Selasa, 05 April 2022

Ramadhan Eratkan Persaudaraan, Ciptakan Perdamaian

 

Ilustrasi. Sumber: NU Online


 

Beberapa hari lalu, sebelum memasuki Ramadhan, saya menjadi moderator dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Dialog Kebangsaan’ di Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi. Karena temanya tentang kebangsaan, sudah barang tentu yang menjadi pembahasan utama adalah soal jati diri keindonesiaan kita.

 

Pada kesempatan itu, saya mengawal jalannya diskusi yang dipaparkan oleh empat tokoh yakni Romo Agustinus Heri Wibowo dari Konferensi Waligereja Indonesia, Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Yustinus Prastowo, Sesepuh Penghayat Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan Abah Mait Sardi, dan Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid yang hadir secara daring.

 

Karena para tokoh itu berlatar belakang dari lintas agama, maka yang kami bincang bukan hanya soal tentang kebangsaan tetapi juga mengenai pola perilaku keberagamaan untuk menguatkan kebangsaan. Kami sepakat bahwa agama membawa nilai-nilai luhur demi kemaslahatan dan kemakmuran bumi.

 

Semua agama, pasti mengajarkan kebaikan untuk diwartakan dan diimplementasikan kepada seluruh makhluk, termasuk kepada sesama manusia. Sebab, manusia ini adalah gambaran dari citra Allah. Memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya, menghina manusia berarti menghina pencipta-Nya.

 

Meski agama-agama sudah sepakat soal nilai-nilai luhur itu, tetapi masih saja ada perilaku keberagamaan yang terkadang mencederai kemanusiaan. Kalau demikian, yang salah bukan pada agamanya tetapi pada perilaku beragama manusia. Lebih-lebih jika kepentingan politik dan kekuasaan menggandrungi agama.

 

Pada kesempatan itu, saya menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, sudah memiliki konsep tri ukhuwah atau tiga persaudaraan. Yakni ukhuwah diniyah/islamiyah (persaudaraan keagamaan/umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

 

Ketiga konsep persaudaraan tersebut, sebenarnya ada di dalam semua ajaran agama/kepercayaan apa pun. Terbukti, Dialog Kebangsaan di Jatisampurna itu diadakan juga dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Inilah bukti bahwa persaudaraan itu masih ada.

 

Mereka, meskipun memeluk agama yang berbeda dengan saya, menyambut gembira atas kedatangan Ramadhan. Sebab pada bulan yang mulia ini, semua keberkahan tersedia dan persaudaraan serta perdamaian akan tercipta. Umat Islam selalu saja dengan riang gembira menyambut Ramadhan karena hendak berpuasa satu bulan penuh, sebagai ‘pelebur’ dosa yang telah dilakukan selama sebelas bulan sebelumnya.

 

Akan tetapi, selalu ada pertanyaan menggelitik yang dilontarkan dari teman-teman saya yang mengaku agnostik (percaya Tuhan tetapi tidak meyakini kebenaran agama). Kata mereka, untuk apa berpuasa? Apakah puasa hanya untuk menahan makan dan minum di siang hari?

 

Buktinya, kata mereka, berbagai kejahatan masih kerap terjadi seperti aksi intimidasi, kekerasan, terorisme, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penindasan. Semua itu masih saja terus mewarnai kehidupan kita. Tidak ada yang berubah dari tahun ke tahun. Rupanya puasa tidak memberikan efek apa-apa selain tidak makan dan tidak minum.

 

Padahal, dalam Dialog Kebangsaan itu kami bersepakat bahwa nilai-nilai luhur agama itu menghendaki para pemeluknya untuk peduli kepada sesama, mengutuk ketidakadilan, membangun persaudaraan, menciptakan perdamaian, dan mencari solusi untuk kemaslahatan bersama.

 

Namun, Ramadhan sebagai wahana pendidikan dan pelatihan bagi umat Islam dengan berpuasa selama satu bulan penuh yang seharusnya memberikan jalan keluar atas problematika kehidupan, justru tidak melahirkan efek apa pun bagi kebaikan atas peradaban kehidupan.

 

Karenanya benarlah sabda Nabi Muhammad sebagaimana yang kerap disampaikan para khutaba (penceramah) dari atas mimbar:

 

رب صائم حظه من صيامه إلا الجوع والعطش

 

Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali sengatan rasa lapar dan dahaga.”

 

Banyak orang yang ketika berpuasa Ramadhan, hanya bisa merasakan lapar dan haus, tetapi makna kehadiran puasa sama sekali tidak berpengaruh pada dirinya. Jika seseorang memiliki mental seperti itu maka kejahatan, kekerasan, dan korupsi tetap akan dilakukan walaupun dirinya dalam keadaan berpuasa.

 

Idealnya, yang berpuasa itu tidak hanya mulutnya, tapi seluruh anggota tubuh ikut melakukan puasa, tanpa terkecuali. Karena prinsip utama dari ibadah puasa adalah pengendalian diri dari sesuatu yang dilarang agama, termasuk di dalamnya adalah larangan bertikai, konflik, dan permusuhan. Dengan begitu, puasa harusnya dapat mendorong terciptanya perdamaian dan persaudaraan di antara sesama manusia. (KH Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015).

 

Kaitan antara puasa Ramadhan dengan perdamaian dan persaudaraan ini sangat penting untuk ditegaskan. Sebab pertikaian atas nama agama, etnis, bangsa, dan negara masih saja menghiasi peradaban manusia modern, tak terkecuali di Indonesia. Kalau aksi kekerasan masih saja terus terjadi maka perdamaian dan persaudaraan tentu tidak akan pernah kita rasakan lagi.

 

Pada titik ini, momentum puasa Ramadhan menjadi sangat berharga karena ajaran Islam tentang puasa mengajarkan hamba-hamba Allah untuk menahan diri dari kebencian, kedengkian, dan kemungkaran antarumat manusia.

 

Bahkan, jika menilik sejarah, pesan perdamaian dan persaudaraan melalui ibadah puasa ini begitu sangat terkait. Puasa tidak saja menjadi ritual umat Islam (karena agama-agama lain juga menganjurkan kepada pemeluknya berpuasa untuk pensucian jiwa, seperti Kristen dan Yahudi), tetapi ternyata ibadah puasa ini ternyata tidak hanya dimonopoli oleh agama abrahamik.

 

Hindu dan Buddha pun mempunyai anjuran puasa. Mereka menjalankan puasa sebagai sarana atau persiapan untuk melakukan ritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konektifitas puasa dalam ajaran agama-agama ini seperti ditegaskan di dalam QS Al-Baqarah ayat 183:

 

يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون 

 

Artinya: “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

 

Dari ayat tersebut, sudah jelas bahwa ibadah puasa tidak hanya menjadi ajaran Islam saja tetapi juga menjadi salah satu mata rantai yang menunjukkan aspek ritual penting dalam setiap agama. Melalui ibadah puasa, nuansa perdamaian dan persaudaraan seharusnya lebih dikedepankan.

 

Al-Qur’an pun sudah sangat jelas memperingatkan agar kita, umat Islam, tidak melakukan tindakan kekerasan di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah di dalam QS Al-Hajj ayat 40.

 

وَلَوْلَا دَفْعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَٰمِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَٰتٌ وَمَسَٰجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا ٱسْمُ ٱللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ  إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ

Artinya: “Andaikan Allah tidak menolak (tindak kekerasan) antarsuatu kelompok manusia dengan kelompok lain, niscaya gereja-gereja, Sinagog (rumah ibadah umat Yahudi), rumah ibadah apa pun (Mushollah) dan masjid-masjid yang dan semua rumah ibadah dengan atas nama Allah banyak disebut itu akan dihancurkan.”

 

Inilah bukti Islam sebagai agama yang damai dan anti-kekerasan. Sikap ini perlu dipupuk di bulan Ramadhan. Harapannya, setelah Ramadhan nanti sikap damai dan anti-kekerasan itu terus dipertahankan.

 

Peran ini seirama dengan ajaran Islam yang berorientasi pada rahmatan lil alamin. Maksudnya, seseorang beragama bukan bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain yang berbeda, tetapi justru harus merangkul serta bergandengan tangan dengan semua kalangan untuk memupuk persaudaraan dan perdamaian bersama-sama dalam perbedaan.

 

Sikap itu menunjukkan bahwa persaudaraan dan perdamaian adalah bagian dari solidaritas kemanusiaan yang tidak dapat dipisahkan dari bangunan keimanan. Sebab, keimanan tidak hanya berdimensi vertikal (manusia dengan Tuhan/hablumminallah) tetapi juga horizontal (manusia dengan sesamanya/hablumminannas).

 

Karenanya, kesempurnaan proses puasa Ramadhan harus dituntaskan dengan zakat fitrah, yaitu pelepasan kekayaan untuk dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Sebab, klimaks dari ajaran puasa adalah apabila seseorang telah berhasil melepaskan keakuan demi solidaritas kekitaan.

 

Sebagai amal saleh, ibadah puasa di bulan Ramadhan ini hendaknya dimaknai sebagai manifestasi perjalanan spiritual menuju persaudaraan antarsesama umat manusia dan perdamaian yang sejati; dunia dan akhirat.

Previous Post
Next Post

0 komentar: