Jumat, 14 September 2018

Upaya Menjadi Jam'iyyah NU yang Kaffah




Silakan dibaca tulisan ini sembari santai, sembari tidur-tiduran, atau ngemil. Santai saja. Yang penting, dibaca hingga tuntas. Selamat membaca!

*****

Situasi politik nasional nampaknya kian memanas. Kemudian merambah ke berbagai lini kehidupan masyarakat, sehingga beberapa kali timbul ketegangan karena saling memiliki pandangan yang berbeda.

Politik memang terkadang dapat membunuh, bahkan mematikan. Namun, tak jarang pula ia berperan sebagai tokoh protagonis yang segala macam kebaikan melekat kepadanya.

Saat ini, beberapa bulan menuju pesta demokrasi besar-besaran bangsa Indonesia, politik pun memiliki peran tergantung dari mana kita melihatnya. Sebagai kader muda Nahdlatul Ulama (NU), saya tentu melihat dari sudut pandang NU.

Pasca dipinangnya pimpinan tertinggi ormas Islam terbesar di negeri ini, KH Ma’ruf Amin, kondisi NU bukan berarti tak goyah. Bahkan bisa dikatakan, terkoyak-koyak karena keberbedaan pandangan dan pilihan. Tapi, membicarakan seputar politik praktis lima tahunan hanya akan menjadi pepesan kosong belaka.

Di dalam tulisan ini, saya justru akan memaparkan sebuah gagasan tentang bagaimana menjadi pengurus NU yang baik, yang paripurna, dan yang kaffah. Atau minimal menjadi warga NU yang sesuai dengan koridor.

Sebab, NU laksana kereta api. Ia membawa banyak penumpang dari latar belakang yang berbeda. Karenanya, di dalam gerbong itu bakal terdapat pemikiran yang beragam. Namun jika salah seorang saja yang berani keluar jalur, ia akan musnah. Sedangkan NU tetap berjalan, NU tetap besar dengan kebesarannya sendiri.

NU didirikan atas dasar keresahan bersama para ulama dalam merespon kondisi sosial-politik di Hindia Belanda, ketika itu. Selain persoalan kebangsaan, berdirinya NU juga sebagai perjuangan melawan gerakan puritanisme dan fundamentalisme agama yang dianut golongan wahabi. Sedangkan perilaku keagamaan wahabi itulah yang kemudian mengancam tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Nusantara.

Karena itulah kemudian NU menjadi benteng dari gerakan wahabi yang puritan dan antitradisi itu. Para ulama lantas membentuk tim yang diberi nama Komite Hijaz, diketuai KH Wahab Chasbullah. Tim ini bertugas melakukan lobi dan negosiasi dengan Raja Arab yang melakukan persekusi terhadap para ulama yang tak sepaham, serta berencana menghancurkan beberapa situs bersejarah.

Dari situlah kemudian, kita bisa katakan bahwa mobilitas perjuangan para ulama terdahulu tidak berhenti pada persoalan kebangsaan, tetapi juga akidah. Para ulama, ketika itu, berupaya keras menjaga kemerdekaan bermadzhab di Tanah Hijaz (Mekah dan Madinah). Hal tersebut dilakukan karena Raja Ibnu Sa’ud dari Najed, berusaha melarang madzhab berkembang di sana.

Padahal sesungguhnya, kebebasan bermadzhab sudah berlangsung lama sehingga Hijaz menjadi salah satu tempat untuk menimba ilmu, terutama bagi umat Islam dari belahan dunia mana pun, termasuk Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani yang bermadzhab sunni-syafi’i.

Kemudian, perjuangan yang diinisiasi oleh Kiai Wahab Chasbullah itu menunjukkan bahwa ulama pesantren tidak hanya melakukan perjuangan di tingkat lokal saja, tetapi juga dalam skala internasional dengan melakukan upaya diplomasi global.

Sebab dalam melakukan perjuangan meneguhkan madzhab ini para kiai terdahulu, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Raden Asnawi Kudus serta beberapa tokoh pesantren lainnya, melihat bahwa warisan intelektual para ulama dalam ijtihadinya yang meniscayakan keberagaman madzhab harus tetap dipertahankan.

Dari secuplik sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa NU didirikan atas dasar kegelisahan memerdekakan diri dan pikiran. Secara fisik ditindas oleh penjajah, sedangkan secara pemikiran hampir dikerangkeng oleh kebijakan Raja Arab.

Artinya apa? Secara sederhana, saya berpikir bahwa menjadi kader NU berarti menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa atas kegaduhan situasi, baik politik atau sosial, dan tentu keagamaan.

Kita jelas tak bisa acuh dan bersikap cuek terhadap keadaan sekitar yang sedang atau akan berlangsung. Kader yang telah mengabdikan diri ke dalam jam’iyyah (organisasi), berarti memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat.

Akan berdosa apabila pengurus NU tidak memahami bagaimana gerak NU sebagai organisasi. Lebih diperparah jika pengurus tidak paham peran NU di masyarakat. Itulah alasan NU memiliki koridor-koridor tertentu.

Koridor-koridor itu adalah fikrah (pemikiran), harakah (pergerakan), dan amaliyah (perilaku), serta siyasah (strategi politik). Yang terakhir, sebagai kader NU, kita tentu sudah mafhum bahwa NU menganut siyasah wathoniyah, bukan siyasah hizbiyyah.

Nah, jika kader atau pengurus NU tidak paham hal tersebut maka jangan pula sembarangan mengeluarkan pernyataan yang justru akan memperkeruh suasana. Ketidaktahuan itu alangkah eloknya apabila diselesaikan terlebih dulu di internal organisasi, baru kemudian diangkat ke permukaan. Bukankah di NU ada yang disebut Lembaga Bahtsul Masa’il?

Toh, segala yang berantakan itu bakal ditempatkan di dapur, di tempat yang sebisa mungkin tak terjangkau orang lain. Segala sesuatunya akan dimasak matang-matang terlebih dulu di dapur, baru kemudian disajikan dengan bijak dan santun di ruang tamu; ruang permukaan atau ruang publik.

NU sebagai rumah, pengurusnya sebagai anggota keluarga yang tentu berbeda pemikiran dan sikapnya, tidak akan pernah rela menjelek-jelekkan tempat ia bernaung dan berteduh.

Sebab maling dan penjahat itu, akan senantiasa bertepuk tangan kegirangan dan dengan leluasa masuk ke rumah, jika penghuninya saling berselisih satu sama lain.

Seluruh kader dan pengurus NU harus paham betul bahwa perjuangan NU adalah dalam rangka menyelamatkan manusia Indonesia dari keterjajahan fisik dan penjajahan akal sehat. Untuk mampu mencerdaskan dan mencerahkan umat, maka dua perjuangan itu dapat menjadi prioritas utama dalam bergerak, turun ke masyarakat.

Upaya memerdekakan akal sehat dilakukan para pendiri NU di Tanah Hijaz dengan maksud membiarkan berbagai penganut madzhab hidup damai berdampingan. Tidak diseragamkan oleh kebijakan-kebijakan penguasa.

Itulah NU, yang menjadikan perbedaan sebagai keniscayaan yang harus tetap dijaga dan dirawat keharmonisannya.

Artinya, para pengurus NU harus bisa pula mengejawantahkan kebaikan tersebut. Jika ada pengurus lain yang berlainan pendapat, haruslah pula dianggap sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihormati

Jangan kemudian dicaci, di­-bully, dimaki, dan bahkan dipersekusi. Seringkali warga, kader, dan pengurus NU terjebak ke dalam perselisihan yang dimainkan oleh kekuatan politik praktis.

Saya ambil contoh misalnya terkait dukung-mendukung calon presiden dan wakil presiden, yang terjadi saat ini. Sebagian pengurus menganggap bahwa dipinangnya Kiai Ma’ruf Amin menjadi cawapres dari presiden petahana merupakan tanggung jawab moral NU secara politik, tapi sebagian yang lain menganggapnya NU tidak demikian.

Warga NU tetap memiliki kemerdekaan untuk memilih. Namun kemudian, sebagian lainnya menganggap bahwa Pilpres 2019 merupakan ajang pertarungan ideologi, bukan hanya sebatas pada perselisihan lima tahunan saja.

Sesungguhnya terdapat tiga hal untuk mengkaji dan melihat fenomena yang terjadi. Pertama, kita harus melihat dari sisi akademik. Melihat kontestasi Pilpres 2019 dengan menggunakan kajian-kajian ilmiah.

Misal, sebagai pengurus yang tentu telah memiliki pengetahuan yang lebih ketimbang masyarakat awam mesti senantiasa memperbarui metode dakwah, atau materi-materi yang akan dibawa. Nah,  Lembaga Bahtsul Masa'il memiliki peran dan kedudukan di sana.

Kedua, sisi etik. Bagaimana kemudian sesama warga, kader, dan pengurus NU saling menjaga kode etik antarpengurus, satu sama lain karena berbeda pandangan politik. Etik merupakan sebab dari estetik. Keindahan tecipta, jika keadaan di dalam rumah saling memahami dan mengerti.

Nahdliyin tidak akan pernah menuding kesalahan kepada orang lain, dan mengklaim kebenaran pada diri sendiri. Menjadi sangat keji apabila hanya karena tidak mendukung Kiai Ma’ruf, kemudian ramai-ramai dicaci dan dituding sebagai penumpang gelap, penyusup, dan duri dalam daging.

Merasa paling benar itu adalah sifatnya kaum khawarij, syi’ah, dan wahabi. Kita, mau ikut-ikutan?

Ketiga, tentu saja sisi politik. Saya tidak akan menafsirkan atau mendefinisikan apa dan bagaimana itu politik. Tapi yang jelas, politik adalah seni mempengaruhi orang lain. Sementara NU memiliki potensi besar untuk itu.

NU berpolitik? Iya. Tapi NU tidak berpolitik praktis. Politik NU adalah bagaimana mampu mempengaruhi masyarakat agar senantiasa memiliki kewajiban menjaga kedaulatan negara, kesucian agama, kebersihan harta, dan kebeningan jiwa.

Sementara politik praktis adalah strategi untuk mencapai kekuasaan. NU, siapa pun yang berkuasa akan dijadikannya mitra, tidak terikat dan juga tidak berjarak terlalu jauh.

Intinya, marilah kita dewasakan pemikiran. Jangan mengerdilkan akal sehat sebagai anugerah yang telah diberikan Allah. Juga, jangan pula mempertontonkan ketidaktahuan di ruang publik.

Kemerdekaan pemikiran harus selalu dijunjung setinggi langit oleh para pengurus NU di berbagai tingkatan. Kalau toh ada ketidaksukaan karena perbedaan pendapat atau pandangan, silakan di-bahtsulmasa’il-kan saja.

Jadi, bagaimana caranya menjadi pengurus NU yang kaffah? Jangan tanyakan saya, karena saya hanya bertindak sebagai penulis yang bahagia jika tulisan saya ini banyak yang membaca. Hahahahaha…
Previous Post
Next Post

0 komentar: