Kamis, 27 September 2018

Teruntuk PP IPNU: Mundur dari Jabatan adalah Kemuliaan, Bagaimana?


Logo IPNU. Sumber: ipnu.or.id

Menyedihkan. Barangkali itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) saat ini. Bagaimana tidak, beberapa orang yang menjadi bagian dari kepengurusan IPNU di tingkat pusat, terdaftar sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) pada 2019 mendatang.

Diantaranya adalah Ketua Umum PP IPNU Asep Irfan Mujahid, Sekretaris Umum Hadison Usmar, dan Bendahara Umum Muhammad Iksan Saruna. Secara organisasi, yang dilakukan "oknum" tersebut jelas mencederai aturan main yang telah ditetapkan.

Kalau pun ingin taat organisasi, maka mereka harus mundur dari jabatannya. Sebab jika tidak, maka akan berimbas buruk pada kerja-kerja organisasi. Mereka seperti memberikan contoh buruk kepada para kader dan pengurus IPNU di tingkat wilayah maupun di level cabang.

Asumsi yang bakal berkembang, sebagai imbas dari perbuatan yang tidak menaati aturan organisasi itu adalah bahwa berpolitik praktis menjadi hal yang wajar sekalipun sedang berperan sebagai pengurus IPNU. Bahkan parahnya, ke depan, IPNU akan dicap sebagai organisasi sayap partai. Atau bisa saja, IPNU ini disebut-sebut sebagai batu loncatan untuk terjun ke politik praktis.

Dampak-dampak buruk itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan sebelum terjun payung ke ranah politik praktis. Identitas organisasi menjadi rusak. Marwah, kehormatan, martabat, dan kemuliaan IPNU tak lagi dihiraukan mereka, sehingga organisasi pengkaderan paling awal di tubuh NU ini kian tak jelas arah.

Sekalipun arah itu kentara, maka tentu mengarah pada pergerakan politik praktis. Hal ini jelas sudah melenceng dari tujuan awal IPNU didirikan. Para kader dan pengurus IPNU di tingkat lokal, tentu sangat kecewa mendengar kabar buruk ini. Terlebih mereka yang benar-benar tulus memberikan jiwa raganya untuk membesarkan nama IPNU di daerah masing-masing.

Bagi saya, para pengurus yang tulus (tanpa kepentingan taktis apa pun) mengurusi IPNU harus lantang menyuarakan kebenaran. Ini menjadi bagian dari qulil haq walau kaana murron. Kebenaran harus diungkap, sekalipun pahit dirasa. Perbuatan yang dilakukan para elit PP IPNU itu merupakan bentuk kezaliman, maka diam adalah perbuatan yang lebih zalim.

Suara-suara yang lantang itu haruslah dijadikan sebagai ajang untuk introspeksi, kemudian memperbaiki organisasi. Sedangkan untuk memperbaiki organisasi IPNU, agar IPNU tidak terluka semakin parah, maka mereka yang nyaleg itu harus mundur dari jabatannya. Sebagaimana yang tertuang dalam PD/PRT IPNU hasil Kongres Boyolali, beberapa tahun lalu.

Sebagaimana dilansir antaranews.com, Ketua PP IPNU Amizar Isma dalam keterangan tertulis, menyebutkan bahwa elit IPNU harus meneladani KH Ma'ruf Amin yang mundur dari jabatan Rais 'Aam ketika resmi ditetapkan sebagai cawapres mendampingi presiden petahana. 

PP IPNU itu merupakan cerminan dari PBNU di level pelajar. Maka sudah sepantasnya, mereka mencontoh sikap bijak yang dilakukan Kiai Ma'ruf. Pengunduran diri sangat perlu agar pengurus bisa berkonsentrasi dengan tugas-tugas untuk membesarkan organisasi. Sebab pencalegan membutuhkan konsentrasi yang lebih besar.

Imbasnya, para caleg dari PP IPNU itu akan sulit berkonsentrasi pada dua tugas yang berbeda. Jabatan-jabatan organisasi harus dilepas saat mereka melaju dalam politik praktis. Dengan demikian, jika aturan organisasi dipatuhi, pengkhianatan terhadap organisasi tidak akan terjadi. Dan IPNU tidak tercoreng karena ulah ketidakpatuhan para elitnya.

Langkah organisasi IPNU jelas terganggu. Sebab, para sosok yang semestinya menjadi teladan itu tidak mencontohkan bagaimana berorganisasi dengan baik. Karenanya, pengunduran mereka yang maju di Pileg 2019 dari jabatan di IPNU, akan membuat organisasi kian solid.

Lantas, apakah kegaduhan para kader di bawah, seperti yang saya lakukan ini adalah ujaran kebencian? Atau bisakah tulisan ini dinilai dan dianggap sebagai upaya merusak nama baik IPNU? Kalau begitu, mari introspeksi. Siapa yang sebenarnya mengkhianati amanat organisasi, melanggar sumpah, dan menjadikan citra IPNU hancur?

Maka sesungguhnya, mundur dari jabatan adalah kemuliaan, rekan. Bagaimana?


Aru Elgete
Ketua PAC IPNU Kecamatan Bekasi Utara

Senin, 24 September 2018

Pengurus IPNU Berpolitik Praktis, Pilih Mundur atau Diberhentikan?


Sumber gambar: jabarnews.com


Tahun politik kali ini sangat seru, sekaligus menyedihkan. Seru, karena kita dapat melihat anak-anak muda dengan wajah baru tampil di muka untuk mendapatkan kursi legislatif. Menjadi anggota dewan, nampaknya merupakan sebuah prestise yang patut dibanggakan. Mengangkat status sosial di lingkungan masyarakat seraya dengan pongah mengangkat kepala tanda jemawa.

Sedangkan hal yang menjadi kesedihan adalah karena banyaknya kader muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mencoba peruntungan di ranah politik. Belakangan ini, NU memang sedang naik daun lantaran pimpinan tertingginya, KH Ma’ruf Amin, menjadi pendamping dari presiden petahana di Pilpres 2019.

Karena dirasa mendapat tugas yang lebih besar lagi, Kiai Ma’ruf akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Rais ‘Aam PBNU. Kita sudah selayaknya mengapresiasi langkah bijak cicit dari Syaikh Nawawi Al-Bantani itu. Ia rela mundur dari jabatan tertinggi ormas Islam terbesar di Indonesia, demi mewakafkan diri untuk negeri ini.

Namun, langkah Kiai Ma’ruf terjun ke politik praktis membuat seluruh generasi muda NU menjadi centil dan ganjen. Terutama organisasi badan otonom NU yang paling bawah, yakni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Banyak kader IPNU yang “ikut-ikutan” mencemplungkan diri ke kubangan politik praktis.

Kalau Kiai Ma’ruf bersedia menjadi cawapres karena semata-mata karena kecintaannya pada negeri, lantas apa yang melatarbelakangi kader atau bahkan pengurus IPNU yang terjun payung ke gedung DPRD masing-masing daerahnya? Jawabannya pasti hanya untuk keren-kerenan. Iya kan?

Dari mulai Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Cabang (PC) di kabupaten/kota, saya yakin banyak caleg karbitan yang unyu-unyu. Menurut saya, mereka jelas bangga karena merasa akan menjadi elit yang bakal dihormati banyak orang. Ini sungguh menggelikan.

Padahal cita-cita IPNU didirikan bukan sebagai wadah pembentukan calon kasta elit dalam masyarakat. Melainkan untuk membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat. Kurang lebih seperti itu yang diungkapkan Pendiri IPNU, KH Tholhah Mansur dalam Muktamar IV IPNU di Yogyakarta tahun 1961.

Jika para pengurus dan kader IPNU yang menjadi caleg itu beranggapan bahwa dirinya merupakan manusia berilmu dan akan dekat dengan masyarakat setelah menjadi anggota dewan nanti, maka asumsi itu sangat jelas tak berdasar.

IPNU semestinya membentuk karakter pelajar agar menjadi generasi yang cemerlang di kemudian hari, menjadi generasi yang tidak haus kekuasaan, tidak centil dan ganjen untuk bersyahwat di dalam lingkaran politik praktis.

Lagi pula, berilmukah sebagai pengurus organisasi jika melanggar konstitusi organisasi yang telah disepakati bersama? Mari kita bedah Peraturan Rumah Tangga (PRT) hasil dari Kongres IPNU XVIII di Boyolali, Jawa Tengah.


PRT IPNU. Silakan baca dan pahami.

Di dalam PRT BAB XI dimaktubkan aturan main soal rangkap jabatan. Khususnya di Pasal 25 yang berbunyi: (1) Pengurus dilarang melibatkan diri dan/atau melibatkan organisasi dalam kegiatan politik praktis. (2) Bagi pengurus yang mengikuti kegiatan politik atau mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, diwajibkan untuk mundur. (3) Jika ayat (2) tidak terpenuhi, maka pengurus tersebut dapat diberhentikan oleh pengurus yang bersangkutan atau tingkat kepengurusan diatasnya. (4) Pengisian kekosongan jabatan akibat pemberlakuan ayat (3) dilakukan dengan mekanisme yang berlaku.

Semuanya sudah jelas. Mulai dari tingkatan pusat hingga cabang, jika kedapatan pengurus yang melibatkan diri ke dalam kegiatan politik praktis, maka diwajibkan mundur. Apabila tidak mundur, maka harus diberhentikan. Kalau tidak mau mundur dan tidak bersedia diberhentikan, lantas untuk apa ada organisasi bernama IPNU dengan peraturan-peraturannya yang telah ditetapkan secara musyawarah mufakat?

Kalau tidak suka dengan tulisan ini, sila siapkan waktu dan tempat untuk kopdar dengan kesediannya diangkat pembicaraannya di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Atau minimal, kalau tidak suka dengan tulisan ini, bikin tulisan tandingan.

Gitu saja kok repot. Mau mundur atau diberhentikan? Pilih salah satu dong. Biar marwah IPNU tetap terjaga. Kalau tidak pilih keduanya, maka sekali lagi saya tanya: untuk apa ada organisasi bernama IPNU? Atau jangan-jangan hanya untuk batu loncatan menuju berbagai hal yang lain, yang lebih menarik, dan lebih menguntungkan diri secara praktis? KH Ma'ruf Amin saja mundur dari jabatan di NU. Ini kok pengurus IPNU tidak mencontoh.

Kalau begitu, mari bersama-sama kita doakan KH Tholhah Mansur agar tenang di alam sana. Al-Fatihah...



Aru Elgete


Wakil Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi

Jumat, 21 September 2018

Sinto Gendeng, Pencetak Kader Terbaik Bernama Wiro Sableng


Vino G Bastian berperan sebagai Wiro Sableng. Sumber: kincir.com

Film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Geni 212, diangkat dari serial novel karya Bastian Tito yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan distrudarai oleh Angga Dwimas Sasongko memiliki banyak nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya.


Generasi yang lahir di era 1990-an tentu sudah tidak asing lagi dengan Wiro Sableng. Sosok pendekar kocak tapi sakti, mampu membuat penonton berkali-kali terperangah takjub dibuatnya. Kamis (20/9) malam, saya berkesempatan menyaksikan drama action yang dibalut dengan adegan-adegan komedi itu.

Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan menuliskan secara keseluruhan yang terdapat di setiap adegan film tersebut. Hanya beberapa hal saja yang akan saya paparkan sebagai pembelajaran untuk menghadapi kenyataan di dunia ini.

Sinto Gendeng, ketika muda, memiliki murid bernama Mahesa Birawa. Sejak kecil Mahesa dididik untuk menjadi pendekar di kemudian hari. Tujuannya agar negeri Nusantara di abad ke-16 itu dapat berkehidupan dengan aman dan tenteram.

Belum tuntas dikader oleh sang guru, Mahesa berkhianat. Setelah diiming-imingi akan mendapatkan kapak sakti, sebagai murid, Mahesa Birawa melakukan gerakan perlawanan. Ia menginginkan kesaktian dengan tanpa melalui proses kaderisasi yang utuh.

Alhasil, gurunya yang telah mendidik sejak kecil itu dilawan tanpa ampun. Akan tetapi, Sinto Gendeng juga tidak membiarkan hal itu terjadi. Saat Sinto mengetahui kapak saktinya dicuri Mahesa, ia tak tinggal diam.

“Saya mengambil apa yang telah menjadi hak saya,” kurang lebih seperti itu yang diungkapkan Mahesa kepada gurunya. Kemudian perkelahian tak terhindarkan. Mahesa kalah. Ia diusir dari tempat singgasana Sinto Gendeng, di hutan yang ada di Gunung Gede.

Di lain waktu dan lokasi berbeda, ternyata Mahesa Birawa telah menjadi pendekar ulung yang memiliki basis massa yang cukup banyak. Misi Mahesa adalah makar terhadap kerajaan yang sah, agar ia bisa menduduki singgasana raja. Dua orang pasukan Mahesa ditugaskan untuk menjadi mata-mata di dalam istana.

Rupanya, Raja sedang dalam keadaan gelisah. Sebab, putra mahkota yang nantinya akan menggantikan posisinya sebagai pimpinan tertinggi di Nusantara sedang diajak berkeliling oleh Rara Murni; adik perempuan raja. Alasannya agar sang pangeran itu dapat bersentuhan langsung dengan rakyat. Bahasa kekiniannya adalah: blusukan.

Mendengar kabar bahwa pangeran sedang berkelana di luar. Mahesa tidak tinggal diam. Ia bersama pasukannya membombardir seisi negeri untuk mencari dimana gerangan putra mahkota raja itu berada. Salah satu upaya Mahesa adalah membunuh dan menindas rakyat.

Suatu ketika, ia menghabisi satu keluarga kecil nan miskin di sebuah desa. Jatiwalu namanya. Sepasang suami istri dibunuh tanpa ampun. Di dalam rumah bilik yang dihancurkan Mahesa, ternyata ada sesosok anak kecil yang tak tahan melihat kedua orangtuanya dihabisi tanpa sebab yang pasti. Bocah kecil itu bernama Wira Sasana.

Bukan Mahesa namanya jika memiliki kehalusan budi. Wira, si bocah yang tidak tahu apa-apa itu, diangkat dan dilemparkan ke dalam kobaran api yang sedang membakar rumah bilik itu. Takdir berkata lain, saat Wira melayang di udara, ada sesosok nenek yang menyelamatkannya. Itulah Sinto Gendeng.

Sinto kemudian membawa Wira melayang di udara dan ditempatkan di kediamannya; di hutan belantara yang ada di Gunung Gede. Saat siuman, Wira sangat erat menggenggam tangan Sinto. Dari bahasa isyarat itu, Wira kecil seperti mengucapkan terima kasih kepada Sinto karena telah menyelamatkan nyawanya dari kejahatan Mahesa Birawa, murid Sinto Gendeng yang berkhianat.

Sejak itu, Wira dididik secara intens oleh Sinto. Berjalan membawa beban berat, diberi teori sekaligus praktik bersilat dengan baik, hingga cara melumpuhkan musuh dalam sekali jurus. Selama 17 tahun, Wira dididik. Hingga pada akhirnya, Sinto benar-benar yakin bahwa Wira-lah anak didik teladan yang mampu menjadi pendekar ulung di negeri Nusantara.

Di bawah sinar rembulan yang sedang purnama, usai latihan berkelahi dengan Wira, Sinto menyenandungkan kalimat-kalimat serupa syi’ir kebersyukuran dan harapannya. Malam itulah yang dianggap sebagai momentum tepat untuk memberikan segala sesuatu kepada Wira.

Mendengar suara Sinto, Wira terbangun dalam keadaan sudah mengenakan kostum pendekar berwarna putih. Ia bangun dari mimpi buruk yang menghadirkan peristiwa menakutkan sewaktu kecil. Yakni terbunuhnya kedua orangtua yang sangat dicintai di tangan orang tak dikenal.

Dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh dan raut wajah ketakutan, ia terbangun dan mendapati dada dan telapak tangan sebelah kanan bertuliskan 212. Wira keluar, menghampiri Sinto. Di sanalah dialog tercipta.

Sinto memaparkan segala maksud yang selama ini ia lakukan kepada Wira. Termasuk menjelaskan makna 212. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ujung pangkalnya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Semua akan melebur (manunggal) ke dalam kuasa-Nya. Angka satu di tiga digit nomor sakti itu melambangkan bahwa Tuhan selalu ada bersama makhluk alam semesta.

“Angka 212 memiliki makna di dalam kehidupan. Dalam diri manusia terdapat dua unsur, ingat duniawi dan Tuhan. Segala yang ada di dalam dunia ini terdiri atas dua bagian, yang berlainan namun merupakan pasangan. Semuanya tak dapat terpisahkan,” demikian kalimat yang terlontar dari Sinto Gendeng kepada murid kesayangannya. Kalimat itu adalah bait yang terdapat dalam lagu yang dipopulerkan Bondan Prakoso.

Dari situ kemudian, kapak 212 diberikan kepada Wira yang diberi nama tambahan: Sableng. Namun, Wira Sableng tidak mudah pula mendapatkan kapak sakti tersebut. Ia harus berkelahi terlebih dulu untuk merebutnya dari Sinto Gendeng.

Sinto akhirnya mempersilakan Wira untuk ke luar. Merasakan dunia luar yang sesungguhnya. Setelah diceritakan tentang Mahesa Birawa yang berkhianat kepada sang guru, Wira berkata: “Aku akan membawa Mahesa Birawa kembali ke tempat ini”.

Singkat cerita, pada akhirnya Wira Sableng bersama kedua pendekar lainnya, mampu melumpuhkan Mahesa Birawa dan mengembalikan kerajaan beserta seisi negeri ke dalam keadaan seperti sediakala. Damai dan tenteram.

Sekali lagi, saya tidak akan menceritakan secara keseluruhan isi dalam film itu. Biar selebihnya, saksikan sendiri di bioskop-bioskop terdekat. Namun, dari narasi di atas saya dapat simpulkan beberapa hal.

Pertama, mari kita soroti sosok Sinto Gendeng. Sosok guru seperti inilah yang mesti dicari dan diteladani. Meski beberapa kali, dalam pengajaran dan pembelajarannya, ia kerap bercanda dan terkesan tidak serius, tapi sesungguhnya ia tulus dalam memberikan seluruh ilmu dan kemampuan yang dimiliki.

Kedua, dalam pengajaran dan pembelajarannya, Sinto Gendeng tidak menafikan Tuhan sebagai bagian terpenting dari segala hal yang ada di alam raya. Semuanya akan kembali atau bermuara pada Tuhan. Maka, hendaklah dalam kehidupan selalu melibatkan Tuhan agar senantiasa dilindungi. Ilmu, dalam hal ini silat, hanya menjadi perantara. Sedangkan tujuannya adalah dharma yang berujung-pangkal pada Keesaan Tuhan.

Ketiga, tokoh antagonis Mahesa Birawa. Ia seorang pembangkang. Murid yang berkhianat kepada gurunya sendiri, melawan, dan tidak patuh terhadap ketetapan yang telah digariskan akan musnah dengan kehancurannya. Meskipun ilmu sudah didapat, tapi jika tidak melampaui kaderisasi hingga tuntas, ia akan dihancurkan oleh kesombongan yang terpancar dari kegelapan dan kepekatan hatinya sendiri.

Keempat, sang peran utama dalam film Wira Sableng. Ia sosok yang patuh, tangguh, dan mematuhi aturan main yang telah ditetapkan sang guru. Akhirnya, gelar pendekar didapatkannya setelah melewati berbagai tahap yang melelahkan. Seperti itulah Wira Sableng mengajarkan kepada kita bahwa hasil yang akan diperoleh kemudian hari bergantung pada proses yang dilaluinya. Bahwa semakin berat proses yang ditempuh, niscaya akan membuahkan hasil yang memuaskan di masa mendatang.

Kelima, kita seperti disadarkan bahwa kezaliman pasti bakal musnah dengan jiwa-jiwa yang tulus, suci, dan dharma. Siapa yang berani melawan kezaliman, meski hingga berlumur darah, niscaya akan mendapatkan berbagai kebaikan dan keberhasilan di muka bumi dan di alam setelah kematian.

Demikianlah pemaknaan saya atas Film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Sinto Gendeng adalah pencetak kader terbaik bernama Wira Sableng. Sehingga Wira Sableng akhirnya menjadi pendekar sejati. Meskipun slengean, tapi ia cinta damai. Segala macam kejahatan di muka bumi, pasti dibasmi!

Hehehe muridnya Sableng? Gurunya Gendeng...


Wallahu’alam...

Selasa, 18 September 2018

Kader NU Harus Kuasai Medsos




Akhir pekan lalu, pada Sabtu-Ahad, 15-16 September 2018, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota Bekasi mengadakan kegiatan kaderisasi, yakni Masa Kesetiaan Anggota (Makesta). Sekitar 48 peserta dari perwakilan sekolah dan pondok pesantren, mengikutinya.

Mereka diberi penguatan ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah, dan juga tentu saja pemahaman tentang ke-NU-an. Selain itu ada pula materi keindonesiaan sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.

Semua itu menjadi materi pokok dari pengkaderan tahap awal di tubuh IPNU dan IPPNU. Sebab, IPNU dan IPPNU adalah gerbang awal menjadi generasi penerus NU di ranah struktural. Mereka itulah yang nantinya meneruskan perjuangan para ulama NU di Jam’iyyah Diniyah Ijtima’iyah Nahdlotil Ulama.

Namun, yang lebih menarik dari kegiatan Makesta adalah diberikannya materi Jurnalistik dan cara bagaimana berselancar di media sosial dengan baik. Dewasa ini, di era milenial, dunia maya menjadi ujung tombak dari peperangan yang sesungguhnya.

Kita sudah tidak lagi berperang secara fisik dengan mengangkat pedang dan parang. Melainkan berperang melawan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan keindonesiaan.

NU, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, senantiasa memberikan pemahaman kepada seluruh kader, bahwa agama dan nasionalisme adalah dua hal yang saling menguatkan. Demikian-lah yang diungkapkan oleh KH Hasyim Asy’ari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.




Dari situlah kemudian, saya berkeinginan agar para kader NU ini mampu menguasai media sosial sebagai ruang dakwah yang nyata. Berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang kerap ditemui di dunia maya, harus segera dilawan agar tak merambah ke dunia nyata.

Karenanya, salah satu hal yang harus menjadi bekal untuk berselancar di media sosial adalah kemampuan dan keinginan untuk menulis. Kegiatan menulis harus terus digencarkan untuk kemudian mampu berselancar di media sosial, dengan membawa pesan kedamaian di sana.

Kunci utama menulis adalah membaca. Di hadapan para pelajar yang menjadi peserta Makesta, saya mengatakan bahwa perintah utama dalam Islam adalah membaca. Iqra bismirabbik. Setelah kalimat iqra, tidak ada kalimat penjelas perihal apa yang dibaca.

Hal tersebut sebagai tanda bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk membaca apa pun, tidak melulu membaca teks tulisan di buku. Melainkan kita harus cerdas pula membaca situasi, membaca kondisi, dan membaca peristiwa.

Seperti itulah yang menjadi kerja dari Jurnalis. Mencatat segala macam yang dilihat dan dirasa. Kemudian disajikan ke media sosial dengan sajian yang baik. Dengan begitu, maka jauhlah kader NU dari berita bohong maupun ujaran kebencian. Jauh, berarti tidak menjadi pelaku atau pun sebagai korban.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitu kata penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Jika jasad memiliki waktu untuk hidup di dunia, maka tulisan yang akan mengabadikan umur di keabadian. Raden Ajeng Kartini, misalnya, meski di dunia ia hanya hidup selama 25 tahun, tapi dengan tulisan-tulisan perlawanannya, ia mampu abadi dan dikenang sepanjang masa.



Maka sudah sepatutnya, kader NU mampu menulis berbagai kebaikan di dunia, sehingga bisa dengan bijak berselancar di media sosial. Sebab, media sosial adalah ruang atau wadah untuk berjuang dan berperang di era milenial. Karenanya, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan.


Menulislah agar abadi!

Sabtu, 15 September 2018

Selamat Jalan Pak Kiai, Engkaulah Cahaya Perubahan



KH Majduddin Busyrol Karim, sumber: akun instagram @buntetpesantren


Kaget bercampur sedih. Seperti itulah perasaan saya saat mendapat kabar bahwa KH Majduddin Busyrol Karim, Pengasuh Pondok Al-Hikmah K-1 Buntet Pesantren Cirebon wafat. Saya mendapat kabar dari Kang Najih Mubarok, putra beliau yang meneruskan perjuangan mengasuh santri di sana. Kiai Dud, demikian ulama kharismatik itu disapa, merupakan guru sekaligus orangtua saya selama empat tahun nyantri.

Ketika mendapat kabar duka tersebut, saya sedang berasyik-masyuk mendengar ceramah Kiai Muhammad Ainun Najib di Kenduri Cinta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Beberapa saat setelah itu, saya bergegas kembali ke Bekasi, ke Sekretariat IPNU Kota Bekasi untuk menuliskan kenangan berharga yang saya alami bersama Pak Kiai Dud.

Saya memang dikenal sebagai santri mbeling kala mondok di Buntet. Berbagai permasalahan kerap datang, bahkan saya hampiri, hingga kemelut batin seringkali hadir. Namun, tak jarang pula kelembutan Pak Kiai melunturkan hati saya yang hampir membeku. Kalimat yang dikemukakan beliau adalah nasihat yang penuh kelembutan, hingga siapa saja yang mendengarnya tak mungkin tidak luluh.

Saya nyantri di Buntet sejak 2009 hingga 2013. Sekitar tahun 2011, kenakalan saya memuncak. Pembaca yang santri, tentu paham bagaimana kenakalan-kenakalan santri semasa di pondok, maka saya tak perlu banyak ceritakan itu di dalam tulisan ini.

Ketika kenakalan saya tak terbendung, usai mengaji Al-Qur’an bakda magrib, Pak Kiai dengan suara yang sangat lembut, sebagai ciri khasnya, memanggil saya untuk masuk ke dalam kamarnya yang ada di pondok. Jujur, ada perasaan takut yang membatin. Namun, keyakinan saya terhadap kelembutan dan kesantuanan Pak Kiai, meruntuhkan berbagai rasa takut itu.

Saya duduk di lantai (seperti duduk diantara dua sujud) dengan wajah menunduk, sedangkan Pak Kiai lungguh di bangku yang ada di hadapan saya. Sedetik pun saya tak berani menatap wajah beliau yang bercahaya itu. Barangkali, seperti itu budaya takzim santri kepada kiai atau gurunya.

Satu hal yang menjadi ciri khas Pak Kiai setiap kali hendak mendudukkan tubuh adalah mengucap ‘Allahuakbar’ dengan sangat lirih, hampir tak terdengar. Dari situ kemudian saya berpikir bahwa Pak Kiai sesungguhnya sedang mengajarkan kepada santri betapa besarnya Allah dibanding kuasa manusia. ‘Allahuakbar’ berarti kalimat yang harus diucapkan sebagai bentuk pengakuan bahwa manusia kecil di hadapan Allah, bahwa manusia tak berdaya, hanya Allah-lah yang Maha Besar.

Di dalam ruangan itu, Pak Kiai memberi nasihat kepada saya. Beliau katakan, bahwa santri bakal memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan zaman, saat telah turun ke masyarakat. Maka, memperbaiki diri sejak dini harus dilakukan agar mampu menjadi orang yang memiliki derajat tinggi di tengah kehidupan di luar pesantren.

Pak Kiai kemudian mengelaborasi makna ayat Al-Qur’an, bahwa hanya ada dua golongan yang dijanjikan oleh Allah akan diangkat derajatnya. Yakni yang beriman kepada Allah dan orang-orang yang memiliki ilmu. Saya hanya mengangguk sembari mengucap ‘enggih’ sebagai pembenaran atas kalimat menyejukkan yang dilontarkan Pak Kiai.

