Secara ideal, puasa Ramadhan bertujuan untuk membangun keintiman antara
seorang hamba dengan pencipta-Nya demi mencapai ketakwaan. Selain itu, puasa Ramadhan juga bisa
memompa produktivitas, menyehatkan, menyejahterakan, dan membangun solidaritas.
Saat
berpuasa, seseorang sungguh-sungguh sedang berinteraksi secara langsung, jujur,
dan spesial dengan Allah. Saat menjalankan puasa Ramadhan, seseorang akan mengurangi jadwal dan jumlah konsumsi sehingga lebih sehat, kondisi perut akan
lebih stabil, dan banyak waktu untuk berkarya.
Puasa Ramadhan akan melahirkan rasa solidaritas kemanusiaan. Kita akan merasakan betapa menderitanya menahan haus dan lapar, sehingga mengetuk pintu hati untuk berbagi kebaikan kepada sesama.
Namun pada
kenyataannya, fenomena puasa Ramadhan justru seringkali berlawanan atau menimbulkan paradoks. Seseorang kerap berpuasa hanya sebagai rutinitas keagamaan tahunan;
tidak makan, tidak minum, dan tidak bersetubuh di siang hari tetapi tidak ada
perubahan dalam berperilaku. Pikiran dan hatinya tidak dibersihkan dari rasa
hasud sehingga puasa Ramadhan tidak memberikan efek perubahan kebaikan dalam
hidupnya.
Saat Ramadhan,
seharusnya harga bahan pokok menjadi lebih murah dan terdapat banyak persediaan. Sebab, seorang yang menjalankan puasa Ramadhan tentu akan mengurangi
kebutuhan konsumsi. Tetapi realitanya, harga bahan pokok dan kebutuhan justru naik.
Naiknya
harga bahan pokok itu menunjukkan bahwa permintaan justru meningkat. Demikian bunyi hukum ekonomi. Itu berarti,
pelaksanaan puasa Ramadhan tidak membuat orang-orang Islam mengurangi atau
membatasi konsumsi. Sikap konsumerisme umat Islam di bulan Ramadhan, tak
lagi terbantahkan.
Tak hanya
itu, puasa Ramadhan seringkali menjadi alasan untuk tidak melakukan banyak
aktivitas. Bahkan jam kerja di kantor-kantor dikurangi dua jam. Sudah begitu,
masih ada saja pegawai atau karyawan yang datang terlambat karena alasan puasa,
sehingga banyak pekerjaan yang tertunda dan bahkan terbengkalai.
Padahal sebenarnya,
ketika orang menjalankan puasa Ramadhan justru memiliki banyak waktu karena
telah menghilangkan jadwal makan pagi dan siang. Bahkan mau cepat-cepat pulang
ke rumah pun masih menunggu waktu maghrib untuk makan malam.
Puasa Ramadhan
haruslah menambah produktivitas. Namun, puasa Ramadhan justru sering menjadi alasan untuk menghambat
atau menghentikan aktivitas. Padahal saat berpuasa, seseorang akan menstabilkan
konsumsi dan memperbanyak gerak dengan ibadah, sehingga tubuh dan rohani
menjadi bersih.
Ketika berbuka puasa, kita justru seperti ‘balas dendam’ dengan mengonsumsi makanan
yang beraneka ragam dan berlebihan. Kalau begitu, puasa Ramadhan berarti hanya mengubah
jadwal makan di siang hari menjadi makan di waktu malam, tidak berkurang
sedikit pun, bahkan malah bertambah banyak.
Puasa Ramadhan
seharusnya menyehatkan tubuh, karena ada proses pencernaan yang membersihkan
dan menghancurkan racun-racun di dalam tubuh. Tetapi justru sebaliknya, saat
berpuasa tubuh akan terasa lemas dan banyak tidur.
Rasulullah
bersabda:
أذيبوا طعامكم بذكر الله عز وجل والصلاة، ولا تناموا عليه فتقسوله قلوبكم
Artinya: “Cairkan
makanan kalian dengan berdzikir kepada Allah dan shalat, serta janganlah kalian
langsung tidur setelah makan karena dapat membuat hati kalian menjadi keras.”
Semestinya,
puasa Ramadhan juga bisa membangkitkan rasa solidaritas. Sebab saat berpuasa,
kita dapat merasakan kesengsaraan menahan lapar dan haus, sebagaimana yang
diderita oleh orang yang tidak mampu. Akan tetapi, pada kenyataannya,
orang-orang yang berpuasa kerap berlebihan mengonsumsi makanan saat berbuka dan
sahur, bahkan banyak pula makanan yang terbuang atau basi.
Pelaksanaan ibadah
puasa seharusnya semakin hari akan meningkat hingga pada waktu sepuluh hari
terakhir Ramadhan, terutama untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Faktanya, sebagian
besar umat Islam justru hanya akan semangat di awal-awal Ramadhan dan semakin
hari justru kian menyusut semangatnya.
Tuntutan puasa
Ramadhan sering tidak sesuai dengan pelaksanaannya, sehingga nilai puasa tidak
terinternalisasi dalam kehidupan. Karena itu, puasa tidak memberikan efek perubahan
karakter dan pencapaian kesejatian diri manusia.
Lebaran
Idulfitri yang sebenarnya menjadi simbol ‘kemenangan’ melawan hawa nafsu selama
satu bulan penuh, ternyata hanya sebatas simbolik belaka tanpa substansi apa
pun. Sebab yang baru hanya baju dan pakaiannya saja. Puasa Ramadhan yang
dilakukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tidak menuntun pada perubahan
untuk menggapai fitrah.
Puasa semestinya
dilakukan oleh seluruh organ tubuh, pikiran, dan hatinya untuk menyatu dengan
Sang Pencipta. Sebagaimana yang diungkapkan Sahabat Jabir bin Abdillah:
إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والم آثم ودع أذى
الجار وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء
Artinya: “Jika
kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, linsamu
dari dusta dan dosa-dosa. Tinggalkan menyakiti tetangga dan hendaknya kamu
senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan
hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa.”
Disadur dari sumber utama: KH
Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015: halaman 87-90.
0 komentar: