Senin, 13 Februari 2017

H-2 Pilgub DKI, Waktunya Kontemplasi


Ketiga Pasang Calon Cagub-Cawagub DKI Jakarta. Sumber: poskotanews.com

Dua hari lagi pemilihan. Saat ini, mari kita lakukan kontemplasi. Menadabburi diri dan hati. Adakah kekalahan yang mesti diterima? Atau, bagaimana bila menang? Merendahkan, kah? Sombong tak terbendung?

Jujur, pertanyaan semacam itu muncul seketika. Saya khawatir keterpecahan merajai Ibukota; daerah sentral yang menjadi contoh kebersatuan jiwa, antar individu dan kelompok. Sejak dulu, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI selalu ramai diperhatikan.

Berbagai adegan telah sama-sama kita saksikan. Aksi saling lapor, hingga kriminalisasi terhadap lawan politik pun dilakukan. Isu agama mencuat. Merambah ke permukaan, hingga konflik horizontal tak tertahankan.

Aksi Bela Agama dan Ulama telah usai. Berakhir di jilid keempat. DKI Jakarta yang seharusnya menjadi teladan keberagaman, justru diwarnai dengan adegan sektarian dan primordial. Warga Ibukota terpecah. Remuk. Tak berbentuk sama sekali.

Memilih pemimpin berdasarkan agama, sungguh tak melanggar konstitusi. Lalu, bagaimana bagi warga yang memilih pemimpin berdasarkan kinerja, hasil, dan karya? Melanggar konstitusi, kah? Atau bahkan melanggar kitab suci?

Sependek pemikiran saya, teks Al-Quran bisu. Menjadi bermakna saat ada interpretan yang menafsirkan. Untuk bisa menafsirkan teks Al-Quran, diperlukan berbagai tingkatan ilmu yang tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat. 

Maka, Kiai Muhammad Ainun Nadjib membedakan antara tafsir dan tadabbur. Dia lebih suka tadabbur daripada tafsir. Sebab tafsir cenderung memecah-belah. Sementara tadabbur tidak. Yang terpenting dari tadabbur adalah outputnya. Menjadi lebih baik, tawadlu, dan menghargai perbedaan.

Karenanya, menurut penadabburan saya, di dalam Al-Quran sama sekali tidak ada larangan memilih pemimpin yang berbeda agama. Jadi, memilih pemimpin berdasarkan kinerja sama sekali tidak melanggar konstitusi dan kitab suci. Kalau ada pelarangan ini-itu, bukankah hal tersebut yang dilarang kitab suci dan konstitusi?

Di Pilgub DKI Jakarta 2017, dikotomisasi mengemuka. Misalnya, dikotomi kata "Muslim Sejati" dan "Muslim Munafik". Karena hal itu, menjadi hilang kebudayaan. Berdebat tanpa dasar. Menghina dan menjatuhkan. Bahkan kepada orangtua dan guru yang berbeda pilihan, silaturahim terputus. 

Saya mempunyai hak pilih pada 15 Februari mendatang. Hingga kini, saya bukan pendukung siapa-siapa. Bukan Agus, Ahok, atau Anies. Bukan pula tidak mendukung siapa-siapa. Singkatnya, siapa pun yang terpilih, semoga menciptakan karya yang tak mengecewakan.

Perlu diketahui, memilih untuk tidak memilih sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Itu adalah jalan terakhir saat buntu dalam memilih. Sebagian orang tidak melihat sosok yang ditampilkan, tetapi melihat tokoh yang ada di belakang layar. Alhasil, mereka lebih memilih untuk tidak memilih.

Saya pribadi misalnya, tertarik kepada sosok yang memiliki semangat kerja kebudayaan. Tidak meninggalkan budaya lama, tetapi justru mampu berinovasi dengan budaya baru yang berhasil diciptakan. Namun, saya berdoa semoga siapa pun gubernurnya nanti, semoga mampu menjadikan Ibukota lebih berbudaya.

Mari menghayati diri. Melakukan kontemplasi. Muhasabah an-nafs. Bagaimana jika pemimpin idaman kita kalah? Bagaimana kalau menang? Apakah Islam merasa terkalahkan bilamana Ahok maju sebagai Gubernur hingga lima tahun ke depan? Adakah tuntutan ini-itu? Dugaan kecurangan dan penggelembungan suara?

Yang saya khawatirkan dari Pemilu bukan soal siapa yang jadi dan kemudian tidak amanah. Bukan hanya itu. Melainkan soal keterpecahan. Rakyat di akar rumput, yang selama ini menjadi objek kampanye, akan saling bertikai karena tidak terima idolanya terkalahkan. Mampukah kita menjadi dewasa?

Kemudian bagaimana dengan rakyat yang merasa menang, karena pasangan yang didukungnya berhasil menjadi pemenang? Bersedia untuk tidak menyulut api, kah? Apakah sudah punya komitmen untuk tidak menghina dan merendahkan? Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian serius.

Saya rasa, konflik di akar rumput tidak akan terjadi jika orang-orang yang ditokohkan tidak berbuat gaduh. Indonesia, khususnya DKI Jakarta, memiliki budaya ketokohan yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian. Orang-orang yang ditokohkan itu disebut opinion leader.

Nah, mereka seharusnya mampu menjadi penenang. Tidak mengeksploitir kekuatan massa untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak adil. Harus bisa mengayomi dan menyadarkan bahwa kalah atau menang sudah biasa. Tidak perlu berlebihan, mari dukung siapa pun pemenangnya. Begitu kira-kira.

Sudah dua hari lagi pemilihan akan berlangsung. Semoga Indonesia, khususnya DKI Jakarta selalu dalam keberkahan. Tidak hancur hanya karena berbeda pilihan. Menjadi kuat dan kukuh karena menghargai satu sama lain.

Pesan saya, jangan berlebih dalam mencinta dan membenci. Sisakan sedikit ruang untuk apresiasi dan kritik yang membangun. Saat menjadi pemimpin, ciptakan ruang penerimaan apresiasi dan kritik atas kinerja yang dilakukan.

Jangan gila apresiasi, sehingga saat kritik datang dianggap provokasi dan ujaran kebencian. Sekali lagi, menjelang hari H pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, mari lakukan kontemplasi. Untuk itu, silakan jaga kedaulatan diri, keberimbangan berpikir, dan kestabilan dalam bersikap.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 13 Februari 2017


Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: