|
Vino G Bastian berperan sebagai Wiro Sableng. Sumber: kincir.com |
Film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Geni 212, diangkat dari serial novel karya Bastian Tito yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan distrudarai oleh Angga Dwimas Sasongko memiliki banyak nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Generasi yang lahir di era 1990-an tentu sudah tidak asing lagi dengan Wiro Sableng. Sosok pendekar kocak tapi sakti, mampu membuat penonton berkali-kali terperangah takjub dibuatnya. Kamis (20/9) malam, saya berkesempatan menyaksikan drama action yang dibalut dengan adegan-adegan komedi itu.
Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan menuliskan secara keseluruhan yang terdapat di setiap adegan film tersebut. Hanya beberapa hal saja yang akan saya paparkan sebagai pembelajaran untuk menghadapi kenyataan di dunia ini.
Sinto Gendeng, ketika muda, memiliki murid bernama Mahesa Birawa. Sejak kecil Mahesa dididik untuk menjadi pendekar di kemudian hari. Tujuannya agar negeri Nusantara di abad ke-16 itu dapat berkehidupan dengan aman dan tenteram.
Belum tuntas dikader oleh sang guru, Mahesa berkhianat. Setelah diiming-imingi akan mendapatkan kapak sakti, sebagai murid, Mahesa Birawa melakukan gerakan perlawanan. Ia menginginkan kesaktian dengan tanpa melalui proses kaderisasi yang utuh.
Alhasil, gurunya yang telah mendidik sejak kecil itu dilawan tanpa ampun. Akan tetapi, Sinto Gendeng juga tidak membiarkan hal itu terjadi. Saat Sinto mengetahui kapak saktinya dicuri Mahesa, ia tak tinggal diam.
“Saya mengambil apa yang telah menjadi hak saya,” kurang lebih seperti itu yang diungkapkan Mahesa kepada gurunya. Kemudian perkelahian tak terhindarkan. Mahesa kalah. Ia diusir dari tempat singgasana Sinto Gendeng, di hutan yang ada di Gunung Gede.
Di lain waktu dan lokasi berbeda, ternyata Mahesa Birawa telah menjadi pendekar ulung yang memiliki basis massa yang cukup banyak. Misi Mahesa adalah makar terhadap kerajaan yang sah, agar ia bisa menduduki singgasana raja. Dua orang pasukan Mahesa ditugaskan untuk menjadi mata-mata di dalam istana.
Rupanya, Raja sedang dalam keadaan gelisah. Sebab, putra mahkota yang nantinya akan menggantikan posisinya sebagai pimpinan tertinggi di Nusantara sedang diajak berkeliling oleh Rara Murni; adik perempuan raja. Alasannya agar sang pangeran itu dapat bersentuhan langsung dengan rakyat. Bahasa kekiniannya adalah: blusukan.
Mendengar kabar bahwa pangeran sedang berkelana di luar. Mahesa tidak tinggal diam. Ia bersama pasukannya membombardir seisi negeri untuk mencari dimana gerangan putra mahkota raja itu berada. Salah satu upaya Mahesa adalah membunuh dan menindas rakyat.
Suatu ketika, ia menghabisi satu keluarga kecil nan miskin di sebuah desa. Jatiwalu namanya. Sepasang suami istri dibunuh tanpa ampun. Di dalam rumah bilik yang dihancurkan Mahesa, ternyata ada sesosok anak kecil yang tak tahan melihat kedua orangtuanya dihabisi tanpa sebab yang pasti. Bocah kecil itu bernama Wira Sasana.
Bukan Mahesa namanya jika memiliki kehalusan budi. Wira, si bocah yang tidak tahu apa-apa itu, diangkat dan dilemparkan ke dalam kobaran api yang sedang membakar rumah bilik itu. Takdir berkata lain, saat Wira melayang di udara, ada sesosok nenek yang menyelamatkannya. Itulah Sinto Gendeng.
Sinto kemudian membawa Wira melayang di udara dan ditempatkan di kediamannya; di hutan belantara yang ada di Gunung Gede. Saat siuman, Wira sangat erat menggenggam tangan Sinto. Dari bahasa isyarat itu, Wira kecil seperti mengucapkan terima kasih kepada Sinto karena telah menyelamatkan nyawanya dari kejahatan Mahesa Birawa, murid Sinto Gendeng yang berkhianat.
Sejak itu, Wira dididik secara intens oleh Sinto. Berjalan membawa beban berat, diberi teori sekaligus praktik bersilat dengan baik, hingga cara melumpuhkan musuh dalam sekali jurus. Selama 17 tahun, Wira dididik. Hingga pada akhirnya, Sinto benar-benar yakin bahwa Wira-lah anak didik teladan yang mampu menjadi pendekar ulung di negeri Nusantara.
Di bawah sinar rembulan yang sedang purnama, usai latihan berkelahi dengan Wira, Sinto menyenandungkan kalimat-kalimat serupa syi’ir kebersyukuran dan harapannya. Malam itulah yang dianggap sebagai momentum tepat untuk memberikan segala sesuatu kepada Wira.
Mendengar suara Sinto, Wira terbangun dalam keadaan sudah mengenakan kostum pendekar berwarna putih. Ia bangun dari mimpi buruk yang menghadirkan peristiwa menakutkan sewaktu kecil. Yakni terbunuhnya kedua orangtua yang sangat dicintai di tangan orang tak dikenal.
Dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh dan raut wajah ketakutan, ia terbangun dan mendapati dada dan telapak tangan sebelah kanan bertuliskan 212. Wira keluar, menghampiri Sinto. Di sanalah dialog tercipta.
Sinto memaparkan segala maksud yang selama ini ia lakukan kepada Wira. Termasuk menjelaskan makna 212. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ujung pangkalnya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Semua akan melebur (manunggal) ke dalam kuasa-Nya. Angka satu di tiga digit nomor sakti itu melambangkan bahwa Tuhan selalu ada bersama makhluk alam semesta.
“Angka 212 memiliki makna di dalam kehidupan. Dalam diri manusia terdapat dua unsur, ingat duniawi dan Tuhan. Segala yang ada di dalam dunia ini terdiri atas dua bagian, yang berlainan namun merupakan pasangan. Semuanya tak dapat terpisahkan,” demikian kalimat yang terlontar dari Sinto Gendeng kepada murid kesayangannya. Kalimat itu adalah bait yang terdapat dalam lagu yang dipopulerkan Bondan Prakoso.
Dari situ kemudian, kapak 212 diberikan kepada Wira yang diberi nama tambahan: Sableng. Namun, Wira Sableng tidak mudah pula mendapatkan kapak sakti tersebut. Ia harus berkelahi terlebih dulu untuk merebutnya dari Sinto Gendeng.
Sinto akhirnya mempersilakan Wira untuk ke luar. Merasakan dunia luar yang sesungguhnya. Setelah diceritakan tentang Mahesa Birawa yang berkhianat kepada sang guru, Wira berkata: “Aku akan membawa Mahesa Birawa kembali ke tempat ini”.
Singkat cerita, pada akhirnya Wira Sableng bersama kedua pendekar lainnya, mampu melumpuhkan Mahesa Birawa dan mengembalikan kerajaan beserta seisi negeri ke dalam keadaan seperti sediakala. Damai dan tenteram.
Sekali lagi, saya tidak akan menceritakan secara keseluruhan isi dalam film itu. Biar selebihnya, saksikan sendiri di bioskop-bioskop terdekat. Namun, dari narasi di atas saya dapat simpulkan beberapa hal.
Pertama, mari kita soroti sosok Sinto Gendeng. Sosok guru seperti inilah yang mesti dicari dan diteladani. Meski beberapa kali, dalam pengajaran dan pembelajarannya, ia kerap bercanda dan terkesan tidak serius, tapi sesungguhnya ia tulus dalam memberikan seluruh ilmu dan kemampuan yang dimiliki.
Kedua, dalam pengajaran dan pembelajarannya, Sinto Gendeng tidak menafikan Tuhan sebagai bagian terpenting dari segala hal yang ada di alam raya. Semuanya akan kembali atau bermuara pada Tuhan. Maka, hendaklah dalam kehidupan selalu melibatkan Tuhan agar senantiasa dilindungi. Ilmu, dalam hal ini silat, hanya menjadi perantara. Sedangkan tujuannya adalah dharma yang berujung-pangkal pada Keesaan Tuhan.
Ketiga, tokoh antagonis Mahesa Birawa. Ia seorang pembangkang. Murid yang berkhianat kepada gurunya sendiri, melawan, dan tidak patuh terhadap ketetapan yang telah digariskan akan musnah dengan kehancurannya. Meskipun ilmu sudah didapat, tapi jika tidak melampaui kaderisasi hingga tuntas, ia akan dihancurkan oleh kesombongan yang terpancar dari kegelapan dan kepekatan hatinya sendiri.
Keempat, sang peran utama dalam film Wira Sableng. Ia sosok yang patuh, tangguh, dan mematuhi aturan main yang telah ditetapkan sang guru. Akhirnya, gelar pendekar didapatkannya setelah melewati berbagai tahap yang melelahkan. Seperti itulah Wira Sableng mengajarkan kepada kita bahwa hasil yang akan diperoleh kemudian hari bergantung pada proses yang dilaluinya. Bahwa semakin berat proses yang ditempuh, niscaya akan membuahkan hasil yang memuaskan di masa mendatang.
Kelima, kita seperti disadarkan bahwa kezaliman pasti bakal musnah dengan jiwa-jiwa yang tulus, suci, dan dharma. Siapa yang berani melawan kezaliman, meski hingga berlumur darah, niscaya akan mendapatkan berbagai kebaikan dan keberhasilan di muka bumi dan di alam setelah kematian.
Demikianlah pemaknaan saya atas Film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Sinto Gendeng adalah pencetak kader terbaik bernama Wira Sableng. Sehingga Wira Sableng akhirnya menjadi pendekar sejati. Meskipun slengean, tapi ia cinta damai. Segala macam kejahatan di muka bumi, pasti dibasmi!
Hehehe muridnya Sableng? Gurunya Gendeng...
Wallahu’alam...