Akhir-akhir ini, langit terlihat mendung. Cuaca menjadi sejuk. Angin mengantarkan kesejukan itu. Hujan terkesan labil. Kadang gerimis, kadang deras. Suasana seperti ini sangat pas, untuk mendinginkan atmosfer perpolitikan.
Sekitar 3 hari yang lalu, organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama, NU, red) merayakan kelahirannya. Sejarah pun dibahas. Mulai dari perjuangan heroik KH Hasyim Asy'ari, hingga Gus Dur yang membuka kran demokrasi.
Akhirnya, NU berkomitmen untuk menjaga dan merawat Ibu Pertiwi. Menjadi pelindung dari marabahaya. Tidak ekstrem kiri dan kanan. Tetap berada di tengah. Meski, gelombang terus menghantam. NU tetap berdiri atas prinsipnya; tidak kiri dan kanan.
Kala itu, KH Ma'ruf Amin berkesempatan memberi tausyiah. Dia bilang, NU harus senantiasa menjadi ruang moderasi pemikiran kebangsaan dan keagamaan. Bergerak pun, sama. Masalah pelayanan keumatan, jangan ditanya.
Dia mengatakan, NU tidak jumud dalam membaca teks keagamaan, tapi juga tak longgar dalam memahaminya. Tidak kaku dalam ritual, juga tidak terlalu fokus pada kehidupan sosial. Tegasnya, NU menolak Liberalisasi dan Radikalisasi Islam.
Namun, siapa sangka? Saat sedang bertausiyah, sebenarnya Kiai Ma'ruf sedang berada dalam kubang permasalahan. Nahdliyyin yang sejak pagi (31/1) berada di lokasi, tak terlalu tahu perihal yang terjadi. Warga NU yang hadir kala itu, bersukacita mendengarkan tausiyah tersebut.
Selain itu, Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siradj menyampaikan pidato kebudayaan. Di hadapan ribuan Nahdliyyin yang memadati halaman kantornya itu, ada banyak hal yang diungkapkan. Warga NU, dari yang muda hingga tua, saksama mendengarnya.
Dia menuturkan, di Timur Tengah tidak ada ulama yang nasionalis. Pun sebaliknya. Orang yang nasionalis, bukanlah ulama. Setelah memberi contoh dan perbandingan, seperti Hasan Al-Banna dan Saddam Hussein; dia membanggakan KH Hasyim Asy'ari. Ulama Nasionalis, Nasionalis yang Ulama.
Dalam perjalanannya, NU selalu tegas soal agama dan negara. Tidak ada pertentangan antara nasionalisme dan agama. Begitu kata pendiri NU. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, tak bisa lagi ditawar-tawar. Harga mati. Siapa yang merusak, berhadapan dengan NU.
Soal membela kehormatan ulama, Nahdliyyin punya cara tersendiri. Tak perlu diragukan lagi. Umat Islam yang tergabung dalam Jam'iyyah Islamiyyah Ijtima'iyyah bi thoriqoh nahdlotul ulama itu selalu memelihara adab kepada orang-orang berilmu.
Bagi warga NU, takzim kepada ulama merupakan cara menghargai ilmu. Melalui itu pula, Nahdliyyin merasa dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, memandang wajah ulama diyakini sebagai keberkahan. Bukan berlebihan. Memang begitulah, adab kepada ulama.
Tanpa diminta dan dikomando, warga NU akan dengan sendirinya membela ulama yang dicinta. Namun, ketika dianjurkan untuk menahan diri, Nahdliyyin tidak akan terprovokasi. Sebagian besar dari mereka adalah santri, pasti pernah belajar kitab ternama; Ta'lim Al-muta'alim.
Ulama-ulama NU juga tidak pernah berlebihan. Mereka tidak mengandalkan kekuatan massa, saat dirinya sedang dalam masalah. Pemecahan solusi pun dilakukan. Ide-ide cemerlang selalu lahir seketika. Kuncinya; santun dan cinta kasih.
Semasa di pesantren, warga NU pasti belajar soal prinsip ke-NU-an. Tasamuh, Tawassuth, dan Tawazzun. Ketiganya menjadi pedoman hidup; bermasyarakat, beragama, dan bernegara. Sebab, Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.
Terakhir, ciri Nahdliyyin adalah santun, tidak kagetan dan latahan, serta pemaaf. Warga NU selalu menerapkan ilmu padi; semakin berisi kian merunduk. Tan Malaka bilang, padi tumbuh tak berisik.
Nahdliyyin tidak pernah seperti balon; isinya kosong. Mudah meninggi. Digesek sedikit, meledak-ledak. Kalau pun ada yang seperti itu dengan mengaku sebagai bagian dari NU, percayalah dia belum menjadi Nahdliyyin yang kaffah.
(Sekali lagi) Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak. Menjadi penengah dari kesemrawutan persoalan kemasyarakatan. Menjadi penjernih, bukan malah menjadikan persoalan seperti Ciliwung beberapa tahun yang lalu; keruh.
Umat Islam yang berada di lingkungan NU selalu menghargai perbedaan. Tidak latah dan kaget, saat melihat kebaruan fenomena. Tetap santai. Tidak kesusu. Tetap menjunjung kebebasan berpendapat. Sebab menurutnya, perbedaan adalah niscaya.
Yang terpenting, bukan seorang Nahdliyyin kalau dalam berdiskusi gemar membenci. Kalau berdakwah suka mengumbar amarah. Merasa diri paling benar, hingga berbuat onar, bukanlah Nahdliyyin sejati. Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 3 Februari 2017
Aru Elgete
Bagi warga NU, takzim kepada ulama merupakan cara menghargai ilmu. Melalui itu pula, Nahdliyyin merasa dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, memandang wajah ulama diyakini sebagai keberkahan. Bukan berlebihan. Memang begitulah, adab kepada ulama.
Tanpa diminta dan dikomando, warga NU akan dengan sendirinya membela ulama yang dicinta. Namun, ketika dianjurkan untuk menahan diri, Nahdliyyin tidak akan terprovokasi. Sebagian besar dari mereka adalah santri, pasti pernah belajar kitab ternama; Ta'lim Al-muta'alim.
Ulama-ulama NU juga tidak pernah berlebihan. Mereka tidak mengandalkan kekuatan massa, saat dirinya sedang dalam masalah. Pemecahan solusi pun dilakukan. Ide-ide cemerlang selalu lahir seketika. Kuncinya; santun dan cinta kasih.
Semasa di pesantren, warga NU pasti belajar soal prinsip ke-NU-an. Tasamuh, Tawassuth, dan Tawazzun. Ketiganya menjadi pedoman hidup; bermasyarakat, beragama, dan bernegara. Sebab, Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.
Terakhir, ciri Nahdliyyin adalah santun, tidak kagetan dan latahan, serta pemaaf. Warga NU selalu menerapkan ilmu padi; semakin berisi kian merunduk. Tan Malaka bilang, padi tumbuh tak berisik.
Nahdliyyin tidak pernah seperti balon; isinya kosong. Mudah meninggi. Digesek sedikit, meledak-ledak. Kalau pun ada yang seperti itu dengan mengaku sebagai bagian dari NU, percayalah dia belum menjadi Nahdliyyin yang kaffah.
(Sekali lagi) Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak. Menjadi penengah dari kesemrawutan persoalan kemasyarakatan. Menjadi penjernih, bukan malah menjadikan persoalan seperti Ciliwung beberapa tahun yang lalu; keruh.
Umat Islam yang berada di lingkungan NU selalu menghargai perbedaan. Tidak latah dan kaget, saat melihat kebaruan fenomena. Tetap santai. Tidak kesusu. Tetap menjunjung kebebasan berpendapat. Sebab menurutnya, perbedaan adalah niscaya.
Yang terpenting, bukan seorang Nahdliyyin kalau dalam berdiskusi gemar membenci. Kalau berdakwah suka mengumbar amarah. Merasa diri paling benar, hingga berbuat onar, bukanlah Nahdliyyin sejati. Nahdliyyin bukan peledak, tetapi penjinak.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 3 Februari 2017
Aru Elgete
0 komentar: