Senin, 30 November 2020

Humor Gus Dur: Kabur karena Takut Ketahuan

 

Ilustrasi. Sumber gambar: klikdokter.com


KH Abdurrahman Wahid memang benar-benar cerdik sekaligus lucu. Seperti kita tahu, Gus Dur pernah nyantri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang asuhan KH Chudlori.


Sebagaimana kebiasaan para kiai pada umumnya, saat dini hari tiba Kiai Chudlori selalu bangun untuk mendirikan qiyamul-lail atau shalat malam. 


Gus Dur, sebagai santri, tentu saja mengetahui dan bahkan mengamati kebiasaan Kiai Chudlori. Suatu ketika, terlintas di benak Gus Dur untuk mengambil ikan di kolam milik kiai saat dini hari. Ia lantas mengajak teman-teman sekamarnya untuk menuntaskan keinginan makan ikan.


Ketika temannya sedang asik menyerok ikan, Gus Dur tak ikut serta. Alasannya, ia bertugas untuk mengawasi situasi di sekitar kolam. Benar saja, Kiai Chudlori melintas di dekat kolam. Seketika itu pula Gus Dur memberi kode agar teman-temannya kabur. 


Sementara itu, Gus Dur berdiri di pinggir kolam dengan memegang ikan hasil curian. Saat berpapasan dengan Kiai Chudlori, Gus Dur bertutur, "Tadi ikan milik Kiai dicuri."


"Mana pencurinya?" tanya Kiai.


"Kabur Kiai, Alhamdulillah saya mengusirnya dan hasil curiannya saya selamatkan," kata Gus Dur dengan percaya diri sembari memperlihatkan ikan yang ada di tangannya.


Sang Kiai mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan tersebut. Atas jasa Gus Dur, Kiai Chudlori berkenan untuk memberikannya ikan tersebut kepada Gus Dur sekaligus dimasak bersama teman-teman santri yang lain. 


Setelah tahu cerita di balik ikan yang akhirnya digoreng, teman-teman Gus Dur yang kabur saat mencuri ikan itu kesal karena Gus Dur seolah melakukan pencitraan di hadapan kiai. 


Gus Dur dengan santai menjawab, "Wong awakmu melu mangan iwakke. Iwakke kan saiki wis halal wong wis entuk izin soko kiai (Kamu juga ikut makan ikannya. Ikannya juga sudah halal karena dapat izin dari Kiai)."


Ada-ada saja akal bulus Gus Dur.


*Diadaptasi dari buku Humor Para Kiai: Menebar Tawa Menuai Hikmah karya Chalis Anwar (2019)

Minggu, 22 November 2020

Nabi Muhammad Maafkan Musuh-musuhnya


Sumber gambar: NU Online


Sudah sejak dulu Islam berwajah santun, ramah, murah senyum, dan bahkan memaafkan seluruh musuh-musuhnya. Hal tersebut dicatat oleh sejarah dalam sebuah kisah heroik bernama Fathu Makkah atau yang jamak dimaknai sebagai takluknya Kota Mekkah.


Lebih dari itu, kita bisa belajar dan memetik hikmah dari keteladanan Nabi Muhammad dalam memperlakukan pihak lawan. Ini pun bisa menjadi bekal bagi kita untuk siap menghadapi berbagai fenomena keagamaan yang penuh reaktif dan marah-marah, seperti belakangan ini mencuat.


Bagaimana tidak, Nabi benar-benar mengajarkan sikap memaafkan yang dapat menggugah sekalipun berada di posisi puncak kemenangannnya. Hal ini pula yang bisa dicontoh oleh segenap penguasa agar tidak semena-mena lantaran punya kuasa. 


Abu Sufyan, seorang tokoh utama permusuhan atas Islam terduduk lemas. Ia benar-benar ketakutan saat umat Islam berbondong-bondong memasuki kawasan Mekkah. Tapi apa yang terjadi? Nabi justru memberi permaafan yang sangat tulus kepada musuhnya itu. Bahkan dengan tegas, Nabi berkata: “Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman.”


Lalu Ikrimah Putra Abu Jahal. Kejahatannya tak kalah dari bapaknya. Ia sempat kabur ke Yaman. Tapi istrinya yang telah lebih dulu memeluk Islam bermohon kepada Nabi untuk mengampuninya. Di kemudian hari, Ikrimah gugur pada pertempuran Yarmuk dalam keadaan membela Islam.


Kemudian ada pula Pemuda Quraisy Suraqah Putra Naufal yang karena tawaran seratus ekor unta berupaya membunuh Nabi Muhammad pada perjalanan hijrah. Tapi setelah Fathu Makkah, Nabi pun memberikan maaf kepada Suraqah.


Nabi Muhammad pernah diumpat melalui syair-syair yang mencela dan menjelekkannya oleh Furat Putra Haiyan. Selain bersyair untuk menyerang Nabi, tugas Furat adalah sebagai mata-mata dari pasukan Kafir Quraisy. Setelah Fathu Makkah, Nabi justru memberikan maaf kepada Furat sekaligus menghadiahi sebidang tanah di Yamamah.


Hamzah Putra Abdul Muththalib adalah seorang paman yang sangat dicintai Nabi. Dia mati di tangan Wahsyi Putra Harb. Lembing yang dibidiknya tepat membunuh Hamzah pada pertempuran Uhud. 


Setelah sempat kabur ke Thaif, Wahsyi akhirnya menyerah dan memohon ampunan. Nabi langsung memberi ampun seraya dengan tegas berkata: “Janganlah kamu berjumpa aku lagi, karena melihat dirimu aku teringat pamanku.”


Di kemudian hari Wahsyi menebus kesalahannya dengan membunuh Musailamah al-Kadzab si nabi palsu. Dalam banyak riwayat, Wahsyi disebut-sebut sebagai pembunuh paman Nabi yang masuk surga.


Usai mati di tangan Wahsyi, jantung Hamzah Putra Abdul Muththolib dikunyah dan dimakan oleh seorang perempuan paling biadab di masa itu, Hindun Putri ‘Utbah. Sebagaimana Wahsyi, Nabi pun memaafkan Hindun walaupun tak mau melihat wajahnya lagi. 


Apa yang bisa kita simpulkan dari berbagai kisah singkat yang menggambarkan keluhuran pekerti Nabi? Tentu saja soal memaafkan sekalipun tidak sepenuhnya dapat melupakan.


Dalam keadaan sudah berhasil menaklukan Kota Mekkah, Nabi sebenarnya memiliki privilese untuk menghancurkan musuh-musuhnya, tapi itu tidak dilakukan karena risalah agung yang dibawa Nabi adalah soal martabat kemanusiaan.


Sesungguhnya Nabi bisa saja menurunkan semua pasukannya untuk menghancurkan seluruh musuh yang sudah menyakiti hatinya karena orang-orang tercinta dan terdekat Nabi mati di tangan mereka. Tapi Nabi lebih memilih untuk memaafkan tanpa kekerasan dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan, sama sekali.


Sebab penyalahgunaan kekuasaan itulah yang dapat menghancurkan martabat kemanusiaan. Hal itu mengakibatkan peradaban dalam sebuah tatanan kehidupan bersama rusak, hancur total. Nabi sudah memberikan teladan baik, kenapa lantas kita masih saja berbuat seenaknya saja kepada orang-orang yang tak sepaham dengan kita?


Sungguh, Nabi tidak pernah mengajarkan agar kejahatan dibalas pula dengan kejahatan. Justru kelembutanlah yang dapat meluluhlantakkan kebencian. Kita pasti ingat soal kisah Ibnu Hajar yang melihat batu yang menjadi cekung karena ditetesi air secara terus menerus. Begitu pula kelembutan yang akan membuat kebencian sirna.


Kedengkian, kebencian, dan caci-maki tidaklah patut dibalas dengan kesewenang-wenangan karena merasa memiliki segala perangkat untuk ‘berperang’. Memaafkan bukan untuk kepentingan musuh tapi berfungsi untuk mengentaskan sampah emosi di dalam hati.


Dengan demikian, kita mampu menjadi pribadi yang penuh kearifan seperti Nabi, terutama saat diamanahi untuk memegang sebuah kekuasaan. Karena sejak dulu, Nabi Muhammad selalu meneladankan bahwa Islam berwajah ramah, bukan marah.


Kemarahan jangan dibalas kemarahan, tetapi harus dibalas dengan senyuman. Demikian Nabi Muhammad mengajarkan.

Sabtu, 07 November 2020

Kenapa Kiai NU Lucu? Ini Jawabannya...

 

Ilustrasi. Sumber gambar: islamidotco



Beberapa hari lalu, saya sebagai unsur Pemuda Lintas Agama turut hadir dalam agenda Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila, Direktorat Pembudayaan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di The 101 Hotel Suryakancana, Kota Bogor.


Dalam forum terbatas itu, hadir pula Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Zastrouw Al-Ngatawi yang merupakan Ketua Tim Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila. Di dalam forum, Mas Zastrouw benar-benar serius mengeluarkan gagasan tentang bagaimana Ideologi Pancasila harus benar-benar dibudayakan, utamanya ke anak-anak muda yang memiliki keterbatasan dalam membaca sejarah.


Itu di dalam forum. Berbeda ketika di luar forum alias pada diskusi informal. Sembari menghisap rokok, mencicipi kopi, serta merasakan hawa dingin Bogor, Mas Zastrouw bercerita soal penyederhanaan gagasan yang kerap dilakukan kiai-kiai NU. Penyederhanaan itu dilakukan para kiai melalui metode humor.


Misalnya saja, Mas Zastrouw bercerita soal salah seorang kiai NU (saya lupa nama kiai yang disebut Mas Zastrouw) yang ceramah dan bercerita soal peristiwa hijrah Nabi Muhammad. Dalam kesempatan itu, kiai yang disebutkan oleh Mas Zastrouw sangat interaktif dengan audiens. 


Sang kiai bertanya kepada hadirin, "Bapak-bapak, ibu-ibu, dan hadirin semua, Nabi itu pernah hijrah dalam upaya menyebarkan dakwah Islamiyah. Bapak-ibu tahu kan?"


"Tahuuuuu," sahut hadirin. 


"Kalau tahu, dari mana dan ke mana Nabi Hijrah?"


Pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh hadirin. Ini menandakan bahwa masyarakat harus "dituntun" untuk mengetahui segala hal. Oleh karena itu, perlu penyederhanaan gagasan agar dapat dengan mudah diterima. 


"Baik akan saya jelaskan," kata kiai.


Kiai tersebut kembali menjelaskan dengan pertanyaan, "Nabi Muhammad itu hijrah dari Makkah ke Madiiii...."

"Uuuunn," sahut hadirin serempak. 


Saya pun terkekeh-kekeh mendengar cerita itu langsung dari Mas Zastrouw.


Kemudian, ia pun melanjutkan ceritanya. Kali ini, yang menjadi bahan cerita humornya adalah Gus Dur. Kita semua tahu, Gus Dur adalah seorang kiai yang kaya akan humor. Bahkan, dalam menyampaikan segala sesuatu yang sangat serius sekalipun, Gus Dur bisa membawakannya dengan humor dan tentu saja mengajak hadirin untuk berinteraksi. 


Dalam ceramahnya di hadapan masyarakat Madura, Gus Dur menjelaskan enam agama yang ada di Indonesia. Sembari menjelaskan, Gus Dur bertanya kepada hadirin. Beginilah gaya kiai NU dalam ceramah yakni berinteraksi langsung dengan hadirin; tidak satu arah yang sangat menjenuhkan. 


Gus Dur bertanya, "Agama pertama itu agama Is…?"

"Laaaam," jawab hadirin kompak.


"Kemudian agama kedua, Kris?"

"Teeeeen…."


"Ya, benar. Ada Katolik dan Protestan."


"Kemudian keempat, agama Bu?"

"Dhaa....."


"Lalu, kelima ada agama Hin?"

"Duu......"


"Nah, yang terakhir adalah agama KONG?"

Dijawab serempak, "GUAAN..!"


Mendengar cerita Gus Dur yang disampaikan Mas Zastrouw itu, saya kembali terpingkal-pingkal. Kocak, Kong Hucu kok malah jadi Kong Guan? Hahahahahahaha.


Lalu saya bertanya ke Mas Zastrouw, kenapa sih kiai NU itu punya khas kalau ceramah itu dengan humor alias lucu? Jawabannya sangat sederhana sekali.


"Ya karena kiai NU sudah tahu bagaimana psikologis masyarakat. Mereka itu sudah pusing dengan kehidupannya, maka jangan ditambah pusing dengan materi keagamaan yang dibawakan. Kiai NU tahu bagaimana caranya agar agama itu bisa dianut dengan enak, bukan beragama dengan seenaknya," jelas Mas Zastrouw. 


Saya pun manggut-manggut. Paham. Kemudian teringat pesan Nabi, Khatibunnasi 'ala qadri uqulihim. Artinya, bicaralah kamu (komunikator/kiai) sesuai dengan akal atau pikiran mereka (komunikan/masyarakat).

Tanda Tanya Besar

 

Ilustrasi. Sumber: piqsels.com


Oleh: Silvi Insani Zein


Bergetar hati ini bertanya-tanya

apa yang sedang terjadi? 

kenapa seakan semua bungkam?

menutup mulut dan tak lagi berkoar-koar


Sebuah tatapan berubah sinis

senyum tak begitu manis

seakan raga ini tertusuk pedang kehidupan

yang akan membunuh diri sendiri

hingga tubuh ini tidak mampu berdiri


Merindik-rindik langkah menjauh

sampai pandangan menghilang tak tahu

hati kecil mulai tidak sanggup

hingga mata hati pun ikut tertutup


Apa aku salah? 

Tolong katakan saja

Agarku tahu harus bagaimana