Kamis, 30 April 2020

Tadarus Cerpen #8 (Di Bawah Bulan)




Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 

Ini adalah tadarus cerpen yang kedelapan.
Judul: Di Bawah Bulan
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati


Atau klik di sini

Rabu, 29 April 2020

Tadarus Cerpen #7 (Demonstran)




Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 

Ini adalah tadarus cerpen yang ketujuh.
Judul: Demonstran
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati


Atau klik di sini

Selasa, 28 April 2020

Tadarus Cerpen #6 (Daun)



Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 

Ini adalah tadarus cerpen yang keenam.
Judul: Daun
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati


Atau klik di sini

Senin, 27 April 2020

Tadarus Cerpen #5 (Bis Kota)




Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 


Ini adalah tadarus cerpen yang kelima.
Judul: Bis Kota
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati


Atau klik di sini

Minggu, 26 April 2020

Tadarus Cerpen #4 (Bis Jemputan Sekolah)





Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 


Ini adalah tadarus cerpen yang keempat.
Judul: Bis Jemputan Sekolah
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati


Atau klik di sini

Sabtu, 25 April 2020

Tadarus Cerpen #3 (Berhitung)



Tadarus cerpen ini saya lakukan setiap hari dengan mengunggah videonya saban malam usai tarawih bersama keluarga di rumah.

Sebab tidak ada yang bisa saya pamerkan ke media sosial. Ingin pamer ibadah, seperti bertadarus Quran, saya bukan ahli agama. Maka, semoga saya istiqomah untuk tadarusan cerpen selama sebulan sepenuh. Aamiin. 

Ini adalah tadarus cerpen yang ketiga.
Judul: Berhitung
Karya: Sapardi Djoko Damono
Buku: Pengarang Telah Mati




Atau klik di sini

Jumat, 24 April 2020

Tadarus Cerpen #2 (Apakah Engkau Ada?)



Tadarus Cerpen merupakan cara saya untuk mengusir bosan, dalam menjalani Ramadan di tengah pandemi yang mengharuskan saya untuk tetap di rumah saja. Cerpen-cerpen itu adalah yang dimuat dalam buku berjudul 'Pengarang Telah Mati' karya Penyair Sapardi Djoko Damono.

Inilah Tadarus Cerpen #2 berjudul 'Apakah Engkau Ada?'


Atau klik di sini

JUMATAN: Membahagiakan Allah dengan Sederhana


Sumber: hudacendekia.or.id
Selamat Ramadan. Semoga berkah untuk kita semua. Ramadan kali ini diawali dengan Jumat, sehingga bakal ada lima kali Jumat yang kita lewati selama menjalankan ibadah puasa ini. Namun, kita tetap harus berada di rumah. Tidak melaksanakan salat Jumat berjamaah di masjid, demi mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus corona. 

Ramadan memang bulan yang khas, spesial, dan istimewa. Di dalamnya tercucur rahmat yang tidak berkesudah. Mengalir anugerah yang sangat melimpah. Ampunan dan kasih-sayang Allah juga senantiasa dapat kita rengkuh, asal beribadah dengan penuh sungguh.

Tahun ini, Ramadan menjadi lebih spesial karena menggeser hal-hal spesial seperti Ramadan pada biasanya. Ramadan tahun ini sangat spesial, karena kita membawa atau memindahkan masjid ke rumah. Inilah yang kemudian menjadi bentuk pengejawantahan dari kata pepatah: rumahku surgaku. 

Dalam berbagai ibadah wajib maupun sunnah di bulan yang suci ini, ganjarannya akan dilipatgandakan. Ibadah sunnah akan diganjar serupa ibadah wajib, sedangkan ibadah wajib akan diganjar seperti melaksanakan dua kali ibadah wajib. Inilah keistimewaan Ramadan yang sangat dirindukan. 

Merayakan Ramadan di rumah, bagi saya, merupakan sebuah anugerah. Sebab, kita akan lebih menjadi fokus untuk beribadah dengan niat dan tujuan hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Tidak ada unsur riya', ingin dilihat, ingin dibilang saleh --padahal saleh tahunan-- oleh orang lain di sekitar. 

Ramadan di rumah, kita akan berhubungan langsung dengan keluarga; orang-orang yang sudah sejak lama hidup dengan kita. Mereka-lah yang sesungguhnya akan menjadi penentu ke mana kita hendak berlabuh di akhirat kelak. Maka, dengan mereka pula-lah seharusnya kita mendulang pahala bersama, meraup ridha Allah dengan berjamaah. Inilah keistimewaannya, Ramadan bersama keluarga.

Tapi, saudaraku, jangan lantaran kita harus beribadah sebulan penuh selama Ramadan ini bersama keluarga, lalu kita lupa dengan sekeliling kita; dengan tetangga kita; dengan orang-orang di sekitar rumah kita; bagaimana keadaan mereka selama masa pandemi ini? Sudah pandemi, Ramadan pula. Secara naluriah-jasadi, Ramadan di tengah pandemi ini akan sangat menyulitkan masyarakat ekonomi kelas bawah. Inilah yang harus kita perhatikan. 

Jangan sampai kita lalai. Kata seorang sufi, segala jenis musik tidak dipermasalahkan, bukan perkara yang haram asal dimainkan tidak serta-merta lalai dengan Allah. Namun, ada satu musik yang sangat diharamkan. Musik itu adalah bunyi-bunyian sendok yang dipukul-pukulkan ke piring kosong milik tetangga. Itulah musik yang haram kita dengarkan. Kita harus berbuat. Bukan semata menyenangkan mereka, sebagai manusia, tapi mari diniatkan untuk senantiasa membahagiakan Allah.

Lantas, bagaimana cara membuat Allah bahagia?

Dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Ghazali, terdapat sebuah dialog menarik antara Nabi Musa dengan Allah tentang amalan yang disukai oleh Allah. 

“Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah yang Engkau perintahkan. Manakah diantara ibadahku yang Engkau senangi? Apakah Salatku?”

“Salatmu itu hanya untukmu sendiri, karena salat membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.”

“Apakah Engkau menyukai zikir yang senantiasa aku lakukan?”

“Zikirmu itu untuk dirimu sendiri, karena zikir membuat hatimu menjadi tenang.”

Nabi Musa pun terus menggali informasi tentang amalan yang disenangi oleh Allah.

“Apakah puasaku?”

“Puasamu itu hanya untukmu saja, karena puasa melatih diri dan mengekang hawa nafsu.”

Nabi Musa masih bertanya.

“Lalu ibadah apa yang membuat Engkau senang, ya Allah?”

“Sedekah. Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya Aku berada di sampingnya. 

Apa yang bisa kita petik sebagai hikmah dari dialog antara Nabi Musa dan Allah itu? Tak lain dan tak bukan adalah bahwa ibadah-ibadah seperti puasa, salat, dan zikir sangat tidak menjamin Allah bahagia terhadap kita. Sekalipun puasa, salat, dan zikir (terlebih di bulan Ramadan) berpahala atau mendapat ganjaran dengan nilai yang sangat tinggi. Namun sungguh, ibadah-ibadah itu hanya berdampak bagi diri sendiri, tidak untuk orang lain. 

Sementara sedekah merupakan ibadah atau amal perbuatan yang bukan hanya berpahala tinggi bagi diri sendiri, tetapi juga dapat membuat bahagia orang lain yang sedang kesulitan dan sedang membutuhkan uluran tangan. Hal inilah yang akan membuat Allah menjadi bahagia.

Soekarno pernah mengatakan dengan penuh yakin, “Orang tidak akan bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuk si miskin.”

Abdul Aziz bin Umair mengatakan, “Salat hanya mengantarkan kita pada setengah perjalanan menuju surga. Sedangkan puasa mengantarkan kita ke depan pintu surga. Namun sedekah, membuat kita masuk ke dalam surga.”

Para ulama besar juga senantiasa mengingatkan soal pentingnya bersedekah. Apabila ada seseorang yang hanya fokus pada ritual ibadah untuk dirinya sendiri seperti salat, puasa, dan zikir, maka hal itu belum menjadi upaya untuk mencintai Allah dan upaya agar dicintai Allah. Bahkan, ada seorang ulama yang mengatakan bahwa orang yang hanya fokus dengan beribadah yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, belum memenuhi syarat masuk ke surga. Maka, adanya sedekah menjadi penyempurna amal ibadah untuk mengantarkan diri kita ke surga. 

Perihal sedekah, Allah sudah menegaskan kecintaan kepada orang yang melakukannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Sedekah, infak, zakat, dan perbuatan baikmu itulah yang membuat Aku senang. Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, maka Aku hadir di sampingnya. Dan aku akan menggantinya dengan ganjaran 700 kali lipat.” (Al-Baqarah: 261-262)

Jadi, dalam rangka mengisi hari-hari Ramadan yang harus di rumah saja seperti sekarang ini, kita mesti teliti dan peka terhadap kondisi di sekitar rumah kita. Jangan hanya fokus dengan ibadah ritual di dalam rumah bersama keluarga, sementara ibadah sosial kita tinggalkan hanya karena kita takut terjangkiti virus corona. 

Keluarlah sebentar agar tahu kondisi di luar, tentu dengan menggunakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh paramedis dan pemerintah. Kita cari dan sambangi, orang yang paling sulit hidupnya di dekat-dekat rumah kita. Jangan sampai, mereka kelaparan. Berbagilah dengan mereka. Jangan sampai kita dijegal oleh Allah saat ingin masuk ke dalam surga, hanya lantaran ada tetangga yang kesulitan tapi kita cuek dan tidak membantunya. 

Mari, kita bahagiakan Allah dengan cara membahagiakan sesama kita. Kalau Allah sudah bahagia, maka Dia akan ridha dengan kita. Oleh karenanya, kita akan sangat dengan mudah diberi akses untuk masuk ke surga. Ini cara paling sederhana yang bisa kita lakukan agar kita tidak percuma dan sia-sia melaksanakan ibadah ritual siang-malam. Semoga bermanfaat. 

Wallahua'lam...

Kamis, 23 April 2020

Tadarus Cerpen #1 (Adam)




Ada yang berbeda dari Ramadan tahun ini. Kita melaksanakan ibadah, murni secara utuh, di rumah saja. Menjadi lebih dekat dengan keluarga. Tarawih pun di rumah. Latihan jadi imam.

Apa yang harus saya lakukan dalam merayakan Ramadan di rumah saja? Setiap malam, usai salat tarawih bersama keluarga di rumah, saya akan mengunggah video tadarus cerpen.

Cerpen-cerpen itu adalah karya Penyair kebanggaan saya, Mbah Sapardi Djoko Damono yang ditulisnya dalam buku "Pengarang Telah Mati".

Dan inilah tadarus cerpen #1, berjudul: Adam.



Atau klik di sini 

Selasa, 21 April 2020

Menyoal Kasus Intoleransi di Bekasi


Harun (paling kanan) dan Riswan (paling kiri) mewakili Gusdurian Bekasi Raya menyambangi kediaman Pak Jamin Sihombing


Pada 19 April lalu, di Cikarang Pusat terjadi kasus intoleransi yang dilakukan oleh seorang muslim kepada satu keluarga umat Kristiani yang sedang beribadah di rumah. Di tengah pandemi corona seperti sekarang ini, pemerintah memang memberi anjuran agar seluruh umat beragama harus beribadah di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Kasus itu kemudian menjadi viral dan ramai. Banyak yang berkomentar soal itu. Saya juga dihubungi oleh banyak orang. Bertanya soal bagaimana sikap Gusdurian Bekasi Raya terhadap kasus intoleransi yang terjadi itu. Di hari yang sama itu, saya hampir tidak memegang handphone. Saya sedang menyalurkan bantuan dari Gusdurian Peduli ke Gereja Kristen Pasundan Jatiranggon, Pondokmelati, dan Jatiasih.

Lalu, pada malam di hari itu juga, mereka yang berkonflik itu, dimediasi. Ada Kapolres Metro Bekasi juga yang turun tangan. Akhirnya, mereka membuat nota kesepakatan atau surat pernyataan bersama bahwa yang telah terjadi itu adalah akibat kesalahpahaman dari kedua belah pihak.

Hari berikutnya, yakni pada 20 April 2020, pukul 14.00 WIB hingga sore, Penggerak Gusdurian Bekasi Raya Harun Al-Rasyid menyambangi kediaman Bapak Jamin Sihombing untuk menanyakan perihal yang terjadi sebenarnya, sekaligus memberikan dukungan moral.

"Izinkan saya untuk beribadah sebelum saya mati," demikian kata Pak Jamin yang disampaikan oleh Harun. Sila simak video kongkow saya dengan Harun, membahas soal kasus intoleransi yang terjadi beberapa hari lalu. 

Atau klik di sini

Jumat, 10 April 2020

JUMATAN: Sukacita Menyambut Ramadan di Tengah Pandemi Korona


Ilustrasi. Sumber: birminghammail.co.uk

Selamat Jumat. Semoga segala tindak-tanduk dan laku-lampah kita senantiasa mendapat berkah serta rahmat. Kepada saudaraku, umat Kristiani, saya mengucapkan selamat menyambut Paskah. Selamat beribadah di Jumat Agung, Sabtu Suci, hingga Minggu Paskah nanti. 

Saya titip doa, agar pandemi korona segera berlalu. Titip doa pula agar Tuhan memanjangkan usia kemanusiaan di negeri ini. Sehingga kita dapat selalu berbuat untuk mengobati, menguatkan, serta menyehatkan tubuh bersama kita, bernama: Indonesia. 

Kita semua tahu, korona menyulitkan banyak hal. Mempersempit ruang gerak dan jarak kita, bahkan memperkecil labirin pertemuan agar tidak banyak orang berkerumun. Ruang-ruang sunyi, kini kita dapati. Lorong penuh gelap, menjenuhkan, dan membosankan, kita temui setiap hari. 

Namun korona menyadarkan kita semua bahwa harta, jabatan, kekayaan, anggota keluarga, bahkan diri kita sendiri, bukan sama sekali milik kita. Semua hal di dunia ini, sekecil apa pun, termasuk korona itu sendiri, adalah milik Allah yang harus kita akui keberadaannya. Tidak ada yang Ada kecuali Allah. Maka, korona itu sesungguhnya adalah manifestasi dari eksistensi Allah. 

Korona menjadi teguran bagi kita yang selama ini lalai. Korona menjadi jembatan atau washilah bagi Allah untuk mengingatkan kita bahwa selama ini, terdapat banyak dosa yang membuat kita jauh dari-Nya. Bahkan, lantaran perkara dunia yang fana, kita rela meninggalkan-Nya. 

Kini, saat rumah ibadah yang berpotensi menimbulkan kerumunan itu ditutup, kita lantas bersedih. Apa sebab? Tak bisa berkunjung dan menemui Tuhan di rumah-Nya. Inilah kalimat klise dari mulut sang munafik. Bukankah Tuhan bisa ditemui di sudut-sudut terkecil, di ruang-ruang gelap, dan di lorong pengap yang tak banyak dikunjungi oleh eksistensi manusia?

Barangkali, korona menjadi momentum penghapusan kemunafikan yang kerap terjadi di rumah ibadah. Di pengimaman, di altar-altar, di ruang ibadah, kita sering saksikan betapa ibadah kepada Tuhan menjadi sarana untuk meningkatkan derajat citra diri di hadapan manusia. Mungkin, inilah cara Tuhan agar tidak ada lagi kemunafikan di dalam ruang suci yang nama-Nya disebut-sebut berkali-kali tak berbilang.

Semua orang bersedih karena korona. Apa yang membuat sedih? Tak lain, karena aktivitas duniawi menjadi tersendat dan terhambat. Sementara orang-orang yang teguh dalam iman, merasa sangat bahagia, karena dapat menemui Tuhan tanpa ada sedikit pun gangguan eksistensi dan narsisme yang biasa berkerumun di ruang-ruang suci rumah ibadah.

Lalu bagaimana Ramadan di tengah pandemi korona?

Saya menyambutnya dengan sukacita. Biarlah korona ada hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan: sebagaimana bunyi kalimat retoris yang keluar dari mulut para pejabat dan tokoh publik. Biar selama Ramadan ini, orang-orang tetap dibuat takut oleh korona. Biarkan masjid sepi, agar tidak ada bunyi tadarus Al-Quran dari corong toa yang membuat berisik malam hari, padahal mungkin saja niat dalam hati bermaksud sombong karena ingin menunjukkan kelihaian membaca Al-Quran.

Panti asuhan, rumah yatim, dan asrama dhuafa, juga biarkan saja sepi. Toh, sebagian besar anak yatim dan dhuafa di dalamnya hanya dikapitalisasi agar mendapat keuntungan semata. Lebih-lebih juga dikapitalisasi untuk kepentingan elektabilitas dan popularitas. Ramadan menjadi seksi, untuk orang-orang kaya dan kelompok masyarakat menengah atas, untuk membuat citra diri seolah baik terhadap sesama. Padahal yang ditampakkan adalah ibadah yang penuh dengan riya' dan kesombongan. Tujuannya bukan Tuhan, tetapi yang lain. Nauzubillah.

Ramadan tahun ini menjadi ajang untuk berkontemplasi, introspeksi, dan menginsyafi diri. Berapa banyak dosa yang dilakukan atas nama agama? Berapa banyak ibadah yang tak bernilai pahala karena ada secuil kesombongan dan keangkuhan di dalam hati? Berapa banyak pula kemunafikan yang timbul akibat diri ini ingin tampak sebagai ahli agama? Berapa banyak kita berbuat baik yang benar-benar tulus karena Tuhan?

Jika Ramadan tahun ini kita jadikan sebagai ajang penginsyafan diri, saya yakin, di Idulfitri nanti, bumi kita menjadi sangat sejuk oleh kebeningan hati dan jiwa. Langit akan menjadi cerah karena tak ada lagi dosa dan kemunafikan yang menggumpal menjadi awan hitam. Laut juga akan tenang, karena tidak lagi tergesa-gesa ingin menumpahkan air bah lantaran dibuat kesal oleh kemaksiatan berbalut agama yang kerap dilakukan oleh kita. 

Alam raya turut berbahagia, menyambut sukacita terhapusnya segala berhala yang selama ini menjadi penghalang kita dengan Tuhan. Berhala itu bernama: eksistensi dan narsisme. Korona di bulan Ramadan nanti, semoga menjadi penghapus segala maksiat, dosa, dan salah kita kepada-Nya selama ini. 

Ramadan tahun ini akan diisi dengan mempertebal ruang keluarga. Tarawih berjamaah dengan keluarga, misalnya, juga tadarus Al-Quran dengan keluarga. Sebuah momentum penting yang harus terus dilakukan. Dimulai dari keluarga. Sebab, peradaban negeri yang baik, pasti dimulai dari ikatan keluarga yang harmonis. 

Inilah hikmah yang bisa kita petik. Selamat menyambut Ramadan di tengah pandemi korona. 

Kamis, 02 April 2020

Ada Kesombongan dalam Kalimat 'Kami Keluar untuk Kalian, Kalian #DirumahAja untuk Kami'


Ilustrasi. Sumber kompas.com

Sudah April. Korona belum juga selesai. Setiap hari selalu saja ada seratus lebih kasus positif yang menjangkiti warga masyarakat negeri ini, juga sekira lebih dari 20 kasus kematian akibat korona, dan hanya kurang dari 20 yang dapat terselamatkan atau sembuh dari korona. 

Apa sebab? Sebagian ada yang mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang bandel. Keluar rumah hanya untuk menghadiri hal-hal yang sepele atau yang sama sekali tidak mendesak. Namun sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa banyaknya korban yang setiap hari bertambah ini lantaran pemerintah bekerja sangat lamban. 

Tapi kan pepatah mengatakan: lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Oh baiklah kalau demikian. Pemerintah hebat, sudah bertindak, sudah berbuat baik kepada warganya, sudah memberikan berbagai kemudahan kepada masyarakat miskin berpenghasilan harian, yang menjadi berkurang pendapatannya akibat datangnya pandemi ini. Kami sebagai orang miskin sangat bangga kepada para pejabat atau pemimpin di pemerintahan. 

Terlepas dari peran pemerintah yang sangat lamban itu, timbul pertanyaan dalam benak saya: apa yang sudah kita lakukan untuk memperingan beban sesama? Sebab banyak yang pada akhirnya tidak bisa bekerja, berkurang penghasilannya, dan masih banyak lagi. Daripada menunggu pemerintah bekerja yang sangat lamban, lebih baik kita bertindak sekarang juga. Bagaimana cara mudah untuk melawan pandemi korona ini? Jawabannya: membantu sesama!

Namun demikian, saya memperhatikan di linimasa media sosial, ada banyak yang takabbur atau sombong atau membesar-besarkan diri karena merasa sudah berbuat untuk sesama. Apa yang membuat saya berani mengatakan itu? Di media sosial, saya seringkali melihat atau membaca keterangan (caption) foto yang berbunyi: "Kami keluar untuk kalian, kalian #dirumahaja untuk kami."

Kalimat sederhana itu sungguh, bagi saya, masuk ke dalam kriteria takabbur atau membesar-besarkan diri. Sombong. Merasa diri sudah berbuat, merasa diri sudah membantu sesama, merasa diri lebih hebat daripada yang hanya rebahan di rumah saja. Padahal apa sih yang diperbuat? Paling-paling hanya penyemprotan disinfektan. Tapi ya bagus sih, daripada tidak sama sekali. 

Sahabatku yang baik, mari kita berbuat tanpa pamrih, tanpa imbalan, tanpa meminta orang lain untuk mengapresiasi kita bahwa kita sudah berbuat dan sudah sangat heroik sekali. Jangan sampai terbersit sedikit pun di benak dan hati kita untuk merasa seperti itu. Bagi saya, kemuliaan membantu sesama akan seketika runtuh jika ada sedikit saja kesombongan di dalam hati. 

Menjadi saleh virtual, baik. Mengajak orang untuk sama-sama bahu-membahu agar mau saling membantu, itu mulia sekali. Mengimbau orang-orang, melalui media sosial, untuk melangitkan doa; membaca salawat; dan meminta kepada Allah dengan berbagai cara; agar pandemi ini segera berakhir, itu sangat mulia sekali. 

Tapi awas, meminjam istilah Imam Ghazali, tentara iblis sedang mengintai kekuasaan tentara malaikat yang tengah bercokol di hati. Kalau pada akhirnya tentara iblis itu berhasil menduduki kekuasaan di singgasana hati atau kalbu manusia, maka sikap sombong dan membesar-besarkan diri yang akan ditampakkan di permukaan. 

Saya pribadi, tentu saja mengapresiasi pihak yang membantu sesama dalam melawan korona seperti sekarang ini. Tapi sekali lagi, saya mengingatkan agar jangan sampai ada secuil kesombongan yang merajai hati. Sebab akan dengan seketika menghancurkan kemuliaan yang telah kita bangun selama ini. 

So, kalimat: kami keluar untuk kalian, kalian #dirumahaja itu bukan kalimat yang tepat diutarakan. Itu penuh dengan kesombongan. Toh, dari dalam rumah juga bisa kok berbuat baik. Contohnya adalah Mas Ulil Abshar Abdalla bersama istrinya, Mbak Admin Ienas Tsuroiya. Melalui siaran langsung di facebook, kemarin, mereka mengajak pengikut dan teman-temannya untuk berkontribusi dalam soal perbuatan mulia yang dilakukan, yaitu "Lelang Amal". 

Lelang amal itu, dilakukan dari rumah. Apa saja yang dilelang? Sila lihat postingan Ienas Tsuroiya. Untuk itu, saya ingin menyampaikan bahwa dari rumah pun kita masih berbuat, masih bisa berbuat untuk kemanusiaan, tanpa menunggu pemerintah yang berbuat sangat lamban itu.

Jadi, berhentilah untuk takabbur. Silakan melakukan panjat sosial (pansos) dengan pandemi korona ini, tapi jangan ada lagi kalimat di atas itu yang tertulis (dalam foto aksi narsis bakti sosial), "Kami keluar untuk kalian, kalian #dirumahaja ya." Berhenti untuk mengucapkan itu. Bekerja untuk kemanusiaan haruslah ditempatkan di ruang sunyi. Ditempatkan di dalam ruang yang tidak ramai dan dipenuhi oleh kesombongan. 

Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan agar mampu untuk berbuat sesuatu dalam melawan korona ini, tapi tanpa merasa diri yang paling heroik, tanpa merasa diri yang paling sudah berbuat, dan tanpa merasa diri yang paling berjasa. Nauzubillah. Mari kita berlindung kepada Allah agar dihindari dari kesombongan-kesombongan itu. 


Wallahua'lam...