Jumat, 11 Juli 2025

Perjalanan Anak Bekasi Berproses Jadi Jurnalis NU Online Sejak 2017

 

 

Bersama dua reporter Polhukam dan Pemred NU Online


Kelas Menulis NU Online pada awal Januari 2017 membawa saya pada jalan yang tak pernah saya sangka akan menjadi bagian penting dalam hidup saya.


Saat itu, saya hanya seorang mahasiswa semester awal yang penuh semangat menulis tapi belum tahu ke mana harus menyalurkan hasil karya saya. 


Di dalam Kelas Menulis NU Online 2017 itu, saya dibimbing oleh Bang Abdullah Alawi, redaktur senior NU Online, yang dengan sabar menanggapi setiap tulisan saya, seaneh apa pun susunannya. Itulah awal perkenalan saya dengan dunia NU Online. 


Saat kelas masih berlangsung ini, naskah pertama saya dimuat oleh Bang Alawi pada 16 Januari 2017. Tulisan itu berjudul Inilah Perbedaan Makna Islam dan Muslim. 


Tak lama setelah Kelas Menulis selesai, saya mulai menulis sebagai kontributor NU Online dari Bekasi. Saya meliput kegiatan PCNU Kota dan Kabupaten Bekasi, serta mewawancarai para tokohnya untuk menanggapi isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan. Semua saya lakukan dengan suka cita, tanpa pernah berpikir soal honor. Yang penting tulisan saya tayang, itu sudah cukup membanggakan.


Lalu pada Maret 2019, saya ditelepon oleh Mas Mahbib Khoiron (kala itu sebagai Redaktur Pelaksana, kini Redaktur Eksekutif NU Online). Pesan yang disampaikan cukup sederhana, tapi membekas dalam di hati saya. Kabar itu adalah bahwa tulisan saya sejak 2017 akan dihitung dan dibayar, karena dianggap telah konsisten. 


Bahkan bukan hanya yang lama, tulisan-tulisan saya setelahnya pun akan terus dihargai secara layak. Saat itu saya masih mahasiswa. Bisa dibayar dari menulis adalah kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Ada perasaan dihargai dan diakui.


Saya terus menulis. Hari demi hari. Sampai-sampai saya merasa seperti "humas" bagi PCNU Kota Bekasi. Segala kegiatan mereka hampir tak pernah luput saya tulis. 


Namun pada awal 2020, saya terpaksa sedikit menarik diri. Saya menyusun skripsi, setelah 2 tahun skripsi itu saya biarkan terbengkalai. Di saat yang sama Pandemi Covid-19 datang. Bagi saya, pandemi sebagai blessing in disguise. Momen ini saya manfaatkan untuk menyusun skripsi dan kemudian ikut sidang skripsi pada Juni 2020. Saya dinyatakan lulus sebagai Sarjana Ilmu Komunikasi yang konsentrasi jurusannya adalah Jurnalistik, dari Universitas Islam "45" Bekasi. 


Belum sempat bernapas lega, di tengah kesibukan merevisi skripsi, Mas Mahbib kembali menghubungi saya, akhir Juli 2020. Ia menawari saya untuk bergabung penuh sebagai reporter nasional NU Online, menggantikan posisi Husni Sahal yang saat itu berpindah tugas menjadi Humas di Kementerian Ketenagakerjaan. 


Tawaran itu datang saat saya bahkan belum terlalu memikirkan akan bekerja di mana. Dunia masih diselimuti kecemasan akibat pandemi. Tapi saya tahu, ini bukan tawaran yang bisa saya tolak. Saya langsung mengiyakan.


Kemudian 10 Agustus 2020, saya resmi mulai bertugas sebagai reporter nasional NU Online. Setiap Senin siang kami menggelar rapat redaksi, dan dari situlah saya mulai rutin meliput berbagai kegiatan PBNU, lembaga dan banom-banomnya, atau mewawancarai narasumber untuk menanggapi isu-isu sosial-politik yang sedang berkembang. Dunia jurnalistik, yang sejak kecil sudah jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi ruang hidup saya.


Selanjutnya pada Juni 2022, terjadi perubahan penting di tubuh redaksi. Mas Mukafi Niam, Pemimpin Redaksi kami, digantikan oleh Bang Ivan Aulia Ahsan. Di bawah kepemimpinannya, NU Online berhasil terverifikasi Dewan Pers. Kemudian saya dipercaya untuk menangani desk Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam). Tugas yang tidak ringan, karena saya bersentuhan langsung dengan isu-isu sensitif dan kerap menjadi sorotan publik.


Bertemu para politisi, pengamat, akademisi, bahkan aktivis rakyat menjadi rutinitas saya. Meliput unjuk rasa, membedah kebijakan pemerintah, hingga menuliskan keresahan publik dari kacamata NU yang moderat dan berpihak pada keadilan sosial. Semua itu menjadi bagian dari tanggung jawab saya di desk Polhukam.


Lalu pada 1 November 2023, Bang Ivan kembali mengajak saya naik ke step berikutnya dengan menjadi Asisten Redaktur atau Redaktur di desk Polhukam. Tugas utama saya berubah, dari eksekutor lapangan menjadi perancang arah liputan. Setiap hari saya merancang proyeksi liputan, memastikan isu-isu strategis tidak luput dari pengamatan kami, dan yang lebih penting adalah menyusunnya dengan pendekatan yang tajam dan kritis.


Di desk Polhukam ini, saya tidak bekerja sendiri. Saya ditemani oleh para reporter andal yang tidak hanya tangguh secara teknis, tapi juga peka secara ideologis. 


Ada Haekal Attar, "penjaga gawang" liputan PBNU yang juga tak segan turun ke jalan untuk meliput aksi-aksi rakyat. Ada M Fathur Rohman yang setia menjaga suara rakyat di parlemen dan tajam mengkritik gejala militerisasi sipil di bawah pemerintahan Prabowo. Ada juga Suci Amaliyah, yang saya juluki "wartawan konflik" karena setiap ada gejolak, Suci siap meliput dengan kepekaan dan keberanian.


Hari ini, 11 Juli 2025, NU Online genap berusia 22 tahun. Sebuah perjalanan panjang dan bermakna. Saya pribadi tumbuh bersama NU Online, dari kontributor daerah, menjadi reporter nasional, hingga kini menjadi bagian dari tim redaksi.


Dari pinggiran Bekasi, bahkan pedalaman, karena sekarang saya tinggal di Desa Srimahi, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, saya melangkah masuk ke pusat-pusat peristiwa nasional. Semua itu berkat ruang yang dibuka NU Online yang memberikan kesempatan, makna, dan arah.


Harapan saya untuk NU Online pada usianya yang ke-22 tahun ini sederhana, tapi penting, yaitu tetaplah kritis terhadap oligarki, militerisasi sipil, dan kelakuan pejabat yang di luar nalar. 


Saya berharap, NU Online tak pernah letih menyuarakan kebenaran, apalagi ketika dunia makin penuh dengan kebisingan dan polarisasi. NU Online harus menjadi penjernih, bukan pengabur. Menjadi pelita di tengah gelapnya informasi yang manipulatif.


Bagi saya, NU Online juga harus terus memberi ruang bagi penulis muda dari pelosok-pelosok kampung seperti saya dulu, yang bermodal semangat dan keyakinan bahwa menulis adalah cara mencintai Indonesia dengan cara yang paling jujur.

Jumat, 06 Juni 2025

6 Juni Ke-31




Hari ini, 6 Juni 2025, saya sudah berusia 31 tahun. Hari ulang tahun merupakan momen yang secara pribadi saya maknai sebagai titik balik untuk merefleksi dan menata ulang arah hidup. 


Saya punya kebiasaan melakukan perenungan mendalam setiap lima tahun sekali—sebuah jeda yang saya beri ruang dalam hidup untuk mengevaluasi siapa saya, ke mana saya akan melangkah, dan apa yang ingin saya maknai dari seluruh perjalanan ini? 


31 tahun bukan angka yang kecil. Sebab di balik angka ini telah menyimpan banyak musim, jatuh-bangun, luka, tawa, dan keputusan-keputusan penting. 


Dalam lima tahun terakhir, saya seperti dihadapkan pada cermin besar yang memperlihatkan siapa diri saya sebenarnya? Saya merasa bahwa hidup bukan sekadar bertujuan agar terlihat baik di mata orang lain. Sebab dari situlah pelajaran-pelajaran penting mulai muncul satu demi satu.


Saya belajar bahwa hidup tak selalu bisa dikendalikan. Namun kini saya sudah agak bisa mengendalikan cara merespons yang baik atas sesuatu. 


Salah satu proses terbesar dalam hidup saya beberapa tahun belakangan ini adalah belajar mengelola emosi. Saya dulu lebih mudah terbakar: marah, kecewa, cemas, atau merasa disalahpahami. 


Namun perlahan, saya mulai belajar untuk menahan diri. Saya belajar diam ketika ingin bereaksi keras. Saya belajar menunda respons saat hati sedang bergejolak. Ternyata, kemampuan untuk tidak segera menanggapi segala hal adalah bentuk kedewasaan yang mahal.


Ego juga bukan hal mudah untuk dikendalikan karena sering kali menyamar sebagai kebenaran, padahal hanya keinginan untuk merasa benar. Saya belajar untuk meredam ego, meskipun secara perlahan. Saya mulai mengerti bahwa mengalah bukan berarti kalah, bahwa mendengarkan bisa lebih kuat daripada berbicara, dan bahwa memaafkan bukan bentuk kelemahan, melainkan kebebasan. Hal-hal ini tak bisa saya kuasai sepenuhnya, tetapi kini saya sadar bahwa itu penting.


Saya juga merasa kemampuan saya dalam menganalisis masalah berkembang. Saya tidak lagi buru-buru menilai sesuatu dari permukaan. Saya mulai belajar melihat akar persoalan, membaca konteks, dan memahami sisi lain dari cerita yang tampaknya keliru di awal. Kematangan membuat saya sedikit lebih bijaksana dalam bersikap. Saya mulai tahu kapan harus bertindak, kapan cukup diam, dan kapan harus benar-benar pergi? 


Bagian yang paling melegakan dari perjalanan ini adalah saya mulai bisa berdamai dengan masa lalu saya. Dulu, saya terlalu sering membenci bagian-bagian dari hidup saya yang gelap dan menyakitkan. Saya merasa itu harus dilupakan, disembunyikan, atau dihapus. Tapi belakangan saya sadar: masa lalu itu bukan musuh. 


Tanpa luka, saya tidak akan punya empati. Tanpa rintangan, saya tidak akan tahu cara untuk bertahan. Sekarang, saya bisa menatap ke belakang tanpa dendam, tanpa amarah. Hanya ada rasa syukur dan pengertian.


Saya juga memegang satu amanah penting dari ibu untuk menjadi pribadi yang menyenangkan di mana pun saya berada. Pesan ini saya maknai bukan dalam artian harus selalu lucu atau menuruti semua orang, tapi bisa menjadi sosok yang membuat orang lain merasa nyaman, didengar, dan diterima.


Saya ingin, setidaknya, kehadiran saya di sebuah lingkaran pergaulan bisa membuat hati orang lain sedikit lebih hangat. Sebab saya percaya, hidup bukan tentang siapa yang paling hebat, tapi siapa yang paling mampu membuat kehidupan ini lebih manusiawi bagi orang lain. 


Hari ini, saya tidak menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Saya hanya berharap bisa menjadi lebih jujur kepada diri sendiri. Saya ingin mengenal kesejatian diri saya lebih dalam lagi. 


Kesejatian diri itu bukan hanya soal identitas sosial, profesi, atau peran-peran yang saya mainkan di hadapan orang lain, tetapi diri saya yang asli—yang barangkali sedang bersembunyi di balik tuntutan, ekspektasi, dan rutinitas harian.


Saya tahu perjalanan ini belum selesai. Barangkali malah baru dimulai. Namun saya ingin menempuhnya dengan lebih tenang, lebih ikhlas, dan lebih rendah hati. Saya tidak ingin lagi terjebak pada perlombaan membuktikan diri. Saya ingin berjalan dengan tujuan, bukan dorongan serta dengan keyakinan, bukan ketakutan.


Selamat ulang tahun untuk diri saya sendiri. Terima kasih sudah bertahan, sudah mencoba, dan sudah bangkit berulang kali. Terima kasih juga karena sudah memilih untuk terus tumbuh, bahkan di tengah rasa lelah. Semoga lima tahun ke depan saya bisa melihat kembali tulisan ini dan berkata, “Terima kasih karena sudah memulainya dengan baik.”