Ilustrasi. Sumber: NU Online
Beberapa hari lalu, sebelum memasuki
Ramadhan, saya menjadi moderator dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Dialog
Kebangsaan’ di Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi. Karena temanya tentang kebangsaan,
sudah barang tentu yang menjadi pembahasan utama adalah soal jati diri
keindonesiaan kita.
Pada kesempatan itu, saya mengawal
jalannya diskusi yang dipaparkan oleh empat tokoh yakni Romo Agustinus Heri Wibowo
dari Konferensi Waligereja Indonesia, Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Yustinus
Prastowo, Sesepuh Penghayat Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan Abah
Mait Sardi, dan Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid yang hadir secara
daring.
Karena para tokoh itu berlatar belakang
dari lintas agama, maka yang kami bincang bukan hanya soal tentang kebangsaan
tetapi juga mengenai pola perilaku keberagamaan untuk menguatkan kebangsaan.
Kami sepakat bahwa agama membawa nilai-nilai luhur demi kemaslahatan dan
kemakmuran bumi.
Semua agama, pasti mengajarkan
kebaikan untuk diwartakan dan diimplementasikan kepada seluruh makhluk, termasuk
kepada sesama manusia. Sebab, manusia ini adalah gambaran dari citra Allah. Memuliakan
manusia berarti memuliakan pencipta-Nya, menghina manusia berarti menghina pencipta-Nya.
Meski agama-agama sudah sepakat soal
nilai-nilai luhur itu, tetapi masih saja ada perilaku keberagamaan yang
terkadang mencederai kemanusiaan. Kalau demikian, yang salah bukan pada agamanya
tetapi pada perilaku beragama manusia. Lebih-lebih jika kepentingan politik dan
kekuasaan menggandrungi agama.
Pada kesempatan itu, saya menyampaikan
bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan Islam
terbesar di Indonesia, sudah memiliki konsep tri ukhuwah atau tiga persaudaraan.
Yakni ukhuwah diniyah/islamiyah (persaudaraan keagamaan/umat Islam), ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).
Ketiga konsep persaudaraan tersebut, sebenarnya
ada di dalam semua ajaran agama/kepercayaan apa pun. Terbukti, Dialog
Kebangsaan di Jatisampurna itu diadakan juga dalam rangka menyambut bulan suci
Ramadhan. Inilah bukti bahwa persaudaraan itu masih ada.
Mereka, meskipun memeluk agama yang
berbeda dengan saya, menyambut gembira atas kedatangan Ramadhan. Sebab pada
bulan yang mulia ini, semua keberkahan tersedia dan persaudaraan serta
perdamaian akan tercipta. Umat Islam selalu saja dengan riang gembira menyambut
Ramadhan karena hendak berpuasa satu bulan penuh, sebagai ‘pelebur’ dosa yang
telah dilakukan selama sebelas bulan sebelumnya.
Akan tetapi, selalu ada pertanyaan
menggelitik yang dilontarkan dari teman-teman saya yang mengaku agnostik (percaya
Tuhan tetapi tidak meyakini kebenaran agama). Kata mereka, untuk apa berpuasa?
Apakah puasa hanya untuk menahan makan dan minum di siang hari?
Buktinya, kata mereka, berbagai
kejahatan masih kerap terjadi seperti aksi intimidasi, kekerasan, terorisme,
korupsi, kolusi, nepotisme, dan penindasan. Semua itu masih saja terus mewarnai
kehidupan kita. Tidak ada yang berubah dari tahun ke tahun. Rupanya puasa tidak
memberikan efek apa-apa selain tidak makan dan tidak minum.
Padahal, dalam Dialog Kebangsaan itu
kami bersepakat bahwa nilai-nilai luhur agama itu menghendaki para pemeluknya
untuk peduli kepada sesama, mengutuk ketidakadilan, membangun persaudaraan,
menciptakan perdamaian, dan mencari solusi untuk kemaslahatan bersama.
Namun, Ramadhan sebagai wahana
pendidikan dan pelatihan bagi umat Islam dengan berpuasa selama satu bulan
penuh yang seharusnya memberikan jalan keluar atas problematika kehidupan,
justru tidak melahirkan efek apa pun bagi kebaikan atas peradaban kehidupan.
Karenanya benarlah sabda Nabi Muhammad
sebagaimana yang kerap disampaikan para khutaba (penceramah) dari atas mimbar:
Ų±ŲØ
ŲµŲ§Ų¦Ł
ŲŲøŁ Ł
Ł ŲµŁŲ§Ł
Ł Ų„ŁŲ§ Ų§ŁŲ¬ŁŲ¹ ŁŲ§ŁŲ¹Ų·Ų“
Artinya: “Betapa banyak orang yang
berpuasa, namun tak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali sengatan rasa
lapar dan dahaga.”
Banyak orang yang ketika berpuasa
Ramadhan, hanya bisa merasakan lapar dan haus, tetapi makna kehadiran puasa
sama sekali tidak berpengaruh pada dirinya. Jika seseorang memiliki mental seperti
itu maka kejahatan, kekerasan, dan korupsi tetap akan dilakukan walaupun
dirinya dalam keadaan berpuasa.
Idealnya, yang berpuasa itu tidak
hanya mulutnya, tapi seluruh anggota tubuh ikut melakukan puasa, tanpa
terkecuali. Karena prinsip utama dari ibadah puasa adalah pengendalian diri
dari sesuatu yang dilarang agama, termasuk di dalamnya adalah larangan
bertikai, konflik, dan permusuhan. Dengan begitu, puasa harusnya dapat
mendorong terciptanya perdamaian dan persaudaraan di antara sesama manusia. (KH
Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015).
Kaitan antara puasa Ramadhan dengan perdamaian dan persaudaraan ini sangat penting untuk ditegaskan. Sebab
pertikaian atas nama agama, etnis, bangsa, dan negara masih saja menghiasi
peradaban manusia modern, tak terkecuali di Indonesia. Kalau aksi kekerasan
masih saja terus terjadi maka perdamaian dan persaudaraan tentu tidak akan
pernah kita rasakan lagi.
Pada titik ini, momentum puasa
Ramadhan menjadi sangat berharga karena ajaran Islam tentang puasa mengajarkan
hamba-hamba Allah untuk menahan diri dari kebencian, kedengkian, dan
kemungkaran antarumat manusia.
Bahkan, jika menilik sejarah, pesan
perdamaian dan persaudaraan melalui ibadah puasa ini begitu sangat terkait. Puasa
tidak saja menjadi ritual umat Islam (karena agama-agama lain juga menganjurkan
kepada pemeluknya berpuasa untuk pensucian jiwa, seperti Kristen dan Yahudi),
tetapi ternyata ibadah puasa ini ternyata tidak hanya dimonopoli oleh agama abrahamik.
Hindu dan Buddha pun mempunyai anjuran
puasa. Mereka menjalankan puasa sebagai sarana atau persiapan untuk melakukan
ritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konektifitas
puasa dalam ajaran agama-agama ini seperti ditegaskan di dalam QS Al-Baqarah
ayat 183:
ŁŲ§ Ų£ŁŁŲ§ Ų§ŁŲ°ŁŁ Ų£Ł
ŁŁŲ§ ŁŲŖŲØ Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ŁŲµŁŲ§Ł
ŁŁ
Ų§ ŁŲŖŲØ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ°ŁŁ
Ł
Ł ŁŲØŁŁŁ
ŁŲ¹ŁŁŁ
ŲŖŲŖŁŁŁ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.”
Dari ayat tersebut, sudah jelas bahwa
ibadah puasa tidak hanya menjadi ajaran Islam saja tetapi juga menjadi salah
satu mata rantai yang menunjukkan aspek ritual penting dalam setiap agama. Melalui
ibadah puasa, nuansa perdamaian dan persaudaraan seharusnya lebih dikedepankan.
Al-Qur’an pun sudah sangat jelas
memperingatkan agar kita, umat Islam, tidak melakukan tindakan kekerasan di
muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah di dalam QS Al-Hajj ayat 40.
ŁَŁَŁْŁَŲ§ ŲÆَŁْŲ¹ُ Ł±ŁŁَّŁِ Ł±ŁŁَّŲ§Ų³َ ŲØَŲ¹ْŲ¶َŁُŁ
ŲØِŲØَŲ¹ْŲ¶ٍ
ŁَّŁُŲÆِّŁ
َŲŖْ ŲµَŁَٰŁ
ِŲ¹ُ ŁَŲØِŁَŲ¹ٌ ŁَŲµَŁَŁَٰŲŖٌ ŁَŁ
َŲ³َٰŲ¬ِŲÆُ ŁُŲ°ْŁَŲ±ُ ŁِŁŁَŲ§ Ł±Ų³ْŁ
ُ Ł±ŁŁَّŁِ
ŁَŲ«ِŁŲ±ًŲ§ ۗ ŁَŁَŁَŁŲµُŲ±َŁَّ Ł±ŁŁَّŁُ Ł
َŁ ŁَŁŲµُŲ±ُŁُŪ„ٓ ۗ Ų„ِŁَّ Ł±ŁŁَّŁَ ŁَŁَŁِŁٌّ Ų¹َŲ²ِŁŲ²ٌ
Artinya: “Andaikan Allah tidak menolak
(tindak kekerasan) antarsuatu kelompok manusia dengan kelompok lain, niscaya
gereja-gereja, Sinagog (rumah ibadah umat Yahudi), rumah ibadah apa pun
(Mushollah) dan masjid-masjid yang dan semua rumah ibadah dengan atas nama
Allah banyak disebut itu akan dihancurkan.”
Inilah bukti Islam sebagai agama yang
damai dan anti-kekerasan. Sikap ini perlu dipupuk di bulan Ramadhan. Harapannya,
setelah Ramadhan nanti sikap damai dan anti-kekerasan itu terus dipertahankan.
Peran ini seirama dengan ajaran Islam
yang berorientasi pada rahmatan lil alamin. Maksudnya, seseorang beragama bukan
bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain yang berbeda, tetapi justru harus merangkul
serta bergandengan tangan dengan semua kalangan untuk memupuk persaudaraan dan
perdamaian bersama-sama dalam perbedaan.
Sikap itu menunjukkan bahwa
persaudaraan dan perdamaian adalah bagian dari solidaritas kemanusiaan yang tidak
dapat dipisahkan dari bangunan keimanan. Sebab, keimanan tidak hanya berdimensi
vertikal (manusia dengan Tuhan/hablumminallah) tetapi juga horizontal (manusia
dengan sesamanya/hablumminannas).
Karenanya, kesempurnaan proses puasa
Ramadhan harus dituntaskan dengan zakat fitrah, yaitu pelepasan kekayaan untuk
dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Sebab, klimaks dari ajaran puasa
adalah apabila seseorang telah berhasil melepaskan keakuan demi solidaritas
kekitaan.
Sebagai amal saleh, ibadah puasa di
bulan Ramadhan ini hendaknya dimaknai sebagai manifestasi perjalanan spiritual
menuju persaudaraan antarsesama umat manusia dan perdamaian yang sejati; dunia
dan akhirat.
0 komentar: