Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari kedua. Menjelang akhir-akhir Ramadhan seperti sekarang ini, hendaknya kita jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menghiasi hari-hari dengan peningkatan kualitas ibadah untuk bekal sebelas bulan berikutnya.
Kita tidak
akan bisa membawa bekal terbaik, apabila melewati Ramadhan dengan percuma. Untuk
bisa mendapatkan bekal itu, kita perlu melakukan perenungan. Dari
situlah, kita akan mengetahui dan menemukan kesejatian diri. Bahkan, kita juga
akan menemukan dan merasakan kehadiran Tuhan di dalam diri.
Kita perlu
menemukan hakikat kesejatian diri, sebelum merasakan kehadiran Tuhan. Siapakah diri
kita ini sebenarnya? Jika di mata orang banyak, kita adalah sosok yang memiliki
segudang atribusi dan penghormatan, maka bagaimana Allah memandang kita? Kemuliaan
di sisi Allah, hanyalah ketakwaan, bukan gelar dan atribusi keduniaan yang fana.
Dalam sebuah
hadits yang sangat masyhur disebutkan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu
(barangsiapa yang memahami hakikat kesejatian dirinya maka dia akan memahami
Tuhannya). Poin penting dari hadits itu adalah bahwa pemahaman terhadap
kesejatian diri menjadi pintu utama untuk memahami Tuhan. (KH Cholil Nafis,
Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015).
Imam Al-Ghazali
mengklasifikasikan manusia ke dalam tiga sifat. Pertama, sifat bahimiyah atau
kebinatangan. Binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur, berhubungan
seks dengan lawan jenisnya, dan bertengkar dengan sesamanya. Tugas-tugas hidup
binatang selalu terkait dengan unsur jasmaniah yang dibantu oleh daya instingnya.
Jika
seseorang dalam kesehariannya hanya mampu melakukan aktivitas sebagaimana yang
dilakukan oleh binatang, maka hidupnya tak berbeda sama sekali seperti binatang.
Dengan kata lain, tidak memiliki makna apa pun kecuali hanya kesenangan material.
Kedua, sifat
syaithaniyah (setan). Para ulama menggambarkan setan adalah makhluk yang
memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, dan
hasad. Jika kebiasaan binatang yang bersifat fisik, maka perilaku setan berada
pada wilayah perilaku abstrak non-fisik.
Pertanyaan
kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan
diri seperti perilaku-perilaku itu? Jika iya, maka kita bisa disebut sebagai
orang yang berperilaku seperti setan.
Ketiga,
sifat malakutiyah (malaikat). Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat.
Mereka tidak dikaruniai nafsu. Tugas utama mereka adalah menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Malaikat adalah makhluk spiritual yang
terbuat dari unsur-unsur kebaikan.
Karena itu,
apabila manusia telah mampu bersikap dan berperilaku laksana malaikat maka akan
terpancar dalam hidupnya sebagai sosok yang memiliki cahaya kebaikan dan
spiritual yang tinggi.
Dari ketiga
klasifikasi manusia yang digambarkan Imam Ghazali itu, lantas kita masuk ke
dalam kategori mana? Dominan sifat kebinatangan, setan, malaikat, atau campuran
dari ketiganya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting sebagai renungan agar kita mampu
menemukan kesejatian diri dan merasakan kehadiran Tuhan di dalam laku keseharian.
Psikolog
Muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa di dalam diri
manusia terdapat daya-daya jiwa. Setiap hari, daya-daya jiwa itu terus
berdinamika untuk saling menguasai. Kekuatan akal, hati, dan nafsu akan saling
mempengaruhi sehingga tergambar dalam sikap dan perilaku, termasuk membentuk
dalam level keyakinan.
Kita,
manusia, adalah makhluk Tuhan yang dikaruniai tiga kekuatan yakni akal, hati,
dan nafsu. Hendaknya ketiga kekuatan itu kita jadikan sebagai modal penting
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jika kita bisa
memahami hakikat kesejatian diri sekaligus mampu mengendalikan kehendak nafsu
yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan), maka
kita akan menjadi diri yang bersih, suci, serta mampu teraktualisasi dalam
sikap dan perilaku terpuji.
Kiai Cholil
Nafis dalam buku Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan (2015) mengungkapkan bahwa cara
yang paling tepat untuk menemukan kesejatian diri dan Tuhan adalah saat seseorang
mampu merenungi daya jiwa dalam keheningan. Lebih-lebih merenungi itu semua
pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini.