Selasa, 18 September 2018

Kader NU Harus Kuasai Medsos




Akhir pekan lalu, pada Sabtu-Ahad, 15-16 September 2018, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota Bekasi mengadakan kegiatan kaderisasi, yakni Masa Kesetiaan Anggota (Makesta). Sekitar 48 peserta dari perwakilan sekolah dan pondok pesantren, mengikutinya.

Mereka diberi penguatan ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah, dan juga tentu saja pemahaman tentang ke-NU-an. Selain itu ada pula materi keindonesiaan sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.

Semua itu menjadi materi pokok dari pengkaderan tahap awal di tubuh IPNU dan IPPNU. Sebab, IPNU dan IPPNU adalah gerbang awal menjadi generasi penerus NU di ranah struktural. Mereka itulah yang nantinya meneruskan perjuangan para ulama NU di Jam’iyyah Diniyah Ijtima’iyah Nahdlotil Ulama.

Namun, yang lebih menarik dari kegiatan Makesta adalah diberikannya materi Jurnalistik dan cara bagaimana berselancar di media sosial dengan baik. Dewasa ini, di era milenial, dunia maya menjadi ujung tombak dari peperangan yang sesungguhnya.

Kita sudah tidak lagi berperang secara fisik dengan mengangkat pedang dan parang. Melainkan berperang melawan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan keindonesiaan.

NU, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, senantiasa memberikan pemahaman kepada seluruh kader, bahwa agama dan nasionalisme adalah dua hal yang saling menguatkan. Demikian-lah yang diungkapkan oleh KH Hasyim Asy’ari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.




Dari situlah kemudian, saya berkeinginan agar para kader NU ini mampu menguasai media sosial sebagai ruang dakwah yang nyata. Berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang kerap ditemui di dunia maya, harus segera dilawan agar tak merambah ke dunia nyata.

Karenanya, salah satu hal yang harus menjadi bekal untuk berselancar di media sosial adalah kemampuan dan keinginan untuk menulis. Kegiatan menulis harus terus digencarkan untuk kemudian mampu berselancar di media sosial, dengan membawa pesan kedamaian di sana.

Kunci utama menulis adalah membaca. Di hadapan para pelajar yang menjadi peserta Makesta, saya mengatakan bahwa perintah utama dalam Islam adalah membaca. Iqra bismirabbik. Setelah kalimat iqra, tidak ada kalimat penjelas perihal apa yang dibaca.

Hal tersebut sebagai tanda bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk membaca apa pun, tidak melulu membaca teks tulisan di buku. Melainkan kita harus cerdas pula membaca situasi, membaca kondisi, dan membaca peristiwa.

Seperti itulah yang menjadi kerja dari Jurnalis. Mencatat segala macam yang dilihat dan dirasa. Kemudian disajikan ke media sosial dengan sajian yang baik. Dengan begitu, maka jauhlah kader NU dari berita bohong maupun ujaran kebencian. Jauh, berarti tidak menjadi pelaku atau pun sebagai korban.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitu kata penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Jika jasad memiliki waktu untuk hidup di dunia, maka tulisan yang akan mengabadikan umur di keabadian. Raden Ajeng Kartini, misalnya, meski di dunia ia hanya hidup selama 25 tahun, tapi dengan tulisan-tulisan perlawanannya, ia mampu abadi dan dikenang sepanjang masa.



Maka sudah sepatutnya, kader NU mampu menulis berbagai kebaikan di dunia, sehingga bisa dengan bijak berselancar di media sosial. Sebab, media sosial adalah ruang atau wadah untuk berjuang dan berperang di era milenial. Karenanya, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan.


Menulislah agar abadi!

Previous Post
Next Post

0 komentar: