Senin, 18 April 2022

Ramadhan Momentum Temukan Kesejatian Diri dan Tuhan

 

Ilustrasi. Sumber gambar: NU Online


Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari kedua. Menjelang akhir-akhir Ramadhan seperti sekarang ini, hendaknya kita jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menghiasi hari-hari dengan peningkatan kualitas ibadah untuk bekal sebelas bulan berikutnya.

 

Kita tidak akan bisa membawa bekal terbaik, apabila melewati Ramadhan dengan percuma. Untuk bisa mendapatkan bekal itu, kita perlu melakukan perenungan. Dari situlah, kita akan mengetahui dan menemukan kesejatian diri. Bahkan, kita juga akan menemukan dan merasakan kehadiran Tuhan di dalam diri.

 

Kita perlu menemukan hakikat kesejatian diri, sebelum merasakan kehadiran Tuhan. Siapakah diri kita ini sebenarnya? Jika di mata orang banyak, kita adalah sosok yang memiliki segudang atribusi dan penghormatan, maka bagaimana Allah memandang kita? Kemuliaan di sisi Allah, hanyalah ketakwaan, bukan gelar dan atribusi keduniaan yang fana.

 

Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur disebutkan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barangsiapa yang memahami hakikat kesejatian dirinya maka dia akan memahami Tuhannya). Poin penting dari hadits itu adalah bahwa pemahaman terhadap kesejatian diri menjadi pintu utama untuk memahami Tuhan. (KH Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015).

 

Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan manusia ke dalam tiga sifat. Pertama, sifat bahimiyah atau kebinatangan. Binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur, berhubungan seks dengan lawan jenisnya, dan bertengkar dengan sesamanya. Tugas-tugas hidup binatang selalu terkait dengan unsur jasmaniah yang dibantu oleh daya instingnya.

 

Jika seseorang dalam kesehariannya hanya mampu melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan oleh binatang, maka hidupnya tak berbeda sama sekali seperti binatang. Dengan kata lain, tidak memiliki makna apa pun kecuali hanya kesenangan material.

 

Kedua, sifat syaithaniyah (setan). Para ulama menggambarkan setan adalah makhluk yang memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, dan hasad. Jika kebiasaan binatang yang bersifat fisik, maka perilaku setan berada pada wilayah perilaku abstrak non-fisik.

 

Pertanyaan kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan diri seperti perilaku-perilaku itu? Jika iya, maka kita bisa disebut sebagai orang yang berperilaku seperti setan.

 

Ketiga, sifat malakutiyah (malaikat). Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat. Mereka tidak dikaruniai nafsu. Tugas utama mereka adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Malaikat adalah makhluk spiritual yang terbuat dari unsur-unsur kebaikan.

 

Karena itu, apabila manusia telah mampu bersikap dan berperilaku laksana malaikat maka akan terpancar dalam hidupnya sebagai sosok yang memiliki cahaya kebaikan dan spiritual yang tinggi.

 

Dari ketiga klasifikasi manusia yang digambarkan Imam Ghazali itu, lantas kita masuk ke dalam kategori mana? Dominan sifat kebinatangan, setan, malaikat, atau campuran dari ketiganya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting sebagai renungan agar kita mampu menemukan kesejatian diri dan merasakan kehadiran Tuhan di dalam laku keseharian.

 

Psikolog Muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa di dalam diri manusia terdapat daya-daya jiwa. Setiap hari, daya-daya jiwa itu terus berdinamika untuk saling menguasai. Kekuatan akal, hati, dan nafsu akan saling mempengaruhi sehingga tergambar dalam sikap dan perilaku, termasuk membentuk dalam level keyakinan.

 

Kita, manusia, adalah makhluk Tuhan yang dikaruniai tiga kekuatan yakni akal, hati, dan nafsu. Hendaknya ketiga kekuatan itu kita jadikan sebagai modal penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

 

Jika kita bisa memahami hakikat kesejatian diri sekaligus mampu mengendalikan kehendak nafsu yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan), maka kita akan menjadi diri yang bersih, suci, serta mampu teraktualisasi dalam sikap dan perilaku terpuji.

 

Kiai Cholil Nafis dalam buku Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan (2015) mengungkapkan bahwa cara yang paling tepat untuk menemukan kesejatian diri dan Tuhan adalah saat seseorang mampu merenungi daya jiwa dalam keheningan. Lebih-lebih merenungi itu semua pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini.

Previous Post
Next Post

0 komentar: