Senin, 06 Februari 2017

Jambore Mahasiswa (Tidak) Menolak Isu SARA!


Jambore & Silaturahmi Mahasiswa Indonesia, 4-6 Februari 2017

Malam Kamis, 25 Januari 2017 seorang teman menelepon saya. Dia mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Ibukota. Kabarnya, akan diadakan kegiatan Jambore Nasional Mahasiswa Indonesia (JNMI) pada Sabtu-Senin, 4-6 Februari 2017, di Buperta Cibubur, Jakarta Timur. Kegiatan itu sebagai perlawanan terhadap isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang akhir-akhir ini mencuat.

Saya gandrung terhadap isu keberagaman dan kebhinnekaan. Karenanya, ormas-ormas intoleran sangat meresahkan. Selain itu, saya juga tidak suka ketika agama dipolitisasi. Sebab agama sebagai penunjang moral, bukan alat perjuangan untuk mencapai kekuasaan. Saya sepakat untuk menolak isu SARA, ormas intoleran, dan pejuang khilafah anti-Pancasila.

Dengan sangat antusias, saya datang. Berharap ada perbaikan atas kesemrawutan kehidupan sosial-keagamaan di negeri ini. Sabtu (4/2) sore, saya tiba di lokasi. Bertemu dengan kawan-kawan mahasiswa dari Sabang-Merauke. Saya melihat Persatuan Indonesia, kala itu. Minimal sepulang dari JNMI, jaringan dan silaturahmi dengan mahasiswa seluruh Indonesia tidak terputus.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, hadir sebagai pembuka. Mereka berdialog dengan mahasiswa dari berbagai provinsi. Namun, ketiga menteri itu hanya presentasi program-programnya saja. Sementara sangat sedikit membahas permasalahan isu SARA yang tengah menguji persatuan bangsa.

Setelahnya, Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) hadir untuk membahas Situasi Nasional (Sitnas). Alih-alih bicarakan Sitnas, justru terlihat jelas menjatuhkan lawan politik dan salah satu kelompok keagamaan. Keadaan sempat memanas. Saya heran, menolak isu SARA, justru dengan cara yang tidak baik. Tidak dengan penguatan keagamaan yang mengajarkan cinta dan kasih sayang. 

Bagaimana mungkin, menolak isu SARA dengan menggunakan SARA? Itu sama saja dengan mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing. Sependek pemikiran saya, begitu. Namun, saya juga wajib bersyukur karena bisa berada di lingkaran mahasiswa se-Indonesia yang gelisah atas beragam permasalahan negeri.

Sabtu (4/2) petang, saya sudah tahu arah JNMI ini ke mana. Lucunya, ada yang memberi kritik kemudian dianggap provokator. Diusir. Tidak ada ruang untuk berbeda pandangan. Semua harus sama. Terpimpin. Yang berbeda dan kemudian bersuara, tidak ada ampun kecuali dipulangkan. Padahal, 'perbedaan adalah keniscayaan' menjadi jargon utama dari kegiatan itu.

Syukur saya tak terbawa arus. Sebagian besar teman-teman mahasiswa, saya rasa juga demikian. Resah atas keadaan negeri, ditambah gelisah atas JNMI yang sudah tidak sesuai dengan tema; menolak isu SARA. Sampai akhirnya, perbincangan di ruang diskusi berubah arah menuju Cikeas. Arah angin semakin jelas.

Saya ingin membantah pemberitaan di suaraindependen.com yang menyatakan bahwa kegiatan JNMI adalah soal kebangkitan PKI. Sungguh, itu kebodohan yang nyata. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan yang anti-Islam dan sebagainya. Bahwa ada mahasiswa yang diusir dari forum karena berbeda pendapat, itu benar.

Untuk lebih jelasnya, lihat pemberitaan di rappler.com (klik di sini). Sebagian besar mahasiswa menolak diri dari forum. Tersisa hanya sekitar 500 mahasiswa yang akhirnya turun ke jalan. Saya kecewa atas pergeseran nilai dari isu yang dibahas. Senin (6/2) dinihari, saya pulang. Sebab JNMI ini, kuat dugaan saya adalah tunggangan politik.

Atas dasar itu, saya mohon maaf kepada berbagai pihak yang mencoba melahirkan persepsi dan asumsi atas keikutsertaan saya di JNMI. Kepada penyelenggara, panitia, senior, pihak kampus, dan seluruh orang yang tidak berkenan dengan sikap saya. Mohon maaf.

Cara Menolak Isu SARA 

Kegiatan JNMI sangat mengecewakan. Tidak ada pelajaran penting yang bisa didapat, kecuali bertambah luas lingkar persahabatan sesama mahasiswa Indonesia. Hanya itu. Tidak ada solusi sama sekali untuk menghentikan laju politisasi agama dan isu SARA.

Menurut saya, cara terbaik untuk memberangus politisasi agama dan isu SARA adalah dengan tidak melakukan politisasi agama dan isu SARA. Kemudian tidak fanatik kepada suatu golongan. Tidak memprovokasi agar tidak terprovokasi. Biasa saja. 

Bersikap moderat (tawassuth), tenggang rasa (tasamuh), berimbang (tawazzun), dan beradab (tamaddun). Keempat sikap itu, menurut saya, adalah cara terbaik untuk menolak isu SARA dan politisasi agama. Hal itulah yang tidak ada di JNMI kemarin. Ketua Muslimat NU pun tidak membahas sikap tersebut dalam melawan isu SARA.

Dengan begitu, hidup tidak penuh prasangka kepada orang dan kelompok lain. Namun, eling lan waspada harus juga dilakukan. Menjadi tidak fanatik itu asik. Tidak gemar menjelekkan tanpa memberi solusi yang pasti. Tawassuth, tasamuh, tawazzun, dan tamaddun merupakan kunci utama melawan isu SARA.

Kita akan terlatih untuk tidak menjadi ekstrem kiri dan kanan. Berada di tengah. Moderat. Menjadi pemberi solusi. Prinsipnya tidak memihak siapa pun. Non-blok. Mengambil segala hal yang baik, meninggalkan yang buruk.

Contoh, ketidaksukaan saya terhadap FPI bukan lantas membentuk gumpalan kebencian yang berlebih. Pun kekecewaan saya atas kegiatan JNMI bukan berarti saya tidak dapat hal positif darinya.

Karena setiap manusia dan kelompok apa pun di dunia ini, pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, maka jangan merasa diri paling benar. Jangan fanatik. Jangan membuat orang dan kelompok lain merasa tersakiti akibat perbuatan diri sendiri.

Kalau ingin menolak isu SARA, ya jangan melakukan sesuatu dengan menyerang SARA. Jangan pula menolak provokasi dengan cara memprovokasi. Supaya tidak seperti memakan tahi sendiri. Gitu aja kok, repot.

Dengan tulisan ini, saya menyatakan bahwa sama sekali tidak memihak siapa-siapa. Saya memihak pada diri sendiri. Pada kedaulatan dan kemerdekaan diri. Pada pembebasan pribadi. Saya tidak memihak ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Silakan kalian berperang. Melakukan aksi menolak ini-itu. Saya akan menyibukkan diri pada penyadaran masyarakat untuk menolak isu SARA dengan cara yang beradab, moderat, berimbang, dan tenggang rasa.

Saya tetap membela NKRI tanpa kepentingan apa pun. Membela Islam dengan cara belajar memahami lebih dalam lagi. Membela negara dan agama itu hukumnya wajib. Yang haram adalah mengatasnamakan negara dan agama untuk sebuah kepentingan politik.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 6 Februari 2017



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

1 komentar: