Jumat, 10 April 2020

JUMATAN: Sukacita Menyambut Ramadan di Tengah Pandemi Korona


Ilustrasi. Sumber: birminghammail.co.uk

Selamat Jumat. Semoga segala tindak-tanduk dan laku-lampah kita senantiasa mendapat berkah serta rahmat. Kepada saudaraku, umat Kristiani, saya mengucapkan selamat menyambut Paskah. Selamat beribadah di Jumat Agung, Sabtu Suci, hingga Minggu Paskah nanti. 

Saya titip doa, agar pandemi korona segera berlalu. Titip doa pula agar Tuhan memanjangkan usia kemanusiaan di negeri ini. Sehingga kita dapat selalu berbuat untuk mengobati, menguatkan, serta menyehatkan tubuh bersama kita, bernama: Indonesia. 

Kita semua tahu, korona menyulitkan banyak hal. Mempersempit ruang gerak dan jarak kita, bahkan memperkecil labirin pertemuan agar tidak banyak orang berkerumun. Ruang-ruang sunyi, kini kita dapati. Lorong penuh gelap, menjenuhkan, dan membosankan, kita temui setiap hari. 

Namun korona menyadarkan kita semua bahwa harta, jabatan, kekayaan, anggota keluarga, bahkan diri kita sendiri, bukan sama sekali milik kita. Semua hal di dunia ini, sekecil apa pun, termasuk korona itu sendiri, adalah milik Allah yang harus kita akui keberadaannya. Tidak ada yang Ada kecuali Allah. Maka, korona itu sesungguhnya adalah manifestasi dari eksistensi Allah. 

Korona menjadi teguran bagi kita yang selama ini lalai. Korona menjadi jembatan atau washilah bagi Allah untuk mengingatkan kita bahwa selama ini, terdapat banyak dosa yang membuat kita jauh dari-Nya. Bahkan, lantaran perkara dunia yang fana, kita rela meninggalkan-Nya. 

Kini, saat rumah ibadah yang berpotensi menimbulkan kerumunan itu ditutup, kita lantas bersedih. Apa sebab? Tak bisa berkunjung dan menemui Tuhan di rumah-Nya. Inilah kalimat klise dari mulut sang munafik. Bukankah Tuhan bisa ditemui di sudut-sudut terkecil, di ruang-ruang gelap, dan di lorong pengap yang tak banyak dikunjungi oleh eksistensi manusia?

Barangkali, korona menjadi momentum penghapusan kemunafikan yang kerap terjadi di rumah ibadah. Di pengimaman, di altar-altar, di ruang ibadah, kita sering saksikan betapa ibadah kepada Tuhan menjadi sarana untuk meningkatkan derajat citra diri di hadapan manusia. Mungkin, inilah cara Tuhan agar tidak ada lagi kemunafikan di dalam ruang suci yang nama-Nya disebut-sebut berkali-kali tak berbilang.

Semua orang bersedih karena korona. Apa yang membuat sedih? Tak lain, karena aktivitas duniawi menjadi tersendat dan terhambat. Sementara orang-orang yang teguh dalam iman, merasa sangat bahagia, karena dapat menemui Tuhan tanpa ada sedikit pun gangguan eksistensi dan narsisme yang biasa berkerumun di ruang-ruang suci rumah ibadah.

Lalu bagaimana Ramadan di tengah pandemi korona?

Saya menyambutnya dengan sukacita. Biarlah korona ada hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan: sebagaimana bunyi kalimat retoris yang keluar dari mulut para pejabat dan tokoh publik. Biar selama Ramadan ini, orang-orang tetap dibuat takut oleh korona. Biarkan masjid sepi, agar tidak ada bunyi tadarus Al-Quran dari corong toa yang membuat berisik malam hari, padahal mungkin saja niat dalam hati bermaksud sombong karena ingin menunjukkan kelihaian membaca Al-Quran.

Panti asuhan, rumah yatim, dan asrama dhuafa, juga biarkan saja sepi. Toh, sebagian besar anak yatim dan dhuafa di dalamnya hanya dikapitalisasi agar mendapat keuntungan semata. Lebih-lebih juga dikapitalisasi untuk kepentingan elektabilitas dan popularitas. Ramadan menjadi seksi, untuk orang-orang kaya dan kelompok masyarakat menengah atas, untuk membuat citra diri seolah baik terhadap sesama. Padahal yang ditampakkan adalah ibadah yang penuh dengan riya' dan kesombongan. Tujuannya bukan Tuhan, tetapi yang lain. Nauzubillah.

Ramadan tahun ini menjadi ajang untuk berkontemplasi, introspeksi, dan menginsyafi diri. Berapa banyak dosa yang dilakukan atas nama agama? Berapa banyak ibadah yang tak bernilai pahala karena ada secuil kesombongan dan keangkuhan di dalam hati? Berapa banyak pula kemunafikan yang timbul akibat diri ini ingin tampak sebagai ahli agama? Berapa banyak kita berbuat baik yang benar-benar tulus karena Tuhan?

Jika Ramadan tahun ini kita jadikan sebagai ajang penginsyafan diri, saya yakin, di Idulfitri nanti, bumi kita menjadi sangat sejuk oleh kebeningan hati dan jiwa. Langit akan menjadi cerah karena tak ada lagi dosa dan kemunafikan yang menggumpal menjadi awan hitam. Laut juga akan tenang, karena tidak lagi tergesa-gesa ingin menumpahkan air bah lantaran dibuat kesal oleh kemaksiatan berbalut agama yang kerap dilakukan oleh kita. 

Alam raya turut berbahagia, menyambut sukacita terhapusnya segala berhala yang selama ini menjadi penghalang kita dengan Tuhan. Berhala itu bernama: eksistensi dan narsisme. Korona di bulan Ramadan nanti, semoga menjadi penghapus segala maksiat, dosa, dan salah kita kepada-Nya selama ini. 

Ramadan tahun ini akan diisi dengan mempertebal ruang keluarga. Tarawih berjamaah dengan keluarga, misalnya, juga tadarus Al-Quran dengan keluarga. Sebuah momentum penting yang harus terus dilakukan. Dimulai dari keluarga. Sebab, peradaban negeri yang baik, pasti dimulai dari ikatan keluarga yang harmonis. 

Inilah hikmah yang bisa kita petik. Selamat menyambut Ramadan di tengah pandemi korona. 
Previous Post
Next Post

0 komentar: