Ramadhan
tiba. Seluruh umat Islam menyambutnya dengan riang gembira. Masjid dan musala kembali
ramai menggelar salat tarawih berjamaah, tadarus Al-Qur’an, membuka pintu untuk
jamaah melakukan i’tikaf, hingga mengadakan pesantren Ramadhan untuk anak-anak
dan layanan buka bersama dengan menu berbeda sampai akhir bulan nanti.
Kegembiraan umat
Islam menyambut kedatangan Ramadhan itu karena bulan ini memiliki banyak keistimewaan.
Ibadah-ibadah wajib dilipatgandakan pahalanya, sedangkan pahala ibadah sunnah akan dihitung
sebagaimana ibadah wajib. Meski begitu, kita mesti ingat bahwa tujuan dari
disyariatkannya puasa Ramadhan adalah untuk mencapai derajat ketakwaan.
Puasa adalah ibadah privat, hanya diketahui oleh seorang hamba dan Allah. Inilah yang menjadi keistimewaan dari ibadah puasa, dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah puasa ini untuk Allah, dan Dia pula yang akan mengganjar pahala kepada kita. Nabi Muhammad pernah mengingatkan kita tentang firman Allah mengenai puasa.
كل عمل ابن آدم له الا الصيام فإنه لي، وأنا أجزي به
Kullu ‘amali-ibni adama lahu illaa-asshiyaama fa-innahu lii, wa anaa ajzii bihi
Artinya: “Seluruh
amalan anak keturunan Adam adalah untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia
(puasa) untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”
Puasa menjadi
spesial kepada Allah karena keintiman seorang hamba dengan Sang Penyayang. Juga
hanya puasa, satu-satunya ibadah yang meninggalkan yang halal dan nikmat, demi
mendekatkan diri kepada Allah. Maka balasan ibadah puasa spesial dari Allah,
bisa berlipat ganda lebih dari sepuluh kali lipat dan di dalamnya terdapat
bonus Lailatul Qadar yang pahalanya melebihi seribu bulan. (KH Cholil Nafis,
Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015)
Puasa adalah
ibadah yang tertua dalam sejarah umat manusia. Allah telah memerintahkan ibadah
puasa sejak Nabi Adam turun ke bumi.
Kiai Cholil
Nafis menyebut, Nabi Adam melakukan ibadah puasa putih yaitu pada setiap tanggal
13, 14, 15. Disebut puasa putih karena pada tanggal itu tampak rembulan di
malam hari memancarkan cahaya yang putih dan terang. Nabi Daud beribadah puasa dengan
cara satu hari berpuasa dan satu hari berbuka dalam setahun.
Nabi Musa
pun berpuasa selama 40 hari termasuk puasa Asyura (10 Muharram). Siti Maryam
juga berpuasa saat mengandung Nabi Isa dengan cara tidak bicara kepada siapa
pun kecuali menggunakan isyarah selama tiga hari. Sebelum Allah menurunkan
kewajiban berpuasa Ramadhan, Nabi Muhammad pernah menjalankan puasa Asyura dan Tasu’a
(9-10 Muharram).
Dengan
demikian, puasa merupakan adalah ibadah seluruh umat manusia. Sementara puasa pada
Ramadhan hanya sebagai penyempurna dari ibadah-ibadah puasa umat terdahulu,
sejak Nabi Adam. Hal ini termaktub di dalam QS Al-Baqarah ayat 183.
يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Yaa-ayyuhalladzina
aamanuu kutiba ‘alaikumu-asshiyamu kamaa kutiba ‘alalladzina min qablikum la’allakum
tattaquun
Artinya: “Wahai
orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana (telah)
diwajibkan (puasa) atas orang-orang sebelum kamu.”
Selain menerangkan
tentang ibadah puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, ayat di atas menjelaskan soal tujuan puasa bagi orang-orang beriman. Tujuan itu
adalah takwa. Ketakwaan seorang hamba kepada Allah setidaknya dapat dilihat
dari tiga sikap utama, sebagaimana yang Allah terangkan dalam QS Ali Imran ayat
135.
ألذين ينفقون فى السرآء والضرآء والكظمين الغيظ والعافين عن الناس، والله يحب المحسنين
Alladzina
yunfiquuna fissarra-i waadhdharra-i wal kaadzhiminal-ghaizha wal ‘aafina ‘aninnas,
wallahu yuhibbul muhsiniin
Artinya: “(Orang-orang
bertakwa) yaitu orang yang berinfak di waktu lapang maupun sempit, orang yang
menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang
yang berbuat kebaikan.”
Di dalam
ayat itu menjelaskan bahwa ketakwaan seseorang dapat diukur dari tiga sikap. Pertama,
dermawan dalam keadaan pun. Baik pada saat kondisi lapang maupun dalam keadaan
sengsara. Kedermawaan adalah sifat senang berbagi kepada orang lain yang
memerlukan uluran bantuannya. Tak hanya berupa harta, tetapi juga bisa berbentuk
ilmu dan tenaga.
Kedua,
menahan amarah. Kemampuan seseorang dalam menahan amarah, bukan berarti dia
tidak pernah marah. Menahan amarah ini menjadi ciri dari sikap takwa. Sebab
seseorang semakin terlihat bijak saat mampu mengendalikan emosinya.
Ketiga,
pemaaf. Memaafkan berbeda dengan melupakan. Memaafkan merupakan proses penjang,
menyakitkan, dan sekaligus membebaskan. Karena itu, memaafkan akan melibatkan
totalitas kedirian seseorang sebagai manusia. Memaafkan harus mulai dari keputusan
untuk tidak berbalas dendam.
Mari kita berpuasa dengan maksud dan tujuan ingin mendapatkan gelar takwa. Banyak yang ingin memperoleh ketakwaan, tetapi hanya akan ada sedikit orang saja yang mampu berhasil meraihnya di akhir Ramadhan nanti.
Mari kita berlomba meraih ketakwaan yang selaras dengan perbuatan kebaikan kepada sesama manusia. Ingat, ketakwaan kepada Allah tidak boleh mengabaikan hubungan yang baik kepada sesama manusia. Sebab manusia adalah citra Allah di muka bumi. Memuliakan manusia berarti memuliakan Allah, menghina manusia juga berarti menghina Allah.
Marhaban Ya Ramadhan!
0 komentar: