Rabu, 12 Agustus 2020

Kisah Dua Pemuda Rayakan HUT RI dengan Hati yang Kotor

 

Ilustrasi. Sumber: beritabojonegoro.com


Alkisah, di sebuah Desa terdapat dua orang pemuda yang saling bertetangga tapi seringkali menaruh rasa iri antara satu dengan yang lainnya. Pemuda itu bernama Jaya dan Udin. Mereka berdua tak pernah hidup rukun. Jaya menganggap Udin adalah saingannya. Demikian pula sebaliknya. 


Di musim sepeda seperti sekarang ini, Udin membeli sepeda untuk digunakan di setiap akhir pekan menuju area Car Free Day. Namun, tak lama, Jaya pun membeli sepeda. Ia tak mau kalah dengan Udin yang telah bersepeda lebih dulu darinya.


Jelang lebaran Idulfitri kemarin, Jaya mempercantik rumahnya dengan cat berwarna merah. Melihat hal itu, Udin juga tak mau kalah. Keesokan harinya, ia juga mengecat rumahnya dengan warna merah yang lebih terlihat sangat wah.


Pada lebaran Iduladha beberapa waktu lalu, Udin membeli seekor sapi untuk dijadikan sebagai hewan qurban. Lagi-lagi, Jaya tidak mau kalah. Ia pun membeli seekor sapi yang jauh lebih besar dari sapi milik Udin, untuk diqurbankan. 


Terakhir, jelang peringatan HUT RI ke-75 beberapa hari lagi, dengan sangat bangga Jaya memasang spanduk di depan rumahnya. Spanduk itu terdapat tulisan sangat besar, "INDONESIA TETAP JAYA". 


Melihat hal itu, hati Udin menjadi panas. Akhirnya, dengan cepat ia mengambil keputusan untuk juga memasang spanduk besar di depan rumahnya dengan bertuliskan, "INDONESIA TETAP UDIN!"


Hahahahahahaha...

Kamis, 06 Agustus 2020

Sebuah Tulisan Kekangenan: Ayah Enha, Cinta, dan Pelayanan Kemanusiaan



Sowan ke Ayah Enha bersama Pendeta William dan Kang Opi

Guru saya, KH Ahmad Nurul Huda Haem atau yang akrab disapa oleh santri-santrinya—dan termasuk saya—Ayah Enha, kini sedang dalam masa pemulihan atas nikmat sakit yang Allah berikan, di salah satu rumah sakit yang ada di Purwakarta, Jawa Barat. Mohon doa setulus hati, agar Ayah Enha kembali pulih dan dapat segera membersamai kita semua dalam kasih yang total dan pelayanan yang sungguh. 

Jujur saja, saya kangen dengan petuah-petuah atau nasihat-nasihat beliau yang ngademi ati serta gagasan-gagasan beliau yang sangat visioner dan penuh optimisme. Beliau seorang motivator, maka tak heran jika Istana Yatim di pelosok Bekasi itu dinamainya Pesantren Motivasi Indonesia. Namun, bagi saya, beliau tak hanya sebagai motivator, tetapi juga inspirator sejati.

Ayah Enha bukan hanya senang 'memecuti' para santri dengan petuah-petuahnya yang menyejukkan itu, tetapi juga sekaligus mampu berperan sebagai pelaku. Sehingga kita semua—sebagai santrinya—bisa langsung secara nyata melihat bagaimana beliau mewujudkan gagasan-gagasannya itu. Seperti misalnya, kalimat Love All Serve All itu. Jargon Hard Rock Cafe yang diadopsi menjadi 'kalimat sakti' buat Istana Yatim itu bukanlah sembarang jargon mentah, tetapi memang Ayah Enha sudah dan selalu mewujudnyatakan kasih dan pelayanannya kepada siapa saja. 

Dalam kekangenan ini, saya tetiba saja iseng-iseng ngintip beranda facebook milik Ayah Enha dan menemukan sebuah postingan—atau katakanlah semacam catatan yang distatuskan dalam facebook—yang menurut saya sangat memotivasi dan menginspirasi buat hidup serta perjalanan kehidupan saya ke depan. Semoga saja benar demikian, saya termotivasi dan terinspirasi sekaligus juga mampu mewujudkan gagasan Ayah Enha yang cemerlang itu.

Postingan yang saya maksud itu adalah sebuah status facebook yang oleh Ayah Enha diunggah pada 3 Januari 2016 atau tepat di hari lahir Nabi Muhammad 12 Rabiul Awwal 1436 Hijriyah, di Jeddah. Saya yakin sekali, tulisan ini ditulisnya sembari Ayah Enha merenungi dan meresapi keteladanan Nabi yang penuh dengan kelembutan, kasih sayang, dan juga pelayanan yang total kepada sesama makhluk sebagai wujud penghambaan kepada Sang Khaliq, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi.

Tulisan Ayah Enha tersebut, diberi judul Kelahiran Sang Nabi dan Musyahadah Cinta (Ikhtiyar menyatukan perbedaan dalam bingkai cinta). Namun dalam tulisan ini, saya akan mencoba untuk menyadurnya, tidak menyalin-tempel secara leterlek. Sembari saya memberi komentar atas tulisan yang telah dibuat Ayah Enha, yang menggugah hati saya itu. 

*****

Kehadiran Nabi Muhammad secara utuh, menurut Ayah Enha dalam tulisan di facebooknya itu, adalah sebagai bagian dari upaya menyelaraskan kehidupan jasadi dan ruhani yang tampak dalam keimanan dan akhlak yang menawan. Sementara untuk memelihara keduanya—jasadi dan ruhani yang selaras—maka dibuatlah sistem peribadatan yang disebut sebagai syari'at, sebuah jalan agar nilai ketauhidan dan perilaku dapat berjalan lurus. Sebagau sebuah jalan, bagi Ayah Enha, syari'at tentu saja boleh berbeda antara satu dengan yang lain.

Ayah Enha kemudian mengutip surat Al-Maidah ayat 48: "...Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."

Setelah mengutip ayat tersebut, Ayah Enha lalu meminta kita untuk memperhatikan firman Allah itu. Bahwa difirmankan, "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang". 

Di dalam Al-Quran, aturan dan jalan yang terang itu disebut syir'atan wa minhaja. Dikatakan Ayah Enha, bahwa semua tujuan dari seluruh jalan yang beragam itu hanya satu, yakni Allah. Sedangkan fakta keragaman umat tak bisa dibantah. Sebab sejak awal penciptaan, Allah telah menciptakan keragaman itu. Kita bisa lihat dan baca surat Al-Hujurat ayat 13 sebagaimana yang dikutip oleh Ayah Enha dalam tulisannya itu. 

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Fakta keragaman, bagi Ayah Enha—dan saya pun mengamini—merupakan sebuah keniscayaan (given). Maka, risalah muhammadiyah hadir di tengah-tengah umat dalam bentuk yang unik. Risalah itu menyatukan tetapi sekaligus terbuka ruang tafsir, membebaskan makna atas teks yang nantinya dijadikan sebagai landasan suci risalah ini, Al-Quran dan Hadits.

Risalah kehidupan Nabi Muhammad merupakan sebuah spirit yang menyelamatkan, sehingga seluruh kaidah kehidupan di dunia ini didasarkan pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Sebab, dari sisi mana saja kita memandang risalah suci itu, yang tampak hanyalah pesona keindahan yang menghentakkan kesadaran kasih-sayang Tuhan.

Di tengah-tengah tulisan yang membangun optimisme itu, entah kenapa Ayah Enha tiba-tiba mengalurkan tulisannya kepada suasana batin yang berbanding terbalik. Risalah suci yang disebut di atas itu, dikatakan oleh Ayah Enha bahwa pada gilirannya pasti ada saja sebagian hamba yang kesulitan mencapai tujuan yang dimaksud oleh pembuat syari'at yang dibawa secara tartil (baik dan benar) oleh Nabi. 

Ayah Enha menjelaskan, bahwa maksud pembuat syari'at atau Tuhan telah mewujud atau termanifestasikan pada keindahan perilaku Nabi, tetapi keindahan itu justru seringkali dinodai oleh sekat-sekat kepentingan tafsir. Singkatnya, saya memaknai maksud Ayah Enha, kita sering bertengkar berebut tafsir, seolah tafsir kita paling benar seraya menyalahkan tafsir yang lain.

Nah, hegemoni para penafsir—yang menguat di lingkungan penganut agama—inilah yang tak jarang menyebabkan terjadinya firqoh (golongan) yang seiring berjalannya waktu, tak bisa dihindari. Maka, menurut Ayah Enha, kelahiran Nabi Muhammad—bahkan menurut saya, kapan pun saja—harus menjadi momentum untuk kembali kepada kesadaran primordial bahwa syari'at (jalan) boleh berbeda atau beragam, tetapi tujuan yang hendak dicapai pastilah sama. 

Kobaran api permusuhan yang telah lama merusak tali persaudaraan keislaman (ukhuwwah Islamiyyah)—dan saya tambahkan juga persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathoniyyah) serta persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah)—sebenarnya merupakan ilusi yang harus diwaspadai. 

Kelahiran Nabi Muhammad, yang setiap tahun dirayakan oleh sebagian besar umat Islam di dunia, harus mampu menggerakkan spirit ukhuwwah (persaudaraan) dan bukan justru menggelorakan 'adawah (permusuhan). Spirit penghambaan diri kepada Tuhan, dibingkai dalam upaya yang sungguh-sungguh (mujahadah) secara terus menerus seraya menyadari atas pengawasan Allah (muraqabah) yang berkesinambungan. 

Maka boleh jadi, menurut Ayah Enha, benang merah pertikaian ahli syari'ah (para pejalan menuju Tuhan) dapat dibentangkan melalui sebuah titik masuk yang penuh kerahmatan atau kasih sayang. Ayah Enha menyebutnya sebagai: Musyahadah Cinta. Yakni sebuah penyaksian (vision) atas hakikat kehidupan yang sumber segalanya adalah kebaikan Allah terhadap makhluk. Musyahadah cinta, dimaknai oleh Ayah Enha juga sebagai sebuah persaksian seorang hamba kepada Tuhan secara vertikal dan juga horizontal. 

Secara vertikal, para pecinta akan menyeluruhi dirinya dengan kesibukan melayani sang kekasih (Tuhan). Hasratnya terbakar oleh Kesucian Wajah Tuhan dalam ketakjuban yang tak terperi. Apa saja yang dipandang oleh para pecinta itu hanyalah wajah Kekasih (Tuhan) di mana-mana. Lalu secara horizontal, kepak sayap sang pecinta akan membawanya kembali menuju bumi untuk menyapa wajah-wajah kemanusiaan dengan spirit kasih yang tak pandang bulu. Tak tersekat ras dan golongan. Bahkan, tak tertandingi oleh benih permusuhan dan kebencian. Semua larut dalam kehebatan cinta yang dominan. 

Maka kelahiran Nabi Muhammad merupakan wujud cinta Tuhan yang teramat besar kepada semua hamba. Lalu bagaimana mungkin kita tak mensyukurinya?

*****

Dari tulisan di atas, kita bisa simpulkan betapa dalamnya cinta Ayah Enha kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian saya—dan tentu saja siapa pun yang mengenal Ayah Enha—pasti seringkali melihat, menyaksikan, dan merasakan betapa peran Ayah Enha terhadap pelayanan kemanusiaan adalah sebuah manifestasi atas cintanya yang sangat dalam kepada Allah Yang Mahacinta dan Sang Nabi Muhammad Putra Abdullah. 

Pelayanan kemanusiaan itu menjadi wujud istana yang dihuni oleh anak-anak yatim dan anak-anak yang diyatimkan oleh keadaan hidup yang sangat menjerat, sehingga mengancam keberlangsungan masa depannya. Oleh Ayah Enha, anak-anak yang kurang beruntung itu diberi peruntungan, dimanusiakan, dan dihidup-hidupi sebagai sebuah wujud kecintaan Ayah Enha kepada Allah dan sebagai bentuk peneladanan atas kerahim-rahmatan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad. 

Tak hanya anak-anak yatim dan yang diyatimkan oleh keadaan saja yang dilayaninya, melainkan juga siapa pun—bahkan yang berbeda agama—ketika membutuhkan bantuan pasti dilayani dan ditolong semampunya. Maka, saya pun tak heran, jika dalam setiap diskusi Ayah Enha seringkali mengatakan: everything is done. Segala sesuatunya sudah dilakukan atau selesai. Benar saja demikian, karena orang-orang yang telah dilayaninya itu, akan secara otomatis memberikan doa dengan setulus hati. 

Doa yang tulus itu kemudian menjelma menjadi rezeki yang berkelimpahan. Kita bisa lihat dari kemajuan Pesantren Motivasi Indonesia atau Istana Yatim, dari tahun ke tahun, yang sangat pesat. Kini, Ayah pun sedang diberi rezeki sakit oleh Allah. Saya yakin sekali, sakit bagi Ayah Enha ini semacam pelepas lelah untuk kemudian beranjak dan melebarkan sayap pelayanan kemanusiaan ke dinding-dinding yang dingin, yang tak pernah terjamah oleh siapa pun. Demikianlah Allah membalas cintanya sang pencinta seperti Ayah Enha ini. 

Melalui tulisan kekangenan ini, mari kita mohonkan doa kepada Allah untuk Ayah Enha agar segera pulih dari sakit yang dideranya. Sebab motivasi dan inspirasi yang canggih itu sedang ditunggu banyak orang. Aamiin...

Sabtu, 01 Agustus 2020

Berjalanlah Keluar, Agar Tak Jadi Kaum Cuti Nalar


Kutipan Ayah Enha di Pesantren Motivasi Indonesia

Akhir-akhir ini, saya sering berkunjung ke Pesantren Motivasi Indonesia di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Sebuah istana yatim yang berada di pelosok kampung tetapi memberikan berbagai keindahan dan keunikan di dalamnya. Ya, sebagaimana mestinya istana. Istana untuk anak-anak yatim dan anak-anak yang diyatimkan oleh keadaan. 

Pesantren itu diasuh oleh seorang ulama muda Betawi jebolan Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, yakni KH Ahmad Nurul Huda atau yang akrab disapa Ayah Enha. Ilmunya yang menyamudera, ditumpah-ruahkan menjadi sebuah pengabdian dan pelayanan yang total kepada sesama sebagai bagian dari penghambaan diri kepada Allah.

Maka tak heran, jika kita masuk ke dalam pesantren, kita akan disuguhkan dengan sebuah panggung yang mahamegah dan di atasnya bertuliskan "kalimat sakti" yang mulanya adalah jargon dari Hard Rock Cafe, dan kemudian diubah menjadi tagline Pesantren Motivasi Indonesia, yakni "Love All Serve All".

Kemudian jika kita agak ke dalam, ada sebuah cafe kecil-kecilan yang dinamai "Cafe-Trend" atau kependekan dari Cafe Pesantren. Di sana, kita akan disuguhkan banyak varian kopi yang dilabeli "Ngopi Santri". Ngopi Santri pun adalah sebuah wadah diskusi yang merupakan kependekan dari "Ngobrol Pemikiran dan Kesadaran Literasi". Namun, karena pandemi yang tak kunjung usai, diskusi yang awalnya dilaksanakan seminggu sekali itu dihentikan untuk sementara waktu sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan.

Selain itu juga ada bingkai foto ulama-ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama. Beberapa diantaranya adalah foto Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tetapi yang menarik, bagi saya, adalah sebuah kutipan di dinding di atas dapur tempat santri mengantri makan. Kutipan itu adalah sebuah ungkapan yang saya juga sering dengar langsung dari Ayah Enha, berbunyi: "Berjalanlah keluar, agar engkau tak menjadi kaum cuti nalar". 

Sependek pemikiran saya, kalimat itu dibuat oleh Ayah Enha sebagai reaksi dari fenomena umat beragama kekinian yang gemar merasa paling benar seraya menganggap orang lain salah. Kalimat itu juga, bagi saya, menjadi sebuah motivasi bagi diri agar mampu menjelajahi banyak hal untuk—tentu saja—menambah wawasan dan memperluas cakrawala pemikiran. Sehingga dengan demikian, kita jadi tidak mudah menghakimi orang lain. 

Tetapi kalimat itu bukan hanya sekadar kalimat. Ayah Enha benar-benar mewujudkan kutipannya itu. Ia mampu menerima siapa saja, tanpa memandang latar belakang apa pun, untuk menjadi lawan diskusi. Sehingga, orang-orang yang datang ke Istana Yatim itu benar-benar dibuka pemikiran, pengetahuan, dan wawasannya. 

Kalau kita berteman dengan Ayah Enha di media sosial sejak beberapa tahun lalu, kita akan menyaksikan betapa aktivitas Ayah Enha bukan hanya sebatas di lingkaran lokal dan nasional, tetapi sudah internasional. Ia beberapa kali memenuhi undangan dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di luar negeri untuk memberikan ceramah atau motivasi keagamaan. Berbagai negara sudah dijajakinya, sehingga itulah barangkali yang membuat Ayah Enha membuat "kalimat sakti" itu tadi. 

Dalam kalimat yang lain, Ayah Enha juga pernah berujar: "Berjalanlah ke seluruh muka bumi agar engkau sadar bahwa sempit itu hanya ada dalam kerangkeng pikiranmu".

Sebab, menurut saya atas penafsiran kalimat Ayah Enha itu, bagaimana mungkin kita bisa memahami keadaan di luar jika kita selalu disibukkan dengan "benang-kusut" persoalan di dalam. Persoalan-persoalan keagamaan yang kerap muncul di permukaan, sebenarnya hanyalah pengulangan-pengulanan peristiwa yang jika kita mampu ke luar, maka kita akan santai menghadapi persoalan itu. 

"Kalimat sakti" milik Ayah Enha itu merupakan interpretasi atas firman Allah dalam Al-Quran, yakni yang termaktub pada surat Ali Imran ayat 137. Secara leterlek, firman Allah itu berbunyi: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)". 

Dalam berbagai diskusi bersama Ayah Enha, saya seringkali menangkap gagasannya yang sangat visioner. Yakni bahwa telah berlalu masa di mana kaum mukmin mengalami kekalahan pada perang Uhud yang tentu saja meluluhlantakkan peradaban ketika itu. Kini, Ayah Enha seringkali mengajak, kepada siapa saja, agar kita meninggalkan sejarah peristiwa konflik itu dan membangun peradaban yang mampu saling mengasihi dan saling melayani. Inilah yang menjadi muasal dari lahirnya jargon "Love All Serve All" di Pesantren Motivasi Indonesia.

Maka, menurut saya, Ayah Enha dalam beberapa perbincangannya bersama saya, senantiasa melecut semangat agar mampu membuka relasi kepada siapa saja. Tidak menutup diri terhadap berbagai perubahan yang pasti terjadi, termasuk juga tidak menutup diri dengan berbagai keragaman yang ada di hadapan mata. Sementara kedewasaan dalam membangun peradaban itu hanya bisa dilalui ketika kita mampu keluar dari berbagai kerangkeng yang membelenggu daya pikir dan nalar kita. 

Sebagai manusia biasa, tentu saja kita akan mengalami hari-hari di mana hidup kita terasa jenuh dan membosankan. Hal itu yang kemudian dapat berimbas pada menurunnya semangat hidup dan tidak punya gairah untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Maka, jika kita sedang berada dalam kondisi tersebut, alangkah baiknya kita segera keluar. Sebab, pada kondisi itu, sebenarnya kita sedang berada dalam kerangkeng yang membelenggu. 

Oleh karenanya, kita perlu segera melakukan aktivitas yang mampu menghidupkan kembali semangat dan memantik gairah hidup. Aktivitas itu bisa beragam. Saya misalnya, jika sedang jenuh dengan aktivitas yang begitu-begitu saja, saya akan mengajak teman-teman antariman atau jaringan lintas agama yang berada di lingkaran hidup saya untuk sekadar bertukar pikiran atau merencanakan sebuah agenda bersama. 

Berjalan keluar, yang dimaksud Ayah Enha, saya maknai sebagai sebuah aktivitas ke luar rumah yang dapat menambah wawasan, memperkaya pengalaman, dan memperluas cakrawala pemikiran saya. Dengan demikian, ketika saya melihat dunia luar yang berbeda dengan dunia "dalam" saya, maka saya akan mendapati beragam pengalaman hidup baru yang akan membuka mata sekaligus meluaskan pandangan tentang makna hidup yang sesungguhnya.

Dari sekian perjalanan saya ke luar, menjumpai hal-hal baru yang belum pernah saya temui sebelumnya membuat saya merasakan bahwa hidup ini berasa sangat indah dan penuh warna. Saya jadi tahu bagaimana orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan saya menjalani hidupnya sendiri. Tentu saja, hal itu menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya. Sehingga, secara otomatis juga, dapat memperhalus rasa untuk senantiasa menghormati dan mengasihi yang lain.

Saya jadi teringat petuah salah seorang kiai saya di Pondok Buntet Pesantren Cirebon yang mengutip ungkapan Imam Syafi'i, seorang ulama besar dalam perjalanan kehidupan beragama umat Islam. Imam Syafi'i berkata: "Bepergianlah, kamu pasti akan mendapatkan pengganti apa yang ‎kamu tinggalkan. Berusaha keraslah, karena kenikmatan hidup ada ‎pada kelelahan usaha keras. Aku melihat, air yang berhenti itu ‎merusak dirinya, kalau ia mengalir pasti akan baik, kalau ia berhenti ‎akan buruk. Dan, kalaulah singa tidak meninggalkan tempatnya ia ‎tidak akan mendapat buruan. Demikian juga panah, kalau tidak ‎bergerak meninggalkan busur, dia tidak akan mengenai sasaran".

Kutipan itu masih dan akan terus terngiang dalam benak saya. Betapa inspiratif dan penuh motivasi pesan yang disampaikan Imam Syafi'i itu. Hal tersebut menjadi sebuah cerminan betapa perjalanan hidup seorang Imam Syafi'i yang sangat kaya, dewasa cara berpikirnya, dan peduli dengan masa depan umat. Menurut saya, Imam Syafi'i seperti meyakini bahwa dengan melakukan perjalanan ke luar, seseorang akan dapat tumbuh menjadi dewasa dalam bersikap dan bertindak. Dalam kalimat Ayah Enha, tidak menjadi kaum cuti nalar. 

Imam Syafi'i seperti mengibaratkan seseorang yang hanya berdiam diri dan tidak beranjak dari kerangkeng yang membelenggu hidupnya, laksana air yang menggenang, tidak mengalir, dan justru akan menjadi sumber penyakit. Sementara orang yang mau melakukan perjalanan ke luar untuk menggali pengalaman, menambah wawasan, dan memperluas cakrawala pemikiran akan dapat memberi manfaat bagi dirinya sendiri, bahkan untuk orang lain yang berada di sekelilingnya. 

Jadi, bagaimana? Sudahkah kita melakukan perjalanan ke luar? Keluar dari kerangkeng yang membelenggu hidup kita selama ini? Berjalanlah keluar, agar engkau tak menjadi kaum cuti nalar; demikian kalimat Ayah Enha yang sangat berkesan di dalam perjalanan hidup saya selama ini.