Jumat, 11 Desember 2020

Gus Dur dan Ekonomi Kerakyatan


Sumber gambar: alif.id


Salah satu tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebut dengan istilah masyarakat adil dan makmur. 


Bagi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dalam buku ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi’ (2006) upaya yang dicita-citakan dalam UUD 1945 itu memiliki persamaan dengan prinsip maslahah dalam Islam.


Prinsip itu diambilnya dari sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yakni tasharruful imam  ala raiyyah manutun bil maslahah. Artinya, kebijaksanaan dan tindakan seorang pemimpin harus bertautan dengan kesejahteraan rakyat. 


“Maka jelas bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi bagian dari integral perjuangan Islam,” kata Gus Dur.


Dalam  Islam, lanjut Gus Dur, masalah kecukupan jelas ada aturannya. Salah satunya adalah mencapai perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal sama. Kesamaan hak itulah yang menurut Gus Dur perlu mendapat tekanan. 


Sebab dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal. Namun senantiasa manusia lain justru menjadi korban. Hal tersebut merupakan pemaknaan Gus Dur dari Surat At-Takatsur ayat 1-2. 


Menurut Gus Dur, hal paling pertama yang mesti dilakukan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah perubahan orientasi ekonomi yang terletak pada dua bidang utama. 


Pertama, pertolongan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang dilakukan dengan pemberian kredit dengan bunga rendah sebagai modal pembentukan UKM untuk mengatasi kemiskinan. 


Kedua, langkah pertolongan kepada UKM itu harus disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal tersebut mesti dilakukan di tengah lika-liku birokrasi yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah untuk menolong UKM. 


Selain itu, Gus Dur juga menekankan pada tiga hal yang lain. Di antaranya peningkatan pendapatan masyarakat untuk menciptakan kemampuan daya beli yang besar, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri, dan independensi ekonomi dari yang sebelumnya bergantung pada tata niaga internasional.


Lebih jauh Gus Dur mengatakan bahwa ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki mekanismenya sendiri. Oleh karena itu, haruslah dirumuskan para ahli ekonom. Mereka harus mempertimbangkan kaitan perekonomian dengan hal-hal dalam kehidupan. Seperti politik, hukum, teknologi, pasar, agama. 


Selanjutnya menurut Gus Dur, perekonomian tidak pernah terlepas dari perdagangan atau transaksi. Baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dengan kata lain, tidak ada tempat untuk memisahkan perekonomian dalam negeri degan perekonomian global.


“Oleh karenanya, globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang niscaya selagi menghilangkan sifat eksploitatif perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian negara berkembang. Dengan pendekatan non-eksploitatif, tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk terjadinya eksplotasi itu sendiri,” tulis Gus Dur dalam buku Islamku, Islam Anda Islam Kita halaman 188-190.

Kamis, 10 Desember 2020

Gara-gara Humor, Gus Dur Masyhur di Negeri Abu Nawas


Sumber gambar: NU Online


Presiden Republik Indonesia keempat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan sosok yang sangat dikenal dengan kelakar-kelakarnya. Dengan humor, ia dapat mengritik berbagai macam kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada keadilan. 


Bahkan dalam sebuah kutipan yang sangat populer, Gus Dur pernah menyatakan bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Melalui humor pula, Gus Dur dikenal dengan sosok yang cerdik dalam berbagai situasi dan kondisi.  


Gara-gara humor pun, Gus Dur sangat dikenal di Negeri seorang sufi cerdik bernama Abu Nawas. Saat ia berkuliah di Universitas Baghdad, Irak dan menjadi mahasiswa di sana, Gus Dur pernah mengeluarkan anekdot soal anjing dan kepala ikan.


Alkisah, Gus Dur bersama sepuluh temannya yang berasal dari Indonesia, Gus Dur menyewa sebuah rumah besar. Untuk menghemat waktu, mereka juga bergiliran memasak.


Ketika tiba giliran Gus Dur untuk memasak, menu yang disajikan selalu istimewa berupa jerohan yang terdiri dari ati ampela, paru, dan lainnya yang memang biasa dimakan di Indonesia. Namun ternyata makanan itu tidak biasa dikonsumsi oleh orang Irak. 


Teman-temannya menikmati saja apa yang disajikan Gus Dur dan tidak menanyakan bagaimana strategi mendapatkan makanan enak dan murah itu.


Suatu ketika aka nada rombongan tamu dari Indonesia. Untuk menyambutnya, para mahasiswa itu berencana membuat masakan istimewa dengan makanan seperti yang dibuat oleh Gus Dur. Maka pergilah salah seorang mahasiswa ke penjual daging untuk membeli jerohan-jerohan itu.


“Pak minta jerohan 10 biji,” kata salah seorang mahasiswa itu kepada pedagang.


“Oh ya, mana temanmu itu yang biasa minta daging-daging jerohan ini untuk makanan sepuluh ekor anjingnya?” tanya pedagang tersebut, menanyakan Gus Dur. 


“Hah?” mahasiswa itu kaget bukan kepalang bak disambar petir karena tak mengira bahwa Gus Dur akan memperlakukan teman-temannya sama dengan anjing untuk mendapatkan makanan itu secara cuma-cuma alias gratis.


Ia pun langsung buru-buru pulang dengan hati penuh amarah karena tak terima diperlakukan sama dengan anjing. Ia langsung dan tak segan-segan memarahi Gus Dur.


Dikutip dari Jurnal Kebudayaan dan Demokrasi Pesantren Ciganjur (2010), kelakar Gus Dur tersebut sangat memiliki kesan mendalam bagi Duta Besar Irak untuk Indonesia kala itu, Ismail Shaafiq Muhsin.


Bahkan humor Kepala Ikan dan Sepuluh Anjing itu, menjadikan Gus Dur sangat terkenal di Irak. Menurut Ismail, kini cerita tersebut menjadi kisah yang banyak diceritakan dan menjadi anekdot di mana-mana di Kota Baghdad. 


“Di Baghdad, memelihara satu ekor anjing saja adalah sebuah kerepotan tersendiri. Lalu bagaimana ada seorang mahasiswa asing (Gus Dur, maksudnya) bisa memelihara sepuluh ekor anjing? Karena itulah seorang pemilik warung bersimpati kepada Gus Dur yang ingin membeli ikan sehingga dengan senang hati dia memberikan kepala ikan secara gratis kepada Gus Dur secara berkala,” katanya.


Jumat, 04 Desember 2020

Humor Gus Dur: Salib di Sirip Ikan

 

Sumber gambar: NU Online

Ada-ada saja. Barangkali begitu celetuk kita saat mendengar atau mengetahui celotehan Gus Dur yang natural tapi bisa bikin perut sakit karena kekocakannya. Ya, Gus Dur bisa menyajikan perkara sulit menjadi mudah, dengan humor. 


Bahkan terkadang, humor-humor Gus Dur yang dilempar itu bernuansa 'dark joke' tapi tetap saja lucu. Orang-orang pasti memahami Gus Dur sehingga tidak akan marah. Sekalipun marah, Gus Dur pasti akan menanggapinya dengan santai. Gitu aja kok repot!


Menjelang Natal seperti sekarang ini, ditambah Desember juga adalah disebut sebagai Bulan Gus Dur, saya jadi teringat sosoknya. Tentu saja dengan humor-humornya yang segar dan menyegarkan. 


Jadi begini...


Suatu ketika, Kang Maman Imanulhaq berbincang dengan Gus Dur di masjid samping rumahnya, Al-Munawwaroh Ciganjur, Jakarta Selatan. Hari sudah larut. Gus Dur terdiam dan enggan beranjak dari tempat duduknya.

 

Kali ini Kang Maman yang berusaha melontarkan joke atau humor yang biasa melekat pada diri Gus Dur, namun saat itu Gus Dur masih saja terdiam.


Kang Maman mengungkap beberapa fenomena aneh yang kerap muncul di negeri ini. Misalnya, dulu ramai batu ajaib yang dipegang bocah Ponari di Jombang, Jawa Timur.

 

Selain itu, di Cirebon, Jawa Barat juga heboh karena ada simbol menyerupai ‘salib’ di beberapa sirip ikan hias. Namun ternyata sebelumnya, para kiai sudah mendatangi Gus Dur dan menanyakan soal fenomena itu.

 

Saat itu Gus Dur hanya berbicara singkat.


"Kiai jangan heran. Itu nggak aneh," kata Gus Dur. Para kiai dibikin penasaran tentang perkataan lanjutan Gus Dur.


“Kalau ada ‘salib’ di sirip ikan mas, ya wajar toh,” lanjut Gus Dur.

 

“Wajar bagaimana, Gus?” tanya salah seorang kiai muda coba menimpali Gus Dur.

 

“Lah wong Mbah-nya ikan-ikan itu kan PAUS,” kata Gus Dur singkat disambut geerrr para kiai yang terpingkal-pingkal.

Senin, 30 November 2020

Humor Gus Dur: Kabur karena Takut Ketahuan

 

Ilustrasi. Sumber gambar: klikdokter.com


KH Abdurrahman Wahid memang benar-benar cerdik sekaligus lucu. Seperti kita tahu, Gus Dur pernah nyantri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang asuhan KH Chudlori.


Sebagaimana kebiasaan para kiai pada umumnya, saat dini hari tiba Kiai Chudlori selalu bangun untuk mendirikan qiyamul-lail atau shalat malam. 


Gus Dur, sebagai santri, tentu saja mengetahui dan bahkan mengamati kebiasaan Kiai Chudlori. Suatu ketika, terlintas di benak Gus Dur untuk mengambil ikan di kolam milik kiai saat dini hari. Ia lantas mengajak teman-teman sekamarnya untuk menuntaskan keinginan makan ikan.


Ketika temannya sedang asik menyerok ikan, Gus Dur tak ikut serta. Alasannya, ia bertugas untuk mengawasi situasi di sekitar kolam. Benar saja, Kiai Chudlori melintas di dekat kolam. Seketika itu pula Gus Dur memberi kode agar teman-temannya kabur. 


Sementara itu, Gus Dur berdiri di pinggir kolam dengan memegang ikan hasil curian. Saat berpapasan dengan Kiai Chudlori, Gus Dur bertutur, "Tadi ikan milik Kiai dicuri."


"Mana pencurinya?" tanya Kiai.


"Kabur Kiai, Alhamdulillah saya mengusirnya dan hasil curiannya saya selamatkan," kata Gus Dur dengan percaya diri sembari memperlihatkan ikan yang ada di tangannya.


Sang Kiai mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan tersebut. Atas jasa Gus Dur, Kiai Chudlori berkenan untuk memberikannya ikan tersebut kepada Gus Dur sekaligus dimasak bersama teman-teman santri yang lain. 


Setelah tahu cerita di balik ikan yang akhirnya digoreng, teman-teman Gus Dur yang kabur saat mencuri ikan itu kesal karena Gus Dur seolah melakukan pencitraan di hadapan kiai. 


Gus Dur dengan santai menjawab, "Wong awakmu melu mangan iwakke. Iwakke kan saiki wis halal wong wis entuk izin soko kiai (Kamu juga ikut makan ikannya. Ikannya juga sudah halal karena dapat izin dari Kiai)."


Ada-ada saja akal bulus Gus Dur.


*Diadaptasi dari buku Humor Para Kiai: Menebar Tawa Menuai Hikmah karya Chalis Anwar (2019)

Sabtu, 02 November 2019

Artikel Gus Dur: Arti Sebuah Buku (Gus Dur Membaca Das Kapital)


Gambar ini karya Kang Dodi Budiana dari jabarnews.com

Dalam sebuah diskusi di Gedung Perpustakaan Nasional, penulis (Gus Dur) mengajukan sebuah presentasi mengenai sebuah buku jilid I 'Das Kapital' yang ditulis Karl Marx lebih dari seratus tahun lalu. Di samping penulis, juga diajukan presentasi lisan dari penerbit terjemahan karya agung tersebut, pihak penerjemah, dan editor.

Di tengah-tengah diskusi yang berlangsung, Dr Franz Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Rawamangun, Jakarta, diminta menguraikan karya agung itu. Namun, ia mengelak karena memang bukunya sangat tebal. Ia hanya menyebutkan bahwa karya agung itu adalah karya ilmiah dan penuh dengan hasil-hasil penelitian. 

Yang menarik, ia menyatakan bahwa karya tersebut tidak menentang kapitalisme melainkan menunjukkan banyak aspek dari pandangan tersebut. Karena Romo Franz Magnis Suseno adalah seorang ilmuan, maka ia tidak berbicara secara emosional, tidak seperti kebanyakan agamawan yang selalu berbicara tentang buku itu secara sepihak saja.

Penulis mengemukakan, bahwa buku itu tidak dapat dibaca sendiri saja, melainkan harus dibaca bersama-sama dengan karya-karya tertulis lainnya. Dalam hal ini, penulis kembalikan jasa terbesar sehingga membacanya 40 tahun lalu kepada Ibu Rubiyah, yang belakangan menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan.

Beberapa waktu kemudian, ia menjadi Ketua Perkumpulan Wanita Partai Demokrasi Indonesia di bawah pimpinan Suryadi. Penulis tidak tahu, apakah ia sekarang masih hidup dan kalau demikian apakah ia masuk dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dulu, ia menjadi guru di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gowongan Lor, Yogyakarta.

Walaupun ia beragama Katolik, tapi ia memberikan kepada penulis buku-buku tentang sosialis.

Di samping karya agung itu (Das Kapital), penulis juga mempelajari karya-karya Vladimir Lenin, terutama sebuab pamflet tentang 'penyakit kiri kekanak-kanakan dari kaum revolusioner', juga pamflet Mao Zedong terutama yang berisikan 'tiga langkah perjuangan' yang klasik: "Kalau musuh mengejar kita lari, kalau musuh berhenti kita ganggu, dan kalau musuh mundur kita kejar."

Penyakit yang dimaksud Lenin  adalah perasaan perjuangan mengalami kegagalan, jika belum berhasil ketika aku berhenti menjadi pemimpin. Dengan kata lain, orang menilai kepemimpinannya sendiri terlalu tinggi, sehingga seolah-olah bagaikan bergantung seluruh sukses kepada kepemimpinan seseorang. 

Padahal terbukti dari kasus pemimpin revolusioner Rusia, Leon Trotsky, bahwa ia dapat dibunuh oleh orang suruhan Joseph Stalin karena berbeda pandangan, tetapi gagasannya tentang revolusi simultan di seluruh dunia tidak terhenti karena itu, sebagaimana terbukti dalam kiprah Tan Malaka di negeri kita.

Salah satu pertanyaan mendasar yang senantiasa diajukan kepada penulis, ketika membahas arti dan tempat 'Das Kapital' adalah: apakah arti karya agung itu bagi penulis sendiri? Penulis lalu menjawab, bahwa penulis tidak pernah memahami karya agung itu sebagai sesuatu yang harus diperlakukan tersendiri, melainkan harus dibaca bersamaan sejumlah karya-karya tertulis lainnya.

Sebagaimana penulis katakan di atas, 'Das Kapital' penulis baca bersamaan sejumlah karya agung lainnya, seperti manifesto politik Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan bersama-sama dengan karya-karya Berdjrosa Richard dan Adam Smith, dan Luxemburg Dyayef. 'Bacaan gado-gado' itu akhirnya membentuk pandangan penulis tentang ekonomi. Penulis menolak anggapan sebagian orang bahwa kita harus berpandangan sosialistik penuh atau kapitalistik penuh. Inilah yang membuat mengapa ada yang tidak percaya kepada penulis.

Penulis sekadar mengikuti tindakan-tindakan yang diambil Bung Karno dan kawan-kawan, ketika mereka mendirikan NKRI. Kalau kita lihat, mereka menciptakan negara yang berorientasi sosialistik, yaitu dengan rumusan negara harus menyediakan hajat hidup orang banyak. Tetapi mereka juga mengambil dari ajaran Islam, kesediaan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Pemikiran sosialistik dalam hal ini, tidak mencapuradukkan antara keadilan dan kemakmuran. Demikian juga, pemilikan barang-barang modal oleh pihak swasta ditiadakan. Ini adalah sikap teoritik yang tidak pernah terbukti dalam praktik. Justru kepentingan ekonomi kapitalistik dari subsistem kapitalistik menurut UUD yang kita pakai sampai saat ini.

Sekarang ini, kita sedang menghadapi pilihan yang harus diambil dalam pengembangan sistem ekonomi yang akan dipakai. Ketika para teknokrat ekonomi, yang dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Ketua Bappenas Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, memilih untuk mengutamakan swastanisasi sesuai dengan kehendak Dana Moneter Internasional (IMF), maka mereka meninggalkan UUD yang kita miliki. Mengapa?

Karena mereka membiarkan (bahkan melanjutkan) kebijakan untuk melakukan swastanisasi atas sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjaga keberlangsungan orientasi sosialistik yang dirumuskan, dengan kata-kata sederhana: memenuhi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak. Kalau ini saja dilanggar, jelaz kita juga melanggar UUD, karena ia masih berbunyi demikian.

Kebiasaan kita untuk mencari jalan pintas seperti itu, justru akan menghantam kita sendiri. Para pemimpin kita dahulu berlama-lama mencari rumusan kompromistik antara berbagai pendekatan yang kelihatannya saling bertentangan. Demikianlah para pendahulu kita itu mencoba mencari 'jalan tengah' yang kapitalistik sebagian dan sosialistik sebagian pula. 

Ini adalah cara yang sehat untuk keluar dari dialektika (pertentangan, pengertian). Yang kita kenal dengan istilah 'tesa', 'antitesa', tentu akan berkesudahan pada 'sintesa'. Inilah hukum alam yang tadinya dipercaya oleh para pendiri negeri ini. Hal itu tentu harus dijalankan, dan untuk mengubah tindakan yang diambil dari pandangan itu, kita terlebih dahulu harus melakukan perubahan pada Pembukaan UUD. Karenanya jalan pintas apa pun, harus ditolak sebagai pelanggaran UUD.

Disinilah terletak arti besar dari sebuah karya agung. Begitu karya itu 'diambil' hal-hal yang dimuat dalam sebuah dokumen kenegaraan resmi, seperti UUD untuk membawa perubahan, kebijakan haruslah diubah terlebih dahulu. Barulah dengan demikian, kita terbebas dari upaya melanggar konstitusi.

Jika kita diam-diam membuat kebijakan baru, dan pura-pura tidak melihat hal itu sebagai sebuah penyimpangan konstitusional, maka kita lalu langsung menjadi para warga negara yang munafik/hipokrit. Kita harus berhati-hati dan bersikap loyal kepada UUD kita sendiri. Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang kuat dan negara besar, kalau kita tidak dipercaya orang lain? Dan, kepercayaan seperti itulah yang harus kita pegang teguh.

Dari apa yang diuraikan di atas, jelas karya-karya agung dari masa lampau memiliki arti besar kehidupan kita sebagai bangsa sekarang ini. Kesetiaan kita pada apa yang diputuskan sebagai bagian dari kehidupan kolektif kita, mengharuskan kita untuk menjaga konsistensi antara perbuatan kita dan dokumen-dokumen resmi negara kita. 

Setiap perubahan kebijakan mendasar, haruslah didahului oleh perubahan redaksional dalam dokumen-dokumen resmi negara kita. Dengan demikian, baru kita dapat membuat sebuah proses yang benar, guna melestarikan atau membuang sesuatu yang merupakan hal biasa dalam sejarah manusia, bukan?


(Ditulis Gus Dur pada 17 Februari 2004)

Jumat, 25 Oktober 2019

Artikel Gus Dur: Dakwah Harus Diteliti




Sebenarnya sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina penjabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? 

Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga –seperti Kodi (Koordinator Dakwah Islamiah) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga, seperti acara lokakarya 'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.

Pendidikan dakwah juga dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Selain itu, diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan yang berbeda: narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah terus. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.

Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Dan, apakah ukuran yang digunakan? Banyak pengunjung? Bukankah banyak diantara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimanakah diterangkan pola perilaku mereka yang di luar forum dakwah, tidak berubah banyak? Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi: pakai tutup kepala bagi perempuan, rajin ke masjid, getol mendermakan uang bagi yang kaya.

Seminar Palembang

Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini: Dari jawaban responden ternyata mereka menganggap hidupnya untuk bekerja. Fungsi kerja itu umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah. Mencari nafkah, sedikit banyak, dikaitkan dengan pertimbangan antar generasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali yang menganggap bahwa hidup ini untuk beramal dan mengabdi.

Cukup mengejutkan. Bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang diteliti? Kenyataan itu juga wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain: perhatian masyarakat masih terpusat pada upaya sekadar bertahan hidup. Maklumlah, masih banyak yang berada pada taraf hidup di bawah garis kemiskinan mutlak.

Di luar, dalam pengamatan lahiriah memang tampak muncul kebutuhan pada ritus keagamaan dalam skala massif, seperti terbukti dari derasnya arus 'back to mosque'. Akan tetapi, lantas muncul pertanyaan: Apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta' untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?

Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan di sini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran agama.

Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita justru terungkap, oleh penelitian di atas, "menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi dalam kenyataan sebaliknyalah yang terjadi. Kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin adalah bukti paling konkret.

Khatibin nas 'ala qadri 'uqulihim, kata Nabi Muhammad. Berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah.

Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita meneliti pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya –seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi para pengunjung. Akan tetapi, dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan konkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekadar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritus yang ditetapkan paham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan pada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama. 

Hasil penelitian di atas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian, menunjukkan betapa salahnya agenda dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup masyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari –oleh para pemikir dan penentu kebijaksanaan keagamaan Islam kita –bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?


Ditulis pada 3 April 1982

Minggu, 06 Oktober 2019

Artikel Gus Dur: Menilai Kepemimpinan


Sumber gambar: merdeka.com

Billy, adik Jimmy Carter, memiliki usaha pompa bensin. Di waktu senggang, di tempat usahanya ia bersantai-santai dengan beberapa orang teman, sambil menikmati bir dan minuman-minuman lain yang menjadi kegemarannya. Pendek kata, prototipe "orang biasa" di tingkat bawah kehidupan politik di AS.

Oleh karena itu, ia memiliki penilaiannya sendiri atas perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kota tempat tinggalnya, ketika abangnya mulai mencoba meraih jabatan kepresidenan beberapa tahun yang lalu. 

Di tahun 1976, di kala sedang santer-santernya kampanye kepresidenan Carter berlangsung, Billy ditanyai para wartawan tentang penilaiannya atas keadaan keluarganya. Jawabnya:

"Ibuku sudah lebih tujuh puluh tahun umurnya, ketika ia mendaftarkan diri masuk Korps Perdamaian sebagai juru rawat di India untuk dua tahun. Kakak wanitaku senang naik sepeda ke mana-mana, sampai keluar negara bagian yang luas ini. Kakak wanita yang satu lagi menjadi Pengabar Injil, padahal ia tadinya ratu kecantikan. Abang ingin jadi presiden. Nah, anda bisa lihat, akulah satu-satunya orang yang normal dalam keluarga ini".

Betapa kontrasnya penilaian ini, kendati diucapkan secara bermain-main, dengan penilaian mendiang Presiden John F Kennedy. Kalau Billy Carter melihat jabatan politis tertinggi itu sebagai wadah bagi orang yang tidak normal, Kennedy justru menganggapnya sebagai pekerjaan termulia, karena politik itu sendiri adalah kerja mulia dalam pandangannya.

Dari contoh kecil ini saja, jelas tampak betapa aneka ragamnya penilaian kepada profesi kepemimpinan negara di kalangan yang berbeda-beda. Walaupun sedikit-banyak ada pengaruhnya atas popularitas seorang pemimpin nasional, yang pada gilirannya mempengaruhi juga efektivitas kepemimpinannya. Penilaian berbeda-beda itu merupakan hal yang perlu diberi tempat dalam kehidupan demokrasi yang telah matang.

Pengaruh negatif dari perbedaan penilaian itu tidak sampai mengganggu stabilitas nasional, karena ia dipisahkan dari proses pengambilan keputusan di tingkat tertinggi. Pertimbangan wewenang antara pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan, yang diimbangi oleh wewenang menguji kebenaran dengan UUD oleh pihak peradilan, merupakan alat kolektif untuk pengambilan keputusan di tingkat demokrasi yang telah matang.

Pemisahan antara proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, dari proses penilaian masyarakat atas kepemimpinan yang ada, justru semakin memantapkan stabilitas politik. Orang lalu tahu, walau betapa buruk sekalipun penilaian mereka atas jalannya kepemimpinan nasional, proses pengambilan keputusan tidak hanya bergantung kepada kehendak sang pemimpin secara perseorangan. Keputusan diambil secara kolektif, sehingga mereka boleh merasa aman dari kemungkinan "penyesatan" oleh sang pemimpin.

Kadar kerelaan masyarakat dalam menerima keputusan yang diambil menjadi besar dengan adanya kesadaran seperti itu. Kalaupun ada kesalahan mencolok dari sang pemimpin nasional, masyarakat tahu akan diambil tindakan korektif oleh unsur-unsur lain dalam pemerintahan nasional yang bersifat kolektif itu. 

Kasus pengunduran diri Richard M Nixon dari kepresidenan AS karena skandal Watergate adalah bukti dari adanya koreksi kolektif itu. Demikian pula pengunduran diri Anthony Eden dari jabatan Perdana Menteri Inggris, karena kegagalan politik luar negerinya semasa menyerbu Mesir dalam tahun 1956. Juga kekalahan Indira Ghandi dalam pemilu terakhir di India satu setengah tahun lalu, karena ia menginjak-injak demokrasi dengan menggunakan UU Darurat Perang. 

Di negeri-negeri yang belum matang demokrasinya, masalah penilaian atas kepemimpinan nasional masih terlalu dikaitkan kepada sang pemimpin untuk mengambil keputusan yang diperlukan. Proses pengambilan keputusan masih belum memiliki ketetapan, unsur-unsur yang mempengaruhinya masih senantiasa berubah-ubah. Karenanya, setiap penilaian negatif yang dilontarkan secara terbuka atas kepemimpinannya ditakutkan akan mengganggu posisi sang pemimpin untuk menghadapi semua unsur itu.

Tetapi, itu sebenarnya justru bisa membuat keadaan semakin rawan. Semakin menjauhkan kehidupan pemerintahan dari stabilitas politik yang didambakan. Proses pengambilan keputusan yang belum mantap, memerlukan ditutupnya kemungkinan membuat penilaian atas kebijaksanaan yang diambil oleh kepemimpinan nasional. 

Sebaliknya, tertutupnya pintu bagi penilaian itu akan menghambat tumbuhnya kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan nasional. Hambatan itu mengakibatkan sulitnya dicapai stabilitas nasional yang sehat, yang tercermin dalam partisipasi masyarakat yang tulus dan jujur dalam melaksanakan keputusan yang diambil.

Dengan demikian, terjadilah lingkaran setan yang tidak berkesudahan antara penilaian masyarakat dan kebutuhan akan pemantapan situasi dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. 

Lingkaran setan itu tidak menguntungkan bagi proses pendewasaan kehidupan politik sesuatu bangsa. Ia bahkan dapat membuat keadaan yang sudah rawan menjadi semakin parah.

Karenanya, bagaimanapun juga lingkaran setan itu harus dipatahkan, kalau perlu dengan mengundang risiko terganggunya stabilitas politik untuk sementara waktu. Risiko seperti itu sudah sepatutnya diambil, karena ketakutan untuk menempuhnya justru akan membuat keadaan sangat parah di kemudian hari.

Alternatif bagi pengambilan risiko seperti itu adalah bahaya bagi keselamatan dan keutuhan bangsa di kemudian hari. Membuka pintu bagi penilaian secara terbuka akan semakin mendewasakan kehidupan politik dan pemerintahan kita, jika dilakukan dengan hati-hati secara bertahap. Sebaliknya, membiarkan pintu penilaian tetap tertutup hanyalah akan menunda belaka tibanya kemelut.


(TEMPO, 9 September 1978)

Kamis, 03 Oktober 2019

Artikel Gus Dur: Gatotkaca Anti-Israel


Sumber gambar: historyofjava.com

Slogan itu tertulis pada jalan aspal, di muka sebuah gedung di Jalan Thamrin, Jakarta. Lucu juga: tokoh dunia wayang dihadapkan pada sebuah negara modern. 

Tidak jelas apa yang mendorong Gatotkaca diambil sebagai musuh Israel dalam graffiti tersebut. Mungkin tokoh wayang itu perlu karena bangsa Arab dianggap sudah tidak lagi punya pemimpin yang sanggup menghadapi Israel tanpa kalah. Bahwa yang diambil adalah tokoh dunia wayang, itu lumrah: penulis iseng yang membuatnya adalah orang Indonesia –mungkin Jawa.

Mungkin pula Gatotkaca adalah tokoh yang paling dipujanya, dan Israel adalah tumpuan segala kebenciannya. Penelitian oleh LIPI atas beraneka ragam masyarakat di Indonesia menunjukkan sebuah hal menarik. Ternyata, remaja kita telah hilang tokoh-tokoh anutan yang aktual. 

Ditanya tentang siapa tokoh yang menarik atau menjadi teladan, para remaja kita bungkam. Mereka lari kepada tokoh mitos, seperti Gatotkaca. Atau tokoh historis, seperti Gaja Mada atau Nabi Muhammad. 

Hasil penelitian itu menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan remaja kita. Keadaan agaknya memaksa mereka kehilangan tokoh anutan konkret dari kehidupan nyata. Seolah-olah bangsa kita dipimpin sejumlah wajah tak beridentitas, sederetan jabatan dan nomor seri.

Sebagian hal itu disebabkan wajah pembangunan yang memang punya kecenderungan birokratis. Sepintas lalu pembangunan terasa sebagai pembangunan oleh mesin, bukan oleh manusia dengan impian dan visi yang manusiawi. Maka tidak heranlah kalau muncul kecenderungan untuk mencari anutan semu dari dunia mitologi atau dari khazanah sejarah –sesuatu yang secara psikologis sebenarnya tidak mengherankan. 

Tanpa ada tokoh anutan yang aktual, tak akan dapat para remaja menemukan "kemapanan identitas" yang wajar dan sehat. Proses identifikasi diri mereka jadi kerdil, dan ini membawa pada banyak hal yang memprihatinkan. 

Semakin mudah para remaja melakukan tindakan kekejaman (karena tokoh Bonny dan Clyde juga begitu). Semakin sempit pandangan hidup mereka (karena tokoh mitos dan historis hanya memiliki sifat hitam putih belaka). Semakin deras pula arus eksklusivisme etnis dan agama (karena yang baik selalu harus bertempur hidup-mati dengan yang salah). Semua itu adalah implikasi hilangnya kredibilitas kepemimpinan yang dibiarkan berlarut-larut.

Akan tetapi, siapa tahu nanti akan muncul, setelah krisis kredibilitas hilang, pekik "jenderal anu memberantas kejahatan", bukan sederet petugas tak berwajah, tak bernama.


(TEMPO, 21 Januari 1984)

Rabu, 02 Oktober 2019

Artikel Gus Dur: Demokrasi Haruslah Diperjuangkan


Sumber gambar: merdeka.com

Rusia adalah negeri yang terkenal dengan pembangkangnya kepada para penguasa zalim dan kejam. Masa pemerintahan czar (gelar penguasa monarki) yang berlangsung berabad-abad selalu dipenuhi dengan pemberontakan bersenjata di kalangan rakyat miskin yang menjadi korban perampasan hak oleh kaum feodal. 

Cerita petani (muzhik) yang memberontak merupakan tema tetap dalam sastra Rusia, seperti dibuktikan antara lain oleh karya-karya Pushkin dan Turgenev. 

Tradisi pembangkangan sudah demikian jauh tertanam dalam budaya politik Rusia, sehingga dari zaman ke zaman selalu muncul kelompok yang berani merintis moralitas baru sebagai pahlawan terhadap moralitas umum yang ada, yang hampir selalu menunjang kezaliman dan penindasan yang sedang berlangsung. 

Pemunculan moralitas baru itu tentu harus ditebus dengan pengorbanan besar karena dianggap sebagai penyimpangan dari moralitas yang sedang dianut oleh mayoritas bangsa, baik secara terpaksa maupun tidak. Karya-karya Tolstoy, Dostoievsky, Gogol, dan sastrawan-sastrawan ukuran dunia lainnya dari Rusia menunjukkan dengan jelas kuatnya tradisi pembangkangan melalui pemunculan moralitas baru itu dari masa ke masa. 

Tradisi itu ternyata berlangsung terus di masa pemerintahan komunis abad ini. Dua sastrawan utama Rusia melambangkan semangat pembangkangan itu: Boris Pasternak dan Aleksander Solzhenitsyn.

Novel utama Pasternak, Doktor Zhivago, membeberkan secara berterus-terang pandangan pengarangnya tentang kehidupan dalam masyarakat komunis: tidak adanya tempat bagi perikemanusiaan di dalamnya. Semua hal, termasuk nilai-nilai terluhur dalam kehidupan manusia, ditundukkan kepada gairah kaum proletar untuk meraih dan kemudian mempertahankan kekuasaan.

Demikian pula, semua karya Solzhenitsyn, dari lingkaran Pertama melalui Sebari Dalam Kehidupan Ivan Denisovitch dan Ruang Kanker hingga berpuncak pada karya agung Kepulauan Gulag I-II, memperlihatkan bagaimana kekuasaan telah mencengkeram mereka yang haus kekuasaan. Kekejaman melahirkan kebuasan yang lebih dahsyat lagi, seperti candu yang selalu membawa orang kepada dosis yang lebih besar.

Pengorbanan Itu Sendiri

Tetapi tradisi pembangkangan Rusia itu, dewasa ini, tidak hanya terbatas pada para sastrawan belaka. Kelompok pembangkang yang melawan penindasan hak-hak asasi manusia di negeri itu kini justru bertulang-punggungkan para ilmuwan dari berbagai disiplin eksakta, termasuk tokoh-tokoh yang tadinya berkedudukan serba enak: ahli fisika –inti Andrei Sakharov, programer komputer Anatoly Shcharansky yang dijatuhi hukuman belasan tahun, dan lain-lainnya. 

Pengorbanan besar mereka berikan, demi tujuan menegakkan kebebasan dan demokrasi di Rusia. Tentu timbul pertanyaan, apakah artinya perjuangan mereka, bila dihadapkan kepada kelaliman kekuasaan yang begitu mutlak? 

Jawaban sebenarnya mudah saja: para pejuang itu sendiri mengetahui prospek gelap yang ada di hadapan mereka. Demokrasi dan kebebasan belum akan tegak untuk waktu sangat lama lagi di tanah air mereka, sehingga merupakan impian kosong saja untuk mengharap dapat menyaksikannya sendiri buah perjuangan mereka dalam masa hidup mereka.

Apa yang mendorong mereka untuk terus berkorban sedemikian mahal adalah kesadaran akan perlunya pengorbanan itu sendiri bagi kelanjutan ide demokrasi dan kebebasan di Rusia. Tanpa keberanian memperjuangkannya dengan pengorbanan sebegitu besar di masa kini, demokrasi tidak akan dapat tegak di kemudian hari. Darah dan airmata yang merupakan cucuran kini, adalah penyiram yang menghidupkan benih-benih demokrasi dan kebebasan.

Sadat

Marilah hal ini kita sadari bersama. Negara-negara sedang berkembang kini tengah menghadapi gejala umum berupa semakin mengerasnya pola-pola pemeliharaan kekuasaan di dalamnya. "Demokratisasi" yang dibawakan Sadat di Mesir ternyata hanyalah pelabi (dalih) belaka bagi berlakunya ketentuan-ketentuan keamanan dalam negeri via referendum yang semua orang tahu sebagai lelucon yang tidak lucu. 

Ziaul Haq di Pakistan dikutuk di mana-mana karena hukuman mati yang dijatuhkan atas diri Zulfikar Ali Bhutto. Marcos di Filipina melestarikan penyerobotan tanah milik orang-orang Moro dengan dalih mengatasi pemberontakan "separatis muslim" di wilayah selatan negerinya. Belum lagi kita lihat bermacam-macam rezim di Amerika Selatan dan Tengah, yang hampir semuanya bertindak lalim kepada rakyatnya sendiri. 

Di negeri kita, demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh, masih lebih berupa hiasan luar bersifat kosmetik, daripada sikap yang melandasi pengetahuan hidup yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokrasi yang hidup di kalangan mereka; yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini. 

Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti-demokrasi itu. Negeri kita bukan tempat satu-satunya di dunia ini, di mana keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum kehidupan hampir semua negara yang sedang berkembang.

Karenanya, dari sekarang, sebenarnya telah dituntut dari kita, sebuah kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai dari kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah. 

Perjuangan orang-orang seperti Nyonya Hernandez di Filipina, Kim Dae Jung dan Lee Mun Young di Korea Selatan serta tokoh-tokoh lain di banyak negara berkembang, haruslah kita imbangi dengan kesediaan memperjuangkan kebebasan bagi orang kecil dan perbaikan kehidupan masyarakat secara nyata. Bukankah untuk menggunakan istilah Marhaen saja kita sekarang agak ragu-ragu?

Seperti halnya kemerdekaan, demokrasi dalam arti sebenarnya, terlepas predikat apa pun yang diletakkan padanya, tidak akan datang begitu saja dengan sendirinya. Ia haruslah dicapai dengan pengorbanan dan perjuangan.

(TEMPO, 12 Agustus 1978)