Dari komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, yang dilakukan Pak Kiai itulah, hati saya tersentuh. Jiwa yang semula hampir kering, terbasahi kembali. Alam bawah sadar saya berkali-kali memerintahkan bibir untuk bergerak, dan lirih saya mengucap: astaghfirullah al-‘adzhim. Pak Kiai serupa malaikat yang sedang berupaya mempengaruhi pikiran untuk segera memperbaiki diri.

Sejak itu, saya seperti mendapat angin segar untuk menginsyafi diri, mengubah lelaku ke arah yang lebih baik. Minadzh-dzhulumati ilannur. Pak Kiai adalah cahaya kebaikan yang tetap terpatri dalam jiwa. Selamanya. Dan semenjak saya boyong dari Buntet, cahaya kelembutan itu seperti menjadi karib di sepanjang langkah yang berderap.

Kini, cahaya yang menjadi pelecut semangat untuk tetap melakukan peningkatan kebaikan itu, menjadi ruang tak terbatas. Cahaya itu menyatu dengan cahaya yang berada di atas cahaya. Ia bercampur, menyinari jiwa-jiwa yang juga tak memiliki batas.

Pak Kiai Dud, jasadnya telah diistirahatkan. Akan tetapi, lembut tutur katanya senantiasa melekat di telinga siapa saja yang pernah mendengar. Fisik Pak Kiai telah tiada, tapi ruhnya justru akan selalu setia menemani para santri. Kita mungkin merasa kehilangan sosok yang penuh dengan kesantunan, kala bersikap dan bertutur itu, tapi sungguh kita takkan pernah kehilangan. Bahkan justru akan semakin dekat dan lekat dengannya.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Kiai itu milik Allah, kini beliau telah kembali; berpulang dengan teriring doa yang tak berbatas. Allahuakbar, kalimat yang seringkali diperdengarkan Pak Kiai itulah yang saat ini telah mewujud. Bahwa kuasa dan kemahabesaran Allah melampaui segala hal.

Selamat jalan, Pak Kiai. Jasa besarmu sungguh tak bisa terhitung. Pak Kiai telah menjadi bagian dari perjuangan perubahan yang tetap terkenang selamanya di dalam hidup ini, menjadi pelita yang terus bersinar; menyinari kegelapan dan kepekatan dunia.

Al-Fatihah...


Jumat, 14 September 2018

Upaya Menjadi Jam'iyyah NU yang Kaffah




Silakan dibaca tulisan ini sembari santai, sembari tidur-tiduran, atau ngemil. Santai saja. Yang penting, dibaca hingga tuntas. Selamat membaca!

*****

Situasi politik nasional nampaknya kian memanas. Kemudian merambah ke berbagai lini kehidupan masyarakat, sehingga beberapa kali timbul ketegangan karena saling memiliki pandangan yang berbeda.

Politik memang terkadang dapat membunuh, bahkan mematikan. Namun, tak jarang pula ia berperan sebagai tokoh protagonis yang segala macam kebaikan melekat kepadanya.

Saat ini, beberapa bulan menuju pesta demokrasi besar-besaran bangsa Indonesia, politik pun memiliki peran tergantung dari mana kita melihatnya. Sebagai kader muda Nahdlatul Ulama (NU), saya tentu melihat dari sudut pandang NU.

Pasca dipinangnya pimpinan tertinggi ormas Islam terbesar di negeri ini, KH Ma’ruf Amin, kondisi NU bukan berarti tak goyah. Bahkan bisa dikatakan, terkoyak-koyak karena keberbedaan pandangan dan pilihan. Tapi, membicarakan seputar politik praktis lima tahunan hanya akan menjadi pepesan kosong belaka.

Di dalam tulisan ini, saya justru akan memaparkan sebuah gagasan tentang bagaimana menjadi pengurus NU yang baik, yang paripurna, dan yang kaffah. Atau minimal menjadi warga NU yang sesuai dengan koridor.

Sebab, NU laksana kereta api. Ia membawa banyak penumpang dari latar belakang yang berbeda. Karenanya, di dalam gerbong itu bakal terdapat pemikiran yang beragam. Namun jika salah seorang saja yang berani keluar jalur, ia akan musnah. Sedangkan NU tetap berjalan, NU tetap besar dengan kebesarannya sendiri.

NU didirikan atas dasar keresahan bersama para ulama dalam merespon kondisi sosial-politik di Hindia Belanda, ketika itu. Selain persoalan kebangsaan, berdirinya NU juga sebagai perjuangan melawan gerakan puritanisme dan fundamentalisme agama yang dianut golongan wahabi. Sedangkan perilaku keagamaan wahabi itulah yang kemudian mengancam tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Nusantara.

Karena itulah kemudian NU menjadi benteng dari gerakan wahabi yang puritan dan antitradisi itu. Para ulama lantas membentuk tim yang diberi nama Komite Hijaz, diketuai KH Wahab Chasbullah. Tim ini bertugas melakukan lobi dan negosiasi dengan Raja Arab yang melakukan persekusi terhadap para ulama yang tak sepaham, serta berencana menghancurkan beberapa situs bersejarah.

Dari situlah kemudian, kita bisa katakan bahwa mobilitas perjuangan para ulama terdahulu tidak berhenti pada persoalan kebangsaan, tetapi juga akidah. Para ulama, ketika itu, berupaya keras menjaga kemerdekaan bermadzhab di Tanah Hijaz (Mekah dan Madinah). Hal tersebut dilakukan karena Raja Ibnu Sa’ud dari Najed, berusaha melarang madzhab berkembang di sana.

Padahal sesungguhnya, kebebasan bermadzhab sudah berlangsung lama sehingga Hijaz menjadi salah satu tempat untuk menimba ilmu, terutama bagi umat Islam dari belahan dunia mana pun, termasuk Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani yang bermadzhab sunni-syafi’i.

Kemudian, perjuangan yang diinisiasi oleh Kiai Wahab Chasbullah itu menunjukkan bahwa ulama pesantren tidak hanya melakukan perjuangan di tingkat lokal saja, tetapi juga dalam skala internasional dengan melakukan upaya diplomasi global.

Sebab dalam melakukan perjuangan meneguhkan madzhab ini para kiai terdahulu, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Raden Asnawi Kudus serta beberapa tokoh pesantren lainnya, melihat bahwa warisan intelektual para ulama dalam ijtihadinya yang meniscayakan keberagaman madzhab harus tetap dipertahankan.

Dari secuplik sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa NU didirikan atas dasar kegelisahan memerdekakan diri dan pikiran. Secara fisik ditindas oleh penjajah, sedangkan secara pemikiran hampir dikerangkeng oleh kebijakan Raja Arab.

Artinya apa? Secara sederhana, saya berpikir bahwa menjadi kader NU berarti menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa atas kegaduhan situasi, baik politik atau sosial, dan tentu keagamaan.

Kita jelas tak bisa acuh dan bersikap cuek terhadap keadaan sekitar yang sedang atau akan berlangsung. Kader yang telah mengabdikan diri ke dalam jam’iyyah (organisasi), berarti memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat.

Akan berdosa apabila pengurus NU tidak memahami bagaimana gerak NU sebagai organisasi. Lebih diperparah jika pengurus tidak paham peran NU di masyarakat. Itulah alasan NU memiliki koridor-koridor tertentu.

Koridor-koridor itu adalah fikrah (pemikiran), harakah (pergerakan), dan amaliyah (perilaku), serta siyasah (strategi politik). Yang terakhir, sebagai kader NU, kita tentu sudah mafhum bahwa NU menganut siyasah wathoniyah, bukan siyasah hizbiyyah.

Nah, jika kader atau pengurus NU tidak paham hal tersebut maka jangan pula sembarangan mengeluarkan pernyataan yang justru akan memperkeruh suasana. Ketidaktahuan itu alangkah eloknya apabila diselesaikan terlebih dulu di internal organisasi, baru kemudian diangkat ke permukaan. Bukankah di NU ada yang disebut Lembaga Bahtsul Masa’il?

Toh, segala yang berantakan itu bakal ditempatkan di dapur, di tempat yang sebisa mungkin tak terjangkau orang lain. Segala sesuatunya akan dimasak matang-matang terlebih dulu di dapur, baru kemudian disajikan dengan bijak dan santun di ruang tamu; ruang permukaan atau ruang publik.

NU sebagai rumah, pengurusnya sebagai anggota keluarga yang tentu berbeda pemikiran dan sikapnya, tidak akan pernah rela menjelek-jelekkan tempat ia bernaung dan berteduh.

Sebab maling dan penjahat itu, akan senantiasa bertepuk tangan kegirangan dan dengan leluasa masuk ke rumah, jika penghuninya saling berselisih satu sama lain.

Seluruh kader dan pengurus NU harus paham betul bahwa perjuangan NU adalah dalam rangka menyelamatkan manusia Indonesia dari keterjajahan fisik dan penjajahan akal sehat. Untuk mampu mencerdaskan dan mencerahkan umat, maka dua perjuangan itu dapat menjadi prioritas utama dalam bergerak, turun ke masyarakat.

Upaya memerdekakan akal sehat dilakukan para pendiri NU di Tanah Hijaz dengan maksud membiarkan berbagai penganut madzhab hidup damai berdampingan. Tidak diseragamkan oleh kebijakan-kebijakan penguasa.

Itulah NU, yang menjadikan perbedaan sebagai keniscayaan yang harus tetap dijaga dan dirawat keharmonisannya.

Artinya, para pengurus NU harus bisa pula mengejawantahkan kebaikan tersebut. Jika ada pengurus lain yang berlainan pendapat, haruslah pula dianggap sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihormati

Jangan kemudian dicaci, di­-bully, dimaki, dan bahkan dipersekusi. Seringkali warga, kader, dan pengurus NU terjebak ke dalam perselisihan yang dimainkan oleh kekuatan politik praktis.

Saya ambil contoh misalnya terkait dukung-mendukung calon presiden dan wakil presiden, yang terjadi saat ini. Sebagian pengurus menganggap bahwa dipinangnya Kiai Ma’ruf Amin menjadi cawapres dari presiden petahana merupakan tanggung jawab moral NU secara politik, tapi sebagian yang lain menganggapnya NU tidak demikian.

Warga NU tetap memiliki kemerdekaan untuk memilih. Namun kemudian, sebagian lainnya menganggap bahwa Pilpres 2019 merupakan ajang pertarungan ideologi, bukan hanya sebatas pada perselisihan lima tahunan saja.

Sesungguhnya terdapat tiga hal untuk mengkaji dan melihat fenomena yang terjadi. Pertama, kita harus melihat dari sisi akademik. Melihat kontestasi Pilpres 2019 dengan menggunakan kajian-kajian ilmiah.

Misal, sebagai pengurus yang tentu telah memiliki pengetahuan yang lebih ketimbang masyarakat awam mesti senantiasa memperbarui metode dakwah, atau materi-materi yang akan dibawa. Nah,  Lembaga Bahtsul Masa'il memiliki peran dan kedudukan di sana.

Kedua, sisi etik. Bagaimana kemudian sesama warga, kader, dan pengurus NU saling menjaga kode etik antarpengurus, satu sama lain karena berbeda pandangan politik. Etik merupakan sebab dari estetik. Keindahan tecipta, jika keadaan di dalam rumah saling memahami dan mengerti.

Nahdliyin tidak akan pernah menuding kesalahan kepada orang lain, dan mengklaim kebenaran pada diri sendiri. Menjadi sangat keji apabila hanya karena tidak mendukung Kiai Ma’ruf, kemudian ramai-ramai dicaci dan dituding sebagai penumpang gelap, penyusup, dan duri dalam daging.

Merasa paling benar itu adalah sifatnya kaum khawarij, syi’ah, dan wahabi. Kita, mau ikut-ikutan?

Ketiga, tentu saja sisi politik. Saya tidak akan menafsirkan atau mendefinisikan apa dan bagaimana itu politik. Tapi yang jelas, politik adalah seni mempengaruhi orang lain. Sementara NU memiliki potensi besar untuk itu.

NU berpolitik? Iya. Tapi NU tidak berpolitik praktis. Politik NU adalah bagaimana mampu mempengaruhi masyarakat agar senantiasa memiliki kewajiban menjaga kedaulatan negara, kesucian agama, kebersihan harta, dan kebeningan jiwa.

Sementara politik praktis adalah strategi untuk mencapai kekuasaan. NU, siapa pun yang berkuasa akan dijadikannya mitra, tidak terikat dan juga tidak berjarak terlalu jauh.

Intinya, marilah kita dewasakan pemikiran. Jangan mengerdilkan akal sehat sebagai anugerah yang telah diberikan Allah. Juga, jangan pula mempertontonkan ketidaktahuan di ruang publik.

Kemerdekaan pemikiran harus selalu dijunjung setinggi langit oleh para pengurus NU di berbagai tingkatan. Kalau toh ada ketidaksukaan karena perbedaan pendapat atau pandangan, silakan di-bahtsulmasa’il-kan saja.

Jadi, bagaimana caranya menjadi pengurus NU yang kaffah? Jangan tanyakan saya, karena saya hanya bertindak sebagai penulis yang bahagia jika tulisan saya ini banyak yang membaca. Hahahahaha…

Kamis, 13 September 2018

Akal, Nafsu, dan Nurani Harus Selaras Agar Tak Kufur Intelektual




Berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain, manusia merupakan ciptaan-Nya yang sangat sempurna. Diberinya akal, nafsu, dan nurani, sebagai sarana untuk meningkatkan keberdayaan diri pada sesama, serta untuk memfungsikan kepribadian agar tidak terjerembab pada lembah kekufuran.

Akal difungsikan untuk berpikir, nafsu sebagai eksekutor, dan nurani menjadi pendeteksi kepekaan diri pada batas kebaikan dan keburukan. Kemuliaan hidup akan sangat terasa saat ketiga perangkat itu difungsikan sesuai kegunaannya. Karena jika tidak, kubang kekufuran akan terlihat jelas pada diri.

 KUFUR INTELEKTUAL TERJADI KETIKA PENGGUNAAN AKAL TAK BERBANDING LURUS DENGAN KADAR KEPEKAAN NURANI DAN PERAN NAFSU DALAM MENGEKSEKUSI.

Manusia tidak mungkin selamanya hanya mengandalkan akal untuk kehidupan, juga mustahil selalu mengutamakan nafsu dalam kerja keseharian, begitu juga nurani. Ketiganya mesti berseiring, melakukan polarisasi yang teratur dan terukur. Kalau salah satu dari ketiga itu sengaja tidak difungsikan, kufurlah intelektualitas kita.

Maka disini perlu adanya perenungan diri, melakukan introspeksi, dan melakukan kritik ke dalam untuk menghancurkan kejumudan yang berkerak, kebekuan yang tak kunjung mencair, serta agar luwes dalam berpikir dan berperilaku. Implikasinya akan terlihat dari fungsi kehidupan yang akan atau sedang dijalani. Kufur Intelektual dapat dicegah atau ditangani dengan pengakuan atas kesalahan dan kekurangan diri.

Kufur Intelektual berarti sengaja mendustakan atau mengingkari segala proses yang menjadikan kadar kualitas akal, nafsu, dan nurani menjadi buruk karena tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Biasanya kekufuran pada intelektualitas kita terjadi karena dominasi akal dan nafsu, sehingga tidak mengikutsertakan nurani.

Akal yang berpikir kritis, bergerilya pada pemikiran-pemikiran yang tajam, menciptakan konsep teranyar untuk solusi pembaruan dan pembangunan, dibarengi dengan eksekusi yang dilakukan oleh nafsu, akan menjadi sangat tidak berguna ketika nurani tidak berperan sebagai tokoh utama.

Merasa terancam atas perbedaan pilihan merupakan salah satu hal yang mengantarkan kita pada kekufuran intelektual. Karena perbedaan adalah niscaya sementara kita tak mampu menerimanya sebagai anugerah, adalah penanda bahwa nurani sudah terkikis habis dalam diri.

Membuat lingkaran feodalisme (dengan gaya dan kemasan baru), 'mencocok hidung' orang-orang yang ada disekitar, menggiringnya seperti bebek atau domba, dan mengindoktrinasi pemikiran agar selalu seragam, menjadi tolok ukur bagi peradaban seseorang atau kelompok.

Supaya tidak mengalami kekufuran intelektual yang berujung pada kedangkalan sikap, serta menjadikan hidup tidak harmoni, diperlukan sebuah rasa untuk selalu menerima keadaan.

Karena ketika Kufur Intelektual sudah merekat pada diri, kita tak dapat lagi menebar keselamatan kepada orang lain. Kita akan senantiasa menganggap diri paling benar, paling superior diantara manusia yang hidup dalam lingkaran terdekat kita.

 HATI-HATI, BAHAYA LATEN KUFUR INTELEKTUAL!!!

Wallahua'lam...