Senin, 11 April 2022

Puasa Ramadhan Pertajam Kepekaan Sosial

 

Ilustrasi. Sumber: NU Online


Setiap Ramadhan, umat Islam tidak hanya disibukkan dengan ibadah-ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga ibadah sosial. Peribadahan ritual tentu saja menjadi meningkat karena ada jaminan ganjaran dari Allah. Ibadah ritual yang bersifat wajib, pahalanya akan dilipatgandakan. Sementara ibadah sunnah, akan dihitung sebagaimana pahala ibadah wajib. 


Fenomena yang selalu tampak saban Ramadhan di antaranya adalah ruang-ruang masjid dan mushala yang penuh, kegiatan tadarus Al-Qur’an (baik dilakukan secara sendiri maupun berjamaah), dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. 


Tak hanya itu, umat Islam pun memanfaatkan kemurahan Allah dengan menjalankan ibadah sosial seperti santunan anak yatim, berbagi takjil berbuka puasa dan makanan santap sahur di jalan, hingga bersedekah setiap hari sepanjang Ramadhan. 


Hal tersebut membuktikan bahwa Ramadhan tidak hanya sebagai bulan untuk berpuasa menahan makan dan minum serta meningkatkan ibadah ritual di sisi Allah, tetapi puasa Ramadhan juga mengandung pesan sosial yang luhur. 


Saat menjalankan puasa Ramadhan, umat Islam hendaknya menjalankan ibadah yang berorientasi vertikal (teosentris/hablumminallah) sekaligus horizontal (antroposentris/hablumminannas). Sebab emandang bahwa puasa Ramadhan hanya ibadah yang bersifat teosentris, yakni pahala bagi yang menjalankan dan dosa bagi yang meninggalkan, adalah sebuah pemaknaan yang sempit. 


Ciri pemahaman yang berkutat pada nalar teologis semata yakni melakukan pemusatan atas segala aktivitas dan persoalan kepada Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat manusia serta problem-problem kemanusiaan. 


Sebab, memang harus ada keseimbangan antara aspek hablumminallah dan hablumminannas dari seluruh kegiatan yang kita lakukan. Melalui ibadah puasa Ramadhan, seorang Muslim mesti berharap agar hubungan dengan Allah serta hubungan dengan manusia (dan lingkungannya) terjalin secara baik. 


Jika tidak terjalin secara baik pada salah satu di antara kedua hubungan tersebut, maka pesan puasa Ramadhan terasa pincang dan berakibat mendisorientasi nilai luhur agama Islam. Karena pemahaman yang tidak utuh hanya akan menjadikan agama sebagai candu masyarakat. Artinya, agama hanya memberi ‘iming-iming’ pahala dan surga tanpa terlibat dalam dimensi kemanusiaan. 


Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Cholil Nafis dalam buku Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan (2015) menegaskan, agama hadir untuk mengangkat harkat, martabat, serta membela hak asasi manusia (HAM). Karena itu, agama tidak bisa diam ketika melihat realitas sosial yang timpang. 


Melalui puasa Ramadhan, umat Islam akan mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk mempertajam kepekaan sosial di tengah kehidupan masyarakat. Setidaknya, terdapat tiga poin penting yang akan didapat seorang Muslim ketika sungguh-sungguh menjalankan puasa Ramadhan. (KH Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015: 141-142).


Pertama, umat Islam akan terlatih untuk berempati pada manusia lainnya. Empati itu bukan karena sama-sama lapar dan haus tetapi terkait dengan setiap derita kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan ini menjadi bagian terpenting yang perlu diupayakan dan disebarluaskan oleh umat beragama, tak terkecuali Muslim. 


Saling menghormati, toleransi, hidup damai, harmonis, dan ramah menjadi bagian terpenting dari kehidupan sosial-keagamaan. Jika demikian, agama diharapkan lebih mencerminkan dimensi kemanusiaan daripada selalu terbelit simbolisme ritual. 


Kedua, puasa Ramadhan dapat mengikis egoisme dan menumbuhkan sikap kebersamaan. Dalam perspektif Islam, kebersamaan merupakan makna hidup yang sejati. Karena itu, setiap individu harus menjadikan orang lain seperti dirinya sendiri.


Apabila ada orang yang tidak betah dalam menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan, maka setiap Muslim harus berempati dan mencari solusi untuk melepaskan mereka dari jerat penderitaan. 


Ketiga, puasa Ramadhan menggugah kesadaran progresif dalam beragama untuk keluar dari belenggu menuju pembebasan. Orang yang sedang berpuasa, secara naluriah, tidak akan merasa tega ketika melihat tetangganya kelaparan. Inilah salah satu upaya pembebasan dari belenggu rantai kemiskinan. 


Pembebasan yang dimaksud berarti pembebasan dari segala belenggu dan kooptasi, serta pembebasan untuk cita-cita luhur kemanusiaan. Jelaslah, puasa bukan hanya sekadar ritual yang bersifat teosentris, tetapi harus ikut menumbuhkan kesadaran untuk melakukan amaliyah agama secara antroposentris. 


Misi kemanusiaan seperti ini, telah diungkapkan Nabi Muhammad jauh-jauh hari. Rasulullah menyebut Ramadhan sebagai bulan solidaritas atau bulan kepekaan sosial (syahr al-muwasat). Hal ini tercermin dari anjuran Nabi untuk memberi makan berbuka puasa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan Ibnu Hibban: 


من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ،  وعتق رقبته من النار ،  وكان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيئ ،  ليس كلنا نجد ما يفطر الصائم!  فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على تمرة ،  أو شربة ماء أو مذقة لبن


Artinya, “Barangsiapa memberikan makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa maka hal itu dapat menjadi tebusan atas dosa-dosanya dan pembebasan dirinya dari api neraka. Ia juga memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tidak berkurang pahalanya sedikit pun.” 


“Tidak semua dari kami memiliki kemampuan untuk memberikan makan kepada orang yang berpuasa,” kata salah seorang sahabat, menanggapi ucapan Nabi Muhammad tersebut. 


“Allah telah menyediakan pahala besar untuk kalian. Apakah kalian tidak sanggup menyediakan buka walau hanya sebutir kurma, segelas air putih, atau secangkir susu?” jawab Rasulullah. Setelah itu, Rasulullah menegaskan kepada para sahabat bahwa kepedulian kepada orang yang berpuasa dapat membuat seseorang meraih rahmat dan ampunan dari Allah. 


Dari kisah tersebut, sangat jelas bahwa Islam menganjurkan seorang Muslim di bulan Ramadhan untuk berbagi kepada sesama, berapa pun jumlah atau nominalnya. Hal ini sebagai wujud solidaritas dan kepekaan sosial. Dengan demikian, puasa Ramadhan tidak hanya dapat meningkatkan hubungan kita kepada Allah semata, tetapi juga harus berimbas pada peningkatan kualitas terhadap kehidupan sosial di tengah masyarakat. 

Previous Post
Next Post

0 komentar: