti memakan tahi sendiri. Gitu aja kok, repot.

Dengan tulisan ini, saya menyatakan bahwa sama sekali tidak memihak siapa-siapa. Saya memihak pada diri sendiri. Pada kedaulatan dan kemerdekaan diri. Pada pembebasan pribadi. Saya tidak memihak ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Silakan kalian berperang. Melakukan aksi menolak ini-itu. Saya akan menyibukkan diri pada penyadaran masyarakat untuk menolak isu SARA dengan cara yang beradab, moderat, berimbang, dan tenggang rasa.

Saya tetap membela NKRI tanpa kepentingan apa pun. Membela Islam dengan cara belajar memahami lebih dalam lagi. Membela negara dan agama itu hukumnya wajib. Yang haram adalah mengatasnamakan negara dan agama untuk sebuah kepentingan politik.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 6 Februari 2017



Aru Elgete